Lima belas menit telah berlalu, menandakan bahwa Mita sudah menahan lapar bermenit-menit lamanya sepulang dari pabrik. Gadis bermata sipit itu menatap kearah bosnya yang tengah fokus bekerja.
Apa Pak Vano nggak istirahat ya?
Tapi kan Mita ingin istirahat. Dia telah menyia-nyiakan waktu untuk menahan lapar.
Lagian kenapa bosnya nggak peka juga sih. Sedetik kemudian Mita merutuki dirinya sendiri. Bos model Vano mana bisa peka, haduh.
Maka dari itu dengan keberanian yang dipaksakan, Mita menghampiri meja Vano. Namun terlebih dahulu dia merapihkan rok span dan kemeja polosnya.
"Pak Vano," panggil Mita pelan.
"Hem."
Hem lagi.
"Apa Bapak mau dipesankan makanan?" Tanya gadis bermata sipit itu harap-harap cemas. Siapa tau dia akan disembur karena telah mengganggu fokus bosnya.
Namun sorot mata tajam milik Vano menghujam saat laki-laki itu mendongak menatap Mita di depannya.
Kan, kan, kayaknya salah lagi nih.
Mita melangkah gontai memasuki ruang tamu rumahnya. Hari sudah gelap, dia baru sampai di rumah pas dengan adzan magrib. Dirinya lelah betul, padahal masih hari pertama kerja. Bagaimana setahun kemudian? Entah bakal jadi apa gadis bermata sipit itu. Berangkat subuh-subuh, pulang magrib, ibarat apa coba, sudah kayak lagu Armada pergi pagi pulang pagi saja. Dia menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Memijit pelipis yang menjadi pusing akibat seharian bersama bos gila bernama Vano. "Baru pulang, Mbak?" tanya Bapak ketika akan melewati anak sulungnya. Ia sudah berpenampilan rapih akan ke masjid. Bersarung kotak-kotak, baju kokoh putih dan tak lupa peci hitam di kepala Bapak. Mita mendongakkan kepalanya. Jelas sekali raut lelah yang dia tampilkan. "Iya, pak," jawabnya pelan. "Langsung mandi Mbak, biar lebih segar." Setelah itu Bapak keluar dari pintu utama ruang tamu. Terdengar kehebohan Hansel di dalam. Seharian nggak bertemu ad
Pagi kembali menjelang, matahari pun belum menampakkan sinar cerahnya. Namun seorang gadis yang bekerja secara profesional sudah berada di kediaman Bos nya. Terkadang dia berpikir, apa asisten pribadi bekerja seperti ini? Harus datang ke rumah bos pagi-pagi buta, menyiapkan pakaian serta membantu menyiapkan sarapan. Bukankah tugas seperti itu terlalu berlebihan? Ya entahlah, Mita kali ini nggak mau mengeluh. Dia pagi ini juga cukup cekatan menyiapkan pakaian bosnya. Kali ini gadis itu nggak memilih serba hitam. Ada warna kalem agar bosnya makin tampan. Yaitu celana dan jas biru dongker, kemeja polos warna baby blue serta dasi bergaris biru putih. Sudah selesai menyiapkan pakaian, Mita langsung kembali menyiapkan dokumen serta alat elektronik yang akan dibawa bosnya. Dia masukkan semua itu ke dalam tas kerja milik Vano. Oke, sepertinya sudah selesai. Nggak akan ada celah Vano menyinyirnya lagi. Baiklah, Mita akan keluar sekarang. Dia pun berbal
Canggung membuat mereka sama-sama diam. Vano dan Mita duduk bersisihan di kursi penumpang. Sedangkan mobil melaju dengan kecepatan normal di jalan yang masih lowong. Dua hari ini, Vano memperlihatkan sedikit-sedikit kebiasaan disiplinnya. Seperti jam olahraga pagi, pasti ketika Mita datang laki-laki kaya itu sedang berolahraga. Dan gadis bermata sipit itu sempat membandingkan jam selesai olahraga bosnya pada hari pertama yang sama dengan hari kedua, yaitu tepat pukul enam pagi. Kemudian pukul tujuh mereka sudah berangkat dan sedang dalam perjalanan ke kantor. Bosnya memang luar biasa disiplin. Bahkan Mita sedikit sempat keteteran karena dia sendiri tipe orang yang ngaret. Maklum kan ya, orang Indonesia. Tapi emang beda sih. Orang kaya seperti Vano jelas sangat disiplin. Seperti emang kebiasaan orang kaya. Kekayaan mereka semakin menggunung ya karena bisa disiplin. Mereka bisa memainkan waktu dengan cermat bukan malah dipermainkan waktu seperti Mita.
"Njir, lo bilang gitu, Mit?" Farhan si anak keuangan berkumis tipis itu heboh menggebrak meja kantin. Billy dan Cakra nampak nggak bisa berhenti tertawa hingga Mita menyelesaikan cerita. Bahkan mereka masih terkekeh nggak habis pikir. Sedangkan yang bereaksi santai hanya wanita berambut ikal pirang, si ibu satu anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia merasa terhibur akan cerita Mita namum nggak bereaksi berlebih seperti ketiga cogan temannya. Amira akui, gadis muda bermata sipit itu memberikan keceriaan di geng tongkrongannya. Predikat lucu memang pantas disematkan untuk Mita. Walaupun baru mengenal kemarin, tetapi Mita dapat mudah membaur dengan lingkungan sekitar. Bahkan dia sangat nyambung sekali dengan si gesrek Farhan. Sebelum kedatangan gadis itu, Farhan heboh sendiri tanpa ada teman yang sefrekuensi. Maklum laki-laki itu paling muda sebelumnya. Namun sekarang dia sudah memiliki partner yang sangat cocok. Sedangkan itu Mita berdecak atas uc
"Ada apa?" Billy bertanya heran ketika mendapati Mita yang nggak jadi masuk. Gadis itu tak langsung menjawab. Dia malah menatap Billy panik sekaligus bingung. Mita pun kemudian mendekat ke meja rekannya itu dengan perasaan cemas. Takut apabila Vano muncul dan memarahinya. Lagian kenapa juga sih, Mita merutuki dirinya sendiri. Harusnya kan mengetuk pintu lebih dulu. Dia merasa luar biasa syok. Adegan yang selama ini hanya di lihat dari layar laptop ataupun ponsel, namun sekarang dia sudah saksikan secara langsung. Mita hanya takut, Vano akan muncul dan memarahinya. "Kenapa sih Mit?" Billy bertanya lagi, dia berjalan ingin mendekati pintu. Jelas laki-laki itu penasaran, ekspresi khawatir yang ditampilkan Mita membuatnya harus mengecek. Namun sebelum Billy membuka pintu ruangan CEO yang masih tertutup rapat, lengannya langsung di tarik oleh Mita. "Jangan," katanya memperingati. "Emang kenapa?" "Itu--" Mita nggak bisa melan
Selepas menghadiri pertemuan dengan direktur perusahaan InaFood, untuk membahas keuntungan sesi produksi pertama proyek kerjasama kedua belah perusahaan. Vano dengan langkah lebarnya kembali meninggalkan seorang gadis yang masih kesusahan menyamai langkahnya. Mita sendiri membawa tumpukan berkas serta laptop milik bosnya dengan susah payah, belum lagi rok span serta heels yang dia pakai semakin menyulitkan setiap langkahnya. Tetapi bos menyebalkan itu, dengan tampang cuek, masa bodo dengan kesulitan bawahannya. Lagi-lagi membuat Mita mendengus kesal. Kenapa sih, bosnya selalu terburu-buru, nggak ada santai-santainya sedikit. Lagi pula pertemuan sudah berakhir, nggak perlu takut terlambat kan? Sehingga akibat memendam rasa kesal, Mita pun pada akhirnya memutuskan untuk berjalan normal saja tanpa tergesa-gesa menyamai langkah Vano. Apa boleh buat, dari pada laptop bosnya yang hancur akibat terjatuh. Bisa-bisa Mita dicincang bukan lagi dinyinyiri
Senja di bibir pantai Kuta Bali begitu indah bak surga dunia yang membuat nyaman untuk tetap tinggal. Matahari pelan terbenam di ufuk barat, memberikan kilauan sinar jingga seolah menyiratkan sebuah pesan yang kira-kira isinya 'sampai jumpa kembali esok hari para manusia, aku ingin istirahat dulu.' Begitulah mungkin pesan sang matahari. Kini Mita berdiri diantara orang-orang yang sedang menikmati momen sunset diiringi dengan deburan obak, serta semilir angin di pinggir pantai. Kakinya telanjang menyentuh pasir putih yang basah akibat sapuan ombak. Terpaan angin membuat helai rambutnya beterbangan. Rasanya tenang sekali. Dia pun berinisiatif memejamkan kedua kelopak matanya yang sipit. Membiarkan sapuan ombak mengenai kaki telanjangnya dan membiarkan juga terpaan angin mengenai tubuhnya. Mita semakin memejamkan mata. Dia merasakan sorot jingga terang mulai perlahan memudar hingga menjadi gelap. Deburan ombak yang terasa pelan me
Tepat pukul tujuh malam mobil Mercedes-Benz GLB-Class yang ditumpangi Vano dan Mita memasuki pekarangan halaman rumah minimalis mewah milik CEO muda itu. Mita sudah nggak bisa berkata-kata lagi, dia ingin cepat pulang sampai ke rumahnya. Namun setelah turun dari mobil, Vano langsung melenggang masuk ke dalam sebelum Mita pamit untuk langsung pulang. Gadis itu menatap punggung Vano yang kian menghilang dari pandangannya. Dia sudah nggak ada tenaga untuk mengumpat. Alhasil dengan lunglai, Mita santai masuk ke dalam seperti rumah sendiri. Dia ingin menemui Bik Muti saja untuk pamit pulang. Dan wanita paruh baya itu dapat Mita temukan di dapur, sedang menyiapkan makan malam untuk si Tuan Muda. "Bu," panggil Mita pelan. Dia lemas luar biasa, ingin cepat rebahan di kasurnya. "Eh Mbak Mita, kebetulan, ikut makan malam ya?" "Eh enggak Bu," Mita menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia bukan mau ikut makan malam tapi ingin pamit pula
Terimakasih untuk yang telah meluangkan waktu mengikuti kisah Mita dan Vano. Seperti halnya dalam hidup yang tak pernah ada akhir hingga kematian datang. Begitu pula kisah ini, yang sebenarnya belum berakhir. Bahkan Vano dan Mita baru mengawali kisahnya ketika ini berakhir. Maka dari itu, biarkan mereka melaluinya sendiri. Merajut kisah selanjutnya dengan hanya ada mereka sendiri. Sekali lagi, terimakasih untuk semuanya. Maaf jika sang pencipta cerita ini banyak mengulur waktu dan berakhir dengan cara yang mungkin membuat kalian kurang puas. Tetapi dengan cerita yang kurang sempurna ini saya berharap kalian semua bisa menikmati. Terlepas dengan saya yang memang suka ngaret update :) Terimakasih banyak. Salam hormat dari Mita, Vano dan author.****
"Ikuti kata hati, jangan menyangkalnya." Mita baru tau jika Ibunya bisa menasehati dengan baik. Ia pikir hanya Bapak yang bijak dalam menasehati. Saat itu setelah selesai acara makan siang bersama, Ibu berkata dengan kalimat itu sebelum keluar. Mita bingung tentang maksud perkataan Ibunya. Namun ketika dipikir lagi, ternyata memang masih ada problem dalam dirinya. Persis yang dikatakan Ibu, bahwa dia terus-terusan menyangkal perasaannya sendiri. Bukan tanpa alasan, sebab ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Yaitu menyakiti orang lain. Dulu ia benar-benar menyakiti orang yang sangat baik kepadanya. Atas dasar kelabilannya lah jadi banyak orang yang dia repotkan. Mita nggak ingin itu terjadi, maka dengan membohongi dan menyangkal dirinya sendiri adalah senjata untuk itu. Tetapi semakin menyangkal, semakin pula ia tak bebas dengan dirinya. Ada perasaan cemas dan juga khawatir. Tetapi atas dasar menghukum diri sendiri pula, Mita memantapkan diri untuk tetap baik-baik saja.
Siang hari kali ini panas menyengat membakar kulit. Di jalanan komplek tak ada orang yang bersenang hati berjalan di bawah teriknya matahari, bahkan di dalam rumah pun terasa sekali gerahnya kalau nggak ada kipas angin. Lebih bagusnya ac, namun rumah Mita bukanlah rumah mewah dengan adanya ac di setiap ruangan. Mereka mengandalkan angin dari kipas angin. Bukan hanya satu atau dua saja kipas terpasang, bahkan di ruang tamu ada, di ruang tengah dan di setiap kamar juga ada. Namun karena hari ini sangat panas, jadi gadis itu menyeret salah satu koleksi kipas berdiri menuju ruang makan. Nggak berat sama sekali, dia bisa santai tanpa perlu bantuan, namun karena seruan Ibu yang menyuruhnya untuk cepat membuat langkah kaki gadis itu semakin cepat. "Ayo duduk Van." Ibu Sri mempersilahkan si tamu untuk duduk di salah satu kursi makan. Sedangkan Mita hanya diam sembari menyalakan kipas angin yang tadi dia bawa. "Karena hari ini cuman buat satu pesanan jadi nggak begitu banyak masaknya," kata
Malam semakin berlalu, jam yang berdetak di ruang keluarga pun hingga terdengar jelas. Sedangkan itu di satu kamar nampak remang hanya diterangi lampu tidur. Keranjang berdecit kala seseorang di atasnya merubah posisi. Kembali berdecit saat lagi-lagi berganti posisi. Mita seketika menendang selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Merasa kesal akibat matanya yang tak kunjung tertutup. Dia mengambil bantal dan menutup wajahnya. Lagi-lagi nggak bisa tertidur. Dia frustasi dan mengembalikan bantalnya ke tempat semula. Sorot matanya seketika menerawang langit-langit kamar tak bisa tenang. Pikirannya berkelana pada satu momen siang tadi. "Tolong buka hati untuk saya." "Jangan menghindari saya." Argh! Rasanya Mita ingin berteriak kuat-kuat. Seketika jantungnya kembali berdegup nggak normal saat mengingat lagi momen itu. Dia memandang langit-langit kamar dengan menerawang. Tapi sesaat kemudian bibirnya terangkat ke atas secara otomatis. Mita tersenyum, namun kala tersadar ia memukul k
"Kok bisa salah kirim?" tanya laki-laki itu yang berkali-kali lipat tampan dibanding yang dulu. Mita menjadi gugup. Dia berdehem dan menyesap minumannya sedikit. "Nggak tau, saya mau kirim pesan ke Farhan," ucapnya berusaha tampak biasa saja. Dia sempat memperhatikan mantan bosnya yang sedang berbicara kepada salah satu pelayan yang lewat. Memesan kopi dan cemilan, lalu setelahnya kembali memperhatikan gadis di depannya. Dan secepat kilat Mita beralih, dia nggak ingin tertangkap basah sedang memperhatikan mantan bosnya. "Memang nama kontak saya pakai huruf F sampai ketuker seperti itu?" "Enggak," Mita lantas menggelengkan kepalanya. "Mungkin lagi kurang fokus," ujarnya kemudian tampak acuh. Sudah terlanjur kejadian juga. Mau nggak mau Mita harus menghadapinya. Berhadapan dengan mantan bosnya dan juga berbincang memang bukan rencana awalnya. Namun bagaimana lagi. Sebenarnya sih malu karena bisa salah kirim pesan. Tapi ya sudah. Mita kembali menghela nafasnya. Beruntung Vano ngga
Waktu kian berlalu. Pagi hari terasa cepat sekali datang. Setiap jam dan menit kian berjalan bagai jarum detik yang cepat. Setidaknya itu yang dirasakan Mita. Entah orang lain merasakan gimana, namun dia merasa waktu cepat sekali berlalu.Hari-harinya dilalui dengan kegiatan yang membosankan. Pagi hari berberes membantu Ibu, siang hari jika hanya ingin di rumah ya tetap di rumah atau jika ingin keluar ya keluar jalan-jalan sendirian, lalu sore hari Mita beberapa kali berjalan-jalan di area komplek, menyapa tetangga yang berpapasan atau hanya menikmati udara segar di taman.Mita belum bekerja, ia kembali menjadi pengangguran dan sedang mencari pekerjaan. Rasanya dia kembali ke awal setelah semuanya terjadi, seperti menjadi pengangguran dan mencari pekerjaan. Jika sudah mendapatkan pekerjaan dia akan bekerja dan entah bagaimana kehidupan selanjutnya, apa dia akan mendapat rasa sakit lagi atau malah mendapatkan kebahagiaan. Sepertinya itu hanya Tuhan yang tau. Yang jelas dirinya sudah me
"Tapi emang sekarang kamu cantik banget loh," ucap seorang wanita anggun dengan senyuman mengembang. Ia menggoda gadis muda yang ada di hadapannya. Kini mereka sedang duduk menikmati hidangan yang di sediakan. Sebab siang terus menjelang. Saat ini saja sudah akan menjelang pukul dua belas. "Tante jangan begitu, aku jadi malu loh," balas gadis itu dengan pura-pura menutup sebagian wajahnya. Tak ayal Tante Gina terkekeh merespon. "Apa kamu bisa malu Mit?" "Aih," Mita segera menoleh pada Om Iskandar. "Gini-gini banyak yang bilang aku pemalu kok Om." "Masa sih?" "Iya loh bener," balas Mita mencoba meyakinkan. Namun ia tersenyum ketika ia mendapat sorot mencurigakan dari Om Iskandar. Akhirnya mereka terkekeh bersama membuat dua orang yang menyaksikan interaksi mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Vano nggak bisa berkata-kata lagi jika Mita sudah bergabung dengan papanya. Gadis itu sejak awal memang sudah nyambung dengan papahnya yang kerap receh. "Dengar ya Mit, kamu pasti seben
Pagi yang penuh haru dengan berjalannya ijab kobul yang sakral telah berlalu. Kini para tamu sedang menikmati jalannya acara hiburan yang dibawakan oleh mc. Mita hanya duduk di salah satu kursi, senyum merekah tak henti-hentinya terbit di bibirnya. Ia menyapa dan sempat berbincang dengan beberapa kenalan kuliahnya dulu. Yang tak di sangka-sangka bahwa salah satu teman sekelas Bianca yang dia kenal dulu cupu, ternyata telah memiliki suami dan anak. Gadis itu sedikit kaget, namun begitulah roda kehidupan. Nggak ada yang tau pasti jalan hidup, nasib dan juga takdir. "Jadi, lo sendiri Mit?" tanya Farhan. Mita sudah berganti tempat duduk dan berkumpul dengan rombongan geng nya saat bekerja di Miyora dulu. Ada Bang Cakra dan istrinya, Mbak Amira dengan anaknya dan juga Farhan dengan pacarnya. Hanya Mita yang nggak memiliki gandengan. Ia jadi menyesal telah menyapa dan ikut duduk. "Gue paham lo lagi nyindir gue." "Dih, sensi amat lo, jomblo sih," ejek Farhan yang kemudian mendapat tepu
"Bu, pantas nggak?" Mita masuk ke dapur sembari menenteng slingbag hitam miliknya. Ia sudah berdandan rapih dan menata rambutnya. Dengan sentuhan make up serta pakaian kebaya kekinian, gadis itu menghadap Ibu Sri yang sedang memberesi meja makan. "Pantas," balas wanita Jawa tulen itu. "Emang mau berangkat jam berapa?" Ia melirik sekilas pada anak sulungnya, kemudian kembali sibuk mengangkat masakan sore yang masih bisa di hangatkan. "Jam 6, sekalian nanti nunggu ijab," balas Mita. Dia memperhatikan jarum jam di arloji yang dia kenakan. Masih pukul lima lewat tiga puluh menit dan dia sudah serapih ini. Mita memang sudah mempersiapkan dengan matang. Bangun pagi buta dan berdandan, nanti jam enam dia akan berangkat menuju sebuah hotel yang digunakan untuk acara pernikahan sahabatnya yaitu Bianca. Ah mengingat Bianca jadi Mita ingat obrolan mereka semalam. Sahabatnya itu mengatakan sangat gerogi dan nggak bisa tidur. Segala keluh kesah Bianca telah Mita dengarkan. Bahkan sahabatnya i