Share

7. Siapa wanita itu?

Mas Galuh menepati janjinya, dirinya menambahkan jatah uang belanja jatahku. Tentu saja itu membuatku senang.

hari ini aku berniat membeli kebutuhan dapur. Kegiatan yang biasa aku lakukan setiap bulannya. Jika biasanya aku ditemani Mas Galuh, namun kali ini aku pergi di temani oleh Bi Ninis.

“Bi cariin ini di rak nomor dua yang letaknya paling ujung, ya!” pintaku pada Bi Ninis.

Aku memberikan selembar kertas yang berisi lima macam barang yang aku inginkan dan letaknya berdekatan. Mulai dari ember dan kain pel di rumah yang sudah mulai usang.

“Baik, Mbak.”

Bi Ninis melangkah menjauh dariku. Kini aku mendorong troli-ku mendekati rak yang berisi susu khusus Ibu hamil. Tak lupa tanganku dengan lincah mengambil barang-barang di rak yang aku lewati. Tentunya memang barang yang memang aku butuhkan.

Aku bukan tipe wanita yang akan kalap saat berbelanja. Sesampainya di rak susu, aku mengernyitkan dahi saat melihat susu yang aku butuhkan berada di rak yang paling atas seperti biasanya.

Tubuhku yang tinggi tentu sangat mudah untuk menggapainya. Aku mengulurkan tangan untuk meraihnya. Dahiku berkerut merasakan sesuatu yang tak nyaman pada perutku.

“Arkkhh …,” ringisku menahan rasa sakit di perutku.

“Apa kau baik-baik saja?” sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh dan terkejut melihat siapa yang ada di sampingku saat ini.

“Kak, Bian! Apa kabar? Rasanya sudah lana sekali kita tidak jumpa,” sapaku begitu riang.

"Kabar baik, sekarang kamu tanbah berisi, El. Maaf aku tak bisa datang di hari pernikahanmu."

"Tidak apa-apa, Kak. Aku mengerti. Bagaimana kondisi Kakak sekarang dan tibggal di mana? Apa sudah ada yang baru nih? Jangan lupa kenalin sama aku ya."

“Dimana suamimu, kenapa dia meninggalkanmu pergi sendiri begini?”

Kak Bian mengedarkan matanya ke sekililing. Mengabaikan ucapanku barusan.

“Dia sedang sibuk kerja, aku tadi sama Bi Ninis ke sini. Dia sedang aku suruh untuk membeli barang yang lain,” jawabku.

Aku menarik napas lalu menghembusnya secara perlahan sambil mengusap lembut perutku agar rasa sakitnya sedikit berkurang.

“Kamu ingin mengambil ini, kan, tadi El? Apa kamu hamil?”

Kak Bian menyodorkan kotak susu yang ingin aku ambil tadi. Aku menerimanya dengan senang hati. Lalu mengangguk. Dia menatap tajam ke arah perut rataku yang berada di balik dres motof floral yang aku kenakan.

Tatapan matanya menyiratkan makna yang aku sendiri sukar untuk mengartikannya. Fabian Hermawan Rarendra putra dari Rahmat Rarendra, teman se-almamater almarhum Papaku.

Paman Rahmat dan Papa sangat dekat seperti jari manis dan kelingking. Sayang persahabatan itu tak dapat terjalin antara kami, anak-anaknya. Fabian yang dingin dan pendiam sangat bertolak belakang denganku yang ceria.

“Ada apa, kak. Apa ada yang aneh dengan perutku?”

“Kau hamil?” tanyanya kembali.

“Iya, seharusnya kau mengucapkan selamat padaku,” jawabku ceria.

“Oh, ini susumu. Minum yang teratur, jangan angkat yang berat-berat!” balasnya dingin. Tak ada kata selamat yang aku harapkan dari mulutnya.

Tangannya kembali meraih dua kotak lagi susu Ibu hamil itu dengan ukuran kotak yang sama besarnya. Lalu meletakkannya ke dalam keranjang troli-ku. Aku tercengang melihat tingkah lelaki yang seumuran dengan suamiku ini.

“Apa ada yang mau diambil lagi?” tanyanya lagi. Aku menggelengkan kepala.

“Baiklah, aku pulang duluan,” Tandasnya seraya berlalu pergi.

Aku berdecak melihat sikap dingin dan kakunya itu. Tak bisakah ia sekedar berbasa-basi terlebih dahulu denganku? Pantas saja diusianya yang segitu fia masih saja sendiri.

Kak Bian pernah menikah, itu dua tahun yang lalu. Tepatnya satu tahun setelah pernikahanku. Dia menikah dengan salah seorang model majalah fashion. Secara pandangan fisik dirinya dan model itu sangat serasi.

Mereka berdua tampak cantik serta gagah. Kak Fabian memiliki tubuh yang tinggi tegap, kulit kuning langsat yang cendrung putih didapat dari sang Mama yang masih keturunan China. Sedangkan hidung mancung dari sang Papa yang asli orang aceh.

  Sebuah tepukan di pundak membuyarkan lamunanku menatap punggung lelaki tinggi tadi. Aku pun menoleh.

“Mbak, ini barangnya. Apa sudah betul?” tanya Bi Ninis menunjukkan barang yang dia dapatkan.

Ada beberapa barang yang berbeda merek dari yang aku perintahkan. Tapi ya, sudahlah … terpenting fungsi dan kualitas barangnya tetap sama.

Aku dan Bi Ninis mulai berkeliling, mencari lagi benda-benda serta bahan-bahan makanan yang kami butuhkan di rumah.

Suasana supermarket yang kami datangi ini selain cukup besar dan juga isinya lengkap serta berada di pusat kota hingga sangat mudah dijangkau.

Bangunan yang memiliki tiga lantai yang cukup luas. Supermarket yang aku datangi berada di lantai paling bawah berhadapan dengan game city dan beberapa outlet makanan cepat saji. Sedangkan di lantai dua dan tiga adalah aksesoris, baju, sepatu dan juga bioskop.

  Banyak sekali pengunjung hari ini, mereka ada yang datang dengan pasangan kencannya dan ada pula yang masuk dengan keluarga kecil mereka. Karena troli kami penuh dan mulai berat, jadi Bi Ninis kini yang mengambil alih untuk mendorongnya.

Setelah semua yang kami butuhkan sudah dapat, serta sudah dibayar. Aku pun mengajak Bi Ninis untuk pulang. Bi Ninis berjalan di depan masih dengan tangan yang mendorong troli.

Mataku tak sengaja melihat sebuah mobil berwarna hitam melewati kami. Aku terpaku melihat siapa yang berada di balik kemudi mobil itu. Mataku terus saja memperhatikan kemana mobil itu melaju hingga ke belakangku.

Aku memutar tubuhku dan melihat mobil itu akhirnya terparkir di ujung sana. Mataku melebar sempurna melihat sosok yang aku yakini sebagai Mas Galuh keluar dari dalam mobil itu sambil menggendong seorang bocah kecil yang tertutupan dengan topi.

Sedetik kemudian seorang wanita bertubuh mungil juga ikut keluar dari bangku penumpang di sebelahnya. Mataku nanar menatap pemandangan tersebut. Baru saja kakiku ingin melangkah maju. Bi Ninis menarik lengan tanganku hingga aku menoleh padanya.

“Mbak El, Mbak mau kemana? Mobilnya terparkir di sebelah sana. Kenapa Mbak El justru berjalan berlawanan arah?!” tanya Bi Ninis bingung.

Dia menunjuk mobil kami yang terparkir berlawanan arah dengan tempat yang mau kutuju

“Itu, Bi. Tadi ada …,” ucapanku terjeda. Aku kembali menoleh. Namun tak kudapati lagi Mas Galuh dengan wanita tadi. Aku mengucek-ngucek mataku, tetap saja tak kudapati keberadaannya lagi.

Justru yang ada di sana, seorang lelaki gendut yang sedang membukakan pintu untuk kekasih yang sama gempalnya itu. Apa aku salah lihat? Rasa-rasanya tidak mungkin.

Aku merasa yakin sekali jika yang aku lihat tadi adalah Mas Galuh. Walau wajah wanita dan anak kecil itu tak tampak karena posisi mereka yang membelakangiku. Tapi aku yakin itu Mas Galuh, suamiku. Kenapa sekarang berbeda?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status