Eliana tak pernah menyangka suaminya yg setia ternyata tak lebih dari tukang selingkuh. Semua itu baru dia ketahui setelah 3 tahun pernikahan mereka dan di saat dirinya tengah hamil. Bagaimana Elliana menghadapi kenyataan pahit itu? Mampukan dia mempertahankan pernikahannya? Atau justru memilih pergi dengan anak yang ada di dalam kandungannya?
Lihat lebih banyakHari yang aku tunggu akhirnya tiba juga. Tak pernah terpikirkan sedikit pun dalam benakku, jika nantinya aku harus duduk di kursi pesakitan ini. Menantikan ketuk palu pak hakim yang memutuskan ikatan pernikahanku dan Mas Galuh.Tak memiliki anak selama pernikahan ternyata tak cukup membuat ketuk palu hakim itu langsung bergema. Mas Galuh dengan tegas menolak serta berniat naik banding membuat keputusan sidang pun ditunda hingga dua minggu selanjutnya. Pihak Mas Galuh terutama ibunya memaksa untuk membagi seluruh harta yang aku miliki jika aku tetap ngotot ingin bercerai, tentu saja aku menolak karena semua itu murni aku dapat dari peninggalan orang tuaku. Keputusanku menolak mentah-mentah permintaan dari pihak Mas Galuh dan tetap ngotot untuk bercerai tentunya membuat mantan mertuaku meradang. Sampai-sampai dia mencegatku di depan kendaraanku dengan gagah berani. "Hey perempuan serakah! Serahkan sebagian harta yang menjadi hak anakku!" teriak mantan mertuaku yang cukup memancing p
Pagi-pagi sekali aku bangun, berpakaian rapi dan bersiap untuk ke kantor. Aku melangkahkan kaki menuju ruang makan untuk sarapan. Betapa terkejutnya aku yang tak mendapati apa pun di atas meja. Biasanya selalu ada menu sarapan yang terhidang, namun kali ini hanya ada meja kotor dengan bekas sisa makanan semalam. "Rahma! Rahma!" Suara bassku menggelegar ke seluruh penjuru ruangan rumah besar ini. "Ada apa sih Mas? Kita tidak sedang tinggal di hutan, gak usah teriak-teriak!" jawabnya santai. Lantah kakinya begitu gemulai menghampiriku seakan tak terjadi apa-apa. "Mana sarapanku?" "Sarapan? Apa yang mau di masak untuk sarapan. Semua bahan di kulkas habis.""Kalau habis ya belanja. Suami mau pergi kerja bukannya di urus malah menghilang entah kemana," sungutku. Pagi-pagi aku sudah dibuat naik darah dengan tingkah istriku yang tak tahu aturan, sangat berbeda sekali dengan Elliana. Kenapa hatiku tiba-tiba merindukannya.Rahma dengan santai seraya tersenyum manja mengadahkan tangan di
Pov. GaluhAku pulang ke rumah dalam keadaan wajah yang lebam. Baru saja sampai di depan rumah aku sudah di sambut dengan canda tawa istri keduaku bersama kedua orang tuanya. Dua orang tua yang tak memiliki pekerjaan itu menjadi beban tambahan untukku. "Mas kamu sudah pulang," sapa Rahma riang yang langsung bergelayut manja di tanganku saat aku baru saja melewatinya. Aku melirik ke arahnya sekilas dan kembali melanjutkan langkah kakiku tanpa menyapa kedua orang taunya itu."Loh, Mas. Wajahmu kenapa?" Rahma menyusul dari belakang hingga kami masuk ke dalam kamar. Tak satu patah pun keluar dari mulutku. Aku kesal. Semenjak kedua orang tuanya ikut tinggal bersama di rumah ini sejak delapan bulan yang lalu, pengeluaran kami melonjak menjadi dua kali lipat. "Mas, kamu kenapa? Aku nanya dari tadi kamu diam saja?" ucap Ratna bertanya sekali lagi seraya menahan lenganku. Menghentikan langkah kakiku yang hendak menuju kamar
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Mas! Pergilah! Hubungan di antara kita sudah selesai."Mata Mas Galuh berubah tajam dan menata ke arah Kak Bian sekilas sebelum akhirnya kembali menatap ke arahku. Kak Bian tampak masih tenang di tempatnya berdiri. Mas"Apa karena lelaki itu? Makanya kamu gak mau kembali rujuk padaku.""Kamu tahu dengan pasti alasannya Mas. Tak usah menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi di antara kita dan merasa dirimu yang paling terluka," ujarku kesal.Aku sudah muak mendengar ucapannya yang hanya bisa menyakahkan dan memojokkan orang lain tanpa sadar akan kesalahan dirinya sendiri. Dia yang menghadirkan wanita lain dalam pernikahan kami dan kini dia juga yang menuduhku. "Cepat pergi dari sini, Mas! Pergi!"Mas Galuh menahan lenganku erat membuat lengan ini terasa perih. "Sudah cukup bermain merajuknya El. Sekarang kamu ikut aku pulang! Sampai kapanpun kamu akan tetap menjadi istriku. Tak akan ada perceraian di antara kita," ujar Mas Galuh geram seraya men
Mas Galuh menutup telponnya setelah kami berdebat cukup sengit. Aku tak mengerti jalan pikiran lelaki itu. Kemarin seperti senang tanpa beban kami berpisah tapi kini seperti enggan dan merasa rugi. Sebenarnya apa yang tengah dia rencanakan?"Ada apa? Memangnya dia bilang apa?" cecar Vee langsung setelah sambungan itu terputus. Wajahnya terlihat cukup serius. "Dia bilang tak akan menceraikanku. Sampai mati aku tetaplah istrinya.""Apa dia gila? Sidang perceraian kalian saja akan di gelar lusa. Lalu bagaimana pula bisa dia bilang begitu," geram Vee sembari mengeluarkan kata kasar yang ditujukannya pada Mas Galuh. "Dia bilang akan mengajukan banding jika sampai hakim mengabulkan permohonan ceraiku. Jika permohonan banding itu di tolak tetap saja dia tak akan menandatangi surat apa pun yang menyatakan kami sudah bercerai. Aku benar-benar tak mengerti isi otaknya itu," ucapku tak kalah mengomelnya. "Hubungi pengacaramu dan beritahukan perihal ini, aku yakin dia punya jalan keluar." Vee
Semalaman aku terngiang-ngiang ucapan Rahma dan Mas Galuh yang begitu merendahkanku. Selama ini aku tak pernah berpikir untuk memulai bisnis apa pun. Ijazah S1 yang kupunya hanya berakhir di dalam lemari tanpa sempat aku manfaatkan.Selama menikah, Mas Galuh juga tak pernah memaksa agar aku bekerja. Karena menurutnya seorang istri hanya cukup di rumah mengurus anak dan suami. Aku pikir sikapnya itu karena dia sayang padaku, ternyata aku salah. Semua itu tak lebih upaya agar aku terus bergantung hidup dengannya dan pasrah saat dia berbuat semena-mena. Saat sedang berselancar di dunia maya, tiba-tiba muncul di berandaku sebuah undangan untuk demo bakery yang di bagikan oleh salah satu teman di akunku. Entah kenapa aku tertarik.Tak perlu pikir panjang, aku pun menghubungi nomor yang tertera dan menanyakan lebih detail lagi tentang postingan yang dia buat. Bak gayung bersambut, aku pun ikut dan langsung mentransfer sejumlah uang untuk pendaftaran, walau sebetulnya aku sedikit ragu mem
Sunyi, sepi dan merana seorang diri. Inilah jalan hidup yang aku harus lalui. Hati ini penuh sesak dan lebam. Takdir begitu kejam mempermainkanku hingga tak mengizinkanku untuk tertawa. Aku pergi menemui Vee dan menceritakan semua padanya. Hanya dia satu-satunya keluarga yang aku punya dan aku harapkan bisa menjadi tempat untukku mencurahkan segalanya. "Tenangkan dirimu! Kamu tidak bisa menangis seperti ini terus, ingat kondisi tubuhmu yang belum stabil pasca keguguran itu," tegur Vee lembut. Tangannya tak henti-henti mengusap punggungku lembut. "Bagaimana aku bisa tenang. Orang yang selama ini aku percaya ternyata adalah orang yang mengkhiatiku. Dulu aku sempat menduga-duga jika Papa memiliki wanita lain hingga Mama terlihat tak bahagia, Bi Ninis terus meyakinkanku jika semua itu tak benar dan mengatakan padaku Papa begitu mencintai Mama. Tapi ternyata dialah wanita yang menjadi duri dalam daging di pernikahan orang tuaku!"Vee terdiam. Mungkin dia tak tahu harus berkomentar apa,
Dewangga memintaku untuk bertemu di tempat kami pernah bertemu setelah jam makan siang. Aku mengiyakan ajakannya mengingat telah lama dia tak memberiku informasi sejak insiden aku mengacaukan acara ulang tahun anak Rahma. Baru saja memasuki cafe aku sudah mendapati dirinya yang tengah duduk santai sembari menikmati secangkir kopi. "Maaf aku terlambat. Apa sudah lama menunggu?" sapaku sambil menarik kursi di hadapannya. "Ya, sudah satu cangkir kopi," balasnya datar. Pria ini terlihat sedikit misterius menurutku, tak banyak omong dan tatapan matanya cukup tajam. "Maaf," balasku tak enak hati. Semua ini gara-gara Bi Ninis yang tak membangunkanku tepat pada jam yang aku minta karena alasan lupa. Tak biasanya Bi Ninis teledor seperti itu. "Silakan pesan dulu," tawar Dewangga sebelum aku membuka mulut untuk bertanya. Aku pun memanggil pelayan untuk memesan minuman saja karena aku sudah makan dari rumah. "Katakan, ada informasi apa?" tanyaku yang tentu saja penasaran. "Ini tentang p
Hari-hari tenang dalam hidupku telah sirna. Di gantikan dengan kesepian bertemankan kerinduan. Duduk di teras atau ruang tamu menjadi kebiasaaanku akhir-akhir ini. "Mbak, El. Ayo makan! Bibi lihat akhir-akhir ini Mbak jarang makan. Lihat badan Mbak makin lama makin kurus saja," ujar Bi Ninis membuyarkan lamunanku. Aku yang tengah bersandar di sofa hanya menoleh malas padanya. "Nanti kalau lapar aku akan makan, Bi. Bibi makan saja duluan dan tak perlu khawatir," sahutku. Aku bukan anak kecil yang harus di ingatkan setiap saat. "Tapi Mbak—"Aku langsung melebarkan mataku pada Bi Ninis agar dia berhenti berbicara. Bi Ninis pamit ke dapur dengan perasaan sedih. Kasihan melihat wanita paruh baya itu pergi dengan raut wajah seperti itu. Tapi jika tidak dibegitu kan, dia akan terus mengaturku. Sepertinya aku harus punyaa kesibukan baru agar tak tampak menyedihkan melamun seorang diri.Suara mobil memasuki halaman rumah. Aku beranjak dan melihat dari pintu masuk. Kak Bian keluar dengan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen