Setelah tiga hari menjadi pengungsian di rumah Vee, tak sekalipun Mas Galuh menghubungiku. Dia seakan tak peduli dengan apa yang terjadi padaku.
Aku mengajukan tuntutan perceraian melalui pengacara yang aku percaya. Bukti-bukti perselingkuhannya dengan wanita itu sudah ada di tangan lengkap tak kurang satu pun diberikan orang bayaranku.Kini aku berada di kantor Mas Galuh. Menemui bagian HRD dan melaporkan semuanya. Aku pikir akan ada tanggapan positif yang aku dapat nyatanya justru jawaban yang tidak memuaskan."Maafkan kami, Bu. Untuk memecat seorang karyawan, bukti-bukti ini saja tak cukup. Sebenarnya ini sudah merupakan wilayah internal rumah tangga yang seharusnya taj perlu di bawa ke pekerjaan. Pak Galuh termasuk manager yang sangat kompeten di perusahaan dan juga jabatannya cukup tinggi dan tak memungkinkan untuk saya mencopot jabatan itu begitu saja," ucap wanita yang umurnya mungkin lebih tua sepuluh tahun dariku.Dia juga wanita danLangkah kakiku terhenti tepat di depan pintu saat ada sebuah tangan menahanku. Aku pun berbalik menatap wajah dingin lelaki yang sebentar lagi menjadi mantan suamiku.Satu hentakan cukup untuk membuat pegangan tangannya terlepas dariku. Apa kalian tahu, sekali pengkhianatan terjadi maka jurang pemisah yang cukup dalam sudah langsung terbentang lebar. Tak ada lagi sambutan manja atau tatapan rindu yang selalu aku berikan padanya saat dia pulang kerja. Sementara yang tersisa kini hanyalah kehampaan belaka. "Untuk apa kamu ke sini, Mas?""Apa maksudmu datang ke kantor, hah? Kamu mau mempermalukan aku? Apa masih belum cukup kamu mempermalukanku tempo hari di rumah Rahma?" sentak Mas Galuh geram."Tentu saja belum cukup. Apa yang aku lakukan belum seberapa dibanding apa yang kamu lakukan padaku, Mas. Kamu tak hanya mengkhianatiku tapi juga tak menghargai pengorbananku selama ini pada kamu, keluargamu serta kesetiaanku selama ini pun kau anggap angin lalu!" sungutku. Kuluapkan segala amar
"Apa!""Kamu masih saja sama seperti dulu, El. Tak bisa diajak bercanda," ucapnya seraya tertawa. Tapi kenapa hatiku merasa kecewa? Apa karena telah lama tak dipedulikan hingga aku mengharapkan perhatian dari orang lain. Menyedihkan. "Ayo makan!" Aku mengalihkan obrolan kami dengan melanjutkan kembali makan yang tertunda. Sesudah makan, Kak Bian langsung pamit pulang. Tak baik jika di lama-lama di sini dalam keadaan rumah tanggaku yang kacau. Bisa-bisa timbul permasalahan baru yang akan membuat kepalaku pusing."Mbak El, maaf sebelumnya jika Bibi lancang. Apa Mbak El ada hubungan khusus dengan Nak Bian?" Aku tersentak kaget mendengar pertanyaan Bi Ninis. Dia tiba-tiba muncul di belakangku saat aku baru saja mengantar Kak Bian dengan berdiri di depan pintu. Pandangan wanita tua ini menatapku curiga. Terkadang aku jengkel dengan sikap Bi Ninis yang terlalu mencampuri urusanku. Tapi aku mencoba berpikir positif, mungkin karena dia sudah lama merawatku hingga merasa aku seperti anak k
Pov. RahmaHari ini Mas Galuh akan makan siang di rumah setelah tadi aku buatkan sarapan nasi goreng seafood kesuakannya. Melihat suamiku bangun tidur dan tidur lagi di rumah membuatku senang, aku seperti hanya satu-satunya istri untuknya. Tak seperti biasanya yang hanya datang saat matahari mulai tenggelam lalu pergi saat rembulan tegak menantang. "Wak Er, minta cuminya satu kilo," ujarku pada pemilik warung yang ada di sekitaran komplek setelah melihat deretan protein hewani di atas meja kayu miliknya. Semuanya masih tampak segar-segar kerena pemilik warung ini memang belanja setiap hari. "Mau masak apa Rahma? Kamu beli sampai sekilo aapa ada acara di rumah?" tanya Wak Er seraya mengambilkan pesanan yang aku pinta. Mengalihkan pandanganku pada bahan-bahan lain yang ingin aku masak. Aku tersenyum ramah padanya. "Gak ada acara kok Wak. Suamiku memang suka makan seafood, apalagi cumi ini kalau di masakkan menciut.""Halah, simpanan aja belagak.""Ho oh, aku kasihan sama istri sahn
"Kamu ini apa-apaan Rahma. Seperti anak kecil saja, pulang-pulang berantakan. Kamu berantem sama siapa dan di mana?" cerocos mamakku mengomeli sambil membersihkan luka yang ada di sudut bibir dan juga pipiku. Rambut aut-autan serta pakaian yang sobek di sana sini membuat tampilanku seperti orang gila sepanjang perjalanan pulang. Tak hanya kaget, bahkan yang berpapaan denganku pun ada yang bertanya tapi tak aku hiraukan. Mereka hanya sekelompak orang munafik yang bertanya dengan mulut manis tapi di balik itu tertawa terbahak-bahak mengejekku. "Mamak tak usah mengomel. Ini semua karena wanita sialan itu.""Istri Galuh?""Aku juga istri Mas Galuh, Mak!" sambarku cepat. Hatiku panas setiap mendengar kata "istri Galuh" yang keluar dari mulut mamakku itu. Seakan-akan aku ini bukan istri Mas Galuh saja. "Ya, maksud Mak istri pertama suamimu itu." Mamakku berdecak tak suka mendengar aku yang meninggikan suaraku tapi tak berani perotes. "Dia menyebarkan selebaran ke seluruh warga komplek
Pov. EllianaPerlahan kubuka mata, bau antiseptik dan juga obat-obatan menusuk ke hidungku hingga membuat kepalaku semakin pusing. Langit-langit berwarna putih seakan ada bintang yang berputar-putar. "Di mana aku?" tanyaku lirih pada perawat yang berdiri di sampingku untuk mengecek dan menanyakan kabarku. "Anda lagi ada di rumah sakit," jawab perawat itu ramah. Aku mencoba untuk bangkit, rasa nyeri di bagian perut begitu menusuk dan menyadarkanku atas kejadian yang mengantarkan aku ke tempat ini. Kuraba perutku dengan tanda tanya yang berkecamuk di kepala. "Suster, bagaimana kandunganku? Kenapa perutku terasa ada yang berbeda?"Ya, aku merasakan perutku yang sedikit menyembul seperti orang kekenyangan kini begitu rata seakan tak ada sesuatu di dalamnya. Raut wajah perawat yang berubah membuat hatiku semakin tak enak. Dengan susah payah aku bangkit dan menyandarkan tubuhku ke punggung ranjang. "Maafkan saya, Bu. Anda mengalami pendarahan yang begitu banyak hingga janin yang ada d
Pov. RahmaSepanjang jalan aku tertawa puas bisa memberi si Elliana itu pelajaran. Aku yakin setelah ini dia pasti akan kapok membuat masalah denganku. Semoga saja bayinya itu mati sehingga tak ada lagi yang jadi penghalang untukku dan putriku nanti. Mobil putih keluaran terbaru yang dibelikan Mas Galuh untukku memasuki halaman parkir rumah mewahku. Walau tak sebesar milik Elliana tapi ini rumah yang menjadi milikku dan belikan Mas Galuh untukku. Itu saja cukup membuktikan kalau aku jauh lebih berarti di hati suamiku. Setelah memarkirkan mobil, aku masuk ke dalam rumah dengan santai. Kudapati Mamak tengah menyuapi putri kecilku di ruang tamu. Aku pun ikut nimbrung di samping mereka berdua. "Senang kali ku tengok. Ada kabar baik rupanya?" tanya Mamak seraya melirik sekilas padaku. Dia tengah menyuapi anakku makan dengan ayam goreng dan juga bening bayam merah. Dulu ayam menjadi makanan mewah untuk keluargaku, sekarang aku justru bosan memakannya.Syukurnya anakku sangat suka aneka
Pov. EllianaKak Bian masuk ke dalam kamar rawat inapku setelah polisi beberapa menanyaiku tentang laporanku. Dia menjagaku setelah kusuruh Bi Ninis untuk pulang ke rumah mengambil baju ganti untukku. "Bagaimana kondisi kamu, El?" Suaranya terdengar lembut. Tatapan mata itu begitu teduh tak berubah sejak dulu. "Hancur Kak," jawabku lirih. Apalagi yang bisa kukatakan, kehilangan anak seperti kehilangan separuh jiwa ini.Kak Bian terdiam. Suasana hening tercipta di antara kami, kualihkan pandangan mataku ke arah jendela. Aku tahu mungkin dia bingung harus mengatakan apa untuk menghiburku. "Apa kamu mau kubelikan sesuatu untuk menenangkan hatimu, El?""Kopi. Aku ingin minum kopi latte," jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Secangkir kopi hangat bisa meregangkan otot-otot saraf di tubuhku walau dari segi kesehatan dokter mungkin akan melarangnya. "Baiklah, kamu tunggu di sini sebentar!""Hmm."Langkah kakinya terdengar menjauh. Hanya beberapa menit aku kembali mendengar langkah kaki sep
Lagi-lagi aku terbangun setelah mendapatkan suntikan penenang di tubuhku. Aku tak tahu sudah berapa lama aku tertidur. "Air," pintaku dengan suara yang bergetar. Tenggorokanku terasa begitu kering."Ini, minumlah!" Aku terdiam melihat Kak Bian masih di rumah sakit untuk menemaniku. Satu tangan memegang botol mineral sedangkan satu tangan lagi menyodorkan sedotan ke bibirku. "Kenapa diam? Ayo minum!" Suara lembutnya menyadarkan dari keterpakuan ini. Aku meminum dengan rakus melalui sedotan kecil itu. Setelah meminumnya sedikit, aku mencoba menarik punggungku untuk bersandar. Kak Bian ingin menolong tapi karena aku tolak melalui kode mata, maka dia pun mundur dan kembali ke kursi seperti semula. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu kembali mengamuk lagi?" tanyanya khawatir. Ya, aku mengingat kembali apa yang telah terjadi sebelum aku disuntik penenang. Air mata menetes membasahi pipi, hati ini teremas perih. Aku tak pernah menyangka jika hari ini akan menjadi hari di mana aku berada di t