Bang Parlin benar-benar marah, entah kenapa aku bisa lupa sudah blokir Bupati. Kutunjukkan pula sama Bang Parlin. Kadang rasa penasaran memang bisa membuat orang hilang kendali. Rasa penasaran itu kadang berbahaya. Bahkan rasa penasaran bisa saja membuat kita celaka. Inilah yang terjadi padaku."Maaf, Bang," kataku pada Bang Parlin.Tapi sepertinya Bang Parlin sudah marah sekali, dia tak bicara lagi langsung masuk kamar. "Bang, maaf," kataku seraya mengikutinya masuk kamar.Tapi Bang Parlin cuek saja, biasanya jika aku yang salah, aku langsung minta maaf, akan tetapi bila bang Parlin yang salah, seperti sulit baginya untuk minta maaf. Kini dia sudah tidur, atau pura-pura tidur. Aku tidak tahan juga dicuekin."Eh, kepala keluarga teladan, eh, merajuk, eh, bapak-bapak merajuk," kataku seraya menggelitik pinggangnya.Akan tetapi Bang Parlin tidak tertawa. Dia malah berbalik lalu membenamkan wajah di kasur.Aku menyerah, akhirnya keluar jurus andalanku, yaitu mencari kesalahan Bang Parl
Bang Parlin merampas HP dari tanganku, aku lalu tertawa ngakak. Kali ini aku yang kerjai Bang Parlin. Bang Parlin terlibat sibuk melihat isi HP-ku, tentu saja tidak ada apa-apa, karena memang aku tidak ada menelepon."Ini bukan permainan lo, Dek!" Bang Parlin terlihat makin marah."Hehehe," aku hanya tertawa cengengesan."Kamu anggap membuat suami itu cemburu lucu ya?" kata Bang Parlin lagi."Abang bikin gemes saja," kataku lagi di sela-sela tawa."Ah, kamu itu keterlaluan," kata Bang Parlin lagi."Abang buat kek gitu lucu ya, pura-pura nelepon istri Bupati lucu, aku yang buat jadi tidak lucu, Abang itu egois, padahal aku sudah minta maaf, sudah berapa kali aku minta maaf? Mulai kemarin sudah lima kali, begitu sadar salah aku langsung minta maaf, Abang? Apakah pernah minta maaf jika salah? butuh berbulan-bulan untuk minta maaf, Abang egois," kataku akhirnya. "Lo, yang salah kamu, jadi aku yang dimarahi," kata Bang Parlin."Udah, Bang, aku sudah kesal, Abang tidur di luar," kataku
Bu Dewan itu tinggal di komplek perumahan elit. Konon sejak lama sudah tinggal berpisah dengan bupati. Bupati di rumah dinas, Bu Dewan di rumah pribadi mereka. Saat kami masuk komplek tersebut, langsung dihentikan sekuriti di pintu gerbang."Kami mau bertemu Bu Herlina, yang anggota dewan," kata Bang Parlin.Sekuriti itu malah melihat body mobil kami yang memang berlumpur. Mungkin tidak biasa' tamu di komplek ini seperti mobil kami. "Sebentar," kata sekuriti itu seraya menelepon entah siapa."Mohon maaf, Bu Herlina tidak bisa dihubungi, kami tidak bisa izinkan masuk," kata sekuriti tersebut."Kami diundang ya, Pak," kataku kemudian."Maaf, boleh lihat undangannya, atau chat-nya saja, bukan tidak percaya ya, Pak, Rumah Bu Berlina lagi dalam pengawasan, kami ditugaskan untuk melarang setiap tamu yang datang," kata sekuriti itu lagi."Kami diundang lewat telepon, tidak ada chat," kata Bang Parlin seraya menelepon lagi. "Mohon maaf, kami hanya menjalankan tugas," kata sekuriti itu.Akhi
Aku baru ini dengar kata ubung, kadang Bang Parlin ini memang punya kosakata yang tidak dimengerti. Sebenarnya dia yang tidak tahu apa bahasa Indonesianya, jadi Bang Parlin bilang bahasa daerahnya saja. Seperti kata Parsiduduan dulu."Sejenis hewan, Dek," jawab Bang Parlin sambil berbisik juga."Bu Nia tidak tahu ya apa Ubung? Ubung itu hewan yang tak punya sayap, tapi dia selalu ingin terbang. Sejenis tupai tapi bertubuh besar," malah Bu Dewan yang menjawab."Ubung itu selalu ingin terbang, dia akan memanjat pohon kelapa, sampai di atas baru menjatuhkan diri sambil bergaya terbang. Menggunakan tangan dan kakinya sebagai sayap. Tak pernah berhasil dia terbang, selalu jatuh ke bawah, akan tetapi dia akan coba lagi dan coba lagi. Sekarang Ubung sudah hampir punah, hmmm, Bang Parlin, itu pidatoku dulu saat kampanye,' kata Bu Dewan."Iya, Bu, jangan jadi Ubung yang mimpi terbang, tetaplah memijak bumi, sadar diri dan sadar kodrat," kata Bang Parlin.Ah, perkataan dua orang ini seperti sa
Dari sekian banyak orang, pada kamilah bupati percaya menitipkan anaknya. Di satu sisi ini seperti kebanggaan tersendiri bagi kami. Karena berarti kami sudah dipercaya, bahkan oleh bupati sendiri."Maaf, Pak, kami pikirkan dulu," kata Bang Parlin akhirnya. Kali ini aku dan Bang Parlin sepemikiran. Berpikir dulu adalah jawaban yang paling tepat."Salsabila sudah tidak mau sekolah di situ lagi, dia sekolah di rumah sekarang, kami undang guru ke rumah," kata bupati menjawab pertanyaan di hati. Kenapa Salsabila tidak sekolah.Kami pulang dari rumah bupati, karena hari sudah sore, sudah bisa jenguk Butet, sekalian lah kami ke sekolah. Saat kami tiba, Butet lagi olah raga lari di lapangan sekolah tersebut."Lagi olahraga, Mak, mengurangi lemak, capek diejek gendut," kata Butet saat kami sudah bertemu."Bagus itu, Tet, jangan kek mamakmu ya," kata Bang Parlin.Kubalas perkataan Bang Parlin dengan cubitan di perutnya."Butet, apa saja kau bilang sama Bang Raja itu?" tanyaku kemudian."Dia t
Aku selalu takut dengan barang haram, apalagi kini berada di tangsn kami. Bagaimana kalau tiba-tiba polisi datang? Kami lalu lanjut perjalanan, kata Bang Parlin bertemu sungai dulu baru dibuang. Karena jika dibuang sembarangan takut ditemukan orang dan dipergunakan orang lain. Akan tetapi sungai tidak bertemu juga, sungai terdekat adalah jembatan kira-kira dua kilo meter di depan. "Sama saja, Bang bagaimana kalau hanyut, ditemukan orang di hilir," kataku pada Bang Parlin."Tidak akan, kita taburkan di sungai," kata Bang Parlin."Kasihan ikan jadi mabuk pula," kataku lagi."Dari mana adek tahu, ikan mabuk jika sungai ditaburi sabu-sabu?" tanya Bang Parlin."Logikanya orang aja mabuk, apalagi ikan?" "Entahlah, jadi kita apakan biar gak disalah gunakan orang?" tanya Bang Parlin lagi."Buang saja selesai, kok malah mikirin orang?" aku kesal juga. Kami pasti sudah diintai ini, mereka hanya menunggu saat yang tepat, kulihat ke belakang, yang ada mobil truk mengikuti. Kulihat di depan tid
Bang Parlin melihat ikan tersebut, ikannya kecil-kecil khas ikan sungai. Suamiku itu lalu melihatku, tatapan matanya aneh. Dia lalu menarikku masuk rumah."Dek, apa iya ikan mabuk ditaburi narkoba?" tanya Bang Parlin."Gak tau, Bang, bisa saja, sungainya kan kecil," kataku kemudian."Terus, yang makan ikan itu apa ikut menikmati narkoba?" tanya Bang Parlin lagi."Gak tau, Bang, macam ahli narkoba saja Abang bikin aku," sahutku seraya kembali keluar rumah.Bang Parlin mengikuti, lalu dia ikut gabung sama ibu-ibu memilih sayur."Bang, ikan sungainya bungkus, samaku semua," kata Bang Parlin."Siap, Bang," tukang sayur itu tampak semangat."Benar-benar rezeki ini, sudah ikannya mudah ditangkap, menjualnya pun cepat, Alhamdulillah," kata tukang sayur tersebut.Bang Parlin benar-benar memborong ikan tersebut. Lalu dia bawa ke rumah. Terus gali tanah di belakang, ikan itu dia kuburkan semuanya. Padahal dipikir-pikir, yang tercemar kan air, tidak mungkin secepat itu ikannya ikut tercemar. "N
Hidup rasanya tidak tenang, selalu ada rasa khawatir mereka akan membalas lagi. Hampir setiap hari kuingatkan pada dua anakku untuk berhati-hati. Aku sangat takut mereka melukai atau menjebak dua anakku tersebut.Pagi itu aku berangkat mengantar Ucok buru-buru, waktu sudah terjepitKuraih HP yang di atas meja, langsung ke motor dan tancap gas menuju sekolah Ucok. Ketika Ucok sudah kuantar, ada getaran di tasku, ternyata HP yang bergetar. Kulihat ada panggilan dari Mamak dan itu fotoku. Ternyata aku salah ambil HP, yang kubawa ternyata HP Bang Parlin."Iya, Bang, aku salah bawa HP," kataku kemudian setelah hubungan telepon tersambung."Oh, iya, Abang sudah di kebun ini," jawab Bang Parlin."Ya, udah, HP Abang ini dulu kupakai," kataku kemudian.Dari sekolah aku langsung ke kantor desa. Tidak ada kerjaan, para perangkat desa juga belum ada yang datang. Iseng kubuka HP Bang Parlin. Ke WA dan melihat-lihat pesan.(Masih ditungguin uluran belalai, aku masih terjebak' di lumpur) pesan dar
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga