Rara, Mencintai Tak Harus Memiliki.
“Aku larang dia kerena aku sayang sama dia, biarpun dia anak tiriku, tapi aku peduli, tidak seperti Papa yang hanya peduli sama orang,” terdengar Ibu sambungku bicara dengan keras.
Mungkin bapak memang terlalu baik, bahkan rela mengabdi di desa terpencil seperti ini. Bapak bahkan pernah mencari-cari orang untuk dibantu modal usaha. Aneh memang orang tuaku ini.
“Ma, kita sudah sepakat, tolong jangan singgung ke sana lagi. Kalau tidak tahan silakan pergi, aku sudah begini adanya,” kata bapak.
“Oh, gitu ya, pantas saja papa ditinggalkan,” kata Ibu sambungku.
Pertengkaran kedua orang tuaku terus lanjut, mereka saling adu argumen, Ibu tetap tidak setuju aku berteman dengan anak-anak desa, kata Ibu demi kebaika
Part 3Tamat SD, aku sudah mulai remaja, tanda-tanda kedewasaan mulai muncul. Aku sekolah di salah satu SMP negeri di kecamatan kami. Bang Pain tetap mondok di pesantren, pulangnya hanya sebulan sekali.Saat itu bulan Ramadhan, Bang Pain libur, aku juga libur sekolah. Biarpun sudah mulai dewasa, hobbyku tak pernah berubah. Masih suka nonton film India.Abangnya Bang Pain ada dua, adiknya satu, Bang Nyatan yang paling besar, baru Bang Parta, terus Bang Pain, lalu yang paling kecil sebayaku, namanya Dame. Makin lama aku makin akrab dengan keluarga itu. Kata Wak Domu-ayahnya Bang Pain, aku adalah anaknya. Dia bahkan menamaiku dengan nama orang Batak.Siang itu di bulan Ramadhan, rumah Bang Parlin ada keributan. Ibunya Bang Parlin memang terbiasa bicara keras, dari bicaranya aku dapat informasi, padi mereka hilang satu goni besar.Aku mendekat untuk menguping,
Part 4.Bapak dapat lahan untuk ditanami sawit, Bang Pain jadi pekerjanya, padahal saat itu Bang Pain masih enam belas tahun. Terlalu muda untuk bekerja tetap. Akan tetapi menurut Bapak, Bang Pain itu istimewa, tidak seperti orang kebanyakan.“Sibuk ngurus anak orang saja, bikin anak tidak mampu.” Begitu kata Ibu sambungku ketika kami sudah pulang.Aku paham maksudnya, Ibu memang ingin sekali punya anak sendiri, akan tetapi tidak pernah bisa hamil, mereka sudah berobat ke sana ke mari.Memang sulit diterima akal sehat dengan sifat bapak, dia seperti mewakafkan dirinya untuk membantu orang. Tiap tahun rutin memberikan zakat pada satu orang, entah sudah berapa orang yang bapak bantu.Jika hari libur, kami sering mengunjungi Bang Pain, melihat kebun tersebut. Bang Pain menepati janjinya, dia kini sudah berambut gobel. Badannya makin kekar, makin m
Rara, Mencintai Tak Harus Memiliki.Sehari sebelum hari keberangkatan, aku diajak Bang Pain bawa sapi jalan-jalan, sapi yang baru kubeli kami bawa ke padang rumput yang terletak di ujung desa. Ada danau kecil yang airnya hampir mengering. Di dekat itulah kami ikat sapi untuk cari makan sendiri.“Bang, besok kami akan pindah,” kataku sambil memperhatikan sapi limosin kecil tersebut.“Iya, Rara, yang giat belajar, kejar cita-citamu. ““Bang Pain, tak adakah yang mau Abang bilang selain giat belajar?”“Abang“Jangan pacaran dulu gitu, jangan nikah sebelum tamat, entah apa saja,”“Aku mau bilang tinggalkan TV dan video serta kasetnya itu, hehehe,”Ah, Bang Pain tidak peka, padahal aku ingin dia mengikat janji, karena ak
Part 6Bapak, orang yang kukagumi, cinta pertamaku justru tidak setuju aku dengan Bang Pain, anehnya, bukan karena Bang Pain jahat, justru karena terlalu baik. Terlalu peduli pada orang. Menurut bapak, kemampuan manusia itu terbatas, jika terlalu peduli pada alam dan seisinya, bisa lalai pada keluarga sendiri. Itulah yang terjadi pada bapak. Dia bisa membuat orang senang, tapi tidak bisa membuat istrinya bahagia. Sudah dua kali menikah, selalu sama saja.Aku akan coba lupakan Bang Pain, mungkin bapak ada benarnya, aku tak bisa menikah dengan orang yang terlalu peduli pada orang lain. Aku tak ingin bernasib sama seperti Ibu.Akan tetapi makin lama, rasa ini makin cinta, setiap bapak pulang, yang pertama kutanyakan adalah kabar Bang Pain. Bapak bilang Bang Pain makin baik saja, kini dia sudah menjelma jadi petani dan peternak sukses. Itu saja sudah membuatku bahagia, mencintai Bang Pain mungkin tidak harus memi
Part 6Bang Pain dan istrinya sudah pergi, tak ada lagi di rumah, padahal hanya kutinggalkan sebentar untuk belanja. Coba kuhubungi tak diangkat juga. Akhirnya setelah beberapa kali kuhubungi istri Bang Pain menerima teleponku. Dia menjelaskan tentang usiran suamiku. Aku marah.“Mas, kenapa usir tamu?” tanyaku pada suami.“Aku berhak usir tamu yang telah merampas hati istriku,”“Aku selalu di sini bersamamu, Mas, apanya yang dirampas?”“Kenapa rambutnya mirip anak kita?”“Karena aku suka Sanjay Dut, bukan karena Bang Pain,”Bapak mendengar pertengkaran kami, dia mendekat dengan kursi rodanya.“Parlin itu anak angkatku, sudah seperti anak sendiri, lucu jika kamu cemburu pada ipar sendiri,” kata bapak.&n
Istriku (Bukan) Lady DiPoV Parlin(Bang Pain, aku sudah cerai)Sebait kalimat itu dikirim Rara lewat aplikasi WA, seketika hatiku terasa teriris, pedih, orang yang kucinta dalam diam harus menanggung prahara rumah tangga, sungguh jika dia bahagia, aku ikut bahagia, jika dia menderita demi Tuhan aku tak bisa terima.(Kok bisa?)Hanya dua kata itu yang mampu kuketik, padahal aku ingin mengetik banyak. Ingin kuhibur dia, ingin kukatakan kalau itu ujian pernikahan.(Suamiku selalu cemburu padamu, Bang Pain, padahal kita kan saudara) Balasan dari Rara cukup membuat jantungku berdetak lebih cepat, Ya, Allah, kenapa setelah berpuluh-puluh tahun rasa ini tak juga sirna. Rasa ini juga membuat Rara sengsara, dia diceraikan suaminya karena aku. (Sabar, Ra, mungkin ini jalan terbaik, semoga cepat dapat ganti)(Ish, jahat kamu Bang Pain, didoakan pula cepat nikah lagi, aku gak akan nikah lagi kecuali bertemu dengan orang yang mirip Bang Pain)Serrr, jantungku makin berdegup kencang. Ah, rasa in
Istriku (Bukan) Lady DiPoV ParlinPart 2"Kok dimatikan, Dek?" protesku pada istri."Iyalah, Bang, apa pula urusan hati Rara kita urus," kata Nia-istriku."Jangan gitu, Dek, orang yang jahat pada kita saja kita bantu, orang yang fitnah kita saja kita bantu, ingat gak saudaramu fitnah kita, Abang bantu kan, masa saudara Abang gak boleh dibantu," kataku kemudian.Ini selalu berhasil, Istriku ini sudah lulus berbagai ujian, akan tetapi kalau bicara tentang Rara dia selalu cemburu."Hubungi balik, Dek, gak baik gitu, saudara lo, Dek?" kataku lagi.Istriku akhirnya menghubungi kembali Rara, harus Nia yang hubungi, ini karena sudah janji jika harus hubungi aku harus lewat istri.Nia-istriku yang cantik dan cerewet itu kembali menghubungi Rara. "Tadi kok dimatikan?" tanya Rara dari seberang sana, kali ini Nia menghubungi lewat video call. "Iyalah, Ra, kamu itu bicara hati, sakit hatimu pula kau bilang orang, kami juga sering sakit hati, gak pernah sampai bilang ke orang, apalagi sampai ne
Istriku (Bukan) Lady DiPart 3PoV ParlinButet tak menceritakan tentang kami yang bertemu Rara, aku senang sekaligus sedih, senang karena terhindar dari amukan cemburu Nia, sedih karena harus berbohong pada istri. Padahal istriku sudah baik sekali, tak pernah berbohong padaku.Cinta memang unik, termasuk cintaku, cintaku pada istri penuh, tapi cintaku pada Rara juga penuh, ah, alangkah rumitnya hati ini. Hari itu ada tamu datang, seorang pria berwajah seperti orang Arab, tinggi besar dan brewokan. "Apa benar ini rumah kepala desa?" tanyanya setelah turun dari mobil mewahnya. Saat itu aku lagi duduk di depan rumah, Nia-istriku sedang masak di belakang."Ya, benar, bapak siapa ya?" tanyaku kemudian."Saya Hermansyah, kemarin kami sudah janji bertemu Bu Niyet,"Niyet? ini pasti teman lama istri, Niyet itu nama panggilannya waktu gadis, hanya orang-orang tertentu yang tahu itu, tapi ini seperti orang Arab. Istriku lalu kupanggil, begitu dia muncul. ..."Eh, makin mirip monyet saja k