Share

5. Hati yang mulai gelisah

               

Mentari pagi bersinar dengan begitu cerahnya, sinarnya yang hangat melingkupi semua mahkluk di bumi. Aku duduk di teras yang berlantaikan marmer ini. Jajaran pot-pot kecil ada di hadapanku kini sudah berbaris minta sentuhan.

Kulepaskan daun-daun kering serta mencabut rumput-rumput kecil yang tumbuh merusak pemandangan mata. Agar pesona kecantikan bunga-bunga ini bisa tampil maksimal.

  Aku pulang ke rumah jam 8 pagi, setelah sarapan di rumah Mama, Mas Galuh langsung mengantarku pulang ke rumah. Baru setelah itu dia berangkat bekerja. Aku yang merasa bosan mencari kegiatan yang bisa mengusir rasa sepiku.

“Mbak, ini di letakkan di mana?” tanya Bi Ninis. Asisten rumah tangga yang sudah bekerja puluhan tahun menagabdi di keluargaku. Dia bekerja sejak aku masih berumur 10 tahun.

Bi Ninis sudah seperti orang tua kandung untukku, kehadirannya bisa mengusir kerinduanku pada kedua orang tuaku yang sudah tiada. Menjadi tempatku mengadu dan berkeluh-kesah.

  “Letak di rak itu saja, Bi! Biar agak rapi sedikit.” Aku menunjuk pada rak tiga tingkat berwarna putih dengan lebar 120 cm di sebelah sudut, dekat tembok yang berhadapan dengan taman samping. Agar dapat mendapatkan cahaya sinar matahari yang cukup.

“Mbak El lagi hamil muda, jangan terlalu capek-capek. Untuk urusan ini biar Bibi aja yang kerjakan,” ujarnya setelah meletakkan pot tersebut. Aku tersenyum.

“Aku baik-baik saja kok, Bi. Aku kan hamil, bukannya sakit. Kalau nggak bergerak sedikit pun tubuhku malah terasa lemes dan nggak enak,” jelasku.

  “Bi, aku mau bertanya sesuatu,” ujarku ragu-ragu. Namun apa yang terjadi semalam masih mengganjal di pikiranku.

  Bi Ninis mendekat. Dia duduk di pinggir teras menghadap ke arahku.

“Ada apa, Mbak? Bibi lihat sejak pulang tadi Mbak El tampak banyak pikiran.”

  Aku diam sejenak untuk berpikir. Apakah aku harus cerita atau harus diam.

“Bi, ada teman aku yang cerita. Katanya ada sepupunya mengatakan kalau suaminya selingkuh. Menurut Bibi, temanku itu harus melakukan apa? Percaya pada bukti yang ditunjukkan oleh sepupunya. Atau percaya pada suaminya?” tanyaku meminta pendapat.

Kini Bi Ninis yang terdiam sejenak. Dia seperti memikirkan kat-kata yang akan dia ucapkan. Lalu menghela napas lelah. Ada binar kecewa di raut wajahnya yang keriput.

  Aku tak begitu tahu betul latar belakang kehidupan Bi Ninis, yang aku tahu saat pertama kali dia masuk ke rumah ini, dirinya masih sangat muda sekali.

Dia seorang janda dengan satu anak yang dia tinggalkan di kampung. Anaknya berumur 2 tahun lebih muda dariku kala itu, kini anaknya bekerja di sebuah pabrik Garmen.

Baru empat tahun yang lalu anaknya datang ke kota ini untuk merantau. Sesekali putrinya itu datang kesini untuk menjenguknya. Terakhir putrinya itu datang sekitar 1 tahun yang lalu, kalau tidak salah. Mengajak Bi Ninis untuk tinggal bersama, tapi Bi Ninis menolaknya.

   “Percaya pada suaminya! Jika tak ada yang mencurigakan dari sikap dan prilaku suaminya, lalu apa yang perlu di khawatirkan? Lebih baik tak mencari tahu apa yang tak perlu diketahui, Mbak. Agar hidup bisa tenang dan damai.”

“Maaf, Mbak El.” Imbuhnya.

“Maaf untuk apa, Bi? Bi Ninis kan nggak salah apa-apa sama aku?” Aku mengerutkan dahi merasa heran.

“Maaf jika selama ini Bibi ada salah pada, Mbak Eliana. Membuat Mbak tersinggung atau sakit hati. Maafkan Bibi ya, Mbak,” jelasnya semakin membuatku bingung.

Sikapnya seakan dirinya memiliki dosa besar padaku saja.

“Bibi jangan ngomong seperti itu, Ah. Seperti orang yang akan pergi jauh saja. Bikin aku merinding, sudah jangan bahas itu. Aku jadi takut!” tegurku. Aku tak suka suasana sedih yang tercipta dari perbincangan kami.

Aku tak suka suasa seperti ini. Kehilangan kedua orang tua sudah membuatku trauma jika mendengar ucapan yang terasa ganjil. Apalagi seperti sekarang ini yang kupunya hanya Bi Ninis.

“Oh iya, ya, kenapa Bibi ngomong seperti itu, ya, Mbak. Maklum Bibi ini sudah tua, jadi suka bicara ngelantur.” Bi Ninis terkekeh berusaha untuk mencairkan suasana, namun raut wajahnya seperti orang yang bingung.

Bi Ninis kembali merapikan bunga-bunga yang indah itu kemudian pamit padaku menuju dapur untuk memasakkan makan malam untuk kami nanti. Aku memandangnya masih dengan tatapan tajam, aneh dengan sikapnya.

   “Jangan melihat hal-hal yang tak perlu dilihat. Jangan mencari tahu apa yang tak perlu kamu ketahui, agar rumah tanggamu tetap harmonis.” Nasehat Papa kala itu yang masih aku ingat di kepala.

  Sama persis dengan apa yang dikatakan Bi Ninis barusan. Aku pun juga melihat Almarhum Mama melakukan hal yang sama. Di mataku, kedua orang tuaku hidup dengan rukun tanpa adanya pertengkaran.

  Tiga tahun berumah tangga, tak sekali pun aku memegang ponsel suamiku. Dulu dia pernah memberikannya, namun aku tak mau. Karena saat itu aku pikir memang tak ada yang patut aku curigai.

Tingkah dan polah suamiku masih dalam taraf wajar, suamiku juga tak pernah melakukan tindakan yang membuatku cemburu. Tapi entah kenapa kali ini aku penasaran.

Matahari mulai meninggi, panasnya menancap di atas kepala hingga meninggalkan rasa terbakar. Aku menyudahi pekerjaanku. Taman yang awalnya berantakan kini mulai tertata rapi walau tidak semuanya. Lagi pula masih ada waktu esok hari untuk menyekesaikan semuanya.

"Mama tidak bisa melakukan itu. Mama berhutang budi poada keluarga ini, Mama mohon jangan paksa Mama untuk melakukan itu."

Langkah kakiku terhenti saat hendak memasuki dapur. Aku mendapati Bi Ninis sedang menelpon seseorang di balik lemari piring seraya berbisik. Dari nada suaranya terdengar begitu sedih.

Apakah dia berbicara pada putrinya? Tapi kenapa terdengar seperti tertekan?

"Bukannya Mama gak sayang. Tapi Mama gak bisa melakukan itu padanya. Dia terlalu baik pada Mama dan gak mungkin Mama memballas kebaikannya seperti ini. Mama mohon, jangan libatkan Mama akan hal ini, Nak!" Suara Bi Ninis terdengar kembali memelas. Keningku berkerut dalam.

"Bibi bicara sama siapa?" tanyaku yang sontak membuat Bi Ninis tersentak kaget bukan kepalang. Wajahnya tampak pucat seperti seseorang yang ketangkap basah tengah mencuri saja.

"Anu ... anu, Non. Tadi ... tadi Bibik menelpon putri Bibi yang meminta Bibik untuk ikut dengannya," jawab Bi Ninis berbohong padaku. Aku yakin sekali bukan itu yang dia bicarakan di telpon tadi. Sebenarnya apa yang tengah dia sembunyikan dariku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status