Share

16. Penolakan Eliana.

Author: Bunga Peony
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"El! Eliana!" Pagi-pagi sekali teriakan Mas Galuh menggema di rumah ini. Aku yang tengah duduk santai di teras belakang hanya diam tak menanggapi sambil menikmati secangkir coklat panas dipadu sepiring kecil roti bakar.

Teriakan itu beberapa kali masih terus bergema hingga derap langkah kakinya terdengar mendekat ke arahku.

"El, aku memanggilmu sedari tadi. Apa mulutmu itu bisu?" sentak Mas Galuh setelah berhasil mendapatiku duduk di teras belakang ini. Kupandangi sekilas wajah lelaki yang semalaman tak pulang itu.

Ada rasa nyeri yang merayap di hati ini membayangkan semalaman dia tidur dalam dekapan wanita lain di belakangku.

"Lagian ngapain pakai teriak-teriak pagi-pagi begini Mas. Memangnya apa yang membuatmu panik setelah semalaman tak pulang, Mas?" cibirku mengacuhkan keberadaannya yang kini telah berdiri tepat di sampingku.

Dari sudut mataku dapat kulihat wajah mas Galuh tampak tersentak kaget. Dia pun berpindah posisi duduk pada
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   17. Nasehat kepala keluarga.

    Aku menangis seorang diri di kamar ini. Sekuat apa pun diri ini berusaha untuk tegar tetap saja hatiku rapuh tatkala menyadari bukan hanya diriku satu-satunya pendamping Mas Galuh. Ada wanita lain yang masih disembunyikan dengan rapi dan dimanjakan suamiku, sementara diriku terus di tuntut untuk memenuhi semuanya. "Jika bukan karena anak yang ada dalam kandunganku, mungkin aku sudah membunuhmu, Mas."Pintu kamar terketuk mengejutkanku dari keterpakuan. Bergegas kuhapus air mata yang membasahi pipi. "Masuk!" Suara serakku bergema. Pintu terbuka, Bi Ninis masuk masuk dengan sebuah nampan di tangannya. Bi Ninis duduk di sampingku. Wajah keriput itu memandang heran padaku yang duduk di pinggir ranjang tak berani menatap ke arahnya. "Ada apa Mbak, kenapa Mbak menangis?" "Menangis? Siapa ya habis menangis, Bi?" dalihku. Aku hanya ingin menyembunyikan semuanya namun air mata yang terus kutahan justru turun seperti air bah yang meluap tak disangka. Akupun menutup wajahku dengan dua

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   18. Uang lagi, uang lagi.

    Ketika pagi kembali menyapa, aku kembali dihadapkan dengan sosok mertua yang datang dengan wajah asam. "Kamu benar-benar kelewatan ya, El. Sampai detik ini belum juga kamu kirimkan uang yang menjadi hak Mama!" Sentak mertuaku langsung. Mata bulatnya semakin melebar di antara kulit keriputnya itu. "Kalau kamu gak bisa transfer, sekarang Mama yang jemput. sini uang itu sekarang! Mama gak punya banyak waktu." Telapak tangan wanita yang kerap berbicara lembut padaku selama ini terulur mengadah dan menatap sinis padaku. Jauh berbeda dari biasanya. Aku hanya duduk santai dan menghadapinya dengan tenang. Aku sengaja tak mau memberikan uang itu. Jika biasanya aku langsung memberikan langsung hanya untuk menghindari pertengkaran, tapi kali ini berbeda. Aku justru sengaja memancing pertengkaran itu muncul. Mbak Asma yang berada di pihakku kemarin memberiku kabar. Kabar yang membuatku mengerti kenapa suami dan mertuaku itu ngotot sekali meminta uang dariku. "Maaf Ma, bukannya aku mena

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   19. Syukuran di rumah madu.

    Suasana di rumah minimalis milik Rahma terlihat begitu ramai dengan beberapa orang yang tengah berkumpul di teras. Tamu atau sanak saudara, aku tak tahu. Aku sudah seperti seorang detektif duduk di lantai dua rumah Mbak Asma dengan sebuah tropong di tangan. Aku tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan tapi yang pasti mereka tampak sedang bercengkrama hangat. Gelak tawa dan senyum lebar memancarkan kebahagian di wajah Rahma yang membakar dadaku. Dia bisa bersenang dan tertawa riang bersama keluarga dan juga teman-temannya sementara aku harus menanggung derita seorang diri. Ini tak adil. Sebuah mobil pick-up memasuki pekarangan rumah mencuri perhatian mereka. Lewat benda bulat di tanganku ini dapat aku lihat wajah mereka yang terkejut. "Sampai kapan kita menunggu di sini?" sapa Mbak Asma mengagetkanku. Dia sudah rapi dengan stelan gamis berwarna biru wardah yang cerah. Serasi dengan kemeja batik milik putranya yang paling kecil berumur 6 tahun."Mbak berangkat saja dulu. Aku masi

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   20. Papan bunga pelakor.

    Pov. Rahma"Alhamdulillah ya, Ma. Sekarang anakmu sudah besar dan pernikahan kalian pun terlihat harmonis. Suamimu pun aku lihat sudah mapan. Aku benar-benar tak menyangka kamu bisa seperti ini," puji Mbak Dina. Saudara sepupuku itu. Biasanya dia selalu merendahkan dan menghinaku karena aku terlahir dari kedua orang tua dari kalangan ekonomi rendah. Jangankan hidup mewah, bahkan rumah pun tak mampu orang tuaku miliki untuk tempat kami berteduh dulu. Kini semudah membalikkan telapak tangan, hidupku yang dulu susah berbalik berkecukupan di banding dirinya dan keluargaku yang lain. Hinaan yang dulu kerap aku terima telah berbalik menjadi pujian yang terdengar indah di telinga.Di hari ulang tahun putraku yang kedua ini, aku sengaja mengundang semua tetangga di komplek ini dan juga sanak saudaraku agar mereka bisa melihat betapa mewah dan megahnya rumah yang aku tempati ini.Rumah yang didesain sesuai keinginnaku. Hadiah yang diberikan Mas Galuh padaku. "Alhamdulilah Mbak. Oh ya, rumah

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   21. Kunjungan istri pertama.

    Mas Galuh menarik tanganku saat aku sedang mengamuk menghancurkaan papan bunga yang tak tahu pengirimnya itu. "Lepaskan aku, Mas! Biar aku bakar papan itu sekalian!" ucapku penuh emosi. Semua mata memandang hina padaku setelah membaca tulisan yang tertera di sana."Siapa yang berani mengirimkan karangan bunga itu Mas? Pasti ini ulah dia!" tukasku. Aku tahu kosekuensi sebagai istri kedua, cepat atau lambat aku memang akan menghadapi hal semacam ini. Tapi kenapa harus saat semua anggota keluargaku sedang berkumpul. Seharusnya mereka semua memandang takjub padaku kini pasti sedang mencibirku. "Tenangkan dirimu. Jangan sampai orang-orang melihatmu yang seperti ini. Aku yakin pasti ada orang iseng yang mengirimkan karangan bunga itu," ujar Mas Galuh seraya memegang kedua bahuku.Dia berusaha untuk menenangkan hatiku yang gelisah. Tetapi tetap saja, hati dan pikiranku gelisah. Aku takut dia akan datang hari ini. Kalau bukan karena keluarga yang tengah berkumpul, aku juga gak akan sepanik

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   22. Kantor polisi.

    Prang!Tongkat kayu sepanjang 70 cm di tanganku terayun pelan ke arah vas bunga kecil yang menjadi hiasan meja cantiknya. Vas kristal itupun terjatuh dan pecah berderai. Semua yang ada di situ pun terkejut. Ada sebagian memilih untuk pulang membawa anak-anaknya. Sebagian lagi yang tersisa ada yang menguping dari luar. Kami seperti topeng monyet menjadi tontonan gratis mereka. Rahma terkaget, wajahnya yang awalnya sumringah karena akan merayakan ulang tahun putrinya, kini wajah itu berubah pucat pasi. "Apa kamu sudah gil, Elliana!" teriak Mas Galuh menghentikan aksi bar-barku. Melihat hunian mereka yang begitu mewak funitrr dak juga hisasannya membuat hatiku semakin panas. "Iya, aku memang gila. Semua karena kamu dan wanita murahan itu!" Aku menunjuk ke arah Rahma yang tengah menyerahkan anaknya pada wanita tua yang mungkin saja itu ibunya. Kemudian dia ikut bergabung bersamaku dan juga Mas Galuh. "Jadi ini alasan yang kamu k

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   23. Madu beracun.

    "Akhirnya kamu pulang juga!"Aku yang baru saja memasuki kamar terkejut dengan keberadaan Mas Galuh. Dia duduk di pinggir ranjangku dengan tatapan mata yang begitu tajam. Pakaian yang dikenakannya berbeda dengan pagi tadi."Untuk apa kamu pulang? Bukannya hampir setiap malam kamu lembur. Apa malam ini gak lembur lagi?" cibirku membalas tatapan matanya dengan sinis. Mas Galuh berdiri dan menghampiriku kemudian mencengkaram pundakku kuat. Cukup sakit tapi tak sebanding dengan rasa sakit yang ada di hati ini. "Sejak kapan kamu tahu aku memiliki istri lain?""Apa itu penting bagimu, Mas? Kamu begitu asik dengan kehidupanmu dengannya sampai-sampai gak sadar memiliki aku sebagai istri sah!"Kutepis tangan itu kuat agar terlepas. Langkah kakiku pun berbelok ke kanan untuk meghindar. "Kamu sengaja melakukan itu untuk mempermalukan aku dan juga Rahma kan?" Suara Mas Galuh meninggi. "Kalau memang iya, kenapa? Itu mema

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   24. Masuk rumah sakit.

    "Kamu akan tahu apa yang aku bisa nantinya. Sementara kamu, apa yang kamu bisa jika suamimu itu tak memiliki penghasilan lagi? Jual diri atau menggoda suami orang lain lagi untuk menjadi penopang hidupmu itu?" balasku menyerang harga dirinya. Wanita yang hanya bermodalkan mengangkang berani-beraninya menghinaku. "Kurang ajar!" Rahma menampar wajahku. Aku yang tak siap tak dapat mengelak. Kupegangi wajah ini yang terasa pedih, sesak di dadaku semakin menjadi. Dengan gerakan cepat aku kembalikan tamparan yang dia berikan padaku sekaligus bunganya di pipi kiri dan kanan. "Kau—""Kenapa? Apa kamu pikir aku akan diam dan menangis saja setelah kau perlakukan aku seperti ini. Satu tamparan yang kau berikan aku kembalikan dua kali lipat, begitupun rasa sakit dan penghinaan yang telah kalian berikan padaku akan aku kembalikan segera. Sekarang keluar kau dari rumahku!" Aku menunjuk ke arah pintu tempat di mana dia harus melangkah. Bi Ninis mendekati Rahma dan meminta wanita itu untuk pergi

Latest chapter

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   48. Alasan dibalik ajakan rujuk.

    Grand opening pembukaan toko rotiku pun akhirnya tiba. Antusias para pengunjung membuat semangatku menyala. Aroma butter yang menguar dari dapur memenuhi seluruh ruangan. Tak hanya di bagian dalam, tetapi di bagian luar pun juga terlihat ramai dengan deretan papan bunga yang berjejer tersusun rapi. "Selamat ya El." Vee memberikan sekuntum besar bunga mawar merah padaku. Dia datang bersama Kak Bian. Lama tak melihat dirinya, ada rasa rindu yang tersirat di hati."Terima kasih." Aku meraih bunga yang diberikannya padaku. Kelopaknya yang segar begitu menggoda mata. "Jangan terima kasih padaku, tapi pada Kak Bian, bunga itu darinya."Aku tersenyum. Hari ini hatiku sedang bahagia. "Terima kasih Kak. Atas bunganya dan juga waktu yang kakak sempatkan untuk datang ke sini.""Sama-sama, El. Lama tidak berjumpa, kamu makin cantik dan sukses saja," pujinya membuat hati ini semakin bahagia. Hari ini seakan begitu banyak kupu-kupu yang bertebaran di dadaku. "Ayo kita ngobrol di dalam sambil me

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   47. Ayo rujuk kembali padaku.

    "Aku benar-benar tak habis pikir, bisa-bisanya kamu bersikap baik sama orang lain yang baru saja kamu kenal, El."Vee terus saja mengomel sepanjang jalan hingga kami sampai di rumah. Caranya mengataiku bodoh seakan aku telah menghilangkan uang ratusan juta saja. "Aku hanya memberikannya sebagian pakaianku yang sudah tidak terpakai lagi. Bukan membiarkannya menempati rumah peninggalan Mama dan Papa. Aku rasa gak perlu dibesar-besarkan seperti ini," jawabku. Aku yang duduk di depan meja rias tengah melepaskan jam tangan dan meletakkannya kembali dalam kotak sebelum membersihkan diri ke kamar mandi. "Tapi kamu juga memberikannya pekerjaan."Aku berbalik menghadap ke arah Vee yang tengah duduk di pinggir ranjang seraya merengut. Tak biasanya dia bersikap kekanak-kanakan seperti ini. "Memangnya ada masalah apa? Kenapa kamu terlihat sensi padanya?" tanyaku lembut. Dalam beberapa hari belakangan ini terasa ada yang berbeda darinya. Vee mengalihkan pandangan matanya dariku. Dia seperti se

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   46. Istana yang terlupakan.

    "Di mana rumahmu, biar kami antar," tawarku yang merasa kasihan dengannya. Aku sudah membawanya ke klinik terdekat, luka-lukanya yang tidak terlalu parah itu pun juga sudah di obati. Hanya saja pergelangan kakinya sedikit terkilir hingga dia terlihat kesusahan saat bergerak.Vee kembali menarik tanganku, sedari tadi dia terus mewanti-wantiku untuk tidak terlalu ikut campur. Kuakui penampilan wanita yang aku ketahui namanya Rani itu terlihat begitu terbuka. "Gak usah Mbak. Saya bisa pulang sendiri, nanti saya pesan ojek online saja," ucapnya segan. Jika dilihat-lihat dia cukup sopan untuk ukuran wanita yang menggunaka pakaian sedikit terbuka. "Gak apa, aku antar saja kamu pulang. Jangan sungkan. Oh ya, kalau aku boleh saran, sebaiknya besok bersepeda gunakan pakaian yang lebih panjang lagi biar kalau jatuh gak parah seperti ini."Aku tak tahu kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutku. Jika dipikir-pikir tak ada hak untuk aku mengomentari penampilannya. Sebenarnya pakaian Rani ada

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   45. Memulai usaha baru.

    Tiga hari aku tak bertemu lagi dengan Kak Bian. Aku yang selalu di rumah layaknya pengangguran kini mulai menyibukkan diri dengan rencana membuka toko bakery dengan seorang partner bisnis yang aku dapati saat ikut kelas baking. "Wah, mantap. Kapan kira-kira toko ini akan buka?" tanya Vee. Matanya menadang takjub pada penataan toko yang sedang dalam tahap finising tersebut. Hari ini dia libur dan ikut denganku untuk kontrol tukang yang menyelesaikan finishing renovasi rukoku ini. Aku memiliki satu deret ruko yang selama ini disewakan, kali ini dua pintu ruko akan aku gunakan untuk toko bakery. "Secepatnya. Tadi aku tanya sama tukangnya dalam seminggu tempat ini akan siap. Kalau tidak ada kendala awal bulan sudah bisa launching." Vee menganggukkan kepala kemudian meninggalkan aku untuk kembali melihat sekeliling. Aku justru memilih berdiskusi dengan Tissya. Wanita muda yang hanya tamatan sekolah menengah atas.Di umurnya yang

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   44. Musim semi.

    Belum hilang keterkejutanku atas ucapannya, kini aku kembali dikagetkan dengan sebuah cincin berlian yang dia tunjukkan padaku.Aku bahkan tak tahu harus berkata apa. Seluruh tubuhku terpaku dengan lidah yang kelu. "Apa kamu mau menerimaku, El?" Suara lembut pria yang selalu aku anggap sebagai kakak lelaki ketimbang pasangan ini kembali membuyarkan lamunanku. Aku menatap wajahnya lekat. Apa yang kurang dari dirinya? Tak ada. Tapi rasa takut atas kegagalan rumah tangga sebelumnya membuatku tak berani melangkah. Aku menutup kotak merah tersebut."Kenapa?" tanya Kak Bian dengan nada kecewa. Sejak kapan dia memiliki perasaan denganku? Sejak dulu saat kami kerap bersama atau karena kasihan dengan nasibku yang akan menyandang status janda?"Aku baru saja berpisah dengan Mas Galuh dan bahkan palu hakim perceraianku saja belum di ketuk," jawabku jujur. Aku tak ingin kedekatan kami akan menjadi masalah untuk kedepannya. "Aku akan sabar menunggu.""Masih banyak perempuan lain yang pantas un

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   43. Lamaran dadakan.

    Minggu pagi, udara begitu cerah tapi terasa melelahkan untukku. Hidup di rumah sendiri terasa begitu sunyi sehingga aku yang awalnya hanya ingin menginap sehari dua hari di rumah Vee, justru malah jadi keterusan. Keningku berkerut saat membuka kulkas, tak ada bahan makanan apa pun yang tersisa di sana. Baik aku ataupun Vee jarang sekali memasak di rumah ini, entah kenapa hari ini aku ingin makan siang dengan masakanku sendiri.Jadi di sinilah aku sekarang, di pusat perbelanjaan yang cukup besar di kotaku. Baru masuk pintu moll aku langsung menuju Alfamart yang ada di lantai bawah. Aku suka berbelanja di Alfamart yang ada di moll ini, selain lebih besar dan luas bahan makanan pun dijual lebih lengkap dan juga fress.Ayam, ikan, nugget dan juga telur omega sudah tersusun di dalam troliku, aku kembali berjalan sembari mata melirik ke kiri dan ke kanan untuk melihat-lihat apa lagi yang ingin aku beli dan berhenti di depan rak buah-buahan yang tersusun perkelompok."Wah kebetulan sekali

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   42. Mulai ketar-ketir.

    Hari yang aku tunggu akhirnya tiba juga. Tak pernah terpikirkan sedikit pun dalam benakku, jika nantinya aku harus duduk di kursi pesakitan ini. Menantikan ketuk palu pak hakim yang memutuskan ikatan pernikahanku dan Mas Galuh.Tak memiliki anak selama pernikahan ternyata tak cukup membuat ketuk palu hakim itu langsung bergema. Mas Galuh dengan tegas menolak serta berniat naik banding membuat keputusan sidang pun ditunda hingga dua minggu selanjutnya. Pihak Mas Galuh terutama ibunya memaksa untuk membagi seluruh harta yang aku miliki jika aku tetap ngotot ingin bercerai, tentu saja aku menolak karena semua itu murni aku dapat dari peninggalan orang tuaku. Keputusanku menolak mentah-mentah permintaan dari pihak Mas Galuh dan tetap ngotot untuk bercerai tentunya membuat mantan mertuaku meradang. Sampai-sampai dia mencegatku di depan kendaraanku dengan gagah berani. "Hey perempuan serakah! Serahkan sebagian harta yang menjadi hak anakku!" teriak mantan mertuaku yang cukup memancing p

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   41. Berada di ujung tanduk.

    Pagi-pagi sekali aku bangun, berpakaian rapi dan bersiap untuk ke kantor. Aku melangkahkan kaki menuju ruang makan untuk sarapan. Betapa terkejutnya aku yang tak mendapati apa pun di atas meja. Biasanya selalu ada menu sarapan yang terhidang, namun kali ini hanya ada meja kotor dengan bekas sisa makanan semalam. "Rahma! Rahma!" Suara bassku menggelegar ke seluruh penjuru ruangan rumah besar ini. "Ada apa sih Mas? Kita tidak sedang tinggal di hutan, gak usah teriak-teriak!" jawabnya santai. Lantah kakinya begitu gemulai menghampiriku seakan tak terjadi apa-apa. "Mana sarapanku?" "Sarapan? Apa yang mau di masak untuk sarapan. Semua bahan di kulkas habis.""Kalau habis ya belanja. Suami mau pergi kerja bukannya di urus malah menghilang entah kemana," sungutku. Pagi-pagi aku sudah dibuat naik darah dengan tingkah istriku yang tak tahu aturan, sangat berbeda sekali dengan Elliana. Kenapa hatiku tiba-tiba merindukannya.Rahma dengan santai seraya tersenyum manja mengadahkan tangan di

  • Suami yang kukira cupu ternyata suhu.   40. Mulai kalut.

    Pov. GaluhAku pulang ke rumah dalam keadaan wajah yang lebam. Baru saja sampai di depan rumah aku sudah di sambut dengan canda tawa istri keduaku bersama kedua orang tuanya. Dua orang tua yang tak memiliki pekerjaan itu menjadi beban tambahan untukku. "Mas kamu sudah pulang," sapa Rahma riang yang langsung bergelayut manja di tanganku saat aku baru saja melewatinya. Aku melirik ke arahnya sekilas dan kembali melanjutkan langkah kakiku tanpa menyapa kedua orang taunya itu."Loh, Mas. Wajahmu kenapa?" Rahma menyusul dari belakang hingga kami masuk ke dalam kamar. Tak satu patah pun keluar dari mulutku. Aku kesal. Semenjak kedua orang tuanya ikut tinggal bersama di rumah ini sejak delapan bulan yang lalu, pengeluaran kami melonjak menjadi dua kali lipat. "Mas, kamu kenapa? Aku nanya dari tadi kamu diam saja?" ucap Ratna bertanya sekali lagi seraya menahan lenganku. Menghentikan langkah kakiku yang hendak menuju kamar

DMCA.com Protection Status