Pov. RahmaSepanjang jalan aku tertawa puas bisa memberi si Elliana itu pelajaran. Aku yakin setelah ini dia pasti akan kapok membuat masalah denganku. Semoga saja bayinya itu mati sehingga tak ada lagi yang jadi penghalang untukku dan putriku nanti. Mobil putih keluaran terbaru yang dibelikan Mas Galuh untukku memasuki halaman parkir rumah mewahku. Walau tak sebesar milik Elliana tapi ini rumah yang menjadi milikku dan belikan Mas Galuh untukku. Itu saja cukup membuktikan kalau aku jauh lebih berarti di hati suamiku. Setelah memarkirkan mobil, aku masuk ke dalam rumah dengan santai. Kudapati Mamak tengah menyuapi putri kecilku di ruang tamu. Aku pun ikut nimbrung di samping mereka berdua. "Senang kali ku tengok. Ada kabar baik rupanya?" tanya Mamak seraya melirik sekilas padaku. Dia tengah menyuapi anakku makan dengan ayam goreng dan juga bening bayam merah. Dulu ayam menjadi makanan mewah untuk keluargaku, sekarang aku justru bosan memakannya.Syukurnya anakku sangat suka aneka
Pov. EllianaKak Bian masuk ke dalam kamar rawat inapku setelah polisi beberapa menanyaiku tentang laporanku. Dia menjagaku setelah kusuruh Bi Ninis untuk pulang ke rumah mengambil baju ganti untukku. "Bagaimana kondisi kamu, El?" Suaranya terdengar lembut. Tatapan mata itu begitu teduh tak berubah sejak dulu. "Hancur Kak," jawabku lirih. Apalagi yang bisa kukatakan, kehilangan anak seperti kehilangan separuh jiwa ini.Kak Bian terdiam. Suasana hening tercipta di antara kami, kualihkan pandangan mataku ke arah jendela. Aku tahu mungkin dia bingung harus mengatakan apa untuk menghiburku. "Apa kamu mau kubelikan sesuatu untuk menenangkan hatimu, El?""Kopi. Aku ingin minum kopi latte," jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Secangkir kopi hangat bisa meregangkan otot-otot saraf di tubuhku walau dari segi kesehatan dokter mungkin akan melarangnya. "Baiklah, kamu tunggu di sini sebentar!""Hmm."Langkah kakinya terdengar menjauh. Hanya beberapa menit aku kembali mendengar langkah kaki sep
Lagi-lagi aku terbangun setelah mendapatkan suntikan penenang di tubuhku. Aku tak tahu sudah berapa lama aku tertidur. "Air," pintaku dengan suara yang bergetar. Tenggorokanku terasa begitu kering."Ini, minumlah!" Aku terdiam melihat Kak Bian masih di rumah sakit untuk menemaniku. Satu tangan memegang botol mineral sedangkan satu tangan lagi menyodorkan sedotan ke bibirku. "Kenapa diam? Ayo minum!" Suara lembutnya menyadarkan dari keterpakuan ini. Aku meminum dengan rakus melalui sedotan kecil itu. Setelah meminumnya sedikit, aku mencoba menarik punggungku untuk bersandar. Kak Bian ingin menolong tapi karena aku tolak melalui kode mata, maka dia pun mundur dan kembali ke kursi seperti semula. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu kembali mengamuk lagi?" tanyanya khawatir. Ya, aku mengingat kembali apa yang telah terjadi sebelum aku disuntik penenang. Air mata menetes membasahi pipi, hati ini teremas perih. Aku tak pernah menyangka jika hari ini akan menjadi hari di mana aku berada di t
Hari-hari tenang dalam hidupku telah sirna. Di gantikan dengan kesepian bertemankan kerinduan. Duduk di teras atau ruang tamu menjadi kebiasaaanku akhir-akhir ini. "Mbak, El. Ayo makan! Bibi lihat akhir-akhir ini Mbak jarang makan. Lihat badan Mbak makin lama makin kurus saja," ujar Bi Ninis membuyarkan lamunanku. Aku yang tengah bersandar di sofa hanya menoleh malas padanya. "Nanti kalau lapar aku akan makan, Bi. Bibi makan saja duluan dan tak perlu khawatir," sahutku. Aku bukan anak kecil yang harus di ingatkan setiap saat. "Tapi Mbak—"Aku langsung melebarkan mataku pada Bi Ninis agar dia berhenti berbicara. Bi Ninis pamit ke dapur dengan perasaan sedih. Kasihan melihat wanita paruh baya itu pergi dengan raut wajah seperti itu. Tapi jika tidak dibegitu kan, dia akan terus mengaturku. Sepertinya aku harus punyaa kesibukan baru agar tak tampak menyedihkan melamun seorang diri.Suara mobil memasuki halaman rumah. Aku beranjak dan melihat dari pintu masuk. Kak Bian keluar dengan
Dewangga memintaku untuk bertemu di tempat kami pernah bertemu setelah jam makan siang. Aku mengiyakan ajakannya mengingat telah lama dia tak memberiku informasi sejak insiden aku mengacaukan acara ulang tahun anak Rahma. Baru saja memasuki cafe aku sudah mendapati dirinya yang tengah duduk santai sembari menikmati secangkir kopi. "Maaf aku terlambat. Apa sudah lama menunggu?" sapaku sambil menarik kursi di hadapannya. "Ya, sudah satu cangkir kopi," balasnya datar. Pria ini terlihat sedikit misterius menurutku, tak banyak omong dan tatapan matanya cukup tajam. "Maaf," balasku tak enak hati. Semua ini gara-gara Bi Ninis yang tak membangunkanku tepat pada jam yang aku minta karena alasan lupa. Tak biasanya Bi Ninis teledor seperti itu. "Silakan pesan dulu," tawar Dewangga sebelum aku membuka mulut untuk bertanya. Aku pun memanggil pelayan untuk memesan minuman saja karena aku sudah makan dari rumah. "Katakan, ada informasi apa?" tanyaku yang tentu saja penasaran. "Ini tentang p
Sunyi, sepi dan merana seorang diri. Inilah jalan hidup yang aku harus lalui. Hati ini penuh sesak dan lebam. Takdir begitu kejam mempermainkanku hingga tak mengizinkanku untuk tertawa. Aku pergi menemui Vee dan menceritakan semua padanya. Hanya dia satu-satunya keluarga yang aku punya dan aku harapkan bisa menjadi tempat untukku mencurahkan segalanya. "Tenangkan dirimu! Kamu tidak bisa menangis seperti ini terus, ingat kondisi tubuhmu yang belum stabil pasca keguguran itu," tegur Vee lembut. Tangannya tak henti-henti mengusap punggungku lembut. "Bagaimana aku bisa tenang. Orang yang selama ini aku percaya ternyata adalah orang yang mengkhiatiku. Dulu aku sempat menduga-duga jika Papa memiliki wanita lain hingga Mama terlihat tak bahagia, Bi Ninis terus meyakinkanku jika semua itu tak benar dan mengatakan padaku Papa begitu mencintai Mama. Tapi ternyata dialah wanita yang menjadi duri dalam daging di pernikahan orang tuaku!"Vee terdiam. Mungkin dia tak tahu harus berkomentar apa,
Semalaman aku terngiang-ngiang ucapan Rahma dan Mas Galuh yang begitu merendahkanku. Selama ini aku tak pernah berpikir untuk memulai bisnis apa pun. Ijazah S1 yang kupunya hanya berakhir di dalam lemari tanpa sempat aku manfaatkan.Selama menikah, Mas Galuh juga tak pernah memaksa agar aku bekerja. Karena menurutnya seorang istri hanya cukup di rumah mengurus anak dan suami. Aku pikir sikapnya itu karena dia sayang padaku, ternyata aku salah. Semua itu tak lebih upaya agar aku terus bergantung hidup dengannya dan pasrah saat dia berbuat semena-mena. Saat sedang berselancar di dunia maya, tiba-tiba muncul di berandaku sebuah undangan untuk demo bakery yang di bagikan oleh salah satu teman di akunku. Entah kenapa aku tertarik.Tak perlu pikir panjang, aku pun menghubungi nomor yang tertera dan menanyakan lebih detail lagi tentang postingan yang dia buat. Bak gayung bersambut, aku pun ikut dan langsung mentransfer sejumlah uang untuk pendaftaran, walau sebetulnya aku sedikit ragu mem
Mas Galuh menutup telponnya setelah kami berdebat cukup sengit. Aku tak mengerti jalan pikiran lelaki itu. Kemarin seperti senang tanpa beban kami berpisah tapi kini seperti enggan dan merasa rugi. Sebenarnya apa yang tengah dia rencanakan?"Ada apa? Memangnya dia bilang apa?" cecar Vee langsung setelah sambungan itu terputus. Wajahnya terlihat cukup serius. "Dia bilang tak akan menceraikanku. Sampai mati aku tetaplah istrinya.""Apa dia gila? Sidang perceraian kalian saja akan di gelar lusa. Lalu bagaimana pula bisa dia bilang begitu," geram Vee sembari mengeluarkan kata kasar yang ditujukannya pada Mas Galuh. "Dia bilang akan mengajukan banding jika sampai hakim mengabulkan permohonan ceraiku. Jika permohonan banding itu di tolak tetap saja dia tak akan menandatangi surat apa pun yang menyatakan kami sudah bercerai. Aku benar-benar tak mengerti isi otaknya itu," ucapku tak kalah mengomelnya. "Hubungi pengacaramu dan beritahukan perihal ini, aku yakin dia punya jalan keluar." Vee