Ketika pagi kembali menyapa, aku kembali dihadapkan dengan sosok mertua yang datang dengan wajah asam. "Kamu benar-benar kelewatan ya, El. Sampai detik ini belum juga kamu kirimkan uang yang menjadi hak Mama!" Sentak mertuaku langsung. Mata bulatnya semakin melebar di antara kulit keriputnya itu. "Kalau kamu gak bisa transfer, sekarang Mama yang jemput. sini uang itu sekarang! Mama gak punya banyak waktu." Telapak tangan wanita yang kerap berbicara lembut padaku selama ini terulur mengadah dan menatap sinis padaku. Jauh berbeda dari biasanya. Aku hanya duduk santai dan menghadapinya dengan tenang. Aku sengaja tak mau memberikan uang itu. Jika biasanya aku langsung memberikan langsung hanya untuk menghindari pertengkaran, tapi kali ini berbeda. Aku justru sengaja memancing pertengkaran itu muncul. Mbak Asma yang berada di pihakku kemarin memberiku kabar. Kabar yang membuatku mengerti kenapa suami dan mertuaku itu ngotot sekali meminta uang dariku. "Maaf Ma, bukannya aku mena
Suasana di rumah minimalis milik Rahma terlihat begitu ramai dengan beberapa orang yang tengah berkumpul di teras. Tamu atau sanak saudara, aku tak tahu. Aku sudah seperti seorang detektif duduk di lantai dua rumah Mbak Asma dengan sebuah tropong di tangan. Aku tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan tapi yang pasti mereka tampak sedang bercengkrama hangat. Gelak tawa dan senyum lebar memancarkan kebahagian di wajah Rahma yang membakar dadaku. Dia bisa bersenang dan tertawa riang bersama keluarga dan juga teman-temannya sementara aku harus menanggung derita seorang diri. Ini tak adil. Sebuah mobil pick-up memasuki pekarangan rumah mencuri perhatian mereka. Lewat benda bulat di tanganku ini dapat aku lihat wajah mereka yang terkejut. "Sampai kapan kita menunggu di sini?" sapa Mbak Asma mengagetkanku. Dia sudah rapi dengan stelan gamis berwarna biru wardah yang cerah. Serasi dengan kemeja batik milik putranya yang paling kecil berumur 6 tahun."Mbak berangkat saja dulu. Aku masi
Pov. Rahma"Alhamdulillah ya, Ma. Sekarang anakmu sudah besar dan pernikahan kalian pun terlihat harmonis. Suamimu pun aku lihat sudah mapan. Aku benar-benar tak menyangka kamu bisa seperti ini," puji Mbak Dina. Saudara sepupuku itu. Biasanya dia selalu merendahkan dan menghinaku karena aku terlahir dari kedua orang tua dari kalangan ekonomi rendah. Jangankan hidup mewah, bahkan rumah pun tak mampu orang tuaku miliki untuk tempat kami berteduh dulu. Kini semudah membalikkan telapak tangan, hidupku yang dulu susah berbalik berkecukupan di banding dirinya dan keluargaku yang lain. Hinaan yang dulu kerap aku terima telah berbalik menjadi pujian yang terdengar indah di telinga.Di hari ulang tahun putraku yang kedua ini, aku sengaja mengundang semua tetangga di komplek ini dan juga sanak saudaraku agar mereka bisa melihat betapa mewah dan megahnya rumah yang aku tempati ini.Rumah yang didesain sesuai keinginnaku. Hadiah yang diberikan Mas Galuh padaku. "Alhamdulilah Mbak. Oh ya, rumah
Mas Galuh menarik tanganku saat aku sedang mengamuk menghancurkaan papan bunga yang tak tahu pengirimnya itu. "Lepaskan aku, Mas! Biar aku bakar papan itu sekalian!" ucapku penuh emosi. Semua mata memandang hina padaku setelah membaca tulisan yang tertera di sana."Siapa yang berani mengirimkan karangan bunga itu Mas? Pasti ini ulah dia!" tukasku. Aku tahu kosekuensi sebagai istri kedua, cepat atau lambat aku memang akan menghadapi hal semacam ini. Tapi kenapa harus saat semua anggota keluargaku sedang berkumpul. Seharusnya mereka semua memandang takjub padaku kini pasti sedang mencibirku. "Tenangkan dirimu. Jangan sampai orang-orang melihatmu yang seperti ini. Aku yakin pasti ada orang iseng yang mengirimkan karangan bunga itu," ujar Mas Galuh seraya memegang kedua bahuku.Dia berusaha untuk menenangkan hatiku yang gelisah. Tetapi tetap saja, hati dan pikiranku gelisah. Aku takut dia akan datang hari ini. Kalau bukan karena keluarga yang tengah berkumpul, aku juga gak akan sepanik
Prang!Tongkat kayu sepanjang 70 cm di tanganku terayun pelan ke arah vas bunga kecil yang menjadi hiasan meja cantiknya. Vas kristal itupun terjatuh dan pecah berderai. Semua yang ada di situ pun terkejut. Ada sebagian memilih untuk pulang membawa anak-anaknya. Sebagian lagi yang tersisa ada yang menguping dari luar. Kami seperti topeng monyet menjadi tontonan gratis mereka. Rahma terkaget, wajahnya yang awalnya sumringah karena akan merayakan ulang tahun putrinya, kini wajah itu berubah pucat pasi. "Apa kamu sudah gil, Elliana!" teriak Mas Galuh menghentikan aksi bar-barku. Melihat hunian mereka yang begitu mewak funitrr dak juga hisasannya membuat hatiku semakin panas. "Iya, aku memang gila. Semua karena kamu dan wanita murahan itu!" Aku menunjuk ke arah Rahma yang tengah menyerahkan anaknya pada wanita tua yang mungkin saja itu ibunya. Kemudian dia ikut bergabung bersamaku dan juga Mas Galuh. "Jadi ini alasan yang kamu k
"Akhirnya kamu pulang juga!"Aku yang baru saja memasuki kamar terkejut dengan keberadaan Mas Galuh. Dia duduk di pinggir ranjangku dengan tatapan mata yang begitu tajam. Pakaian yang dikenakannya berbeda dengan pagi tadi."Untuk apa kamu pulang? Bukannya hampir setiap malam kamu lembur. Apa malam ini gak lembur lagi?" cibirku membalas tatapan matanya dengan sinis. Mas Galuh berdiri dan menghampiriku kemudian mencengkaram pundakku kuat. Cukup sakit tapi tak sebanding dengan rasa sakit yang ada di hati ini. "Sejak kapan kamu tahu aku memiliki istri lain?""Apa itu penting bagimu, Mas? Kamu begitu asik dengan kehidupanmu dengannya sampai-sampai gak sadar memiliki aku sebagai istri sah!"Kutepis tangan itu kuat agar terlepas. Langkah kakiku pun berbelok ke kanan untuk meghindar. "Kamu sengaja melakukan itu untuk mempermalukan aku dan juga Rahma kan?" Suara Mas Galuh meninggi. "Kalau memang iya, kenapa? Itu mema
"Kamu akan tahu apa yang aku bisa nantinya. Sementara kamu, apa yang kamu bisa jika suamimu itu tak memiliki penghasilan lagi? Jual diri atau menggoda suami orang lain lagi untuk menjadi penopang hidupmu itu?" balasku menyerang harga dirinya. Wanita yang hanya bermodalkan mengangkang berani-beraninya menghinaku. "Kurang ajar!" Rahma menampar wajahku. Aku yang tak siap tak dapat mengelak. Kupegangi wajah ini yang terasa pedih, sesak di dadaku semakin menjadi. Dengan gerakan cepat aku kembalikan tamparan yang dia berikan padaku sekaligus bunganya di pipi kiri dan kanan. "Kau—""Kenapa? Apa kamu pikir aku akan diam dan menangis saja setelah kau perlakukan aku seperti ini. Satu tamparan yang kau berikan aku kembalikan dua kali lipat, begitupun rasa sakit dan penghinaan yang telah kalian berikan padaku akan aku kembalikan segera. Sekarang keluar kau dari rumahku!" Aku menunjuk ke arah pintu tempat di mana dia harus melangkah. Bi Ninis mendekati Rahma dan meminta wanita itu untuk pergi
Setelah tiga hari menjadi pengungsian di rumah Vee, tak sekalipun Mas Galuh menghubungiku. Dia seakan tak peduli dengan apa yang terjadi padaku. Aku mengajukan tuntutan perceraian melalui pengacara yang aku percaya. Bukti-bukti perselingkuhannya dengan wanita itu sudah ada di tangan lengkap tak kurang satu pun diberikan orang bayaranku. Kini aku berada di kantor Mas Galuh. Menemui bagian HRD dan melaporkan semuanya. Aku pikir akan ada tanggapan positif yang aku dapat nyatanya justru jawaban yang tidak memuaskan. "Maafkan kami, Bu. Untuk memecat seorang karyawan, bukti-bukti ini saja tak cukup. Sebenarnya ini sudah merupakan wilayah internal rumah tangga yang seharusnya taj perlu di bawa ke pekerjaan. Pak Galuh termasuk manager yang sangat kompeten di perusahaan dan juga jabatannya cukup tinggi dan tak memungkinkan untuk saya mencopot jabatan itu begitu saja," ucap wanita yang umurnya mungkin lebih tua sepuluh tahun dariku. Dia juga wanita dan