"Kamu ini apa-apaan Rahma. Seperti anak kecil saja, pulang-pulang berantakan. Kamu berantem sama siapa dan di mana?" cerocos mamakku mengomeli sambil membersihkan luka yang ada di sudut bibir dan juga pipiku. Rambut aut-autan serta pakaian yang sobek di sana sini membuat tampilanku seperti orang gila sepanjang perjalanan pulang. Tak hanya kaget, bahkan yang berpapaan denganku pun ada yang bertanya tapi tak aku hiraukan. Mereka hanya sekelompak orang munafik yang bertanya dengan mulut manis tapi di balik itu tertawa terbahak-bahak mengejekku. "Mamak tak usah mengomel. Ini semua karena wanita sialan itu.""Istri Galuh?""Aku juga istri Mas Galuh, Mak!" sambarku cepat. Hatiku panas setiap mendengar kata "istri Galuh" yang keluar dari mulut mamakku itu. Seakan-akan aku ini bukan istri Mas Galuh saja. "Ya, maksud Mak istri pertama suamimu itu." Mamakku berdecak tak suka mendengar aku yang meninggikan suaraku tapi tak berani perotes. "Dia menyebarkan selebaran ke seluruh warga komplek
Pov. EllianaPerlahan kubuka mata, bau antiseptik dan juga obat-obatan menusuk ke hidungku hingga membuat kepalaku semakin pusing. Langit-langit berwarna putih seakan ada bintang yang berputar-putar. "Di mana aku?" tanyaku lirih pada perawat yang berdiri di sampingku untuk mengecek dan menanyakan kabarku. "Anda lagi ada di rumah sakit," jawab perawat itu ramah. Aku mencoba untuk bangkit, rasa nyeri di bagian perut begitu menusuk dan menyadarkanku atas kejadian yang mengantarkan aku ke tempat ini. Kuraba perutku dengan tanda tanya yang berkecamuk di kepala. "Suster, bagaimana kandunganku? Kenapa perutku terasa ada yang berbeda?"Ya, aku merasakan perutku yang sedikit menyembul seperti orang kekenyangan kini begitu rata seakan tak ada sesuatu di dalamnya. Raut wajah perawat yang berubah membuat hatiku semakin tak enak. Dengan susah payah aku bangkit dan menyandarkan tubuhku ke punggung ranjang. "Maafkan saya, Bu. Anda mengalami pendarahan yang begitu banyak hingga janin yang ada d
Pov. RahmaSepanjang jalan aku tertawa puas bisa memberi si Elliana itu pelajaran. Aku yakin setelah ini dia pasti akan kapok membuat masalah denganku. Semoga saja bayinya itu mati sehingga tak ada lagi yang jadi penghalang untukku dan putriku nanti. Mobil putih keluaran terbaru yang dibelikan Mas Galuh untukku memasuki halaman parkir rumah mewahku. Walau tak sebesar milik Elliana tapi ini rumah yang menjadi milikku dan belikan Mas Galuh untukku. Itu saja cukup membuktikan kalau aku jauh lebih berarti di hati suamiku. Setelah memarkirkan mobil, aku masuk ke dalam rumah dengan santai. Kudapati Mamak tengah menyuapi putri kecilku di ruang tamu. Aku pun ikut nimbrung di samping mereka berdua. "Senang kali ku tengok. Ada kabar baik rupanya?" tanya Mamak seraya melirik sekilas padaku. Dia tengah menyuapi anakku makan dengan ayam goreng dan juga bening bayam merah. Dulu ayam menjadi makanan mewah untuk keluargaku, sekarang aku justru bosan memakannya.Syukurnya anakku sangat suka aneka
Pov. EllianaKak Bian masuk ke dalam kamar rawat inapku setelah polisi beberapa menanyaiku tentang laporanku. Dia menjagaku setelah kusuruh Bi Ninis untuk pulang ke rumah mengambil baju ganti untukku. "Bagaimana kondisi kamu, El?" Suaranya terdengar lembut. Tatapan mata itu begitu teduh tak berubah sejak dulu. "Hancur Kak," jawabku lirih. Apalagi yang bisa kukatakan, kehilangan anak seperti kehilangan separuh jiwa ini.Kak Bian terdiam. Suasana hening tercipta di antara kami, kualihkan pandangan mataku ke arah jendela. Aku tahu mungkin dia bingung harus mengatakan apa untuk menghiburku. "Apa kamu mau kubelikan sesuatu untuk menenangkan hatimu, El?""Kopi. Aku ingin minum kopi latte," jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Secangkir kopi hangat bisa meregangkan otot-otot saraf di tubuhku walau dari segi kesehatan dokter mungkin akan melarangnya. "Baiklah, kamu tunggu di sini sebentar!""Hmm."Langkah kakinya terdengar menjauh. Hanya beberapa menit aku kembali mendengar langkah kaki sep
Lagi-lagi aku terbangun setelah mendapatkan suntikan penenang di tubuhku. Aku tak tahu sudah berapa lama aku tertidur. "Air," pintaku dengan suara yang bergetar. Tenggorokanku terasa begitu kering."Ini, minumlah!" Aku terdiam melihat Kak Bian masih di rumah sakit untuk menemaniku. Satu tangan memegang botol mineral sedangkan satu tangan lagi menyodorkan sedotan ke bibirku. "Kenapa diam? Ayo minum!" Suara lembutnya menyadarkan dari keterpakuan ini. Aku meminum dengan rakus melalui sedotan kecil itu. Setelah meminumnya sedikit, aku mencoba menarik punggungku untuk bersandar. Kak Bian ingin menolong tapi karena aku tolak melalui kode mata, maka dia pun mundur dan kembali ke kursi seperti semula. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu kembali mengamuk lagi?" tanyanya khawatir. Ya, aku mengingat kembali apa yang telah terjadi sebelum aku disuntik penenang. Air mata menetes membasahi pipi, hati ini teremas perih. Aku tak pernah menyangka jika hari ini akan menjadi hari di mana aku berada di t
Hari-hari tenang dalam hidupku telah sirna. Di gantikan dengan kesepian bertemankan kerinduan. Duduk di teras atau ruang tamu menjadi kebiasaaanku akhir-akhir ini. "Mbak, El. Ayo makan! Bibi lihat akhir-akhir ini Mbak jarang makan. Lihat badan Mbak makin lama makin kurus saja," ujar Bi Ninis membuyarkan lamunanku. Aku yang tengah bersandar di sofa hanya menoleh malas padanya. "Nanti kalau lapar aku akan makan, Bi. Bibi makan saja duluan dan tak perlu khawatir," sahutku. Aku bukan anak kecil yang harus di ingatkan setiap saat. "Tapi Mbak—"Aku langsung melebarkan mataku pada Bi Ninis agar dia berhenti berbicara. Bi Ninis pamit ke dapur dengan perasaan sedih. Kasihan melihat wanita paruh baya itu pergi dengan raut wajah seperti itu. Tapi jika tidak dibegitu kan, dia akan terus mengaturku. Sepertinya aku harus punyaa kesibukan baru agar tak tampak menyedihkan melamun seorang diri.Suara mobil memasuki halaman rumah. Aku beranjak dan melihat dari pintu masuk. Kak Bian keluar dengan
Dewangga memintaku untuk bertemu di tempat kami pernah bertemu setelah jam makan siang. Aku mengiyakan ajakannya mengingat telah lama dia tak memberiku informasi sejak insiden aku mengacaukan acara ulang tahun anak Rahma. Baru saja memasuki cafe aku sudah mendapati dirinya yang tengah duduk santai sembari menikmati secangkir kopi. "Maaf aku terlambat. Apa sudah lama menunggu?" sapaku sambil menarik kursi di hadapannya. "Ya, sudah satu cangkir kopi," balasnya datar. Pria ini terlihat sedikit misterius menurutku, tak banyak omong dan tatapan matanya cukup tajam. "Maaf," balasku tak enak hati. Semua ini gara-gara Bi Ninis yang tak membangunkanku tepat pada jam yang aku minta karena alasan lupa. Tak biasanya Bi Ninis teledor seperti itu. "Silakan pesan dulu," tawar Dewangga sebelum aku membuka mulut untuk bertanya. Aku pun memanggil pelayan untuk memesan minuman saja karena aku sudah makan dari rumah. "Katakan, ada informasi apa?" tanyaku yang tentu saja penasaran. "Ini tentang p
Sunyi, sepi dan merana seorang diri. Inilah jalan hidup yang aku harus lalui. Hati ini penuh sesak dan lebam. Takdir begitu kejam mempermainkanku hingga tak mengizinkanku untuk tertawa. Aku pergi menemui Vee dan menceritakan semua padanya. Hanya dia satu-satunya keluarga yang aku punya dan aku harapkan bisa menjadi tempat untukku mencurahkan segalanya. "Tenangkan dirimu! Kamu tidak bisa menangis seperti ini terus, ingat kondisi tubuhmu yang belum stabil pasca keguguran itu," tegur Vee lembut. Tangannya tak henti-henti mengusap punggungku lembut. "Bagaimana aku bisa tenang. Orang yang selama ini aku percaya ternyata adalah orang yang mengkhiatiku. Dulu aku sempat menduga-duga jika Papa memiliki wanita lain hingga Mama terlihat tak bahagia, Bi Ninis terus meyakinkanku jika semua itu tak benar dan mengatakan padaku Papa begitu mencintai Mama. Tapi ternyata dialah wanita yang menjadi duri dalam daging di pernikahan orang tuaku!"Vee terdiam. Mungkin dia tak tahu harus berkomentar apa,