Keesokan hari, pagi menjelang. Masih petang sebab baru pukul lima dini hari. Jika biasanya Mita bangun pukul enam, kali ini dia terpaksa mengatur alarm nya untuk berbunyi jam lima dini hari. Lalu bersiap-siap mau berangkat bekerja.
Demi apa, nggak ada pekerja kantoran yang berangkat pagi-pagi buta seperti dirinya. Jam setengah enam, ketika matahari belum nampak, yang biasanya warga Jakarta umumnya sedang bergumul dengan selimutnya, tetapi Mita sudah mengendarai motor scoopy fi sporty miliknya menuju rumah bos.
Jika bukan karna gajinya yang besar. Gadis mata sipit itu nggak akan menerima tawaran kerja, apalagi bosnya itu CEO muda, tuan muda kaya seperti Vano.
Bukannya apa-apa, Mita sudah bertekat untuk bekerja secara profesional. Tetapi Vano ada saja permintaannya.
Tadi malam, Vano menghubungi jika dia harus datang sewaktu subuh, kemudian menghubungi lagi jam lima harus berangkat dari rumah dan terakhir menghubungi terserah mau berangkat jam berapa yan
Dalam hidup Mita, nilai akademik dan peringkat teratas adalah hal yang terpenting. Dia belum pernah berpengalaman dekat dengan pria. Bahkan bisa dibilang anti dengan hubungan percintaan. Karena baginya dulu, cinta atau pacaran sungguhlah mengganggu. Dia nggak ingin merusak nilainya hanya karena sibuk memikirkan pria. Tetapi ketika umur menginjak lebih dewasa, terlebih ketika lulus kuliah. Batinnya mulai menjerit ketika teman-temannya pamer pacar maupun gebetan atau seenggaknya cerita-cerita tentang pria yang disukai, cerita tentang tipe pria hingga keuwuan mendapatkan perhatian pasangan. Lalu apa, Mita nggak pernah ada pengalaman suka dengan pria lebih dari kagum. Kekagumannya hanya sebatas, wah dia tampan, wah dia keren. Dia pun nggak pernah ada pengalaman memperhatikan setiap inci tubuh seorang pria. Hansel dan Bapak nggak termasuk, karena Mita juga nggak pernah memperhatikan sampai terkagum-kagum melihat otot-otot yang menonjol. Tetapi sekarang, ke
"MITA!" Suara menggelegar yang berasal dari dalam kamar mandi mengagetkan seseorang yang sedang berjongkok menyender di tembok sembari memainkan ponsel. Bahkan sangking terkagetnya ponselnya langsung terjatuh di atas karpet. Reaksi lainnya, dia langsung berdiri setelah mengambil ponsel android butut merk samsung versi lama, seirama dengan Vano yang muncul dari balik pintu kamar yang tadinya tertutup. Raut wajahnya kesal memandang gadis muda dengan mata sipitnya itu. Salah apa lagi Mita coba. "Ada apa pak?" tanyanya dengan raut yang bingung. "Kamu pikir saya mau menghadiri pemakaman, sampai kamu pilih semua pakaian kerja warna hitam?" Vano sangat sinis membuat gadis muda itu menggaruk belakang kepalanya yang nggak gatal. Jadi karena masalah baju? Beruntung tadi Mita nggak sampai jantungan. "Emm ... saya kira Pak Vano sukanya warna hitam." "Sotoy!" Setelah itu pintu dihadapan Mita tertutup dengan keras. Lagi-lagi me
"Mita," suara pelan seorang laki-laki menyusup di gendang telinga orang yang dipanggil. Mita mendongak, jelas sekali matanya mengantuk. Di depannya seorang pria berambut klimis tersenyum menatapnya. Billy, pacar Bianca temannya. Segera Mita membalas senyum manis itu. "Ada apa kak?" tanyanya. Dia melirik sekilas ke meja kerja Vano yang berjarak nggak jauh dari meja kerjanya. Mita dan Vano berada di ruangan yang sama, hanya saja terdapat sekat kecil agar Vano nggak begitu melihat apa yang sedang di lakukan Mita. Seperti beberapa menit yang lalu sebelum Billy menghampirinya. Gadis mata sipit itu dengan mati-matian menahan rasa kantuk yang mendera. Bagaimana enggak, Vano dengan khidmat bekerja tanpa bisa diganggu gugat. Jadilah Mita berdiam diri di mejanya, bahkan dia nggak berani menimbulkan suara yang mana bisa saja membuat Bosnya mengamuk. Tapi untungnya Vano nggak melihat Mita yang menelungkupkan kepalanya di atas meja tadi. "Mau bikin kopi nggak?" Bi
Dulu Mita memang selalu mengesampingkan pengalaman dan lebih mengejar nilai akademik. Sehingga dia nggak pernah menikmati setiap momen waktu datang ke tempat yang baru. Tetapi sekarang nggak akan lagi. Gadis bermata sipit itu menatap takjub pada sekelilingnya yang terdapat alat-alat berat dengan fungsi yang berbeda-beda. Mesin-mesin itu beroprasi dengan otomatis dibantu beberapa orang yang mengaturnya. Dan setiap kali rombongan Mita berjalan melewati, para pekerja akan menoleh dan menunduk sesaat. Disaat-saat seperti itulah Mita berasa menjadi seorang yang penting. Oh ya, kembali lagi mengenai keadaan pabrik. Mita bersungguh, kali pertama masuk kedalam pabrik PT Miyora sangatlah mengesankan. Dia pertama kali bisa melihat mesin-mesin yang menampung produk-produk menuju mesin lainnya. Suara dengung dari beberapa mesin pun terdengar nyaring. Bahkan para pekerja sangat steril memakai perlengkapan seperti masker, sarung tangan hingga penutup kepala. Lagipula siapa
Lima belas menit telah berlalu, menandakan bahwa Mita sudah menahan lapar bermenit-menit lamanya sepulang dari pabrik. Gadis bermata sipit itu menatap kearah bosnya yang tengah fokus bekerja. Apa Pak Vano nggak istirahat ya? Tapi kan Mita ingin istirahat. Dia telah menyia-nyiakan waktu untuk menahan lapar. Lagian kenapa bosnya nggak peka juga sih. Sedetik kemudian Mita merutuki dirinya sendiri. Bos model Vano mana bisa peka, haduh. Maka dari itu dengan keberanian yang dipaksakan, Mita menghampiri meja Vano. Namun terlebih dahulu dia merapihkan rok span dan kemeja polosnya. "Pak Vano," panggil Mita pelan. "Hem." Hem lagi. "Apa Bapak mau dipesankan makanan?" Tanya gadis bermata sipit itu harap-harap cemas. Siapa tau dia akan disembur karena telah mengganggu fokus bosnya. Namun sorot mata tajam milik Vano menghujam saat laki-laki itu mendongak menatap Mita di depannya. Kan, kan, kayaknya salah lagi nih.
Mita melangkah gontai memasuki ruang tamu rumahnya. Hari sudah gelap, dia baru sampai di rumah pas dengan adzan magrib. Dirinya lelah betul, padahal masih hari pertama kerja. Bagaimana setahun kemudian? Entah bakal jadi apa gadis bermata sipit itu. Berangkat subuh-subuh, pulang magrib, ibarat apa coba, sudah kayak lagu Armada pergi pagi pulang pagi saja. Dia menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Memijit pelipis yang menjadi pusing akibat seharian bersama bos gila bernama Vano. "Baru pulang, Mbak?" tanya Bapak ketika akan melewati anak sulungnya. Ia sudah berpenampilan rapih akan ke masjid. Bersarung kotak-kotak, baju kokoh putih dan tak lupa peci hitam di kepala Bapak. Mita mendongakkan kepalanya. Jelas sekali raut lelah yang dia tampilkan. "Iya, pak," jawabnya pelan. "Langsung mandi Mbak, biar lebih segar." Setelah itu Bapak keluar dari pintu utama ruang tamu. Terdengar kehebohan Hansel di dalam. Seharian nggak bertemu ad
Pagi kembali menjelang, matahari pun belum menampakkan sinar cerahnya. Namun seorang gadis yang bekerja secara profesional sudah berada di kediaman Bos nya. Terkadang dia berpikir, apa asisten pribadi bekerja seperti ini? Harus datang ke rumah bos pagi-pagi buta, menyiapkan pakaian serta membantu menyiapkan sarapan. Bukankah tugas seperti itu terlalu berlebihan? Ya entahlah, Mita kali ini nggak mau mengeluh. Dia pagi ini juga cukup cekatan menyiapkan pakaian bosnya. Kali ini gadis itu nggak memilih serba hitam. Ada warna kalem agar bosnya makin tampan. Yaitu celana dan jas biru dongker, kemeja polos warna baby blue serta dasi bergaris biru putih. Sudah selesai menyiapkan pakaian, Mita langsung kembali menyiapkan dokumen serta alat elektronik yang akan dibawa bosnya. Dia masukkan semua itu ke dalam tas kerja milik Vano. Oke, sepertinya sudah selesai. Nggak akan ada celah Vano menyinyirnya lagi. Baiklah, Mita akan keluar sekarang. Dia pun berbal
Canggung membuat mereka sama-sama diam. Vano dan Mita duduk bersisihan di kursi penumpang. Sedangkan mobil melaju dengan kecepatan normal di jalan yang masih lowong. Dua hari ini, Vano memperlihatkan sedikit-sedikit kebiasaan disiplinnya. Seperti jam olahraga pagi, pasti ketika Mita datang laki-laki kaya itu sedang berolahraga. Dan gadis bermata sipit itu sempat membandingkan jam selesai olahraga bosnya pada hari pertama yang sama dengan hari kedua, yaitu tepat pukul enam pagi. Kemudian pukul tujuh mereka sudah berangkat dan sedang dalam perjalanan ke kantor. Bosnya memang luar biasa disiplin. Bahkan Mita sedikit sempat keteteran karena dia sendiri tipe orang yang ngaret. Maklum kan ya, orang Indonesia. Tapi emang beda sih. Orang kaya seperti Vano jelas sangat disiplin. Seperti emang kebiasaan orang kaya. Kekayaan mereka semakin menggunung ya karena bisa disiplin. Mereka bisa memainkan waktu dengan cermat bukan malah dipermainkan waktu seperti Mita.
Terimakasih untuk yang telah meluangkan waktu mengikuti kisah Mita dan Vano. Seperti halnya dalam hidup yang tak pernah ada akhir hingga kematian datang. Begitu pula kisah ini, yang sebenarnya belum berakhir. Bahkan Vano dan Mita baru mengawali kisahnya ketika ini berakhir. Maka dari itu, biarkan mereka melaluinya sendiri. Merajut kisah selanjutnya dengan hanya ada mereka sendiri. Sekali lagi, terimakasih untuk semuanya. Maaf jika sang pencipta cerita ini banyak mengulur waktu dan berakhir dengan cara yang mungkin membuat kalian kurang puas. Tetapi dengan cerita yang kurang sempurna ini saya berharap kalian semua bisa menikmati. Terlepas dengan saya yang memang suka ngaret update :) Terimakasih banyak. Salam hormat dari Mita, Vano dan author.****
"Ikuti kata hati, jangan menyangkalnya." Mita baru tau jika Ibunya bisa menasehati dengan baik. Ia pikir hanya Bapak yang bijak dalam menasehati. Saat itu setelah selesai acara makan siang bersama, Ibu berkata dengan kalimat itu sebelum keluar. Mita bingung tentang maksud perkataan Ibunya. Namun ketika dipikir lagi, ternyata memang masih ada problem dalam dirinya. Persis yang dikatakan Ibu, bahwa dia terus-terusan menyangkal perasaannya sendiri. Bukan tanpa alasan, sebab ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Yaitu menyakiti orang lain. Dulu ia benar-benar menyakiti orang yang sangat baik kepadanya. Atas dasar kelabilannya lah jadi banyak orang yang dia repotkan. Mita nggak ingin itu terjadi, maka dengan membohongi dan menyangkal dirinya sendiri adalah senjata untuk itu. Tetapi semakin menyangkal, semakin pula ia tak bebas dengan dirinya. Ada perasaan cemas dan juga khawatir. Tetapi atas dasar menghukum diri sendiri pula, Mita memantapkan diri untuk tetap baik-baik saja.
Siang hari kali ini panas menyengat membakar kulit. Di jalanan komplek tak ada orang yang bersenang hati berjalan di bawah teriknya matahari, bahkan di dalam rumah pun terasa sekali gerahnya kalau nggak ada kipas angin. Lebih bagusnya ac, namun rumah Mita bukanlah rumah mewah dengan adanya ac di setiap ruangan. Mereka mengandalkan angin dari kipas angin. Bukan hanya satu atau dua saja kipas terpasang, bahkan di ruang tamu ada, di ruang tengah dan di setiap kamar juga ada. Namun karena hari ini sangat panas, jadi gadis itu menyeret salah satu koleksi kipas berdiri menuju ruang makan. Nggak berat sama sekali, dia bisa santai tanpa perlu bantuan, namun karena seruan Ibu yang menyuruhnya untuk cepat membuat langkah kaki gadis itu semakin cepat. "Ayo duduk Van." Ibu Sri mempersilahkan si tamu untuk duduk di salah satu kursi makan. Sedangkan Mita hanya diam sembari menyalakan kipas angin yang tadi dia bawa. "Karena hari ini cuman buat satu pesanan jadi nggak begitu banyak masaknya," kata
Malam semakin berlalu, jam yang berdetak di ruang keluarga pun hingga terdengar jelas. Sedangkan itu di satu kamar nampak remang hanya diterangi lampu tidur. Keranjang berdecit kala seseorang di atasnya merubah posisi. Kembali berdecit saat lagi-lagi berganti posisi. Mita seketika menendang selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Merasa kesal akibat matanya yang tak kunjung tertutup. Dia mengambil bantal dan menutup wajahnya. Lagi-lagi nggak bisa tertidur. Dia frustasi dan mengembalikan bantalnya ke tempat semula. Sorot matanya seketika menerawang langit-langit kamar tak bisa tenang. Pikirannya berkelana pada satu momen siang tadi. "Tolong buka hati untuk saya." "Jangan menghindari saya." Argh! Rasanya Mita ingin berteriak kuat-kuat. Seketika jantungnya kembali berdegup nggak normal saat mengingat lagi momen itu. Dia memandang langit-langit kamar dengan menerawang. Tapi sesaat kemudian bibirnya terangkat ke atas secara otomatis. Mita tersenyum, namun kala tersadar ia memukul k
"Kok bisa salah kirim?" tanya laki-laki itu yang berkali-kali lipat tampan dibanding yang dulu. Mita menjadi gugup. Dia berdehem dan menyesap minumannya sedikit. "Nggak tau, saya mau kirim pesan ke Farhan," ucapnya berusaha tampak biasa saja. Dia sempat memperhatikan mantan bosnya yang sedang berbicara kepada salah satu pelayan yang lewat. Memesan kopi dan cemilan, lalu setelahnya kembali memperhatikan gadis di depannya. Dan secepat kilat Mita beralih, dia nggak ingin tertangkap basah sedang memperhatikan mantan bosnya. "Memang nama kontak saya pakai huruf F sampai ketuker seperti itu?" "Enggak," Mita lantas menggelengkan kepalanya. "Mungkin lagi kurang fokus," ujarnya kemudian tampak acuh. Sudah terlanjur kejadian juga. Mau nggak mau Mita harus menghadapinya. Berhadapan dengan mantan bosnya dan juga berbincang memang bukan rencana awalnya. Namun bagaimana lagi. Sebenarnya sih malu karena bisa salah kirim pesan. Tapi ya sudah. Mita kembali menghela nafasnya. Beruntung Vano ngga
Waktu kian berlalu. Pagi hari terasa cepat sekali datang. Setiap jam dan menit kian berjalan bagai jarum detik yang cepat. Setidaknya itu yang dirasakan Mita. Entah orang lain merasakan gimana, namun dia merasa waktu cepat sekali berlalu.Hari-harinya dilalui dengan kegiatan yang membosankan. Pagi hari berberes membantu Ibu, siang hari jika hanya ingin di rumah ya tetap di rumah atau jika ingin keluar ya keluar jalan-jalan sendirian, lalu sore hari Mita beberapa kali berjalan-jalan di area komplek, menyapa tetangga yang berpapasan atau hanya menikmati udara segar di taman.Mita belum bekerja, ia kembali menjadi pengangguran dan sedang mencari pekerjaan. Rasanya dia kembali ke awal setelah semuanya terjadi, seperti menjadi pengangguran dan mencari pekerjaan. Jika sudah mendapatkan pekerjaan dia akan bekerja dan entah bagaimana kehidupan selanjutnya, apa dia akan mendapat rasa sakit lagi atau malah mendapatkan kebahagiaan. Sepertinya itu hanya Tuhan yang tau. Yang jelas dirinya sudah me
"Tapi emang sekarang kamu cantik banget loh," ucap seorang wanita anggun dengan senyuman mengembang. Ia menggoda gadis muda yang ada di hadapannya. Kini mereka sedang duduk menikmati hidangan yang di sediakan. Sebab siang terus menjelang. Saat ini saja sudah akan menjelang pukul dua belas. "Tante jangan begitu, aku jadi malu loh," balas gadis itu dengan pura-pura menutup sebagian wajahnya. Tak ayal Tante Gina terkekeh merespon. "Apa kamu bisa malu Mit?" "Aih," Mita segera menoleh pada Om Iskandar. "Gini-gini banyak yang bilang aku pemalu kok Om." "Masa sih?" "Iya loh bener," balas Mita mencoba meyakinkan. Namun ia tersenyum ketika ia mendapat sorot mencurigakan dari Om Iskandar. Akhirnya mereka terkekeh bersama membuat dua orang yang menyaksikan interaksi mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Vano nggak bisa berkata-kata lagi jika Mita sudah bergabung dengan papanya. Gadis itu sejak awal memang sudah nyambung dengan papahnya yang kerap receh. "Dengar ya Mit, kamu pasti seben
Pagi yang penuh haru dengan berjalannya ijab kobul yang sakral telah berlalu. Kini para tamu sedang menikmati jalannya acara hiburan yang dibawakan oleh mc. Mita hanya duduk di salah satu kursi, senyum merekah tak henti-hentinya terbit di bibirnya. Ia menyapa dan sempat berbincang dengan beberapa kenalan kuliahnya dulu. Yang tak di sangka-sangka bahwa salah satu teman sekelas Bianca yang dia kenal dulu cupu, ternyata telah memiliki suami dan anak. Gadis itu sedikit kaget, namun begitulah roda kehidupan. Nggak ada yang tau pasti jalan hidup, nasib dan juga takdir. "Jadi, lo sendiri Mit?" tanya Farhan. Mita sudah berganti tempat duduk dan berkumpul dengan rombongan geng nya saat bekerja di Miyora dulu. Ada Bang Cakra dan istrinya, Mbak Amira dengan anaknya dan juga Farhan dengan pacarnya. Hanya Mita yang nggak memiliki gandengan. Ia jadi menyesal telah menyapa dan ikut duduk. "Gue paham lo lagi nyindir gue." "Dih, sensi amat lo, jomblo sih," ejek Farhan yang kemudian mendapat tepu
"Bu, pantas nggak?" Mita masuk ke dapur sembari menenteng slingbag hitam miliknya. Ia sudah berdandan rapih dan menata rambutnya. Dengan sentuhan make up serta pakaian kebaya kekinian, gadis itu menghadap Ibu Sri yang sedang memberesi meja makan. "Pantas," balas wanita Jawa tulen itu. "Emang mau berangkat jam berapa?" Ia melirik sekilas pada anak sulungnya, kemudian kembali sibuk mengangkat masakan sore yang masih bisa di hangatkan. "Jam 6, sekalian nanti nunggu ijab," balas Mita. Dia memperhatikan jarum jam di arloji yang dia kenakan. Masih pukul lima lewat tiga puluh menit dan dia sudah serapih ini. Mita memang sudah mempersiapkan dengan matang. Bangun pagi buta dan berdandan, nanti jam enam dia akan berangkat menuju sebuah hotel yang digunakan untuk acara pernikahan sahabatnya yaitu Bianca. Ah mengingat Bianca jadi Mita ingat obrolan mereka semalam. Sahabatnya itu mengatakan sangat gerogi dan nggak bisa tidur. Segala keluh kesah Bianca telah Mita dengarkan. Bahkan sahabatnya i