Malu itu menurut Mita adalah ketika mendapat gelar sarjana cumlaude di universitas ternama tetapi selama satu tahun belum juga mendapat pekerjaan.
Asli, malu banget bawaannya. Ditambah teman-teman yang lain sudah bekerja, tetangga sebelah sudah menikah dan keponakannya yang baru lulus dari sekolah menengah kejuruan bahkan sudah diterima kerja di perusahaan elit.
Rasanya Mita ingin menenggelamkan kepalanya di bak kamar mandi atau mencuri mesin waktu si kucing biru kebanggaan Jepang. Kemudian menghilang dari peradaban dunia agar tidak mendengar gosip-gosip kompor tetangga sebelah.
Menghilang dari peradaban berarti harus mati dong?
Haduh, bahkan Mita bukan seorang alim yang taat kepada Tuhan yang Maha Esa. Ibadah lima waktu pun masih bolong-bolong. Malah nggak pernah ibadah. Jadi, memilih menghilang dari peradaban sepertinya bukan solusi yang pas.
Lalu apa? Meminta si kucing biru untuk membawa ke masa depan juga tidak akan menjamin kebahagiaan. Mita sendiri bahkan nggak tau masa depannya cerah atau malah suram. Lalu meminta kembali ke masa lalu? Nggak deh, masa lalu nya datar, monoton hanya seorang gadis pecandu belajar demi ambisi peringkat satu.
Dan kalau boleh jujur, Mika sangat menyesal dengan ambisinya di masa lalu yang hanya berpusat soal peringkat akademik atau nilai-nilai yang sempurna. Karena ternyata semua itu nggak menjamin, sedangkan teman-temannya yang semasa sekolah atau kuliah dengan nilai yang nggak seberapa malah memiliki nasib yang bagus. Dapat pekerjaan di tempat-tempat elit, atau minimalnya sudah bekerja. Lah dirinya apa atuh masih pengangguran nan menyedihkan.
Setiap pagi beberes rumah. Selesai itu rebahan, membuka email untuk mengecek perkembangan cv yang dia kirimkan ke banyak perusahaan. Berharapnya ada satu email yang berisi kabar bahagia, tapi nggak ada, satu persatu balasan email isinya menolak semua. Setidaknya ada satu kesempatan untuk ikut wawancara kek ... ini nggak ada loh. Benar-benar menolak semua.
Pantas kan bila Mita ingin menenggelamkan kepalanya di bak kamar mandi?
“Mit, tau nggak? Anak keduanya Bu RT si siapa itu namanya, Rika, iya Rika dapet kerjaan di pabrik tapi di kantornya, keren ya, padahal dia masih muda loh, kerja sambil kuliah, dia membiayai kuliahnya sendiri.”
Mita bergumam pelan, tiba-tiba nasi yang dia telan bagai gumpalan batu akik milik bapaknya. Dia nggak mau melihat ibunya.
Ketahuilah bahwa Ibu Sri adalah ibu kandung rasa ibu tiri. Ucapannya lemah lembut namun dilain waktu akan menusuk tulang. Apalagi ketika membahas prestasi-prestasi anak tetangga, saudara atau anak teman arisannya yang sudah bekerja maupun menikah. Wanita Jawa tulen yang harusnya lemah lembut nan baik hati itu akan berubah menjadi bak ibu tiri bawang putih.
“Pinter ya si Rika, udah bisa cari uang sendiri.”
Benar. Ternyata benar, kalau Mita bukan makan nasi tetapi makan batu akik. Mana nyangkut di tenggorokan. Perih serasa berdarah.
“Kamu nikah aja sana, cari mantu buat ibu yang konglomerat.” Ibu langsung geloyor pergi meninggalkan Mita setelah berkata demikian.
Jahat sekali everybody.
Untung Mita orangnya nggak baperan. Bisa dibayangkan kalau dia suka ambil hati ucapan ibunya. Bisa-bisa dia kena mental dan jadi tinggal di rumah sakit jiwa. Stres, depresi hingga bunuh diri. Sudah cukup tentang pekerjaan saja yang membuat mentalnya sering down. Ucapan Ibu Sri anggap saja sebagai angin lalu. Yang baik ya didengarkan yang nggak baik ya nggak usah di dengarkan.
Tetapi ya semenjak Mita jadi pengangguran yang selalu stay di rumah, Ibu menjadi kubu sengit yang menatap Mita dengan sorot mata pedang ingin menghunus lawannya. Siap berperang untuk mengganggu mental anak sulungnya.
“Cepet-cepet cari kerja sana mbak, gue takut aja sih lo jadi gila di rumah.”
Remaja laki-laki berparas tampan, macho, hitam manis yang merupakan adik satu-satunya Mita itu mengambil duduk di samping kakaknya. Dia mengambil sendok di genggaman Mita dan dengan santai menyantap makan siang milik kakaknya.
Hansel namanya. Beberapa orang bilang Hansel seperti orang keturunan India, hidung mancung, hitam manis, sorot mata tajam, tinggi dan macho. Jika mereka berdua disandingkan pun orang yang nggak mengenal akan mengira bahwa mereka bukan saudara kandung. Jelas saja, karena Mita seperti keturunan China. Mata sipit walaupun kulitnya sawo matang.
Dulu Mita mengejek bahwa Hansel bukan anak kandung ibu dan bapak karena nggak mirip. Ternyata dia juga nggak mirip dengan ibu dan bapaknya yang Jawa tulen.
Ternyata eh ternyata, Ibu saat mengandung Mita lagi gencar-gencarnya suka artis China dan waktu mengandung Hansel suka banget dengan artis India. Jadilah keturunan China dan India di keluarga Jawa Tulen ini.
“Dateng-dateng memperkeruh suasana hati gue aja lo, dek.”
Mita membiarkan Hansel mengambil alih makanannya. Adiknya itu hanya berkaus singlet pasti baru pulang sekolah.
“Soalnya ibu lama-lama makin ngeri.”
“Nah kan, lo ngerasain kan?”
“Kalau sama gue sih enggak, tapi sama lo kayak musuh bebuyutan.” Hansel memperjelas jika sikap ibu kepadanya dan Mita sangatlah berbeda.
Anak bontot yang masih sekolah jelas menjadi anak kesayangan tanpa celah kesalahan dan akan selalu di puja puji. Dulu juga Mita sempat menjadi anak kesayang. Tapi sekarang dia jadi anak bahan ghibahan ibu sendiri.
Nasib oh nasih. Kapan engkau baik kepada anak yang malang ini.
Mita ingin mendapat kerja titik nggak pakai koma. Dia nggak mau lagi mencari mesin waktu kucing biru kebanggaan Jepang. Dia maunya dapat kerja dan bekerja di masa sekarang. Agar cepat menyudahi masa pengangguran selama satu tahun silam yang sedikit demi sedikit mulai membuatnya gila.
Malam minggu, kebetulan Mita ada janji untuk bertemu teman. Bukan cowok tapi cewek, yaitu Bianca. Temannya inilah yang akan membantu keberlangsungan riwayat pekerjaan. Tanpa lelah Mita selalu bertanya tentang lowongan pekerjaan dengan Bianca. Kebetulan Bianca adalah staff HRD di perusahan yang cukup besar dan dia banyak kenalan serta koneksi yang mumpuni untuk mengetahui lowongan pekerjaan apa saja yang sedang di cari. Tapi memang dasarnya nasib Mita nggak mujur, jadi setiap kali Bianca memberi tau ada lowongan pekerjaan pasti ujung-ujung nggak berhasil. Padahal Bianca sudah memberikan tips dan trik bagaimana membuat cv yang menarik perhatian perusahan. Tetap saja. Namun sebagai teman yang merasa punya hutang budi, Bianca tanpa lelah tetap membantu Mita sampai dapat pekerjaan, itu janjinya. Dan sekarang Mita sedang memantaskan diri, memperhatikan dirinya di depan cermin, guna melihat apakah sudah rapi atau belum. Karena Bianca akan mem
"Kamu akan jadi asisten pribadi bos saya, kebetulan beliau memang orang sibuk, jadi butuh orang lain yang bisa membantunya untuk mengurus apapun tentang keperluannya, nah sampai disini, apa masih ada yang mau ditanyain lagi, Mit?"Pria maskulin yang duduk di samping Bianca menjelaskan dengan sabar segala pertanyaan yang di lontarkan si gadis mata sipit.Tadi Billy sudah menjelaskan secara terperinci. Dari tugas sambai gambaran sifat bos, tetapi Mita belum puas sehingga banyak tanya untuk memperjelas semuanya.Tidak malu bertanya dan mudah penasaran. Kombinasi yang bagus menurut Billy untuk bekerja dengan bosnya."Oh ya soal gaji, saya kira sih cukup besar, satu bulan dua belas juta, gimana?"Dua belas juta?Yang benar saja, itu besar sekali wahai Kak Billy!Bahkan Mita belum mampu menutup mulutnya yang terbuka. Reaksi atas pernyataan satu bulan dua belas juta.Gila, dengan penghasilan segitu, Mita bisa mengumpulkan uang untuk m
Mita memandang rumah mewah minimalis di depannya. Dia telah mengendarai motor scoopy fi sporty nya menuju alamat yang tertera dari pesan Billy. Sekali lagi gadis sipit itu menatap keadaan rumah juga sekeliling komplek yang tampak sepi. Dia mengecek nomor rumah yang tertera di pagar dan mencocokkannya dengan pesan teks di ponselnya. Benar, sesuai alamat yang dikirimkan Billy. Namun entah mengapa gadis itu berdegup kencang. Dia pun menuruni motor scoopy fi sporty nya. Dengan masih menggunakan helm minions, gadis bermata sipit itu berjalan untuk menekan bel di pagar ujung gerbang. Cukup menekannya sekali saja, Mita menunggu dengan cemas. Sesungguhnya dia sangat gugup, apalagi ini adalah interview kerja pertamanya. Langsung ke CEO pula. Dan by the way, tadi malam Mita sempat searching tentang perusahaan tempat kerja Billy dan calon bosnya itu. Perusahaan tersebut berjalan di bidang industri minuman dan makanan kemasan dengan merk dagang yang sudah
"Kamu belum punya pengalaman kerja?" Vano membolak-balikkan berkas lamaran milik Mita. Tatapannya fokus dan meneliti."Belum pak." Mita menjawab pelan, dia meremas jemari dipangkuannya, gugup."Nggak pernah ikut organisasi juga?" Tatapan tajam itu kini beralih kearah Mita. Gadis mata sipit itu semakin gugup. Dia merapalkan mantra-mantra agar tidak gugup. Maka Mita pun mulai menghela nafas. Dia bertekat untuk lolos interview. Jangan gagal hanya karena gugup."Saya nggak ikut organisasi, pak. Tapi saya pernah memenangkan olimpiade.""Hem, oke bagus." Pak Vano mengangguk-anggukkan kepalanya. Mita bersungguh bahwa CEO muda itu sangat tampan. Dia bisa merasakan aura artis-artis tenar yang tampan dipuja-puja oleh banyak wanita. Sepertinya Pak Vano punya penggemar banyak dan sekarang Mita menjadi salah satu penggemarnya.Huaa!! Bu, Mita ketemu anak konglomerat!"Saya belum tau kenapa Billy merekomendasikan kamu." Pak Vano mulai menutup berkas milik
Peraturan kerja tambahan : 1. Datang ke rumah setiap hari senin sampai jum'at tepat pukul 6.00 WIB. 2. Menyiapkan keperluan dan kebutuhan Bos. 3. Tidak ada bantahan perihal pekerjaan. 4. Tidak ada kata terlambat. 5. Jika diperlukan, ikut dalam perjalanan bisnis baik ke luar kota maupun luar negeri. 6. Bersikap profesional. 7. Asisten bisa mendapatkan bonus jika ada pekerjaan tambahan di luar kerja. Catatan : Hal apa saja yang dibutuhkan Bos, bisa dipertanyakan dengan Bik Muti dan Billy. Lebih bagus untuk inisiatif sendiri. 》》》 Mita mendengus setelah membaca kembali peraturan yang di tulis tangan oleh Pak Vano siang tadi. Inisiatif sendiri? Gila aja, nanti kalau ada yang salah dinyinyirin lagi. Pak Vano itu sepertinya tipikal bos yang ribet, suka menindas anak buahnya. Tapi ya bagaimana, masih untung Mita dapat diterima dengan lapang dada. Bahkan ketika kopi buatannya kepah
Keesokan hari, pagi menjelang. Masih petang sebab baru pukul lima dini hari. Jika biasanya Mita bangun pukul enam, kali ini dia terpaksa mengatur alarm nya untuk berbunyi jam lima dini hari. Lalu bersiap-siap mau berangkat bekerja. Demi apa, nggak ada pekerja kantoran yang berangkat pagi-pagi buta seperti dirinya. Jam setengah enam, ketika matahari belum nampak, yang biasanya warga Jakarta umumnya sedang bergumul dengan selimutnya, tetapi Mita sudah mengendarai motor scoopy fi sporty miliknya menuju rumah bos. Jika bukan karna gajinya yang besar. Gadis mata sipit itu nggak akan menerima tawaran kerja, apalagi bosnya itu CEO muda, tuan muda kaya seperti Vano. Bukannya apa-apa, Mita sudah bertekat untuk bekerja secara profesional. Tetapi Vano ada saja permintaannya. Tadi malam, Vano menghubungi jika dia harus datang sewaktu subuh, kemudian menghubungi lagi jam lima harus berangkat dari rumah dan terakhir menghubungi terserah mau berangkat jam berapa yan
Dalam hidup Mita, nilai akademik dan peringkat teratas adalah hal yang terpenting. Dia belum pernah berpengalaman dekat dengan pria. Bahkan bisa dibilang anti dengan hubungan percintaan. Karena baginya dulu, cinta atau pacaran sungguhlah mengganggu. Dia nggak ingin merusak nilainya hanya karena sibuk memikirkan pria. Tetapi ketika umur menginjak lebih dewasa, terlebih ketika lulus kuliah. Batinnya mulai menjerit ketika teman-temannya pamer pacar maupun gebetan atau seenggaknya cerita-cerita tentang pria yang disukai, cerita tentang tipe pria hingga keuwuan mendapatkan perhatian pasangan. Lalu apa, Mita nggak pernah ada pengalaman suka dengan pria lebih dari kagum. Kekagumannya hanya sebatas, wah dia tampan, wah dia keren. Dia pun nggak pernah ada pengalaman memperhatikan setiap inci tubuh seorang pria. Hansel dan Bapak nggak termasuk, karena Mita juga nggak pernah memperhatikan sampai terkagum-kagum melihat otot-otot yang menonjol. Tetapi sekarang, ke
"MITA!" Suara menggelegar yang berasal dari dalam kamar mandi mengagetkan seseorang yang sedang berjongkok menyender di tembok sembari memainkan ponsel. Bahkan sangking terkagetnya ponselnya langsung terjatuh di atas karpet. Reaksi lainnya, dia langsung berdiri setelah mengambil ponsel android butut merk samsung versi lama, seirama dengan Vano yang muncul dari balik pintu kamar yang tadinya tertutup. Raut wajahnya kesal memandang gadis muda dengan mata sipitnya itu. Salah apa lagi Mita coba. "Ada apa pak?" tanyanya dengan raut yang bingung. "Kamu pikir saya mau menghadiri pemakaman, sampai kamu pilih semua pakaian kerja warna hitam?" Vano sangat sinis membuat gadis muda itu menggaruk belakang kepalanya yang nggak gatal. Jadi karena masalah baju? Beruntung tadi Mita nggak sampai jantungan. "Emm ... saya kira Pak Vano sukanya warna hitam." "Sotoy!" Setelah itu pintu dihadapan Mita tertutup dengan keras. Lagi-lagi me
Terimakasih untuk yang telah meluangkan waktu mengikuti kisah Mita dan Vano. Seperti halnya dalam hidup yang tak pernah ada akhir hingga kematian datang. Begitu pula kisah ini, yang sebenarnya belum berakhir. Bahkan Vano dan Mita baru mengawali kisahnya ketika ini berakhir. Maka dari itu, biarkan mereka melaluinya sendiri. Merajut kisah selanjutnya dengan hanya ada mereka sendiri. Sekali lagi, terimakasih untuk semuanya. Maaf jika sang pencipta cerita ini banyak mengulur waktu dan berakhir dengan cara yang mungkin membuat kalian kurang puas. Tetapi dengan cerita yang kurang sempurna ini saya berharap kalian semua bisa menikmati. Terlepas dengan saya yang memang suka ngaret update :) Terimakasih banyak. Salam hormat dari Mita, Vano dan author.****
"Ikuti kata hati, jangan menyangkalnya." Mita baru tau jika Ibunya bisa menasehati dengan baik. Ia pikir hanya Bapak yang bijak dalam menasehati. Saat itu setelah selesai acara makan siang bersama, Ibu berkata dengan kalimat itu sebelum keluar. Mita bingung tentang maksud perkataan Ibunya. Namun ketika dipikir lagi, ternyata memang masih ada problem dalam dirinya. Persis yang dikatakan Ibu, bahwa dia terus-terusan menyangkal perasaannya sendiri. Bukan tanpa alasan, sebab ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Yaitu menyakiti orang lain. Dulu ia benar-benar menyakiti orang yang sangat baik kepadanya. Atas dasar kelabilannya lah jadi banyak orang yang dia repotkan. Mita nggak ingin itu terjadi, maka dengan membohongi dan menyangkal dirinya sendiri adalah senjata untuk itu. Tetapi semakin menyangkal, semakin pula ia tak bebas dengan dirinya. Ada perasaan cemas dan juga khawatir. Tetapi atas dasar menghukum diri sendiri pula, Mita memantapkan diri untuk tetap baik-baik saja.
Siang hari kali ini panas menyengat membakar kulit. Di jalanan komplek tak ada orang yang bersenang hati berjalan di bawah teriknya matahari, bahkan di dalam rumah pun terasa sekali gerahnya kalau nggak ada kipas angin. Lebih bagusnya ac, namun rumah Mita bukanlah rumah mewah dengan adanya ac di setiap ruangan. Mereka mengandalkan angin dari kipas angin. Bukan hanya satu atau dua saja kipas terpasang, bahkan di ruang tamu ada, di ruang tengah dan di setiap kamar juga ada. Namun karena hari ini sangat panas, jadi gadis itu menyeret salah satu koleksi kipas berdiri menuju ruang makan. Nggak berat sama sekali, dia bisa santai tanpa perlu bantuan, namun karena seruan Ibu yang menyuruhnya untuk cepat membuat langkah kaki gadis itu semakin cepat. "Ayo duduk Van." Ibu Sri mempersilahkan si tamu untuk duduk di salah satu kursi makan. Sedangkan Mita hanya diam sembari menyalakan kipas angin yang tadi dia bawa. "Karena hari ini cuman buat satu pesanan jadi nggak begitu banyak masaknya," kata
Malam semakin berlalu, jam yang berdetak di ruang keluarga pun hingga terdengar jelas. Sedangkan itu di satu kamar nampak remang hanya diterangi lampu tidur. Keranjang berdecit kala seseorang di atasnya merubah posisi. Kembali berdecit saat lagi-lagi berganti posisi. Mita seketika menendang selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Merasa kesal akibat matanya yang tak kunjung tertutup. Dia mengambil bantal dan menutup wajahnya. Lagi-lagi nggak bisa tertidur. Dia frustasi dan mengembalikan bantalnya ke tempat semula. Sorot matanya seketika menerawang langit-langit kamar tak bisa tenang. Pikirannya berkelana pada satu momen siang tadi. "Tolong buka hati untuk saya." "Jangan menghindari saya." Argh! Rasanya Mita ingin berteriak kuat-kuat. Seketika jantungnya kembali berdegup nggak normal saat mengingat lagi momen itu. Dia memandang langit-langit kamar dengan menerawang. Tapi sesaat kemudian bibirnya terangkat ke atas secara otomatis. Mita tersenyum, namun kala tersadar ia memukul k
"Kok bisa salah kirim?" tanya laki-laki itu yang berkali-kali lipat tampan dibanding yang dulu. Mita menjadi gugup. Dia berdehem dan menyesap minumannya sedikit. "Nggak tau, saya mau kirim pesan ke Farhan," ucapnya berusaha tampak biasa saja. Dia sempat memperhatikan mantan bosnya yang sedang berbicara kepada salah satu pelayan yang lewat. Memesan kopi dan cemilan, lalu setelahnya kembali memperhatikan gadis di depannya. Dan secepat kilat Mita beralih, dia nggak ingin tertangkap basah sedang memperhatikan mantan bosnya. "Memang nama kontak saya pakai huruf F sampai ketuker seperti itu?" "Enggak," Mita lantas menggelengkan kepalanya. "Mungkin lagi kurang fokus," ujarnya kemudian tampak acuh. Sudah terlanjur kejadian juga. Mau nggak mau Mita harus menghadapinya. Berhadapan dengan mantan bosnya dan juga berbincang memang bukan rencana awalnya. Namun bagaimana lagi. Sebenarnya sih malu karena bisa salah kirim pesan. Tapi ya sudah. Mita kembali menghela nafasnya. Beruntung Vano ngga
Waktu kian berlalu. Pagi hari terasa cepat sekali datang. Setiap jam dan menit kian berjalan bagai jarum detik yang cepat. Setidaknya itu yang dirasakan Mita. Entah orang lain merasakan gimana, namun dia merasa waktu cepat sekali berlalu.Hari-harinya dilalui dengan kegiatan yang membosankan. Pagi hari berberes membantu Ibu, siang hari jika hanya ingin di rumah ya tetap di rumah atau jika ingin keluar ya keluar jalan-jalan sendirian, lalu sore hari Mita beberapa kali berjalan-jalan di area komplek, menyapa tetangga yang berpapasan atau hanya menikmati udara segar di taman.Mita belum bekerja, ia kembali menjadi pengangguran dan sedang mencari pekerjaan. Rasanya dia kembali ke awal setelah semuanya terjadi, seperti menjadi pengangguran dan mencari pekerjaan. Jika sudah mendapatkan pekerjaan dia akan bekerja dan entah bagaimana kehidupan selanjutnya, apa dia akan mendapat rasa sakit lagi atau malah mendapatkan kebahagiaan. Sepertinya itu hanya Tuhan yang tau. Yang jelas dirinya sudah me
"Tapi emang sekarang kamu cantik banget loh," ucap seorang wanita anggun dengan senyuman mengembang. Ia menggoda gadis muda yang ada di hadapannya. Kini mereka sedang duduk menikmati hidangan yang di sediakan. Sebab siang terus menjelang. Saat ini saja sudah akan menjelang pukul dua belas. "Tante jangan begitu, aku jadi malu loh," balas gadis itu dengan pura-pura menutup sebagian wajahnya. Tak ayal Tante Gina terkekeh merespon. "Apa kamu bisa malu Mit?" "Aih," Mita segera menoleh pada Om Iskandar. "Gini-gini banyak yang bilang aku pemalu kok Om." "Masa sih?" "Iya loh bener," balas Mita mencoba meyakinkan. Namun ia tersenyum ketika ia mendapat sorot mencurigakan dari Om Iskandar. Akhirnya mereka terkekeh bersama membuat dua orang yang menyaksikan interaksi mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Vano nggak bisa berkata-kata lagi jika Mita sudah bergabung dengan papanya. Gadis itu sejak awal memang sudah nyambung dengan papahnya yang kerap receh. "Dengar ya Mit, kamu pasti seben
Pagi yang penuh haru dengan berjalannya ijab kobul yang sakral telah berlalu. Kini para tamu sedang menikmati jalannya acara hiburan yang dibawakan oleh mc. Mita hanya duduk di salah satu kursi, senyum merekah tak henti-hentinya terbit di bibirnya. Ia menyapa dan sempat berbincang dengan beberapa kenalan kuliahnya dulu. Yang tak di sangka-sangka bahwa salah satu teman sekelas Bianca yang dia kenal dulu cupu, ternyata telah memiliki suami dan anak. Gadis itu sedikit kaget, namun begitulah roda kehidupan. Nggak ada yang tau pasti jalan hidup, nasib dan juga takdir. "Jadi, lo sendiri Mit?" tanya Farhan. Mita sudah berganti tempat duduk dan berkumpul dengan rombongan geng nya saat bekerja di Miyora dulu. Ada Bang Cakra dan istrinya, Mbak Amira dengan anaknya dan juga Farhan dengan pacarnya. Hanya Mita yang nggak memiliki gandengan. Ia jadi menyesal telah menyapa dan ikut duduk. "Gue paham lo lagi nyindir gue." "Dih, sensi amat lo, jomblo sih," ejek Farhan yang kemudian mendapat tepu
"Bu, pantas nggak?" Mita masuk ke dapur sembari menenteng slingbag hitam miliknya. Ia sudah berdandan rapih dan menata rambutnya. Dengan sentuhan make up serta pakaian kebaya kekinian, gadis itu menghadap Ibu Sri yang sedang memberesi meja makan. "Pantas," balas wanita Jawa tulen itu. "Emang mau berangkat jam berapa?" Ia melirik sekilas pada anak sulungnya, kemudian kembali sibuk mengangkat masakan sore yang masih bisa di hangatkan. "Jam 6, sekalian nanti nunggu ijab," balas Mita. Dia memperhatikan jarum jam di arloji yang dia kenakan. Masih pukul lima lewat tiga puluh menit dan dia sudah serapih ini. Mita memang sudah mempersiapkan dengan matang. Bangun pagi buta dan berdandan, nanti jam enam dia akan berangkat menuju sebuah hotel yang digunakan untuk acara pernikahan sahabatnya yaitu Bianca. Ah mengingat Bianca jadi Mita ingat obrolan mereka semalam. Sahabatnya itu mengatakan sangat gerogi dan nggak bisa tidur. Segala keluh kesah Bianca telah Mita dengarkan. Bahkan sahabatnya i