“Apakah tak ada toilet di sini, Bang?” tanyaku lagi.
“Adanya cuma di rumah Pak Parlin,”
“Waduh, sudah jauh,”
“Ya, iya, Dek, buang air di situ saja, aku yang jaga,” kata Bang Torkis.
Tak ada pilihan lain lagi, rumah Pak Parlin jauh, sementara aku sudah kebelet, akhirnya aku turun ke sungai kecil tersebut. Ini untuk pertama kali dalam hidupku aku buang air di tempat seperti ini.
Setelah selesai, ketika aku hendak memakai celana, aku melihat ada yang nempel di kakiku, coba kupegang ternyata licin.
“Itu lintah, Dek,” kata Bang Torkis.
Mendengar kata lintah seketika aku takut, reflek aku melompat ke gendongan Bang Torkis. Suamiku ini pun menyingkirkan lintah kecil tersebut dari kakiku. Kebetulan pula lewat dua orang ibu-ibu, mereka membawa kayu bakar.
“Astagfirullah, dari segitu banyak tempat, kalian pilih di sini,” kata Ibu t
“Siapa Azizah, Bang?” tanyaku pada Bang Torkis, saat itu kami lagi berduaan di kamar. Bu Nia memberikan kamarnya satu untuk kami, karena aku tak mau tinggal di gubuk yang berada di tengah kebun sawit.“Hanya masa lalu, Dek?” jawab Bang Torkis.“Kenapa gak pernah cerita, Abang bilang gak pernah punya pacar,”“Dia bukan pacarku, Dek, tapi teman, ceritanya panjang,”“Coba ceritakan, Bang,” kataku seraya duduk bersila.Bang Torkis menarik nafas panjang, lalu ....“Dia anak tukang emas itu, Dek, setiap bulan aku menabung dengan beli emas karena itu kami sering jumpa, dia membantu orang tuanya.”“Terus pacaran gitu?”“Tidakkah, Dek, dia dijodohkan orang tuanya dengan seorang Tentara yang masih sepupunya, dia gak mau, akan tetapi terus dipaksa,’“Lalu lari sama Abang gitu,” potongku lagi.&ldq
Rara, Mencintai Bukan Berarti Memiliki.Aku masih berumur delapan tahun ketika Bapak membawa kami ke daerah terpencil. Jauh di pelosok Sumatra Utara. Bapak yang seorang dokter memilih mengabdi di desa, jadi satu-satunya dokter di salah satu puskesmas yang baru berdiri. Konon bapak dokter pertama yang bertugas di kecamatan tersebut.Aku punya dua Ibu, Ibu kandung dan Ibu sambung, Ibu dan bapak bercerai, kemudian sama-sama menikah lagi. Aku masih ingat perkataan Ibu kandung ketika mereka bercerai.“Seumur hidup itu terlalu lama, Rara, Ibu tidak akan sanggup sampai seumur hidup,” begitu kata Ibuku.Saat itu aku bimbang harus memilih ikut siapa, jika kupilih ikut Ibu, ada Ayah sambung, jika kupilih ikut ayah, ada Ibu sambung.“Masih juga seperti itu, sibuk memikirkan orang sampai lupa pada keluarga sendiri,” itu perkataan Ibu kand
Rara, Mencintai Tak Harus Memiliki.“Aku larang dia kerena aku sayang sama dia, biarpun dia anak tiriku, tapi aku peduli, tidak seperti Papa yang hanya peduli sama orang,” terdengar Ibu sambungku bicara dengan keras.Mungkin bapak memang terlalu baik, bahkan rela mengabdi di desa terpencil seperti ini. Bapak bahkan pernah mencari-cari orang untuk dibantu modal usaha. Aneh memang orang tuaku ini.“Ma, kita sudah sepakat, tolong jangan singgung ke sana lagi. Kalau tidak tahan silakan pergi, aku sudah begini adanya,” kata bapak.“Oh, gitu ya, pantas saja papa ditinggalkan,” kata Ibu sambungku.Pertengkaran kedua orang tuaku terus lanjut, mereka saling adu argumen, Ibu tetap tidak setuju aku berteman dengan anak-anak desa, kata Ibu demi kebaika
Part 3Tamat SD, aku sudah mulai remaja, tanda-tanda kedewasaan mulai muncul. Aku sekolah di salah satu SMP negeri di kecamatan kami. Bang Pain tetap mondok di pesantren, pulangnya hanya sebulan sekali.Saat itu bulan Ramadhan, Bang Pain libur, aku juga libur sekolah. Biarpun sudah mulai dewasa, hobbyku tak pernah berubah. Masih suka nonton film India.Abangnya Bang Pain ada dua, adiknya satu, Bang Nyatan yang paling besar, baru Bang Parta, terus Bang Pain, lalu yang paling kecil sebayaku, namanya Dame. Makin lama aku makin akrab dengan keluarga itu. Kata Wak Domu-ayahnya Bang Pain, aku adalah anaknya. Dia bahkan menamaiku dengan nama orang Batak.Siang itu di bulan Ramadhan, rumah Bang Parlin ada keributan. Ibunya Bang Parlin memang terbiasa bicara keras, dari bicaranya aku dapat informasi, padi mereka hilang satu goni besar.Aku mendekat untuk menguping,
Part 4.Bapak dapat lahan untuk ditanami sawit, Bang Pain jadi pekerjanya, padahal saat itu Bang Pain masih enam belas tahun. Terlalu muda untuk bekerja tetap. Akan tetapi menurut Bapak, Bang Pain itu istimewa, tidak seperti orang kebanyakan.“Sibuk ngurus anak orang saja, bikin anak tidak mampu.” Begitu kata Ibu sambungku ketika kami sudah pulang.Aku paham maksudnya, Ibu memang ingin sekali punya anak sendiri, akan tetapi tidak pernah bisa hamil, mereka sudah berobat ke sana ke mari.Memang sulit diterima akal sehat dengan sifat bapak, dia seperti mewakafkan dirinya untuk membantu orang. Tiap tahun rutin memberikan zakat pada satu orang, entah sudah berapa orang yang bapak bantu.Jika hari libur, kami sering mengunjungi Bang Pain, melihat kebun tersebut. Bang Pain menepati janjinya, dia kini sudah berambut gobel. Badannya makin kekar, makin m
Rara, Mencintai Tak Harus Memiliki.Sehari sebelum hari keberangkatan, aku diajak Bang Pain bawa sapi jalan-jalan, sapi yang baru kubeli kami bawa ke padang rumput yang terletak di ujung desa. Ada danau kecil yang airnya hampir mengering. Di dekat itulah kami ikat sapi untuk cari makan sendiri.“Bang, besok kami akan pindah,” kataku sambil memperhatikan sapi limosin kecil tersebut.“Iya, Rara, yang giat belajar, kejar cita-citamu. ““Bang Pain, tak adakah yang mau Abang bilang selain giat belajar?”“Abang“Jangan pacaran dulu gitu, jangan nikah sebelum tamat, entah apa saja,”“Aku mau bilang tinggalkan TV dan video serta kasetnya itu, hehehe,”Ah, Bang Pain tidak peka, padahal aku ingin dia mengikat janji, karena ak
Part 6Bapak, orang yang kukagumi, cinta pertamaku justru tidak setuju aku dengan Bang Pain, anehnya, bukan karena Bang Pain jahat, justru karena terlalu baik. Terlalu peduli pada orang. Menurut bapak, kemampuan manusia itu terbatas, jika terlalu peduli pada alam dan seisinya, bisa lalai pada keluarga sendiri. Itulah yang terjadi pada bapak. Dia bisa membuat orang senang, tapi tidak bisa membuat istrinya bahagia. Sudah dua kali menikah, selalu sama saja.Aku akan coba lupakan Bang Pain, mungkin bapak ada benarnya, aku tak bisa menikah dengan orang yang terlalu peduli pada orang lain. Aku tak ingin bernasib sama seperti Ibu.Akan tetapi makin lama, rasa ini makin cinta, setiap bapak pulang, yang pertama kutanyakan adalah kabar Bang Pain. Bapak bilang Bang Pain makin baik saja, kini dia sudah menjelma jadi petani dan peternak sukses. Itu saja sudah membuatku bahagia, mencintai Bang Pain mungkin tidak harus memi
Part 6Bang Pain dan istrinya sudah pergi, tak ada lagi di rumah, padahal hanya kutinggalkan sebentar untuk belanja. Coba kuhubungi tak diangkat juga. Akhirnya setelah beberapa kali kuhubungi istri Bang Pain menerima teleponku. Dia menjelaskan tentang usiran suamiku. Aku marah.“Mas, kenapa usir tamu?” tanyaku pada suami.“Aku berhak usir tamu yang telah merampas hati istriku,”“Aku selalu di sini bersamamu, Mas, apanya yang dirampas?”“Kenapa rambutnya mirip anak kita?”“Karena aku suka Sanjay Dut, bukan karena Bang Pain,”Bapak mendengar pertengkaran kami, dia mendekat dengan kursi rodanya.“Parlin itu anak angkatku, sudah seperti anak sendiri, lucu jika kamu cemburu pada ipar sendiri,” kata bapak.&n