Tak berselang lama, mobil yang dikendarai Mas Galuh pun terdengar memasuki rumah. Aku tersenyum hambar mendengarnya.
“Pintar sekali dirimu membagi waktu Mas. Pagi bekerja, siang hingga larut malam untuk selingkuhan. Pantas saja kamu getol banget mengumandangkan alasan kata 'lembur' itu di telingaku. Ternyata ada anak dan istri baru yang kamu sembunyikan dengan rapi dariku!” Aku yang sedang duduk di tuang keluarga bergegas ke kamar. “Sekarang kita mulai bermain suamiku sayang. Jangan panggil namaku Elliana jika tidak bisa membalas pengkhiantanmu padaku!" batinku geram.Sesampainya di kamar aku langsung mengambil semprotan pengharum ruangan beraroma jeruk yang menjadi aroma yang paling tidak disukai Mas Galuh. Katanya seperti bau bus. Aku sengaja menyemprot seluruh kamar dengan begitu banyak semprotan pengharum ruangan agar baunya yang menyebar itu semakin pekat.Pintu kamar pun terbuka, Mas Galuh mengerutkan dahinya sembari mengiSesuai janji, jam 2 siang aku bertemu dengan lelaki yang akan membantuku untuk mencari informasi tentang rahasia yang disembunyikan suamiku. Kami berbicara di ruang kerja Vee. Lelaki itu menatap map yang berisikan biodata lengkap suamiku. Bahkan jam-jam tertentu dia pergi ke tempat fitnes hanya untuk menjaga stamina dan kebugaran fisiknya. "Baiklah, team kami akan berusaha secepat mungkin untuk mendapatkan informasi tentang rahasia suami, Mbak." "Terima kasih sebelumnya. Tapi saya harap kalian bisa mengorek informasi sampai hal yang terkecil sekalipun dan juga aku mau kamu mencari informasi tentang pembantu rumah tanggaku.""Bi Ninis? Apa kamu mencurigainya yang berselingkuh dengan Mas Galuh? Yang benar saja, El!" celetuk Vee salah paham. Aku memberi tatapan geram padanya. Dia yang sedari tadi hanya diam kini mulai membuka suara dan memberi komentar yang salah sasaran. "Aku tidak menuduh Bi Ninis selingkuh dengan Mas Galuh.
"El! Eliana!" Pagi-pagi sekali teriakan Mas Galuh menggema di rumah ini. Aku yang tengah duduk santai di teras belakang hanya diam tak menanggapi sambil menikmati secangkir coklat panas dipadu sepiring kecil roti bakar.Teriakan itu beberapa kali masih terus bergema hingga derap langkah kakinya terdengar mendekat ke arahku. "El, aku memanggilmu sedari tadi. Apa mulutmu itu bisu?" sentak Mas Galuh setelah berhasil mendapatiku duduk di teras belakang ini. Kupandangi sekilas wajah lelaki yang semalaman tak pulang itu. Ada rasa nyeri yang merayap di hati ini membayangkan semalaman dia tidur dalam dekapan wanita lain di belakangku. "Lagian ngapain pakai teriak-teriak pagi-pagi begini Mas. Memangnya apa yang membuatmu panik setelah semalaman tak pulang, Mas?" cibirku mengacuhkan keberadaannya yang kini telah berdiri tepat di sampingku.Dari sudut mataku dapat kulihat wajah mas Galuh tampak tersentak kaget. Dia pun berpindah posisi duduk pada
Aku menangis seorang diri di kamar ini. Sekuat apa pun diri ini berusaha untuk tegar tetap saja hatiku rapuh tatkala menyadari bukan hanya diriku satu-satunya pendamping Mas Galuh. Ada wanita lain yang masih disembunyikan dengan rapi dan dimanjakan suamiku, sementara diriku terus di tuntut untuk memenuhi semuanya. "Jika bukan karena anak yang ada dalam kandunganku, mungkin aku sudah membunuhmu, Mas."Pintu kamar terketuk mengejutkanku dari keterpakuan. Bergegas kuhapus air mata yang membasahi pipi. "Masuk!" Suara serakku bergema. Pintu terbuka, Bi Ninis masuk masuk dengan sebuah nampan di tangannya. Bi Ninis duduk di sampingku. Wajah keriput itu memandang heran padaku yang duduk di pinggir ranjang tak berani menatap ke arahnya. "Ada apa Mbak, kenapa Mbak menangis?" "Menangis? Siapa ya habis menangis, Bi?" dalihku. Aku hanya ingin menyembunyikan semuanya namun air mata yang terus kutahan justru turun seperti air bah yang meluap tak disangka. Akupun menutup wajahku dengan dua
Ketika pagi kembali menyapa, aku kembali dihadapkan dengan sosok mertua yang datang dengan wajah asam. "Kamu benar-benar kelewatan ya, El. Sampai detik ini belum juga kamu kirimkan uang yang menjadi hak Mama!" Sentak mertuaku langsung. Mata bulatnya semakin melebar di antara kulit keriputnya itu. "Kalau kamu gak bisa transfer, sekarang Mama yang jemput. sini uang itu sekarang! Mama gak punya banyak waktu." Telapak tangan wanita yang kerap berbicara lembut padaku selama ini terulur mengadah dan menatap sinis padaku. Jauh berbeda dari biasanya. Aku hanya duduk santai dan menghadapinya dengan tenang. Aku sengaja tak mau memberikan uang itu. Jika biasanya aku langsung memberikan langsung hanya untuk menghindari pertengkaran, tapi kali ini berbeda. Aku justru sengaja memancing pertengkaran itu muncul. Mbak Asma yang berada di pihakku kemarin memberiku kabar. Kabar yang membuatku mengerti kenapa suami dan mertuaku itu ngotot sekali meminta uang dariku. "Maaf Ma, bukannya aku mena
Suasana di rumah minimalis milik Rahma terlihat begitu ramai dengan beberapa orang yang tengah berkumpul di teras. Tamu atau sanak saudara, aku tak tahu. Aku sudah seperti seorang detektif duduk di lantai dua rumah Mbak Asma dengan sebuah tropong di tangan. Aku tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan tapi yang pasti mereka tampak sedang bercengkrama hangat. Gelak tawa dan senyum lebar memancarkan kebahagian di wajah Rahma yang membakar dadaku. Dia bisa bersenang dan tertawa riang bersama keluarga dan juga teman-temannya sementara aku harus menanggung derita seorang diri. Ini tak adil. Sebuah mobil pick-up memasuki pekarangan rumah mencuri perhatian mereka. Lewat benda bulat di tanganku ini dapat aku lihat wajah mereka yang terkejut. "Sampai kapan kita menunggu di sini?" sapa Mbak Asma mengagetkanku. Dia sudah rapi dengan stelan gamis berwarna biru wardah yang cerah. Serasi dengan kemeja batik milik putranya yang paling kecil berumur 6 tahun."Mbak berangkat saja dulu. Aku masi
Pov. Rahma"Alhamdulillah ya, Ma. Sekarang anakmu sudah besar dan pernikahan kalian pun terlihat harmonis. Suamimu pun aku lihat sudah mapan. Aku benar-benar tak menyangka kamu bisa seperti ini," puji Mbak Dina. Saudara sepupuku itu. Biasanya dia selalu merendahkan dan menghinaku karena aku terlahir dari kedua orang tua dari kalangan ekonomi rendah. Jangankan hidup mewah, bahkan rumah pun tak mampu orang tuaku miliki untuk tempat kami berteduh dulu. Kini semudah membalikkan telapak tangan, hidupku yang dulu susah berbalik berkecukupan di banding dirinya dan keluargaku yang lain. Hinaan yang dulu kerap aku terima telah berbalik menjadi pujian yang terdengar indah di telinga.Di hari ulang tahun putraku yang kedua ini, aku sengaja mengundang semua tetangga di komplek ini dan juga sanak saudaraku agar mereka bisa melihat betapa mewah dan megahnya rumah yang aku tempati ini.Rumah yang didesain sesuai keinginnaku. Hadiah yang diberikan Mas Galuh padaku. "Alhamdulilah Mbak. Oh ya, rumah
Mas Galuh menarik tanganku saat aku sedang mengamuk menghancurkaan papan bunga yang tak tahu pengirimnya itu. "Lepaskan aku, Mas! Biar aku bakar papan itu sekalian!" ucapku penuh emosi. Semua mata memandang hina padaku setelah membaca tulisan yang tertera di sana."Siapa yang berani mengirimkan karangan bunga itu Mas? Pasti ini ulah dia!" tukasku. Aku tahu kosekuensi sebagai istri kedua, cepat atau lambat aku memang akan menghadapi hal semacam ini. Tapi kenapa harus saat semua anggota keluargaku sedang berkumpul. Seharusnya mereka semua memandang takjub padaku kini pasti sedang mencibirku. "Tenangkan dirimu. Jangan sampai orang-orang melihatmu yang seperti ini. Aku yakin pasti ada orang iseng yang mengirimkan karangan bunga itu," ujar Mas Galuh seraya memegang kedua bahuku.Dia berusaha untuk menenangkan hatiku yang gelisah. Tetapi tetap saja, hati dan pikiranku gelisah. Aku takut dia akan datang hari ini. Kalau bukan karena keluarga yang tengah berkumpul, aku juga gak akan sepanik
Prang!Tongkat kayu sepanjang 70 cm di tanganku terayun pelan ke arah vas bunga kecil yang menjadi hiasan meja cantiknya. Vas kristal itupun terjatuh dan pecah berderai. Semua yang ada di situ pun terkejut. Ada sebagian memilih untuk pulang membawa anak-anaknya. Sebagian lagi yang tersisa ada yang menguping dari luar. Kami seperti topeng monyet menjadi tontonan gratis mereka. Rahma terkaget, wajahnya yang awalnya sumringah karena akan merayakan ulang tahun putrinya, kini wajah itu berubah pucat pasi. "Apa kamu sudah gil, Elliana!" teriak Mas Galuh menghentikan aksi bar-barku. Melihat hunian mereka yang begitu mewak funitrr dak juga hisasannya membuat hatiku semakin panas. "Iya, aku memang gila. Semua karena kamu dan wanita murahan itu!" Aku menunjuk ke arah Rahma yang tengah menyerahkan anaknya pada wanita tua yang mungkin saja itu ibunya. Kemudian dia ikut bergabung bersamaku dan juga Mas Galuh. "Jadi ini alasan yang kamu k