Sudah ada kapal menunggu kami, sepertinya memang sudah disediakan. Transaksi akan dilaksanakan di tengah laut. Kami sekeluarga ikut naik kapal kecil tersebut. Dua tas besar berisi uang diangkat Bang Parlin dan Ucok.Tanpa banyak tanya kami dibawa entah ke mana. Lalu berhenti di dekat kapal lain."Sini uangnya," teriak seseorang dari kapal lain tersebut."Bebaskan dulu sandera," kataku bergaya bak mafia.Mereka lalu menunjukkan video di hp, tampak Salsabila sudah dibebaskan dan sudah bersama orang tuanya. "Boleh tahu siapa kalian?" tanya Bang Parlin."Hahaha, lucu, mana boleh tahu," jawab pria tersebut."Udah, cepat berikan uangnya?" kata seseorang lagi."Maaf, Bang, kami sebetulnya tidak peduli siapa kalian, toh tugas kami hanya mengantar, tapi kami sekeluarga lagi taruhan, kataku kalian suruhan bupati, kata istriku kalian suruhan ibunya anak itu, anakku ini bilang kalian suruhan Salsabila, yang ini bilang kalian polisi," kata Bang Parlin."Cepatlah, lempar kemari uangnya,' teriak se
Ternyata Raja serius, dia mau pinjam Butet untuk diskusi. Entah apa yang membuat Raja minta diskusi dengan anak SMP. (Boleh, tapi harus kami dampingi) balasku akhirnya.(Ok, kami yang datang ke sana, atau kalian yang datang ke mari) pesan dari Raja lagi.(Ini lagi menunggu sekolahnya diliburkan karena penculikan itu. Jadi, jika Butet sudah mau masuk sekolah, kami antar ke sana) pesanku kemudian.Keesokan harinya, belum ada kabar dari guru. Sekolah tetap diliburkan karena kasus ini jadi geger, bagaimana tidak geger? Anak bupati diculik di lingkungan sekolah tersebut, sementara sekolah itu salah satu sekolah paling elit se-kabupaten. Anak pejabat banyak yang menimba ilmu di situ."Bang, si Raja kirim pesan, katanya dia mau pinjam Butet," laporku pads Bang Parlin, saat itu kami lagi berduaan di kamar. Hari sudah malam, sekolah mengaji sudah tutup."Mau ngapain pinjam Butet?" tanya Bang Parlin."Katanya mau diskusi seputar kasus penculikan itu," kataku lagi."Lah, kepolisian kekurangan a
Suasana jadi tegang, Wak Haji tetap tidak memperbolehkan jenazah dibawa ke masjid untuk disalatkan. Dia tetap bersikukuh fardu kifayah yang pertama dan kedua tidak sah. Keluarga yang kemalangan jadi emosi, sempat terjadi adu mulut, akan tetapi Wak Haji serta beberapa orang pengikutnya tetap pada pendirian. Wak Haji benar-benar sudah hitam hatinya, segala cara dia lakukan untuk menjatuhkan kami.Akhirnya jenazah tidak dibawa ke masjid, Bang Parlin menyarankan untuk disalatkan di rumah saja. Aku makin geram sama Wak Haji ini."Baik, Wak Haji, kita perang," kataku pada pria tua tersebut."Baik, kita lihat mana yang diikuti masyarakat, ulama teraniaya atau pemimpin zalim," kata Wak Haji.Aku benar-benar sudah marah kali ini, belum pernah aku semarah ini pada wargaku."Tunggu saja, Wak," kataku seraya beranjak dari hadapannya.Baru kali ini dalam sejarah desa ini ada jenazah tidak bisa disalatkan di mesjid. Bahkan yang meninggal bunuh diri masih disalatkan. Wak Haji ini benar-benar ngajak
Suasana rapat jadi riuh, setelah Wak Haji berkata begitu, seperti banyak yang mendukung. Memang tidak bisa dipungkiri, peran Wak Haji di desa sangat banyak, akan tetapi untuk semua pekerjaannya itu dapat bayaran. Jika ada yang meninggal dunia, dia berperan sebagai bilal mayit, jika ada yang nikahan dia berperan sebagai penghulu. Dia juga yang sering baca doa jika ada acara."Saya sudah siapkan pengganti Wak Haji, bukan cuma satu, tapi tiga sekaligus, mereka sudah lulus pesantren, sudah tahu semuanya," kata Bang Parlin seraya menunjuk tiga anak angkatnya."Saya juga sudah persiapkan pengganti kepala desa, pemimpin itu wajib laki-laki, ibaratnya imam salat, haram hukumnya perempuan mengimami laki-laki. Apakah kita mau selamanya berbuat haram?" Wak Haji sepertinya take mau kalah."Sebaiknya masalah ini kita bawa ke pusat, kita serahkan pada bupati," usul seseorang."Tidak bisa, ini masalah masyarakat, bukan masalah bupati, lagi pula bupati itu temannya," Wak Haji langsung menyanggah."Ka
"Bagaimana?" tanya Bang Parlin setelah aku berhenti menelepon. Aku melihat Bang Parlin, dia tampak ikut kepo juga. Akan tetapi timbul niatku ingin mengerjai Bang Parlin. "Ternyata ini berhubungan dengan perselingkuhan," kataku kemudian.Bang Parlin tampak terkejut, matanya mendelik."Ah, pasti bukan hasil otak Butet itu, dia mana tau soal perselingkuhan," kata Bang Parlin."Tapi si Raja bilang otak Butet itu langka, mereka dapat kasus besar karena dibantu Butet," kataku lagi."Kasus apa pula itu?" "Itu dia, perselingkuhan, bupati diduga selingkuh dengan bawahannya," kataku lagi seraya mengamati mimik wajah Bang Parlin."Kan, benar dugaanku, ini pasti ulah Bupati, ngomong-ngomong dia selingkuh dengan siapa?" tanya Bang Parlin."Belum tahu, Bang, gosipnya dengan kepala desa," kataku seraya coba menahan senyum."Oooo," jawab Bang Parlin singkat. "Siapa ya kepala desanya?" aku terus memancing Bang Parlin."Entahlah, kutelepon dulu istrinya ya," kata Bang Parlin seraya mengambil HP-nya
Karena penasaran, aku coba telepon Raja, akan tetapi tidak diangkat, mungkin dia sedang sibuk. Mau menelepon Butet sudah pasti tidak bisa, karena dia lagi sekolah. Akan tetapi aku penasaran.Akhirnya kubuka blokir bapak Bupati, rasa penasaran ini sudah membuat aku melanggar perintah Bang Parlin. Begitu blokir kubuka, langsung kukirim pesan untuk bupati.(Selamat siang, Pak?) pesanku kemudian.Lama juga aku menunggu baru datang balasannya.(Siang juga, ada kepala desa memblokir nomor bupati, luar biasa) balas Bupati.(Mohon maaf, Pak, hanya menghargai suami, tidak baik chat malam-malam) pesanku lagi.(Oh, itu yang membuat aku salut sama kamu, demi menghargai suami, nomor bupati pun diblokir, tahu gak seumur aku pakai HP, baru kali ini aku diblokir, haha) (Maaf, Pak)(Terus apa yang membuatmu membuka blokiran?) Pesan dari bupati lagi.(Penasaran, Pak) (Oh, iya,)(Bagaimana perkembangan kasusnya, Pak?)Terlihat bupati sedang mengetik, lama juga, mungkin dia sedang mengetik chat yang pa
Bang Parlin benar-benar marah, entah kenapa aku bisa lupa sudah blokir Bupati. Kutunjukkan pula sama Bang Parlin. Kadang rasa penasaran memang bisa membuat orang hilang kendali. Rasa penasaran itu kadang berbahaya. Bahkan rasa penasaran bisa saja membuat kita celaka. Inilah yang terjadi padaku."Maaf, Bang," kataku pada Bang Parlin.Tapi sepertinya Bang Parlin sudah marah sekali, dia tak bicara lagi langsung masuk kamar. "Bang, maaf," kataku seraya mengikutinya masuk kamar.Tapi Bang Parlin cuek saja, biasanya jika aku yang salah, aku langsung minta maaf, akan tetapi bila bang Parlin yang salah, seperti sulit baginya untuk minta maaf. Kini dia sudah tidur, atau pura-pura tidur. Aku tidak tahan juga dicuekin."Eh, kepala keluarga teladan, eh, merajuk, eh, bapak-bapak merajuk," kataku seraya menggelitik pinggangnya.Akan tetapi Bang Parlin tidak tertawa. Dia malah berbalik lalu membenamkan wajah di kasur.Aku menyerah, akhirnya keluar jurus andalanku, yaitu mencari kesalahan Bang Parl
Bang Parlin merampas HP dari tanganku, aku lalu tertawa ngakak. Kali ini aku yang kerjai Bang Parlin. Bang Parlin terlibat sibuk melihat isi HP-ku, tentu saja tidak ada apa-apa, karena memang aku tidak ada menelepon."Ini bukan permainan lo, Dek!" Bang Parlin terlihat makin marah."Hehehe," aku hanya tertawa cengengesan."Kamu anggap membuat suami itu cemburu lucu ya?" kata Bang Parlin lagi."Abang bikin gemes saja," kataku lagi di sela-sela tawa."Ah, kamu itu keterlaluan," kata Bang Parlin lagi."Abang buat kek gitu lucu ya, pura-pura nelepon istri Bupati lucu, aku yang buat jadi tidak lucu, Abang itu egois, padahal aku sudah minta maaf, sudah berapa kali aku minta maaf? Mulai kemarin sudah lima kali, begitu sadar salah aku langsung minta maaf, Abang? Apakah pernah minta maaf jika salah? butuh berbulan-bulan untuk minta maaf, Abang egois," kataku akhirnya. "Lo, yang salah kamu, jadi aku yang dimarahi," kata Bang Parlin."Udah, Bang, aku sudah kesal, Abang tidur di luar," kataku