Suasana rapat jadi riuh, setelah Wak Haji berkata begitu, seperti banyak yang mendukung. Memang tidak bisa dipungkiri, peran Wak Haji di desa sangat banyak, akan tetapi untuk semua pekerjaannya itu dapat bayaran. Jika ada yang meninggal dunia, dia berperan sebagai bilal mayit, jika ada yang nikahan dia berperan sebagai penghulu. Dia juga yang sering baca doa jika ada acara."Saya sudah siapkan pengganti Wak Haji, bukan cuma satu, tapi tiga sekaligus, mereka sudah lulus pesantren, sudah tahu semuanya," kata Bang Parlin seraya menunjuk tiga anak angkatnya."Saya juga sudah persiapkan pengganti kepala desa, pemimpin itu wajib laki-laki, ibaratnya imam salat, haram hukumnya perempuan mengimami laki-laki. Apakah kita mau selamanya berbuat haram?" Wak Haji sepertinya take mau kalah."Sebaiknya masalah ini kita bawa ke pusat, kita serahkan pada bupati," usul seseorang."Tidak bisa, ini masalah masyarakat, bukan masalah bupati, lagi pula bupati itu temannya," Wak Haji langsung menyanggah."Ka
"Bagaimana?" tanya Bang Parlin setelah aku berhenti menelepon. Aku melihat Bang Parlin, dia tampak ikut kepo juga. Akan tetapi timbul niatku ingin mengerjai Bang Parlin. "Ternyata ini berhubungan dengan perselingkuhan," kataku kemudian.Bang Parlin tampak terkejut, matanya mendelik."Ah, pasti bukan hasil otak Butet itu, dia mana tau soal perselingkuhan," kata Bang Parlin."Tapi si Raja bilang otak Butet itu langka, mereka dapat kasus besar karena dibantu Butet," kataku lagi."Kasus apa pula itu?" "Itu dia, perselingkuhan, bupati diduga selingkuh dengan bawahannya," kataku lagi seraya mengamati mimik wajah Bang Parlin."Kan, benar dugaanku, ini pasti ulah Bupati, ngomong-ngomong dia selingkuh dengan siapa?" tanya Bang Parlin."Belum tahu, Bang, gosipnya dengan kepala desa," kataku seraya coba menahan senyum."Oooo," jawab Bang Parlin singkat. "Siapa ya kepala desanya?" aku terus memancing Bang Parlin."Entahlah, kutelepon dulu istrinya ya," kata Bang Parlin seraya mengambil HP-nya
Karena penasaran, aku coba telepon Raja, akan tetapi tidak diangkat, mungkin dia sedang sibuk. Mau menelepon Butet sudah pasti tidak bisa, karena dia lagi sekolah. Akan tetapi aku penasaran.Akhirnya kubuka blokir bapak Bupati, rasa penasaran ini sudah membuat aku melanggar perintah Bang Parlin. Begitu blokir kubuka, langsung kukirim pesan untuk bupati.(Selamat siang, Pak?) pesanku kemudian.Lama juga aku menunggu baru datang balasannya.(Siang juga, ada kepala desa memblokir nomor bupati, luar biasa) balas Bupati.(Mohon maaf, Pak, hanya menghargai suami, tidak baik chat malam-malam) pesanku lagi.(Oh, itu yang membuat aku salut sama kamu, demi menghargai suami, nomor bupati pun diblokir, tahu gak seumur aku pakai HP, baru kali ini aku diblokir, haha) (Maaf, Pak)(Terus apa yang membuatmu membuka blokiran?) Pesan dari bupati lagi.(Penasaran, Pak) (Oh, iya,)(Bagaimana perkembangan kasusnya, Pak?)Terlihat bupati sedang mengetik, lama juga, mungkin dia sedang mengetik chat yang pa
Bang Parlin benar-benar marah, entah kenapa aku bisa lupa sudah blokir Bupati. Kutunjukkan pula sama Bang Parlin. Kadang rasa penasaran memang bisa membuat orang hilang kendali. Rasa penasaran itu kadang berbahaya. Bahkan rasa penasaran bisa saja membuat kita celaka. Inilah yang terjadi padaku."Maaf, Bang," kataku pada Bang Parlin.Tapi sepertinya Bang Parlin sudah marah sekali, dia tak bicara lagi langsung masuk kamar. "Bang, maaf," kataku seraya mengikutinya masuk kamar.Tapi Bang Parlin cuek saja, biasanya jika aku yang salah, aku langsung minta maaf, akan tetapi bila bang Parlin yang salah, seperti sulit baginya untuk minta maaf. Kini dia sudah tidur, atau pura-pura tidur. Aku tidak tahan juga dicuekin."Eh, kepala keluarga teladan, eh, merajuk, eh, bapak-bapak merajuk," kataku seraya menggelitik pinggangnya.Akan tetapi Bang Parlin tidak tertawa. Dia malah berbalik lalu membenamkan wajah di kasur.Aku menyerah, akhirnya keluar jurus andalanku, yaitu mencari kesalahan Bang Parl
Bang Parlin merampas HP dari tanganku, aku lalu tertawa ngakak. Kali ini aku yang kerjai Bang Parlin. Bang Parlin terlibat sibuk melihat isi HP-ku, tentu saja tidak ada apa-apa, karena memang aku tidak ada menelepon."Ini bukan permainan lo, Dek!" Bang Parlin terlihat makin marah."Hehehe," aku hanya tertawa cengengesan."Kamu anggap membuat suami itu cemburu lucu ya?" kata Bang Parlin lagi."Abang bikin gemes saja," kataku lagi di sela-sela tawa."Ah, kamu itu keterlaluan," kata Bang Parlin lagi."Abang buat kek gitu lucu ya, pura-pura nelepon istri Bupati lucu, aku yang buat jadi tidak lucu, Abang itu egois, padahal aku sudah minta maaf, sudah berapa kali aku minta maaf? Mulai kemarin sudah lima kali, begitu sadar salah aku langsung minta maaf, Abang? Apakah pernah minta maaf jika salah? butuh berbulan-bulan untuk minta maaf, Abang egois," kataku akhirnya. "Lo, yang salah kamu, jadi aku yang dimarahi," kata Bang Parlin."Udah, Bang, aku sudah kesal, Abang tidur di luar," kataku
Bu Dewan itu tinggal di komplek perumahan elit. Konon sejak lama sudah tinggal berpisah dengan bupati. Bupati di rumah dinas, Bu Dewan di rumah pribadi mereka. Saat kami masuk komplek tersebut, langsung dihentikan sekuriti di pintu gerbang."Kami mau bertemu Bu Herlina, yang anggota dewan," kata Bang Parlin.Sekuriti itu malah melihat body mobil kami yang memang berlumpur. Mungkin tidak biasa' tamu di komplek ini seperti mobil kami. "Sebentar," kata sekuriti itu seraya menelepon entah siapa."Mohon maaf, Bu Herlina tidak bisa dihubungi, kami tidak bisa izinkan masuk," kata sekuriti tersebut."Kami diundang ya, Pak," kataku kemudian."Maaf, boleh lihat undangannya, atau chat-nya saja, bukan tidak percaya ya, Pak, Rumah Bu Berlina lagi dalam pengawasan, kami ditugaskan untuk melarang setiap tamu yang datang," kata sekuriti itu lagi."Kami diundang lewat telepon, tidak ada chat," kata Bang Parlin seraya menelepon lagi. "Mohon maaf, kami hanya menjalankan tugas," kata sekuriti itu.Akhi
Aku baru ini dengar kata ubung, kadang Bang Parlin ini memang punya kosakata yang tidak dimengerti. Sebenarnya dia yang tidak tahu apa bahasa Indonesianya, jadi Bang Parlin bilang bahasa daerahnya saja. Seperti kata Parsiduduan dulu."Sejenis hewan, Dek," jawab Bang Parlin sambil berbisik juga."Bu Nia tidak tahu ya apa Ubung? Ubung itu hewan yang tak punya sayap, tapi dia selalu ingin terbang. Sejenis tupai tapi bertubuh besar," malah Bu Dewan yang menjawab."Ubung itu selalu ingin terbang, dia akan memanjat pohon kelapa, sampai di atas baru menjatuhkan diri sambil bergaya terbang. Menggunakan tangan dan kakinya sebagai sayap. Tak pernah berhasil dia terbang, selalu jatuh ke bawah, akan tetapi dia akan coba lagi dan coba lagi. Sekarang Ubung sudah hampir punah, hmmm, Bang Parlin, itu pidatoku dulu saat kampanye,' kata Bu Dewan."Iya, Bu, jangan jadi Ubung yang mimpi terbang, tetaplah memijak bumi, sadar diri dan sadar kodrat," kata Bang Parlin.Ah, perkataan dua orang ini seperti sa
Dari sekian banyak orang, pada kamilah bupati percaya menitipkan anaknya. Di satu sisi ini seperti kebanggaan tersendiri bagi kami. Karena berarti kami sudah dipercaya, bahkan oleh bupati sendiri."Maaf, Pak, kami pikirkan dulu," kata Bang Parlin akhirnya. Kali ini aku dan Bang Parlin sepemikiran. Berpikir dulu adalah jawaban yang paling tepat."Salsabila sudah tidak mau sekolah di situ lagi, dia sekolah di rumah sekarang, kami undang guru ke rumah," kata bupati menjawab pertanyaan di hati. Kenapa Salsabila tidak sekolah.Kami pulang dari rumah bupati, karena hari sudah sore, sudah bisa jenguk Butet, sekalian lah kami ke sekolah. Saat kami tiba, Butet lagi olah raga lari di lapangan sekolah tersebut."Lagi olahraga, Mak, mengurangi lemak, capek diejek gendut," kata Butet saat kami sudah bertemu."Bagus itu, Tet, jangan kek mamakmu ya," kata Bang Parlin.Kubalas perkataan Bang Parlin dengan cubitan di perutnya."Butet, apa saja kau bilang sama Bang Raja itu?" tanyaku kemudian."Dia t