****Ucok ini sudah keterlaluan, Salsabila masih tiga belas tahun. Itu pula dia incar pakai acara makan bakso segala."Aku mau ikut gak dikasih Abang, Mak," kata Butet lagi.Kuambil HP, niatnya mau nelepon Ucok, akan tetapi belum sempat aku nelepon mereka sudah pulang. Berjalan kaki sambil berpegangan tangan terlihat di ujung jalan."Astaghfirullah," aku istighfar.Dari jauh sudah kelihatan Ucok, mereka sudah tak berpegangan tangan lagi. Belum sempat aku bicara. Salsabila yang duluan bicara."Aku tadi pengen bakso, Tante, kuajak Ucok, aku yang bayar kok," kata Salsabila.Tadinya aku sudah mau marah-marah, akan tetapi melihat wajah keduanya aku jadi tak tega. Akan kunasehati anakku setelah Salsabila pergi.Aku jadi merasa Salsabila tak bisa tinggal di rumah kami, remaja yang rasa ingin tahunya sangat besar, aku takut Ucok dan Salsabila berbuat yang tidak-tidak, apalagi mereka dalam satu rumah. Sementara libur panjang masih tiga hari lagi."Tet, kau temani si Salsabila ya, jangan biarka
Wak Haji masih menunduk, mungkin dia sudah kena mental karena ocehan Butet. Dia lalu berdiri lalu melihat ke arah Bang Parlin yang sudah marah."Baiklah, Parlin, aku menyerah, kukembalikan padamu semua," kata Wak Haji."Ya, memang mau saya ambil alih," kata Bang Parlin."Begini Parlin, tolong hargai saya, tolong namanya pakai nama saya, pondok pesantren kyai haji Syaifuddin Lubis. Itu impian saya sejak dulu," kata Wak Haji lagi."Apalah arti sebuah nama, Wak Haji?" kata Bang Parlin."Kau tidak akan mengerti Parlin, ini semua berkasnya, namanya sudah diganti," kata Wak Haji lagi.Begitu pentingnya sama Wak Haji masalah nama ini, dia sampai marah jika dipanggil tanpa pakai haji, kini dia mau ambil alih pembangunan pesantren hanya karena dia ingin namanya jadi abadi di pondok pesantren tersebut."Maaf, Wak Haji, kami tidak bisa janji," kata Bang Parlin."Kami permisi dulu, Wak Haji," kataku kemudian seraya mengambil semua berkasnya itu.Kami pulang dari rumah Wak Haji, masih berjalan kak
Bupati yang bermasalah, kami akhirnya yang ribut. Aku jadi merasa bersalah juga, dulu sering orang bilang, wanita itu pengingat sejarah. Akhirnya aku merasakannya juga. Padahal kami sudah janji tidak boleh lagi ada Rara di Antara kami, tidak boleh lagu sebut kata Rara di keluarga kami.Setelah makan dan minum, kami lanjutkan perjalanan ke ibukota kabupaten. Pesan dari bupati datang lagi, isinya mengingatkan supaya Salsabila memilih ayahnya. Aku tidak balas lagi, tidak tahu harus turuti yang mana, akhirnya tidak ada yang kubilang. Saat tiba di sekolah, ternyata ibunya Salsabila sudah ada di situ. Begitu kami sampai langsung disambut ibunya Salsabila dengan pelukan. Tak berapa lama kemudian Bupati juga datang ke sekolah tersebut. Jadilah suami istri yang sudah bercerai itu berkumpul. Kami diajak bicara. Entah kenapa aku jadi merasa terjebak di masalah mereka."Salsabila sayang, besok pilih sama Mama ya, besok mama jemput kau kemari, mama sudah bicara dengan guru," kata ibunya Salsabila
Suasana jadi tegang, lalu seorang remaja tanggung muncul dari kerumunan orang."Aku saksi hidupnya, ayahku mati karena sakit perut," kata pemuda itu.Aku kenal pemuda tersebut, ayahnya dulu pernah memintnah kami atas suruhan kepala desa lama. Kemudian ayahnya meninggal karena keracunan miras oplosan. Padahal aku bantu keluarganya dengan zakat saat itu."Kitar usir tukang racun' dari desa ini," teriak Wak Haji lagi.Ini sudah tidak bisa dibiarkan, Wak Haji sudah keterlaluan. Akan tetapi kami tidak bisa melakukan perlawanan dengan situasi seperti ini. "Ini fitnah, kita lihat saja nanti," kata Bang Parlin.Lalu kami keluar dari kerumunan tersebut. Kembali pulang ke rumah. "Bagaimana ini, Bang?" tanyaku pada Bang Parlin."Tunggu dulu, Dek," kata Bang Parlin seraya menatap Ucok."Cok, apakah kau buat sakit perut orang yang mencuri semen itu?" tanya Bang Parlin pada anaknya."Nggak, Yah, gak ada," jawab Ucok."Lalu kenapa orang sakit perut?" tanya Bang Parlin lagi. Berarti bukan juga Ban
Dua teman pemuda itu akhirnya datang juga, satu lelaki sudah agak tua, satu lagi masih kelihatan muda. Mereka lalu duduk bersila di rumah pemuda yang bernama Min tersebut."Begini, Bapak-bapak, semen yang kalian angkut itu adalah semen untuk pembangunan pesantren," kata Bang Parlin memulai pembicaraan."Kami tahu, Bang, aku sebagai sopir dan pemilik truk selalu hati-hati menerima pekerjaan," jawab pria yang agak tua."Hati-hati bagaimana?" tanyaku kemudian."Sebelum saya terima orderan, saya harus pastikan itu bukan barang curian, , Wak Haji menjamin, memang dia pengelola pesantren tersebut, nama pesantrennya saja nama dia," jawab pria itu, "lagian dia haji lo, masa kami gak percaya," sambungnya lagi."Iya, betul, tapi ini jebakan untuk kalian dia kesulitan dana lanjutan pembangunan, aduh, bagaimana ya menjelaskannya?" Bang Parlin sepertinya bingung."Tapi masa dicuri punya sendiri? gak masuk logika?" kata Pria itu lagi"Bukan punya sendiri, punya pesantren, dulu aku yang jadi ketua p
"Bang, lihat ini," kataku pada Bang Parlin seraya menunjukkan chat dari bupati."Bupati yang gerak cepat ya, belum ditanya dia sudah lapor duluan," kata Bang Parlin."Anaknya hilang lo, Bang," kataku lagi."Iya, anaknya hilang, seharusnya lapor polisi, ini laporan ke istri orang," kata Bang Parlin."Apa, Mak, Salsabila hilang?" kata Ucok seraya melihat isi HP-ku "Iya, katanya kabur dari sekolah," jawabku."Ayo kita cari, Yah," kata Ucok."Hilangnya baru tadi siang, bentar lagi pasti pulang," kata Bang Parlin."Ayah kok gitu, gak peduli kali?" tanya Ucok "Dia anak bupati, Cok, banyak yang peduli, gak usah kita cari pun banyak yang cari," kata Bang Parlin.Ucok yang justru jadi sibuk, beberapa kali dia coba hubungi Salsabila, akan tetapi HP-nya tidak aktif. Ucok tampak gelisah."Ayo kita cari, Yah," kata Ucok lagi.Ucok seperti makin gelisah, akan tetapi Bang Parlin cuek saja. Entah kenapa Bang Parlin ini, dia seperti kehilangan kepeduliannya. "Jangan-jangan Butet ikut hilang?" kata
"Kenapa harus istriku?" tanya Bang Parlin lagi."Maaf, jika memang tidak bersedia, kami tidak bisa memaksa, ini memang berbahaya," kata seorang polisi berbaju kameja putih."Baik, saya bersedia," kataku kemudian.Bang Parlin langsung menarik tanganku untuk menjauh. "Dek, ini berbahaya, lagian ini bukan urusan kita, biar saja polisi yang urus," kata Bang Parlin."Aku penasaran, Bang, kenapa harus aku?" kataku kemudian."Itulah, karena mereka kenal Adek, tidak usahlah," kata Bang Parlin lagi."Gak apa-apa, Bang, tenang saja," kataku kemudian.Seorang polisi lalu membawaku ke ruangan khusus, polisi wanita memasangkan semacam kamera kecil di tas yang kubawa."Bu Nia, mohon maaf melibatkan Anda, tapi pelakunya berarti orang yang kenal Anda, bisa berikan gambaran kira-kira siapa yang dicurigai?" kata polisi tersebut.Aku lalu berpikir, siapa kira-kira, Wak Haji kah? Mungkin Wak itu tidak terima kami mempermainkannya. Akan tetapi aku ragu Wak Haji sampai menculik, anak bupati lagi. Ini buka
Sudah ada kapal menunggu kami, sepertinya memang sudah disediakan. Transaksi akan dilaksanakan di tengah laut. Kami sekeluarga ikut naik kapal kecil tersebut. Dua tas besar berisi uang diangkat Bang Parlin dan Ucok.Tanpa banyak tanya kami dibawa entah ke mana. Lalu berhenti di dekat kapal lain."Sini uangnya," teriak seseorang dari kapal lain tersebut."Bebaskan dulu sandera," kataku bergaya bak mafia.Mereka lalu menunjukkan video di hp, tampak Salsabila sudah dibebaskan dan sudah bersama orang tuanya. "Boleh tahu siapa kalian?" tanya Bang Parlin."Hahaha, lucu, mana boleh tahu," jawab pria tersebut."Udah, cepat berikan uangnya?" kata seseorang lagi."Maaf, Bang, kami sebetulnya tidak peduli siapa kalian, toh tugas kami hanya mengantar, tapi kami sekeluarga lagi taruhan, kataku kalian suruhan bupati, kata istriku kalian suruhan ibunya anak itu, anakku ini bilang kalian suruhan Salsabila, yang ini bilang kalian polisi," kata Bang Parlin."Cepatlah, lempar kemari uangnya,' teriak se