“Mbak, El! Loh … kok, malah bengong, Mbak. Mbak El kenapa, kenapa wajah Mbak tampak pucat. Ayo kita pulang, Mbak! Mbak harus istirahat.” Bi Ninis merangkul tanganku. Dia menuntun tubuhku yang tiba-tiba lemas untuk kembali ke arah mobil kami yang terparkir.“Bi tadi aku yakin, aku melihat Mas Galuh baru saja turun dari mobil tadi. Dia menggendong seorang anak kecil sekitar satu atau dua tahunan. Tapi sekarang kok, dia tak ada?” kataku seperti anka kecil yang tengah mengadu pada ibunya. Bi Ninis terkekeh kecil. “Ya mana mungkinlah, Mbak. Kan sekarang suami Mbak sedang tugas ke luar kota. Mungkin karena Mbak El rindu sama Pak Galuh paling Mbak. Makanya kebayang-bayang terus. Yang sabar ya Mbak, masa-masa seperti Mbak ini memang selalu ingin di manja dan diperhatikan suami. Besok juga Pak Galuh pulang, Mbak. Sudah jangan dipikirkan terus,” ucap Bi Ninis padaku. Tapi ucapannya tak cukup menenangkanku.Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil aku masih saja kepikiran hingga diam sembari
“Kamu mau kemana, sayang?” tanya Mas Galuh. Dia mengecup lembut keningku. Lalu mengusap perutku dengan sayang. “Hmm … aku mau ke pasar rencananya, Mas. Mau belanja bahan perlengkapan dapur,” jawabku berbohong. Aku melirik sekilas pada Bi Ninis memberikan kode untuk diam. “Ke pasarnya nanti saja, suami baru pulang masa mau ditinggal!” Mas Galuh memberikan tasnya pada Bi Ninis, mengajakku masuk ke dalam rumah sambil mengobrol. Kami berdua duduk di sofa yang ada di ruang tv. Mas Galuh menyandarkan bahunya pada sandaran sofa. Bi Ninis kini telah kembali seraya membawa sepiring cemilan serta kopi hitam manis ynag menjadi kesukaan suamiku itu. “Kerjaanmu sudah beres semuanya, Mas? Kemarin kamu bilang di telpon pulangnya lusa malam." Aku merangkul mesra lengan suamiku, sesuatu yang biasa aku lakukan saat kami sedang berdua seperti ini. Mas Galuh menyeruput kopinya pelan kemudian meletakkannya kembali ke atas meja. “Kamu nggak suka melihat Mas pulang cepat?”
“Jangan melihat hal-hal yang tak perlu di lihat. Jangan mencari tahu apa yang tak perlu aku ketahui, agar rumah tanggaku tetap harmonis.” Nasehat Papa kala itu. Aku pun juga melihat Almarhum Mama melakukan hal yang sama. Jadi aku pun ikut menerapkan hal yang serupa. Tiga tahun berumah tangga, tak sekali pun aku memegang ponsel suamiku. Dulu ia pernah memberikannya, namun aku tak mau. Tapi sekarang, rasa ingin tahuku mendorongku untuk melakukan lebih. Aku berjalan dengan pelan menuju balkon. Bersembunyi di balik pintu dekat pagar pembatas. Membuka layar benda pipih tersebut. Membongkar pesan satu persatu. Tak kutemukan ada yang mencurigakan, begitu pun dengan pesan di applikasi hijau yang dia miliki. Aku buka galeri, juga tak ada yang aneh. Hanya ada beberapa foto di galerinya, fotoku dan foto pernikahan kami serta foto yang berhubungan dengan pekerjaannya. Keningku semakin berkerut, apa Mbak Vina membohongiku? Dia sengaja menunjukkan foto tempo hari itu padaku agar
Aku duduk seorang diri di bangku panjang bercat warna putih. Kontras dengan dinding yang memiliki warna yang sama. Dalam satu baris terdapat dua kursi panjang yang bersusun rapi namun di berikan jarak. Di sebelahku ada dua orang ibu-ibu hamil yang ditemani suaminya. Sedangkan bangku yang ada di hadapanku ada sekitar 6 orang ibu-ibu yang duduk. Terdapat dua orang yang sama sepertiku datang tanpa ditemani suami. Sebenarnya, ini sudah kesekian kali aku datang ke dokter kandungan tanpa ditemani dengan Mas Galuh. Karena perdebatan pagi tadi dan beberapa hari belakangan ini, membuatku enggan untuk menagih janjinya padaku. Serasa ada sekat di hatiku yang aku sendiri tak tahu itu karena apa. “Ibu Elliana!” seru seorang wanita berseragam putih di depan ruangan yang pintunya terbuka. Di tangannya terdapat map yang aku yakini adalah data dan rekam medis milikku. “Iya,” jawabku. Aku berdiri dan mendekatinya. Perawa
“Itu bukan rumah kosong, Dek. Ada kok orangnya di dalam, orangnya memang rada tertutup gitu. Jarang keluar rumah hanya sesekali saat suaminya pulang mereka keluar bersama anaknya yang berumur kurang dari 2 tahun,” jelas wanita baik itu. Dia mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya. “Benarkah? Kalau boleh tahu, suaminya kerja apa, Mbak? Oh ya, nama Mbak siapa?” Wanita itu mengulurkan tangannya padaku. Tentu saja langsung aku sambut dengan senang hati. "Kamu bisa panggil aku Mbak Asma." "Kalau saya Etta, Mbak," balasku memperkenalkan diri. Aku tak sepenuhnya berbohong, nama itu aku ambil dari nama belakangku sendiri. Mendengar dari nada suara dan ucapan Mbak Asma, aku bisa menarik kesimpulan jika perempuan ini suka mengobrol dan jika mengobrol sampai lupa waktu dan privasi. "Suaminya tadi kerja apa, Mbak? Soalnya aku lihat dari luar rumahnya tampak bagus desainnya. Apa seorang arsitek?" Aku ke
“Yang harus kau lakukan adalah membalas perbuatan mereka, Elliana! Sudah cukup selama ini kau menjadi wanita yang bodoh tanpa tahu apa pun yang terjadi,” ucap Vee memberi dukungan.Setelah dari komplek elite itu, aku tak langsung pulang ke rumah. Aku pergi ke butik milik sahabat yang sekaligus sebagai saudari sepupuku itu. Saat sedih, hanya dia yang bisa mengerti diriku. Kami bersahabat sejak kami kecil hingga saat ini. Vee adalah anak dari adik sepupu sebelah Papa. Lebih tepatnya Nenek Vee dari sebelah Papanya dengan Nenekku sebelah Papa adalah adik-kakak kandung. Orang tua Vee tinggal di Kanada sejak dia kelas dua SMA. Hingga gadis itu memilih tinggal sendiri di kota ini. Almarhum orang tuaku dulu sempat mengajaknya tinggal bersama, namun dirinya lebih nyaman tinggal sendiri.Dia gadis mandiri, terbukti di berbagai usianya segini ia sudah memiliki butik sendiri yang sangat maju.Hampir semua pakaian yang aku kenakan adalah rancangannya yang bagus dan cantik, baik dari bahan ata
Tak berselang lama, mobil yang dikendarai Mas Galuh pun terdengar memasuki rumah. Aku tersenyum hambar mendengarnya. “Pintar sekali dirimu membagi waktu Mas. Pagi bekerja, siang hingga larut malam untuk selingkuhan. Pantas saja kamu getol banget mengumandangkan alasan kata 'lembur' itu di telingaku. Ternyata ada anak dan istri baru yang kamu sembunyikan dengan rapi dariku!” Aku yang sedang duduk di tuang keluarga bergegas ke kamar. “Sekarang kita mulai bermain suamiku sayang. Jangan panggil namaku Elliana jika tidak bisa membalas pengkhiantanmu padaku!" batinku geram. Sesampainya di kamar aku langsung mengambil semprotan pengharum ruangan beraroma jeruk yang menjadi aroma yang paling tidak disukai Mas Galuh. Katanya seperti bau bus. Aku sengaja menyemprot seluruh kamar dengan begitu banyak semprotan pengharum ruangan agar baunya yang menyebar itu semakin pekat.Pintu kamar pun terbuka, Mas Galuh mengerutkan dahinya sembari mengi
Sesuai janji, jam 2 siang aku bertemu dengan lelaki yang akan membantuku untuk mencari informasi tentang rahasia yang disembunyikan suamiku. Kami berbicara di ruang kerja Vee. Lelaki itu menatap map yang berisikan biodata lengkap suamiku. Bahkan jam-jam tertentu dia pergi ke tempat fitnes hanya untuk menjaga stamina dan kebugaran fisiknya. "Baiklah, team kami akan berusaha secepat mungkin untuk mendapatkan informasi tentang rahasia suami, Mbak." "Terima kasih sebelumnya. Tapi saya harap kalian bisa mengorek informasi sampai hal yang terkecil sekalipun dan juga aku mau kamu mencari informasi tentang pembantu rumah tanggaku.""Bi Ninis? Apa kamu mencurigainya yang berselingkuh dengan Mas Galuh? Yang benar saja, El!" celetuk Vee salah paham. Aku memberi tatapan geram padanya. Dia yang sedari tadi hanya diam kini mulai membuka suara dan memberi komentar yang salah sasaran. "Aku tidak menuduh Bi Ninis selingkuh dengan Mas Galuh.
Grand opening pembukaan toko rotiku pun akhirnya tiba. Antusias para pengunjung membuat semangatku menyala. Aroma butter yang menguar dari dapur memenuhi seluruh ruangan. Tak hanya di bagian dalam, tetapi di bagian luar pun juga terlihat ramai dengan deretan papan bunga yang berjejer tersusun rapi. "Selamat ya El." Vee memberikan sekuntum besar bunga mawar merah padaku. Dia datang bersama Kak Bian. Lama tak melihat dirinya, ada rasa rindu yang tersirat di hati."Terima kasih." Aku meraih bunga yang diberikannya padaku. Kelopaknya yang segar begitu menggoda mata. "Jangan terima kasih padaku, tapi pada Kak Bian, bunga itu darinya."Aku tersenyum. Hari ini hatiku sedang bahagia. "Terima kasih Kak. Atas bunganya dan juga waktu yang kakak sempatkan untuk datang ke sini.""Sama-sama, El. Lama tidak berjumpa, kamu makin cantik dan sukses saja," pujinya membuat hati ini semakin bahagia. Hari ini seakan begitu banyak kupu-kupu yang bertebaran di dadaku. "Ayo kita ngobrol di dalam sambil me
"Aku benar-benar tak habis pikir, bisa-bisanya kamu bersikap baik sama orang lain yang baru saja kamu kenal, El."Vee terus saja mengomel sepanjang jalan hingga kami sampai di rumah. Caranya mengataiku bodoh seakan aku telah menghilangkan uang ratusan juta saja. "Aku hanya memberikannya sebagian pakaianku yang sudah tidak terpakai lagi. Bukan membiarkannya menempati rumah peninggalan Mama dan Papa. Aku rasa gak perlu dibesar-besarkan seperti ini," jawabku. Aku yang duduk di depan meja rias tengah melepaskan jam tangan dan meletakkannya kembali dalam kotak sebelum membersihkan diri ke kamar mandi. "Tapi kamu juga memberikannya pekerjaan."Aku berbalik menghadap ke arah Vee yang tengah duduk di pinggir ranjang seraya merengut. Tak biasanya dia bersikap kekanak-kanakan seperti ini. "Memangnya ada masalah apa? Kenapa kamu terlihat sensi padanya?" tanyaku lembut. Dalam beberapa hari belakangan ini terasa ada yang berbeda darinya. Vee mengalihkan pandangan matanya dariku. Dia seperti se
"Di mana rumahmu, biar kami antar," tawarku yang merasa kasihan dengannya. Aku sudah membawanya ke klinik terdekat, luka-lukanya yang tidak terlalu parah itu pun juga sudah di obati. Hanya saja pergelangan kakinya sedikit terkilir hingga dia terlihat kesusahan saat bergerak.Vee kembali menarik tanganku, sedari tadi dia terus mewanti-wantiku untuk tidak terlalu ikut campur. Kuakui penampilan wanita yang aku ketahui namanya Rani itu terlihat begitu terbuka. "Gak usah Mbak. Saya bisa pulang sendiri, nanti saya pesan ojek online saja," ucapnya segan. Jika dilihat-lihat dia cukup sopan untuk ukuran wanita yang menggunaka pakaian sedikit terbuka. "Gak apa, aku antar saja kamu pulang. Jangan sungkan. Oh ya, kalau aku boleh saran, sebaiknya besok bersepeda gunakan pakaian yang lebih panjang lagi biar kalau jatuh gak parah seperti ini."Aku tak tahu kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutku. Jika dipikir-pikir tak ada hak untuk aku mengomentari penampilannya. Sebenarnya pakaian Rani ada
Tiga hari aku tak bertemu lagi dengan Kak Bian. Aku yang selalu di rumah layaknya pengangguran kini mulai menyibukkan diri dengan rencana membuka toko bakery dengan seorang partner bisnis yang aku dapati saat ikut kelas baking. "Wah, mantap. Kapan kira-kira toko ini akan buka?" tanya Vee. Matanya menadang takjub pada penataan toko yang sedang dalam tahap finising tersebut. Hari ini dia libur dan ikut denganku untuk kontrol tukang yang menyelesaikan finishing renovasi rukoku ini. Aku memiliki satu deret ruko yang selama ini disewakan, kali ini dua pintu ruko akan aku gunakan untuk toko bakery. "Secepatnya. Tadi aku tanya sama tukangnya dalam seminggu tempat ini akan siap. Kalau tidak ada kendala awal bulan sudah bisa launching." Vee menganggukkan kepala kemudian meninggalkan aku untuk kembali melihat sekeliling. Aku justru memilih berdiskusi dengan Tissya. Wanita muda yang hanya tamatan sekolah menengah atas.Di umurnya yang
Belum hilang keterkejutanku atas ucapannya, kini aku kembali dikagetkan dengan sebuah cincin berlian yang dia tunjukkan padaku.Aku bahkan tak tahu harus berkata apa. Seluruh tubuhku terpaku dengan lidah yang kelu. "Apa kamu mau menerimaku, El?" Suara lembut pria yang selalu aku anggap sebagai kakak lelaki ketimbang pasangan ini kembali membuyarkan lamunanku. Aku menatap wajahnya lekat. Apa yang kurang dari dirinya? Tak ada. Tapi rasa takut atas kegagalan rumah tangga sebelumnya membuatku tak berani melangkah. Aku menutup kotak merah tersebut."Kenapa?" tanya Kak Bian dengan nada kecewa. Sejak kapan dia memiliki perasaan denganku? Sejak dulu saat kami kerap bersama atau karena kasihan dengan nasibku yang akan menyandang status janda?"Aku baru saja berpisah dengan Mas Galuh dan bahkan palu hakim perceraianku saja belum di ketuk," jawabku jujur. Aku tak ingin kedekatan kami akan menjadi masalah untuk kedepannya. "Aku akan sabar menunggu.""Masih banyak perempuan lain yang pantas un
Minggu pagi, udara begitu cerah tapi terasa melelahkan untukku. Hidup di rumah sendiri terasa begitu sunyi sehingga aku yang awalnya hanya ingin menginap sehari dua hari di rumah Vee, justru malah jadi keterusan. Keningku berkerut saat membuka kulkas, tak ada bahan makanan apa pun yang tersisa di sana. Baik aku ataupun Vee jarang sekali memasak di rumah ini, entah kenapa hari ini aku ingin makan siang dengan masakanku sendiri.Jadi di sinilah aku sekarang, di pusat perbelanjaan yang cukup besar di kotaku. Baru masuk pintu moll aku langsung menuju Alfamart yang ada di lantai bawah. Aku suka berbelanja di Alfamart yang ada di moll ini, selain lebih besar dan luas bahan makanan pun dijual lebih lengkap dan juga fress.Ayam, ikan, nugget dan juga telur omega sudah tersusun di dalam troliku, aku kembali berjalan sembari mata melirik ke kiri dan ke kanan untuk melihat-lihat apa lagi yang ingin aku beli dan berhenti di depan rak buah-buahan yang tersusun perkelompok."Wah kebetulan sekali
Hari yang aku tunggu akhirnya tiba juga. Tak pernah terpikirkan sedikit pun dalam benakku, jika nantinya aku harus duduk di kursi pesakitan ini. Menantikan ketuk palu pak hakim yang memutuskan ikatan pernikahanku dan Mas Galuh.Tak memiliki anak selama pernikahan ternyata tak cukup membuat ketuk palu hakim itu langsung bergema. Mas Galuh dengan tegas menolak serta berniat naik banding membuat keputusan sidang pun ditunda hingga dua minggu selanjutnya. Pihak Mas Galuh terutama ibunya memaksa untuk membagi seluruh harta yang aku miliki jika aku tetap ngotot ingin bercerai, tentu saja aku menolak karena semua itu murni aku dapat dari peninggalan orang tuaku. Keputusanku menolak mentah-mentah permintaan dari pihak Mas Galuh dan tetap ngotot untuk bercerai tentunya membuat mantan mertuaku meradang. Sampai-sampai dia mencegatku di depan kendaraanku dengan gagah berani. "Hey perempuan serakah! Serahkan sebagian harta yang menjadi hak anakku!" teriak mantan mertuaku yang cukup memancing p
Pagi-pagi sekali aku bangun, berpakaian rapi dan bersiap untuk ke kantor. Aku melangkahkan kaki menuju ruang makan untuk sarapan. Betapa terkejutnya aku yang tak mendapati apa pun di atas meja. Biasanya selalu ada menu sarapan yang terhidang, namun kali ini hanya ada meja kotor dengan bekas sisa makanan semalam. "Rahma! Rahma!" Suara bassku menggelegar ke seluruh penjuru ruangan rumah besar ini. "Ada apa sih Mas? Kita tidak sedang tinggal di hutan, gak usah teriak-teriak!" jawabnya santai. Lantah kakinya begitu gemulai menghampiriku seakan tak terjadi apa-apa. "Mana sarapanku?" "Sarapan? Apa yang mau di masak untuk sarapan. Semua bahan di kulkas habis.""Kalau habis ya belanja. Suami mau pergi kerja bukannya di urus malah menghilang entah kemana," sungutku. Pagi-pagi aku sudah dibuat naik darah dengan tingkah istriku yang tak tahu aturan, sangat berbeda sekali dengan Elliana. Kenapa hatiku tiba-tiba merindukannya.Rahma dengan santai seraya tersenyum manja mengadahkan tangan di
Pov. GaluhAku pulang ke rumah dalam keadaan wajah yang lebam. Baru saja sampai di depan rumah aku sudah di sambut dengan canda tawa istri keduaku bersama kedua orang tuanya. Dua orang tua yang tak memiliki pekerjaan itu menjadi beban tambahan untukku. "Mas kamu sudah pulang," sapa Rahma riang yang langsung bergelayut manja di tanganku saat aku baru saja melewatinya. Aku melirik ke arahnya sekilas dan kembali melanjutkan langkah kakiku tanpa menyapa kedua orang taunya itu."Loh, Mas. Wajahmu kenapa?" Rahma menyusul dari belakang hingga kami masuk ke dalam kamar. Tak satu patah pun keluar dari mulutku. Aku kesal. Semenjak kedua orang tuanya ikut tinggal bersama di rumah ini sejak delapan bulan yang lalu, pengeluaran kami melonjak menjadi dua kali lipat. "Mas, kamu kenapa? Aku nanya dari tadi kamu diam saja?" ucap Ratna bertanya sekali lagi seraya menahan lenganku. Menghentikan langkah kakiku yang hendak menuju kamar