Aku duduk seorang diri di bangku panjang bercat warna putih. Kontras dengan dinding yang memiliki warna yang sama. Dalam satu baris terdapat dua kursi panjang yang bersusun rapi namun di berikan jarak. Di sebelahku ada dua orang ibu-ibu hamil yang ditemani suaminya. Sedangkan bangku yang ada di hadapanku ada sekitar 6 orang ibu-ibu yang duduk. Terdapat dua orang yang sama sepertiku datang tanpa ditemani suami. Sebenarnya, ini sudah kesekian kali aku datang ke dokter kandungan tanpa ditemani dengan Mas Galuh. Karena perdebatan pagi tadi dan beberapa hari belakangan ini, membuatku enggan untuk menagih janjinya padaku. Serasa ada sekat di hatiku yang aku sendiri tak tahu itu karena apa. “Ibu Elliana!” seru seorang wanita berseragam putih di depan ruangan yang pintunya terbuka. Di tangannya terdapat map yang aku yakini adalah data dan rekam medis milikku. “Iya,” jawabku. Aku berdiri dan mendekatinya. Perawa
“Itu bukan rumah kosong, Dek. Ada kok orangnya di dalam, orangnya memang rada tertutup gitu. Jarang keluar rumah hanya sesekali saat suaminya pulang mereka keluar bersama anaknya yang berumur kurang dari 2 tahun,” jelas wanita baik itu. Dia mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya. “Benarkah? Kalau boleh tahu, suaminya kerja apa, Mbak? Oh ya, nama Mbak siapa?” Wanita itu mengulurkan tangannya padaku. Tentu saja langsung aku sambut dengan senang hati. "Kamu bisa panggil aku Mbak Asma." "Kalau saya Etta, Mbak," balasku memperkenalkan diri. Aku tak sepenuhnya berbohong, nama itu aku ambil dari nama belakangku sendiri. Mendengar dari nada suara dan ucapan Mbak Asma, aku bisa menarik kesimpulan jika perempuan ini suka mengobrol dan jika mengobrol sampai lupa waktu dan privasi. "Suaminya tadi kerja apa, Mbak? Soalnya aku lihat dari luar rumahnya tampak bagus desainnya. Apa seorang arsitek?" Aku ke
“Yang harus kau lakukan adalah membalas perbuatan mereka, Elliana! Sudah cukup selama ini kau menjadi wanita yang bodoh tanpa tahu apa pun yang terjadi,” ucap Vee memberi dukungan.Setelah dari komplek elite itu, aku tak langsung pulang ke rumah. Aku pergi ke butik milik sahabat yang sekaligus sebagai saudari sepupuku itu. Saat sedih, hanya dia yang bisa mengerti diriku. Kami bersahabat sejak kami kecil hingga saat ini. Vee adalah anak dari adik sepupu sebelah Papa. Lebih tepatnya Nenek Vee dari sebelah Papanya dengan Nenekku sebelah Papa adalah adik-kakak kandung. Orang tua Vee tinggal di Kanada sejak dia kelas dua SMA. Hingga gadis itu memilih tinggal sendiri di kota ini. Almarhum orang tuaku dulu sempat mengajaknya tinggal bersama, namun dirinya lebih nyaman tinggal sendiri.Dia gadis mandiri, terbukti di berbagai usianya segini ia sudah memiliki butik sendiri yang sangat maju.Hampir semua pakaian yang aku kenakan adalah rancangannya yang bagus dan cantik, baik dari bahan ata
Tak berselang lama, mobil yang dikendarai Mas Galuh pun terdengar memasuki rumah. Aku tersenyum hambar mendengarnya. “Pintar sekali dirimu membagi waktu Mas. Pagi bekerja, siang hingga larut malam untuk selingkuhan. Pantas saja kamu getol banget mengumandangkan alasan kata 'lembur' itu di telingaku. Ternyata ada anak dan istri baru yang kamu sembunyikan dengan rapi dariku!” Aku yang sedang duduk di tuang keluarga bergegas ke kamar. “Sekarang kita mulai bermain suamiku sayang. Jangan panggil namaku Elliana jika tidak bisa membalas pengkhiantanmu padaku!" batinku geram. Sesampainya di kamar aku langsung mengambil semprotan pengharum ruangan beraroma jeruk yang menjadi aroma yang paling tidak disukai Mas Galuh. Katanya seperti bau bus. Aku sengaja menyemprot seluruh kamar dengan begitu banyak semprotan pengharum ruangan agar baunya yang menyebar itu semakin pekat.Pintu kamar pun terbuka, Mas Galuh mengerutkan dahinya sembari mengi
Sesuai janji, jam 2 siang aku bertemu dengan lelaki yang akan membantuku untuk mencari informasi tentang rahasia yang disembunyikan suamiku. Kami berbicara di ruang kerja Vee. Lelaki itu menatap map yang berisikan biodata lengkap suamiku. Bahkan jam-jam tertentu dia pergi ke tempat fitnes hanya untuk menjaga stamina dan kebugaran fisiknya. "Baiklah, team kami akan berusaha secepat mungkin untuk mendapatkan informasi tentang rahasia suami, Mbak." "Terima kasih sebelumnya. Tapi saya harap kalian bisa mengorek informasi sampai hal yang terkecil sekalipun dan juga aku mau kamu mencari informasi tentang pembantu rumah tanggaku.""Bi Ninis? Apa kamu mencurigainya yang berselingkuh dengan Mas Galuh? Yang benar saja, El!" celetuk Vee salah paham. Aku memberi tatapan geram padanya. Dia yang sedari tadi hanya diam kini mulai membuka suara dan memberi komentar yang salah sasaran. "Aku tidak menuduh Bi Ninis selingkuh dengan Mas Galuh.
"El! Eliana!" Pagi-pagi sekali teriakan Mas Galuh menggema di rumah ini. Aku yang tengah duduk santai di teras belakang hanya diam tak menanggapi sambil menikmati secangkir coklat panas dipadu sepiring kecil roti bakar.Teriakan itu beberapa kali masih terus bergema hingga derap langkah kakinya terdengar mendekat ke arahku. "El, aku memanggilmu sedari tadi. Apa mulutmu itu bisu?" sentak Mas Galuh setelah berhasil mendapatiku duduk di teras belakang ini. Kupandangi sekilas wajah lelaki yang semalaman tak pulang itu. Ada rasa nyeri yang merayap di hati ini membayangkan semalaman dia tidur dalam dekapan wanita lain di belakangku. "Lagian ngapain pakai teriak-teriak pagi-pagi begini Mas. Memangnya apa yang membuatmu panik setelah semalaman tak pulang, Mas?" cibirku mengacuhkan keberadaannya yang kini telah berdiri tepat di sampingku.Dari sudut mataku dapat kulihat wajah mas Galuh tampak tersentak kaget. Dia pun berpindah posisi duduk pada
Aku menangis seorang diri di kamar ini. Sekuat apa pun diri ini berusaha untuk tegar tetap saja hatiku rapuh tatkala menyadari bukan hanya diriku satu-satunya pendamping Mas Galuh. Ada wanita lain yang masih disembunyikan dengan rapi dan dimanjakan suamiku, sementara diriku terus di tuntut untuk memenuhi semuanya. "Jika bukan karena anak yang ada dalam kandunganku, mungkin aku sudah membunuhmu, Mas."Pintu kamar terketuk mengejutkanku dari keterpakuan. Bergegas kuhapus air mata yang membasahi pipi. "Masuk!" Suara serakku bergema. Pintu terbuka, Bi Ninis masuk masuk dengan sebuah nampan di tangannya. Bi Ninis duduk di sampingku. Wajah keriput itu memandang heran padaku yang duduk di pinggir ranjang tak berani menatap ke arahnya. "Ada apa Mbak, kenapa Mbak menangis?" "Menangis? Siapa ya habis menangis, Bi?" dalihku. Aku hanya ingin menyembunyikan semuanya namun air mata yang terus kutahan justru turun seperti air bah yang meluap tak disangka. Akupun menutup wajahku dengan dua
Ketika pagi kembali menyapa, aku kembali dihadapkan dengan sosok mertua yang datang dengan wajah asam. "Kamu benar-benar kelewatan ya, El. Sampai detik ini belum juga kamu kirimkan uang yang menjadi hak Mama!" Sentak mertuaku langsung. Mata bulatnya semakin melebar di antara kulit keriputnya itu. "Kalau kamu gak bisa transfer, sekarang Mama yang jemput. sini uang itu sekarang! Mama gak punya banyak waktu." Telapak tangan wanita yang kerap berbicara lembut padaku selama ini terulur mengadah dan menatap sinis padaku. Jauh berbeda dari biasanya. Aku hanya duduk santai dan menghadapinya dengan tenang. Aku sengaja tak mau memberikan uang itu. Jika biasanya aku langsung memberikan langsung hanya untuk menghindari pertengkaran, tapi kali ini berbeda. Aku justru sengaja memancing pertengkaran itu muncul. Mbak Asma yang berada di pihakku kemarin memberiku kabar. Kabar yang membuatku mengerti kenapa suami dan mertuaku itu ngotot sekali meminta uang dariku. "Maaf Ma, bukannya aku mena