Share

6. Jatah uang bulanan.

  Saat mendengar deru mobil suamiku memasuki pekarangan rumah. Bergegas aku menghampiri Mas Galuh, dia sangat suka jika aku menyambutnya saat pulang kerja dengan tampilan cantik dan fress.

  “Kamu sudah makan sayang, maaf ya, Mas pulang agak lambat hari ini,” ujarnya. Aku meraih tangannya dan mencium punggung tangan lebar itu.

  “Belum, aku memang menunggumu, Mas.”

  “Kalau begitu, Mas mandi dulu.”

Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum. Mas Galuh beranjak menaiki anak tangga untuk ke kamar kami.

  Tak sampai 15 menit suamiku turun dengan tampilan yang lebih fress. Aroma shampoo menguar dari tubuhnya. Wangi maskulinnya membuatku nyaman.

Sejak hamil aroma tubuh Mas Galuh menjadi candu untukku. Mas Galuh menarik kursi di sebelahku. Aku langsung membuka piring miliknya dan mengisinya dengan nasi.

  “Kamu mau lauk apa, Mas?” tawarku. Di depan kami saat ini ada beberapa piring yang tersusun rapi dengan menu masakan kesukaannya.

  “Apa saja, tampaknya semuanya enak.”

  Aku mengambilkan lauk itu untuknya. Kami makan sambil mengobrol santai tentang hari-hari yang kami telah kami lewati.

Tak ada yang berbeda hari ini, Mas Galuh menanggapi semua ceritaku tentang kesibukanku di rumah, serta keluhanku yang mulai merasakan keram di bagian perut.

“Kenapa tidak dihabiskan, Mas?” tanyaku seraya menatap makanan yang masih ada di piring. Padahal aku mengambilkan sedikit untuknya tadi.

“Mas sudah kenyang,” jawabnya singkat. Aku pun mengangguk saja.

  Drettt! Dreet!

Ponsel Mas Galuh bergetar di atas meja. Tak ada yang tampak, selain bulatan kamera tiga biji yang terdapat di sana. Mas Galuh biasa meletakkan ponselnya dengan layar yang terbalik.

“Kenapa tidak diangkat, Mas?”

  “Malas, paling juga soal kerjaan. Biarkan saja, nanti juga bakalan sms.”

  Apa yang dikatakannya pun benar, setelah tiga kali menelpon dan tidak diangkat. Sebuah notif pesan masuk ke dalam ponselnya.

Mas Galuh pun melihatnya, posisinya yang menyamping membuatku tak dapat melihat isi dari chat-nya secara jelas.

  “Siapa Mas?”

“Teman satu departemen di kantor, dia mengingatkan jika besok ada meeting yang harus dihadiri. Besok mungkin Mas akan lembur sampai larut Malam. Jadi kamu besok nggak usah nungguin Mas pulang ya!” jelasnya, mataku menatapnya sedikit tak suka.

  “Akhir-akhir ini kamu sering banget lembur bahkan beberapa kali menginap di kantor. Sesibuk itukah dirimu, Mas?” keluhku.

Mas Galuh membelai pipiku lembut. Dia juga mengecup keningku mesra. Berusaha membujuk diriku yang mulai merengut.

  "Kamu tolong ngertiin Mas ya, sayang! Mas juga kerja untuk keluarga kita."

Rayuan dan gombalan mulai dia layangkan untuk membujukku. Walau masih marah aku mencoba mengerti dan tersenyum untuk suamiku.

  Aku tak boleh egois, kan. Tak hanya diriku yang menjadi tanggungannya saat ini. Masih ada Mama beserta rumah yang ditempatinya yang menjadi beban berat Mas Galuh.

Mas Galuh dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang sederhana. Bapaknya hanyalah seorang pegawai pemerintahan dengan jabatan rendah saat itu.

Sejak Mas Galuh bekerja di perusahaan yang sekarang sekitar 6 tahun yang lalu, barulah ekonomi keluarganya membaik.   

Dengan gaji yang dia peroleh selama 6 tahun ini akhirnya mampu membelikan Mamanya sebuah hunian yang luas dan layak yang ditempati semua anggota keluarganya sekarang.

Ditambah dengan meminjam uang senilai ratusan juta dari Bank. Walau kenyataannya harus memotong hampir setengah uang gajinya yang menjadi hakku.

Sebagai manager kepala cabang, Mas Galuh hanya memberiku 3 juta sebulan, sedangkan sisa dari gajinya yang berjumlah 25 juta keseluruhannya dia bagi untuk orang tua, bayar bank, serta mobil yang dia kredit saat ini.

Tentu saja uang segitu jauh dari kata cukup bagiku. Tapi aku tetap menerimanya dengan ikhlas dan diam.

  Ada satu hal yang tidak Mas Galuh ketahui tentangku, aku memang terlahir dari keluarga kaya dan Mas Galuh tahu akan hal itu. Namun dia hanya mengetahui aku adalah anak yang ditinggal orang tuanya harta berupa rumah mewah dan tabungan uang seratus juta saja. Tidak lebih.

  Aku memang sengaja tidak jujur tentang keuanganku pada setiap lelaki yang mendekatiku dulu, termasuk Mas Galuh hingga dia resmi menjadi suamiku pun aku tetap bungkam.

  “Kalau begitu, berarti gajimu bulan ini lumayan dong, Mas,” sindirku.

Bulam depan, jatah belanjaku di tambah, ya?” lanjutku bersemangat.

  “Kamu tahu sendiri, kan, sayang. Gaji Mas sudah kepotong hutang Bank dan lain-lainnya, tanpa Mas jelaskan pun kamu sudah mengerti pembagiannya,” tolaknya halus. Aku merengut memasang wajah kecewa.

   Lagi-lagi keinginanku tak dikabulkannya. Apa dia tidak sadar jika uang tiga juta sebulan dengan kebutuhan rumah sebesar ini jauh dari kata cukup.

  “Tapi Mas, aku sekarang hamil. Aku perlu uang tambahan untuk kontrol kandungan. Uang segitu mana cukup, belum lagi aku juga harus menabung perlengkapan untuk kelahiran anak kita.”

   Mas Galuh tampak menghela napas berat. “Baiklah, besok Mas tambah jatah belanjanya, ya. Tapi Maaf, Mas nggak bisa nambah banyak-banyak. Paling hanya satu juta saja.”

  “Aku mau kamu genapkan menjadi 5 juta. Tabunganku sudah tak ada lagi. Kamu nggak kasihan melihatku dan calon anakmu ini. Apa kamu mau aku dan anakmu kekurangan gizi karena tak mampu membeli susu Ibu hamil dan kontrol kandungan rutin setiap bulan!” desakku mulai menuntut. Mas Galuh menatapku tajam sejenak.

  Aku terdiam melihat mata elang itu. Tapi aku tak peduli, entah dapat keberanian dari mana aku mulai menuntutnya seperti ini.

   “Kita lihat besok, El. Mas usahakan. Tapi jika Mas tak mampu, kamu jangan marah,”

  “Kamu tak mampu, Mas?! Gajimu 25 juta sebulan dan memberikan istrimu 5 juta saja kamu nggak mampu? Masih hebat Mas Ridho dong, dia yang cuma karyawan bisa selalu memberikan Mbak Vina 5 juta bulat untuk istrinya. Sedangkan kamu—”

  “Cukup! Jangan samakan aku dengan Mas Ridho dong, El. Kami itu beda jauh. Ok, besok aku kasih yang kamu mau, jadi jangan berdebat lagi!” sentak Mas Galuh marah.

  Aku tahu betul, dia paling anti jika dibanding-bandingkan dengan saudaranya itu. Tapi apa yang aku katakan memang kenyatannya, Mas Ridho memberikan semua gaji yang dia dapat untuk dikelola oleh istrinya.

  Mas Galuh hendak beranjak dari meja makan. Namun sedetik kemudian dia kembali berbalik menatapku.

  “Jika kamu merasa tak mampu untuk merawat rumah besar ini. Bagaimana kalau rumah ini kita jual saja, El. Kita bisa pakai sebagian uang hasil menjual rumah untuk modal usaha baru. Bagaimana?” saran Mas Galuh.

Aku tersentak kaget, mataku melotot sempurna padanya.

 

“Enak sekali kamu ngomong, Mas. Jika rumah ini dijual kita mau tinggal dimana? Lagi pula, rumah ini peninggalan orang tuaku, banyak kenanganku di rumah ini. Pokoknya sampai kapan pun aku tak akan mau menjualnya. Tidak, titik!” jawabku tegas. Mas Galuh tampak tersenyum tipis.

   “Mas hanya memberi saran, jika kamu tak setuju, ya, terserah. Mas juga nggak memaksa, ya sudah. Mas mau ke kamar dulu. Mas mau istirahat, capek!” tandasnya sambil berlalu pergi meninggalkan aku yang kesal seorang diri.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status