Istriku Bukan Lady DiPart 4PoV ParlinHermansyah ini benar-benar sudah membuat aku cemburu, kehadirannya di desa memberikan warna tersendiri, bukan karena dia tinggi besar, tapi dia sangat royal. Yang membuat aku cemburu adalah sikap Nia yang seperti ceria dengan kehadiran Hermansyah."Bang, hari Sabtu ini aku mau ulang tahun," kata istri di suatu malam."Tumben, Dek?""Tumben apanya, Bang?"Tumben ingat ulang tahun, kita kan bukan keluarga yang rayakan ulang tahun, ulang tahun anak saja gak pernah dirayakan,""Abang yang gak mau rayakan, Bang, aku selalu beri hadiah untuk Ucok dan Butet jika mereka ulang tahun," kata istri."Oh, terus,""Kami mau rayakan sambil reuni,""Reuni apaan?""Reuni lah, Bang, undang semua teman sekolah dulu,""Haha, mau undang Rapet, Rinet, Et siapa lagi?""Iya, Bang," "Kamu serius?"Serius, Bang,""Ya, Allah, kamu tahu gak asal usul pesta ulang tahun, bakar lilin itu, kamu tahu, Dek?"Memang apa?""Asal-usul tiup lilin itu budaya romawi kuno, itu yang ma
Istriku Bukan Ladi DiPart 5Gagal sudah kejutan yang sudah kupersiapkan seharian. Biayanya juga tidak tanggung, cincin emas berlian seharga dua belas juta, ditambah mie ayam satu bungkus plus waktuku seharian ini. Yang membuat aku makin jengkel istriku belum sadar juga ada kejutan yang gagal, dia malah langsung tidur, mungkin kecapekan karena reuni seharian.Hari itu kami panen sawit, akan tetapi orang yang biasa kami pakai untuk jasa dodos sawit tidak bisa datang. Sementara karyawan kebun kebanyakan perempuan. Heran juga, biasanya mereka paling cepat datang, belum jadwal penen pun mereka sudah bertanya duluan."Dek, pada ke mana semua orang, kita mau panen ini," tanyaku pada istri lewat telepon. Seperti biasa dia di kantor desa. "Oh, mereka semua kerja di tempat si Hermansyah, Bang," jawab istri dari seberang."Lo, kan kita mau panen,""Iya, Bang, itu kan pekerja lepas Bang, gak bisa kita atur,""Jadi, bagaimana kita mau panen?""Entahlah, Bang,"Untuk pertama kali aku seakan ada s
Istriku Bukan Lady DiPart 6Nia tak menjawab lagi, dia justru bercanda dengan mengatakan mau pingsan dulu. Padahal tadi katanya sudah ok, kini dia seperti terkejut."Dek, bagaimana, boleh gak?""Jangan bicara dulu, Bang, aku masih pingsan ini karena terkejut," kata Nia."Dek, aku cinta kau, Dek, seratus persen, sumpah demi Allah," kataku lagi."Lalu cinta untuk Rara?""Itu cinta yang lain, Dek," "Jadi kalau seratus persen untukku, apa lagi untuk Rara,""Cintaku luas, Dek, lebih seratus persen, tapi percayalah, tidak ada maksud lain, hanya menolong,""Menolong, itu hatimu, Bang, dadamu dibelah,""Iya, Dek, Rara dan bapaknya sudah membuat aku seperti yang sekarang, kalau bukan karena mereka mungkin aku akan jadi gembel,""Iya, Bang, iya, silakan saja berikan hatimu, tapi kita cerai,"Aku terhenyak, tak percaya apa yang baru kudengar, setelah lima belas tahun, baru kali ini kudengar kata cerai dari mulut istriku ini. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi.Ancaman cerai itu sungguh membuat
ParliNia 2PoV NiaBang Parlin benar-benar belum bisa lupakan Rara, sedih rasanya ketika aku tahu Bang Parlin menghubungi Rara tanpa sepengetahuanku, padahal sudah janji jika harus hubungi Rara harus lewat aku. Kini dia chat-an di belakangku.Ketika Bang Parlin minta ijin mau ke Jakarta menghadiri pesta, aku sudah curiga dia akan bertemu Rara. Sengaja kusuruh Butet minta ikut, karena aku tahu Bang Parlin tak akan berani macam-macam jika ada Butet. Sejujurnya Bang Parlin tak pernah macam-macam, sudah kuuji dari dulu, tapi Rara? Perempuan ini spesial di hati Bang Parlin.Butet memberitahukan kalau mereka pergi ke Bandung bertemu Rara yang sakit, akan tetapi aku pura-pura tidak tahu saja, ingin kulihat sampai di mana Bang Parlin selingkuh hati.Aku terkejut, sungguh ini di luar dugaan, Bang Parlin mau mendonorkan hatinya untuk Rara yang sakit kangker hati. Untuk pertama kali dalam sejarah pernikahan kami, aku menyebut kata cerai. Dia bukan hanya selingkuh hati, tapi juga mau donorkan hat
ParliNia 2Part 2Aku coba mengingat-ingat perjodohan kami dulu, ah, rasanya tak mungkin aku dipelet, aku terima lamarannya dulu karena percaya pada almarhum ayah, bukan karena cinta. Cinta justru timbul setelah berumah tangga. Aku lalu coba mengingat lagi perjalanan rumah tangga kami. Aku baru kini merasakan hidup Bang Parlin tak pernah lepas dari bayang-bayang Rara. Masih kuingat ketika rambut gobel Bang Parlin kupotong, dia sangat sedih, padahal cuma rambut.Masih kuingat ketika dia menangis saat pertama kali bertemu Rara. Masih kuingat dia yang begitu sayang sama Nunung, ternyata sapi pemberian Rara. Aku makin merasa seperti Lady Diana, hanya dapat raga tak dapat hatinya.Akan tetapi perkataan Hermansyah rasanya ada benarnya. Selain soal Rara Bang Parlin adalah suami yang sempurna. Tak pernah berkata kasar, apalagi KDRT. Tidak pernah juga macam-macam. Tak merokok tidak juga pernah berjudi atau minum minuman keras. "Assalammualaikum," terdengar suara salam di pintu. Aku yang lagi
ParliNia 2Part 3Bang Parlin masih saja pasang jurus menghindar, berusaha mengalihkan pembicaraan, bercanda lagi. Kini dia malah mau pura-pura nangis untukku."Baik, Dek, kalau tangisan yang Adek butuhkan, aku akan menangis sekarang, huhuhu," kata Bang Parlin lagi.Kesal, kuambil gelas plastik yang ada di dekatku, kulemparkan ke dinding, suaranya ternyata bisa membuat Bang Parlin berhenti pura-pura tangis"Dek, kan anak si Hermansyah satu kuliah di Australia, si Amanda ini anak yang mana lagi? Jangan-jangan dia punya istri yang lain, punya simpanan," kata Bang Parlin, kini dia coba cara lain untuk mengalihkan pembicaraan, dia ngajak ghibah."Tolong jangan alihkan pembicaraan, Bang, tolong jangan bercanda dulu, ini serius," kataku kemudian."Dek," Bang Parlin menyentuh bahuku, dia lalu memijit punggung ini."Mungkin kamu capek, Dek, makanya emosi terus, sini kuurut," kata Bang Parlin lagi.Ah, segala cara dilakukan Bang Parlin, lama-lama aku kesal juga. Aku berdiri masuk kamar dan ber
ParliNia 2Part 4Keluarga Pa Siregar berkumpul semua, kali ini sangat lengkap sampai anaknya juga ikut semua. Belum hilang keterkejutanku Rina sudah mengucapkan selamat ulang tahun pernikahan yang ke-16. Kutatap Bang Parlin, aku yakin pasti dia yang punya rencana ini. "Selamat ulang tahun pernikahan, Nia, kalian pasangan idola kami, panutan kami semua," kata Kak Sofie seraya memelukku."Kalian yang terbaik, sekiranya aku presiden, sudah kuberikan kalian penghargaan keluarga sakinah," kata Bang Parta.Ah, berlebihan, Aku makin yakin ini kerjaan Bang Parlin. Dia mungkin sudah kehabisan cara, sehingga meminta bantuan saudaranya.Rumah kami jadi penuh, tidak muat lagi tidur di rumah ini, sementara rumah yang satunya lagi ditempati Hermansyah, tak mungkin numpang di sana. Saat malam tiba, kami makan bersama. Semua duduk bersila di lantai. Ucok Dan Bang Parlin duduk di tengah, melayani segala keperluan makan tamu. Tamu kami benar-benar dijamu bak tamu terhormat, sampai satu kambing dipot
ParliNia 2Part 5Malam itu Pa bersaudara berkumpul, ada Bang Parta, Bang Nyatan dan Dame. Mereka mau bicarakan tentang kami, ternyata para istri sudah cerita ke suami masing-masing."Mau nangis aku dengar berita ini, Parlin, kau yang jadi panutan kami masa jadi begini," kata Bang Parta, sementara Bang Parlin terus menunduk, sedang aku setia menyimak."Bang Parlin, jika ada masalah kami, Abang yang selalu turun tangan," kata Dame."Dia hanya bisa menyelesaikan masalah orang, tapi tak bisa menyelesaikan masalah sendiri, dia hanya bisa bahagiakan orang, tak bisa bahagiakan istri sendiri," kataku kemudian."Jujur saja aku belum bisa mengerti apa yang kalian permasalahankan," kata Bang Nyatan.Bagaimana lagi aku harus menerangkan? Bagi mereka Bang Parlin itu laki-laki yang sempurna, yang bisa mengangkat derajat keluarganya."Kami semua pernah kau bantu, Parlin, kami jadi begini karena kau," kata Bang Parta lagi. "Coba tanyakan karena siapa Bang Parlin bisa sukses?" kataku kemudian."Ka
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga