Suami yang kukira cupu ternyata suhu.

Suami yang kukira cupu ternyata suhu.

Oleh:  Bunga Peony  Baru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 Peringkat
12Bab
17Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Eliana tak pernah menyangka suaminya yg setia ternyata tak lebih dari tukang selingkuh. Semua itu baru dia ketahui setelah 3 tahun pernikahan mereka dan di saat dirinya tengah hamil. Bagaimana Elliana menghadapi kenyataan pahit itu? Mampukan dia mempertahankan pernikahannya? Atau justru memilih pergi dengan anak yang ada di dalam kandungannya?

Lihat lebih banyak
Suami yang kukira cupu ternyata suhu. Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Desti Anggraini
alur cerita yang bagus dan membuat pembaca tertarik.
2024-09-18 07:35:34
0
12 Bab

1. Bukti dari ipar.

“Ada apa, Mbak? Kenapa Mbak ngajak aku ngobrol di sini. Di sini banyak nyamuk Mbak. Kenapa tidak di dalam saja?” tanyaku dengan dahi yang berkerut karena bingung.Aku yang sedang duduk di ruang TV tiba-tiba di panggil dan diajak Kakak iparku ini ke arah taman belakang yang sunyi.Diantara semua tempat, entah kenapa dia mengajakku duduk di taman belakang dekat kolam renang.Raut wajah istri kakak iparku ini tampak begitu aneh. Kedua tangannya saling bertaut dan meremas. Matanya liar menatap ke kiri dan ke kanan seakan takut pada sesuatu atau mungkin lebih tepatnya pada seseorang, mungkin.Vina panduwinata, nama yang indah tersemat di dirinya. Katanya, orang tuanya dulu sangat suka dengan penyanyi tersebut. Berharap anaknya bisa mengikuti jejak sang idola.“Ada yang ingin Mbak sampaikan sama kamu, El. Tapi kamu harus percaya sama Mbak. Mbak gak akan mungkin membohongimu. Mbak mohon untuk sekali ini saja, kamu harus percaya sama Mbak sebelum semuanya terlambat,” bisiknya pelan.Seperti t
Baca selengkapnya

2. Makna yang tersirat.

Kami menoleh ke belakang. Tampak Mama sedang melambaikan tangan untuk memanggil menantu yang merangkap jadi asisten rumah tangga dadakannya itu. Sontak Mbak Vina pergi menghampiri, seraya melengoskan wajahnya dariku. Kenapa jadi dia yang marah. Seharusnya aku dong, suamiku dia fitnah disini. Sikapnya yang seperti itu membuatku semakin yakin, ada niat tak baik yang dia selipkan di balik foto yang ditunjukkan padaku. Aku menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Meredam amarah yang sempat memuncak. Kembali kuusap perutku yang datar. Semenjak hamil aku suka mengusap-usap perutku ini. “Bibimu itu pasti berbohong pada, Mama. Iya, kan, sayang. Papamu orang baik, mana mungkin berbuat hal sejahat itu pada kita. Bibimu itu jahat, dia ingin merusak keluarga kecil kita. Bisa jadi sih, selama ini Bibimu itu iri melihat Mama yang lebih di sayang daripada dirinya,” celotehku pada janin yang belum bisa merespons apa pun. Aku pun kini beranjak dari dudukku, melangkahkan kaki menuju ru
Baca selengkapnya

3. Penolakan keluarga.

"Apa maksud ucapan Mas Ridho?" tanyaku yang tak bisa menyembunyikan rasa penasaranku. "Tak usah kamu dengarkan dia, El. Ridho dan Galuh suka bertengkar sejak dulu di meja makan. Mereka suka membahas hal-hal yang tak penting, itu sebabnya Almarhum Papa mereka melarang berbicara saat makan. Sudahlah, tak usah dihiraukan!" ujar Mama padaku. Dia mengambil sepotong ayam goreng dan meletakkannya ke atas piringku. Mbak Vina melihat itu dengan tatapan cemburu. Dan aku tak peduli itu, dia bisa mengambilnya sendiri jika mau. "Yang dikatakan Mama benar. Tak usah kamu dengarkan perkataan Mas Ridho, dia memang seperti itu sejak dulu. Selalu mencari celah menjatuhkanku. Ya ... mau bagaimana lagi, aku memang selalu lebih unggul darinya," timpal Mas Galuh dengan gayanya yang jumawa. Aku akui terkadang tingkat kepercayaan diri suamiku ini jauh di atas rata-rata. Aku masih kurang puas dengan jawaban suami dan mertuaku itu. Ucapan Mas Ridho dan juga Mbak Vina kini mulai berputar-putar dibenakku.
Baca selengkapnya

4. Pertengkaran dia saudara.

Aku mendekati Mas Ridho dan meninggalkan kedua keponakanku itu di dalam kamar begitu saja. "Sayang, kamu kenapa ke sini? Sebaiknya kamu masuk ke kamar dan tak usah ikut campur dengan masalah ini!" Mas Galuh panik. Dia menarik tanganku untuk menjauh. Tapi segera kutepis tangannya itu.Aku harus tahu apa yang tidak aku ketahui jika memang apa yang dikatakan Mas Ridho adalah benar. Bukan kalimat ngawur karena emosi belaka untuk memecah belah hubungan kami. "Apa maksud ucapamu tentang para mantu dan cucu-cucu Mama?" "Memangnya kau dan Vina bukan menantu Mama? Dan anak yang ada di perutmu itu dan anak-anakku bukan termasuk cucu-cucu Mama?" jawab Mas Ridho kembali membentakku. Intonasinya yang begitu tinggi membuatku sakit hati. Seumur hidup aku tak pernah dibentak kedua orang tuaku dan selama menikah pun Mas Galuh bersikap sopan padaku. Sedangkan kini, Mas Ridho yang hanya sebatas abang ipar sudah lancang membentak-bentak aku. Sikapnya yang begitu kasar sangat bertolak belakang dengan
Baca selengkapnya

5. Hati yang mulai gelisah

Mentari pagi bersinar dengan begitu cerahnya, sinarnya yang hangat melingkupi semua mahkluk di bumi. Aku duduk di teras yang berlantaikan marmer ini. Jajaran pot-pot kecil ada di hadapanku kini sudah berbaris minta sentuhan.Kulepaskan daun-daun kering serta mencabut rumput-rumput kecil yang tumbuh merusak pemandangan mata. Agar pesona kecantikan bunga-bunga ini bisa tampil maksimal. Aku pulang ke rumah jam 8 pagi, setelah sarapan di rumah Mama, Mas Galuh langsung mengantarku pulang ke rumah. Baru setelah itu dia berangkat bekerja. Aku yang merasa bosan mencari kegiatan yang bisa mengusir rasa sepiku.“Mbak, ini di letakkan di mana?” tanya Bi Ninis. Asisten rumah tangga yang sudah bekerja puluhan tahun menagabdi di keluargaku. Dia bekerja sejak aku masih berumur 10 tahun.Bi Ninis sudah seperti orang tua kandung untukku, kehadirannya bisa mengusir kerinduanku pada kedua orang tuaku yang sudah tiada. Menjadi tempatku mengadu dan berkeluh-kesah. “Letak di rak itu saja, Bi! Biar agak
Baca selengkapnya

6. Jatah uang bulanan.

Saat mendengar deru mobil suamiku memasuki pekarangan rumah. Bergegas aku menghampiri Mas Galuh, dia sangat suka jika aku menyambutnya saat pulang kerja dengan tampilan cantik dan fress. “Kamu sudah makan sayang, maaf ya, Mas pulang agak lambat hari ini,” ujarnya. Aku meraih tangannya dan mencium punggung tangan lebar itu. “Belum, aku memang menunggumu, Mas.” “Kalau begitu, Mas mandi dulu.”Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum. Mas Galuh beranjak menaiki anak tangga untuk ke kamar kami. Tak sampai 15 menit suamiku turun dengan tampilan yang lebih fress. Aroma shampoo menguar dari tubuhnya. Wangi maskulinnya membuatku nyaman.Sejak hamil aroma tubuh Mas Galuh menjadi candu untukku. Mas Galuh menarik kursi di sebelahku. Aku langsung membuka piring miliknya dan mengisinya dengan nasi. “Kamu mau lauk apa, Mas?” tawarku. Di depan kami saat ini ada beberapa piring yang tersusun rapi dengan menu masakan kesukaannya. “Apa saja, tampaknya semuanya enak.” Aku mengambilkan
Baca selengkapnya

7. Siapa wanita itu?

Mas Galuh menepati janjinya, dirinya menambahkan jatah uang belanja jatahku. Tentu saja itu membuatku senang. hari ini aku berniat membeli kebutuhan dapur. Kegiatan yang biasa aku lakukan setiap bulannya. Jika biasanya aku ditemani Mas Galuh, namun kali ini aku pergi di temani oleh Bi Ninis.“Bi cariin ini di rak nomor dua yang letaknya paling ujung, ya!” pintaku pada Bi Ninis.Aku memberikan selembar kertas yang berisi lima macam barang yang aku inginkan dan letaknya berdekatan. Mulai dari ember dan kain pel di rumah yang sudah mulai usang.“Baik, Mbak.”Bi Ninis melangkah menjauh dariku. Kini aku mendorong troli-ku mendekati rak yang berisi susu khusus Ibu hamil. Tak lupa tanganku dengan lincah mengambil barang-barang di rak yang aku lewati. Tentunya memang barang yang memang aku butuhkan. Aku bukan tipe wanita yang akan kalap saat berbelanja. Sesampainya di rak susu, aku mengernyitkan dahi saat melihat susu yang aku butuhkan berada di rak yang paling atas seperti biasanya.Tubuhk
Baca selengkapnya

8. Hati yang semakin penasaran.

“Mbak, El! Loh … kok, malah bengong, Mbak. Mbak El kenapa, kenapa wajah Mbak tampak pucat. Ayo kita pulang, Mbak! Mbak harus istirahat.” Bi Ninis merangkul tanganku. Dia menuntun tubuhku yang tiba-tiba lemas untuk kembali ke arah mobil kami yang terparkir.“Bi tadi aku yakin, aku melihat Mas Galuh baru saja turun dari mobil tadi. Dia menggendong seorang anak kecil sekitar satu atau dua tahunan. Tapi sekarang kok, dia tak ada?” kataku seperti anka kecil yang tengah mengadu pada ibunya. Bi Ninis terkekeh kecil. “Ya mana mungkinlah, Mbak. Kan sekarang suami Mbak sedang tugas ke luar kota. Mungkin karena Mbak El rindu sama Pak Galuh paling Mbak. Makanya kebayang-bayang terus. Yang sabar ya Mbak, masa-masa seperti Mbak ini memang selalu ingin di manja dan diperhatikan suami. Besok juga Pak Galuh pulang, Mbak. Sudah jangan dipikirkan terus,” ucap Bi Ninis padaku. Tapi ucapannya tak cukup menenangkanku.Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil aku masih saja kepikiran hingga diam sembari
Baca selengkapnya

9. Mencari tahu kebenaran.

“Kamu mau kemana, sayang?” tanya Mas Galuh. Dia mengecup lembut keningku. Lalu mengusap perutku dengan sayang. “Hmm … aku mau ke pasar rencananya, Mas. Mau belanja bahan perlengkapan dapur,” jawabku berbohong. Aku melirik sekilas pada Bi Ninis memberikan kode untuk diam. “Ke pasarnya nanti saja, suami baru pulang masa mau ditinggal!” Mas Galuh memberikan tasnya pada Bi Ninis, mengajakku masuk ke dalam rumah sambil mengobrol. Kami berdua duduk di sofa yang ada di ruang tv. Mas Galuh menyandarkan bahunya pada sandaran sofa. Bi Ninis kini telah kembali seraya membawa sepiring cemilan serta kopi hitam manis ynag menjadi kesukaan suamiku itu. “Kerjaanmu sudah beres semuanya, Mas? Kemarin kamu bilang di telpon pulangnya lusa malam." Aku merangkul mesra lengan suamiku, sesuatu yang biasa aku lakukan saat kami sedang berdua seperti ini. Mas Galuh menyeruput kopinya pelan kemudian meletakkannya kembali ke atas meja. “Kamu nggak suka melihat Mas pulang cepat?”
Baca selengkapnya

10. Bergerak dalam diam.

“Jangan melihat hal-hal yang tak perlu di lihat. Jangan mencari tahu apa yang tak perlu aku ketahui, agar rumah tanggaku tetap harmonis.” Nasehat Papa kala itu. Aku pun juga melihat Almarhum Mama melakukan hal yang sama. Jadi aku pun ikut menerapkan hal yang serupa. Tiga tahun berumah tangga, tak sekali pun aku memegang ponsel suamiku. Dulu ia pernah memberikannya, namun aku tak mau. Tapi sekarang, rasa ingin tahuku mendorongku untuk melakukan lebih. Aku berjalan dengan pelan menuju balkon. Bersembunyi di balik pintu dekat pagar pembatas. Membuka layar benda pipih tersebut. Membongkar pesan satu persatu. Tak kutemukan ada yang mencurigakan, begitu pun dengan pesan di applikasi hijau yang dia miliki. Aku buka galeri, juga tak ada yang aneh. Hanya ada beberapa foto di galerinya, fotoku dan foto pernikahan kami serta foto yang berhubungan dengan pekerjaannya. Keningku semakin berkerut, apa Mbak Vina membohongiku? Dia sengaja menunjukkan foto tempo hari itu padaku agar
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status