Aku selalu takut dengan barang haram, apalagi kini berada di tangsn kami. Bagaimana kalau tiba-tiba polisi datang? Kami lalu lanjut perjalanan, kata Bang Parlin bertemu sungai dulu baru dibuang. Karena jika dibuang sembarangan takut ditemukan orang dan dipergunakan orang lain. Akan tetapi sungai tidak bertemu juga, sungai terdekat adalah jembatan kira-kira dua kilo meter di depan. "Sama saja, Bang bagaimana kalau hanyut, ditemukan orang di hilir," kataku pada Bang Parlin."Tidak akan, kita taburkan di sungai," kata Bang Parlin."Kasihan ikan jadi mabuk pula," kataku lagi."Dari mana adek tahu, ikan mabuk jika sungai ditaburi sabu-sabu?" tanya Bang Parlin."Logikanya orang aja mabuk, apalagi ikan?" "Entahlah, jadi kita apakan biar gak disalah gunakan orang?" tanya Bang Parlin lagi."Buang saja selesai, kok malah mikirin orang?" aku kesal juga. Kami pasti sudah diintai ini, mereka hanya menunggu saat yang tepat, kulihat ke belakang, yang ada mobil truk mengikuti. Kulihat di depan tid
Bang Parlin melihat ikan tersebut, ikannya kecil-kecil khas ikan sungai. Suamiku itu lalu melihatku, tatapan matanya aneh. Dia lalu menarikku masuk rumah."Dek, apa iya ikan mabuk ditaburi narkoba?" tanya Bang Parlin."Gak tau, Bang, bisa saja, sungainya kan kecil," kataku kemudian."Terus, yang makan ikan itu apa ikut menikmati narkoba?" tanya Bang Parlin lagi."Gak tau, Bang, macam ahli narkoba saja Abang bikin aku," sahutku seraya kembali keluar rumah.Bang Parlin mengikuti, lalu dia ikut gabung sama ibu-ibu memilih sayur."Bang, ikan sungainya bungkus, samaku semua," kata Bang Parlin."Siap, Bang," tukang sayur itu tampak semangat."Benar-benar rezeki ini, sudah ikannya mudah ditangkap, menjualnya pun cepat, Alhamdulillah," kata tukang sayur tersebut.Bang Parlin benar-benar memborong ikan tersebut. Lalu dia bawa ke rumah. Terus gali tanah di belakang, ikan itu dia kuburkan semuanya. Padahal dipikir-pikir, yang tercemar kan air, tidak mungkin secepat itu ikannya ikut tercemar. "N
Hidup rasanya tidak tenang, selalu ada rasa khawatir mereka akan membalas lagi. Hampir setiap hari kuingatkan pada dua anakku untuk berhati-hati. Aku sangat takut mereka melukai atau menjebak dua anakku tersebut.Pagi itu aku berangkat mengantar Ucok buru-buru, waktu sudah terjepitKuraih HP yang di atas meja, langsung ke motor dan tancap gas menuju sekolah Ucok. Ketika Ucok sudah kuantar, ada getaran di tasku, ternyata HP yang bergetar. Kulihat ada panggilan dari Mamak dan itu fotoku. Ternyata aku salah ambil HP, yang kubawa ternyata HP Bang Parlin."Iya, Bang, aku salah bawa HP," kataku kemudian setelah hubungan telepon tersambung."Oh, iya, Abang sudah di kebun ini," jawab Bang Parlin."Ya, udah, HP Abang ini dulu kupakai," kataku kemudian.Dari sekolah aku langsung ke kantor desa. Tidak ada kerjaan, para perangkat desa juga belum ada yang datang. Iseng kubuka HP Bang Parlin. Ke WA dan melihat-lihat pesan.(Masih ditungguin uluran belalai, aku masih terjebak' di lumpur) pesan dar
Pov ParlinSalah bawa HP ternyata bisa jadi masalah. Bermula dari kepo pada isi HP Nia, apa saja pesan bupati padanya. Kubuka blokir nomor bupati. Kucoba kirim pesan singkat.(P) Entah kenapa saat datang pesan WA aneh dari bupati, kubalas saja dengan "siap, Pak!" Padahal isi pesannya tidak kumerngerti sama sekali. Tiba-tiba ingin salat Jum'at di masjid terbesar di kabupaten itu. Mesjid yang baru dua tahun diresmikan. Nia-istriku hilang saat aku salat Jumat. Padahal dia menungguku di warung depan mesjid."Ibu tadi yang duduk di sini mana, Bu?" tanyaku pada pemilik warung."Oh, sudah pulang sama temannya, Pak, jawaban wanita paruh baya tersebut."Pulang? sama siapa?""Itu tadi temannya tiga orang, satu laki-laki, dua perempuan," jawab ibu tersebut.Siapa pula itu, kuambil HP dan coba menghubungi Nia, ada nada dering, berarti HP-nya aktif, akan tetapi tidak diangkat. Aku coba terus hubungi, akan tetapi bunyinya justru datang dari mobil. Nia tidak bawa HP, alat komunikasi itu tertingga
"Orang berpengalaman bagaimana?" tanyaku lagi suaraku meninggi."Maaf, Bang Parlin, kamu jadi terlibat sejauh ini, ada seorang perwira polisi yang tidak bisa terima, entahlah, aku juga sudah tidak tahu ini masalah apa," kata Bu Dewan lagi.Bu Dewan saja tidak mengerti, apalagi aku. Ah, ini tak bisa dibiarkan. Aku merasa terpaksa melakukan apa yang aku bisa. Akan kulawan dengan caraku.HP Nia berbunyi lagi, ada panggilan dari nomor tak dikenal, segera kuterima dan..."Hallo," "Jika ingin bicara tentang istri Anda, datang ke mari," katanya seraya menyebutkan tempat, tempatnya justru loby hotel. Kenapa bukan kantor polisi, setahuku tidak ada kantor KPK di kabupaten ini."Baik, aku datang," kataku langsung saja. Tak ada yang bisa diajak, Raja lagi di Medan, akhirnya aku dan Butet saja yang pergi. Saat tiba di tempat yang ditentukan. "Ayah, boleh aku bicara nanti," kata Butet."Silakan, Tet," "Ayah, jangan mau orang itu yang tentukan tempat, cari tempat yang diawasi cctv," katar Butet
Di dalam mesjid, aku ambil tempat duduk di sudut, sedangkan Butet duduk di shaf perempuan. Mulai melakukan ritual, salat sunnah dua rakaat, terus duduk bersila sambil berzikir. Membersihkan pikiran, fokus ke zikir dan doa.Makin larut dalam zikir, keringat mulai membanjiri tubuh. Aku sudah tak ingat waktu, tak ingat dunia, fokus ke zikir dan doa. Sampai kemudian bahuku ditepuk seseorang, aku menoleh."Khusuk sekali zikirnya, Pak, sampai lima kali kutepuk bahu bapak baru nyadar, kata seorang pria tua bersorban."Oh, maaf, Pak," jawabku kemudian."Maaf mengganggu, tapi ini sudah jam dua belas, waktunya mesjid ditutup, saya pengurus mesjid ini," kata bapak itu lagi.Kulihat ke belakang, Butet duduk sendirian di situ. Aku justru merasakan tidak aman jika harus keluar dari mesjid, Butet benar, mesjid ini tempat teraman."Maaf, Pak, bolehkah saya di sini sampai subuh?" kataku kemudian."Boleh saja sebenarnya, Pak, tapi dari jam dua belas malam sampai menjelang subuh, mesjid harus dikunci.
Butet naik ke mobil, kami pun keluar dari tempat itu. Butet memang kadang keterlaluan, sebelum kami pergi, dia masih sempat mengancam."Jangan ada yang macam-macam ganggu kami ya, atau kalian semua ikut sakit perut," kata Butet.Aku mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang, dalam perjalanan Raja menelepon, katanya dia sudah kembali dari Medan. "Udah, Raja, kami tidak mau terlibat lagi, tolong jangan ganggu Butet," kataku saat dia meminta kami menunda pulang. Semuanya ini memang berasal dari pikiran Butet, Raja yang meminta pendapat Butet tentang penculikan, sehingga tertuduh seorang perwira muda, yang ternyata selingkuhan ibu dewan, yang juga punya koneksi ke pusat. Mulai dari percobaan jebakan narkoba, sampai KPK gadungan,."Iya, Pak, maaf, aku telah membuat kalian terlibat," kata Raja."Maaf juga, Raja, tapi tolong selesaikan semua, aku sudah memudahkan pekerjaanmu," kataku lagi."Memudahkan bagaimana, Pak?""Lihat siapa yang sakit perut, yang sakit perut berarti terlihat, soal
Pov NiaAku dibawah entah ke mana, sampai akhirnya tiba di salah satu gedung. Terus dibawa ke sebuah ruangan. Seorang wanita datang menemuiku."Singkat saja ya, kami berikan tawaran untuk Anda, temui bupati, terus serahkan uang ini, kamu dapat keringanan hukuman," kata Wanita tersebut."Kalian mau jebak bupati? kenapa aku yang dijebak?" tanyaku kemudian."Terserah Anda mau bilang bagaimana, ada kemungkinan Anda bebas jika bupati dapat di OTT,' katanya lagi."Kenapa orang yang serahkan uang itu padaku tidak ditangkap?" tanyaku kemudian."Pertanyaan yang cerdas, jawabannya akan Anda ketahui jika Anda bersedia antar uang ini," katanya lagi."Oh, yang antar uang sengaja tidak ditangkap ya? Permainan kalian licik," "Bagaimana? Saya tidak akan tawarkan ini dua kali, kami sudah cukup bukti Anda suruhan bupati," kata wanita itu lagi."Jawaban saya, tidak, sebaiknya cepat bebaskan saya, atau kalian dapat karmanya," kataku kemudian. Aku yakin, jika aku hilang, Bang Parlin akan membuat mereka s