Mita seorang lulusan cumlaude di perguruan tinggi ternama harus menahan malu karena sudah satu tahun menjadi pengangguran. Nasibnya begitu jelek dibanding teman-temannya yang semasa sekolah dan kuliah memiliki nilai pas-pasan. Oleh karena itu ambisinya untuk mendapatkan pekerjaan begitu besar. Dia menerima tawaran pekerjaan dengan gaji yang cukup besar yaitu menjadi asisten pribadi tuan muda kaya yang tampan, menjengkelkan dan otoriter. Lalu kerepotan apa saja yang dialami Mita selama menjadi asisten pribadi tuan muda Vano? Yuk simak selengkapnya disini!
View MoreMalu itu menurut Mita adalah ketika mendapat gelar sarjana cumlaude di universitas ternama tetapi selama satu tahun belum juga mendapat pekerjaan.
Asli, malu banget bawaannya. Ditambah teman-teman yang lain sudah bekerja, tetangga sebelah sudah menikah dan keponakannya yang baru lulus dari sekolah menengah kejuruan bahkan sudah diterima kerja di perusahaan elit.
Rasanya Mita ingin menenggelamkan kepalanya di bak kamar mandi atau mencuri mesin waktu si kucing biru kebanggaan Jepang. Kemudian menghilang dari peradaban dunia agar tidak mendengar gosip-gosip kompor tetangga sebelah.
Menghilang dari peradaban berarti harus mati dong?
Haduh, bahkan Mita bukan seorang alim yang taat kepada Tuhan yang Maha Esa. Ibadah lima waktu pun masih bolong-bolong. Malah nggak pernah ibadah. Jadi, memilih menghilang dari peradaban sepertinya bukan solusi yang pas.
Lalu apa? Meminta si kucing biru untuk membawa ke masa depan juga tidak akan menjamin kebahagiaan. Mita sendiri bahkan nggak tau masa depannya cerah atau malah suram. Lalu meminta kembali ke masa lalu? Nggak deh, masa lalu nya datar, monoton hanya seorang gadis pecandu belajar demi ambisi peringkat satu.
Dan kalau boleh jujur, Mika sangat menyesal dengan ambisinya di masa lalu yang hanya berpusat soal peringkat akademik atau nilai-nilai yang sempurna. Karena ternyata semua itu nggak menjamin, sedangkan teman-temannya yang semasa sekolah atau kuliah dengan nilai yang nggak seberapa malah memiliki nasib yang bagus. Dapat pekerjaan di tempat-tempat elit, atau minimalnya sudah bekerja. Lah dirinya apa atuh masih pengangguran nan menyedihkan.
Setiap pagi beberes rumah. Selesai itu rebahan, membuka email untuk mengecek perkembangan cv yang dia kirimkan ke banyak perusahaan. Berharapnya ada satu email yang berisi kabar bahagia, tapi nggak ada, satu persatu balasan email isinya menolak semua. Setidaknya ada satu kesempatan untuk ikut wawancara kek ... ini nggak ada loh. Benar-benar menolak semua.
Pantas kan bila Mita ingin menenggelamkan kepalanya di bak kamar mandi?
“Mit, tau nggak? Anak keduanya Bu RT si siapa itu namanya, Rika, iya Rika dapet kerjaan di pabrik tapi di kantornya, keren ya, padahal dia masih muda loh, kerja sambil kuliah, dia membiayai kuliahnya sendiri.”
Mita bergumam pelan, tiba-tiba nasi yang dia telan bagai gumpalan batu akik milik bapaknya. Dia nggak mau melihat ibunya.
Ketahuilah bahwa Ibu Sri adalah ibu kandung rasa ibu tiri. Ucapannya lemah lembut namun dilain waktu akan menusuk tulang. Apalagi ketika membahas prestasi-prestasi anak tetangga, saudara atau anak teman arisannya yang sudah bekerja maupun menikah. Wanita Jawa tulen yang harusnya lemah lembut nan baik hati itu akan berubah menjadi bak ibu tiri bawang putih.
“Pinter ya si Rika, udah bisa cari uang sendiri.”
Benar. Ternyata benar, kalau Mita bukan makan nasi tetapi makan batu akik. Mana nyangkut di tenggorokan. Perih serasa berdarah.
“Kamu nikah aja sana, cari mantu buat ibu yang konglomerat.” Ibu langsung geloyor pergi meninggalkan Mita setelah berkata demikian.
Jahat sekali everybody.
Untung Mita orangnya nggak baperan. Bisa dibayangkan kalau dia suka ambil hati ucapan ibunya. Bisa-bisa dia kena mental dan jadi tinggal di rumah sakit jiwa. Stres, depresi hingga bunuh diri. Sudah cukup tentang pekerjaan saja yang membuat mentalnya sering down. Ucapan Ibu Sri anggap saja sebagai angin lalu. Yang baik ya didengarkan yang nggak baik ya nggak usah di dengarkan.
Tetapi ya semenjak Mita jadi pengangguran yang selalu stay di rumah, Ibu menjadi kubu sengit yang menatap Mita dengan sorot mata pedang ingin menghunus lawannya. Siap berperang untuk mengganggu mental anak sulungnya.
“Cepet-cepet cari kerja sana mbak, gue takut aja sih lo jadi gila di rumah.”
Remaja laki-laki berparas tampan, macho, hitam manis yang merupakan adik satu-satunya Mita itu mengambil duduk di samping kakaknya. Dia mengambil sendok di genggaman Mita dan dengan santai menyantap makan siang milik kakaknya.
Hansel namanya. Beberapa orang bilang Hansel seperti orang keturunan India, hidung mancung, hitam manis, sorot mata tajam, tinggi dan macho. Jika mereka berdua disandingkan pun orang yang nggak mengenal akan mengira bahwa mereka bukan saudara kandung. Jelas saja, karena Mita seperti keturunan China. Mata sipit walaupun kulitnya sawo matang.
Dulu Mita mengejek bahwa Hansel bukan anak kandung ibu dan bapak karena nggak mirip. Ternyata dia juga nggak mirip dengan ibu dan bapaknya yang Jawa tulen.
Ternyata eh ternyata, Ibu saat mengandung Mita lagi gencar-gencarnya suka artis China dan waktu mengandung Hansel suka banget dengan artis India. Jadilah keturunan China dan India di keluarga Jawa Tulen ini.
“Dateng-dateng memperkeruh suasana hati gue aja lo, dek.”
Mita membiarkan Hansel mengambil alih makanannya. Adiknya itu hanya berkaus singlet pasti baru pulang sekolah.
“Soalnya ibu lama-lama makin ngeri.”
“Nah kan, lo ngerasain kan?”
“Kalau sama gue sih enggak, tapi sama lo kayak musuh bebuyutan.” Hansel memperjelas jika sikap ibu kepadanya dan Mita sangatlah berbeda.
Anak bontot yang masih sekolah jelas menjadi anak kesayangan tanpa celah kesalahan dan akan selalu di puja puji. Dulu juga Mita sempat menjadi anak kesayang. Tapi sekarang dia jadi anak bahan ghibahan ibu sendiri.
Nasib oh nasih. Kapan engkau baik kepada anak yang malang ini.
Mita ingin mendapat kerja titik nggak pakai koma. Dia nggak mau lagi mencari mesin waktu kucing biru kebanggaan Jepang. Dia maunya dapat kerja dan bekerja di masa sekarang. Agar cepat menyudahi masa pengangguran selama satu tahun silam yang sedikit demi sedikit mulai membuatnya gila.
Terimakasih untuk yang telah meluangkan waktu mengikuti kisah Mita dan Vano. Seperti halnya dalam hidup yang tak pernah ada akhir hingga kematian datang. Begitu pula kisah ini, yang sebenarnya belum berakhir. Bahkan Vano dan Mita baru mengawali kisahnya ketika ini berakhir. Maka dari itu, biarkan mereka melaluinya sendiri. Merajut kisah selanjutnya dengan hanya ada mereka sendiri. Sekali lagi, terimakasih untuk semuanya. Maaf jika sang pencipta cerita ini banyak mengulur waktu dan berakhir dengan cara yang mungkin membuat kalian kurang puas. Tetapi dengan cerita yang kurang sempurna ini saya berharap kalian semua bisa menikmati. Terlepas dengan saya yang memang suka ngaret update :) Terimakasih banyak. Salam hormat dari Mita, Vano dan author.****
"Ikuti kata hati, jangan menyangkalnya." Mita baru tau jika Ibunya bisa menasehati dengan baik. Ia pikir hanya Bapak yang bijak dalam menasehati. Saat itu setelah selesai acara makan siang bersama, Ibu berkata dengan kalimat itu sebelum keluar. Mita bingung tentang maksud perkataan Ibunya. Namun ketika dipikir lagi, ternyata memang masih ada problem dalam dirinya. Persis yang dikatakan Ibu, bahwa dia terus-terusan menyangkal perasaannya sendiri. Bukan tanpa alasan, sebab ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Yaitu menyakiti orang lain. Dulu ia benar-benar menyakiti orang yang sangat baik kepadanya. Atas dasar kelabilannya lah jadi banyak orang yang dia repotkan. Mita nggak ingin itu terjadi, maka dengan membohongi dan menyangkal dirinya sendiri adalah senjata untuk itu. Tetapi semakin menyangkal, semakin pula ia tak bebas dengan dirinya. Ada perasaan cemas dan juga khawatir. Tetapi atas dasar menghukum diri sendiri pula, Mita memantapkan diri untuk tetap baik-baik saja.
Siang hari kali ini panas menyengat membakar kulit. Di jalanan komplek tak ada orang yang bersenang hati berjalan di bawah teriknya matahari, bahkan di dalam rumah pun terasa sekali gerahnya kalau nggak ada kipas angin. Lebih bagusnya ac, namun rumah Mita bukanlah rumah mewah dengan adanya ac di setiap ruangan. Mereka mengandalkan angin dari kipas angin. Bukan hanya satu atau dua saja kipas terpasang, bahkan di ruang tamu ada, di ruang tengah dan di setiap kamar juga ada. Namun karena hari ini sangat panas, jadi gadis itu menyeret salah satu koleksi kipas berdiri menuju ruang makan. Nggak berat sama sekali, dia bisa santai tanpa perlu bantuan, namun karena seruan Ibu yang menyuruhnya untuk cepat membuat langkah kaki gadis itu semakin cepat. "Ayo duduk Van." Ibu Sri mempersilahkan si tamu untuk duduk di salah satu kursi makan. Sedangkan Mita hanya diam sembari menyalakan kipas angin yang tadi dia bawa. "Karena hari ini cuman buat satu pesanan jadi nggak begitu banyak masaknya," kata
Malam semakin berlalu, jam yang berdetak di ruang keluarga pun hingga terdengar jelas. Sedangkan itu di satu kamar nampak remang hanya diterangi lampu tidur. Keranjang berdecit kala seseorang di atasnya merubah posisi. Kembali berdecit saat lagi-lagi berganti posisi. Mita seketika menendang selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Merasa kesal akibat matanya yang tak kunjung tertutup. Dia mengambil bantal dan menutup wajahnya. Lagi-lagi nggak bisa tertidur. Dia frustasi dan mengembalikan bantalnya ke tempat semula. Sorot matanya seketika menerawang langit-langit kamar tak bisa tenang. Pikirannya berkelana pada satu momen siang tadi. "Tolong buka hati untuk saya." "Jangan menghindari saya." Argh! Rasanya Mita ingin berteriak kuat-kuat. Seketika jantungnya kembali berdegup nggak normal saat mengingat lagi momen itu. Dia memandang langit-langit kamar dengan menerawang. Tapi sesaat kemudian bibirnya terangkat ke atas secara otomatis. Mita tersenyum, namun kala tersadar ia memukul k
"Kok bisa salah kirim?" tanya laki-laki itu yang berkali-kali lipat tampan dibanding yang dulu. Mita menjadi gugup. Dia berdehem dan menyesap minumannya sedikit. "Nggak tau, saya mau kirim pesan ke Farhan," ucapnya berusaha tampak biasa saja. Dia sempat memperhatikan mantan bosnya yang sedang berbicara kepada salah satu pelayan yang lewat. Memesan kopi dan cemilan, lalu setelahnya kembali memperhatikan gadis di depannya. Dan secepat kilat Mita beralih, dia nggak ingin tertangkap basah sedang memperhatikan mantan bosnya. "Memang nama kontak saya pakai huruf F sampai ketuker seperti itu?" "Enggak," Mita lantas menggelengkan kepalanya. "Mungkin lagi kurang fokus," ujarnya kemudian tampak acuh. Sudah terlanjur kejadian juga. Mau nggak mau Mita harus menghadapinya. Berhadapan dengan mantan bosnya dan juga berbincang memang bukan rencana awalnya. Namun bagaimana lagi. Sebenarnya sih malu karena bisa salah kirim pesan. Tapi ya sudah. Mita kembali menghela nafasnya. Beruntung Vano ngga
Waktu kian berlalu. Pagi hari terasa cepat sekali datang. Setiap jam dan menit kian berjalan bagai jarum detik yang cepat. Setidaknya itu yang dirasakan Mita. Entah orang lain merasakan gimana, namun dia merasa waktu cepat sekali berlalu.Hari-harinya dilalui dengan kegiatan yang membosankan. Pagi hari berberes membantu Ibu, siang hari jika hanya ingin di rumah ya tetap di rumah atau jika ingin keluar ya keluar jalan-jalan sendirian, lalu sore hari Mita beberapa kali berjalan-jalan di area komplek, menyapa tetangga yang berpapasan atau hanya menikmati udara segar di taman.Mita belum bekerja, ia kembali menjadi pengangguran dan sedang mencari pekerjaan. Rasanya dia kembali ke awal setelah semuanya terjadi, seperti menjadi pengangguran dan mencari pekerjaan. Jika sudah mendapatkan pekerjaan dia akan bekerja dan entah bagaimana kehidupan selanjutnya, apa dia akan mendapat rasa sakit lagi atau malah mendapatkan kebahagiaan. Sepertinya itu hanya Tuhan yang tau. Yang jelas dirinya sudah me
"Tapi emang sekarang kamu cantik banget loh," ucap seorang wanita anggun dengan senyuman mengembang. Ia menggoda gadis muda yang ada di hadapannya. Kini mereka sedang duduk menikmati hidangan yang di sediakan. Sebab siang terus menjelang. Saat ini saja sudah akan menjelang pukul dua belas. "Tante jangan begitu, aku jadi malu loh," balas gadis itu dengan pura-pura menutup sebagian wajahnya. Tak ayal Tante Gina terkekeh merespon. "Apa kamu bisa malu Mit?" "Aih," Mita segera menoleh pada Om Iskandar. "Gini-gini banyak yang bilang aku pemalu kok Om." "Masa sih?" "Iya loh bener," balas Mita mencoba meyakinkan. Namun ia tersenyum ketika ia mendapat sorot mencurigakan dari Om Iskandar. Akhirnya mereka terkekeh bersama membuat dua orang yang menyaksikan interaksi mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Vano nggak bisa berkata-kata lagi jika Mita sudah bergabung dengan papanya. Gadis itu sejak awal memang sudah nyambung dengan papahnya yang kerap receh. "Dengar ya Mit, kamu pasti seben
Pagi yang penuh haru dengan berjalannya ijab kobul yang sakral telah berlalu. Kini para tamu sedang menikmati jalannya acara hiburan yang dibawakan oleh mc. Mita hanya duduk di salah satu kursi, senyum merekah tak henti-hentinya terbit di bibirnya. Ia menyapa dan sempat berbincang dengan beberapa kenalan kuliahnya dulu. Yang tak di sangka-sangka bahwa salah satu teman sekelas Bianca yang dia kenal dulu cupu, ternyata telah memiliki suami dan anak. Gadis itu sedikit kaget, namun begitulah roda kehidupan. Nggak ada yang tau pasti jalan hidup, nasib dan juga takdir. "Jadi, lo sendiri Mit?" tanya Farhan. Mita sudah berganti tempat duduk dan berkumpul dengan rombongan geng nya saat bekerja di Miyora dulu. Ada Bang Cakra dan istrinya, Mbak Amira dengan anaknya dan juga Farhan dengan pacarnya. Hanya Mita yang nggak memiliki gandengan. Ia jadi menyesal telah menyapa dan ikut duduk. "Gue paham lo lagi nyindir gue." "Dih, sensi amat lo, jomblo sih," ejek Farhan yang kemudian mendapat tepu
"Bu, pantas nggak?" Mita masuk ke dapur sembari menenteng slingbag hitam miliknya. Ia sudah berdandan rapih dan menata rambutnya. Dengan sentuhan make up serta pakaian kebaya kekinian, gadis itu menghadap Ibu Sri yang sedang memberesi meja makan. "Pantas," balas wanita Jawa tulen itu. "Emang mau berangkat jam berapa?" Ia melirik sekilas pada anak sulungnya, kemudian kembali sibuk mengangkat masakan sore yang masih bisa di hangatkan. "Jam 6, sekalian nanti nunggu ijab," balas Mita. Dia memperhatikan jarum jam di arloji yang dia kenakan. Masih pukul lima lewat tiga puluh menit dan dia sudah serapih ini. Mita memang sudah mempersiapkan dengan matang. Bangun pagi buta dan berdandan, nanti jam enam dia akan berangkat menuju sebuah hotel yang digunakan untuk acara pernikahan sahabatnya yaitu Bianca. Ah mengingat Bianca jadi Mita ingat obrolan mereka semalam. Sahabatnya itu mengatakan sangat gerogi dan nggak bisa tidur. Segala keluh kesah Bianca telah Mita dengarkan. Bahkan sahabatnya i
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments