Mentari pagi bersinar dengan begitu cerahnya, sinarnya yang hangat melingkupi semua mahkluk di bumi. Aku duduk di teras yang berlantaikan marmer ini. Jajaran pot-pot kecil ada di hadapanku kini sudah berbaris minta sentuhan. Kulepaskan daun-daun kering serta mencabut rumput-rumput kecil yang tumbuh merusak pemandangan mata. Agar pesona kecantikan bunga-bunga ini bisa tampil maksimal. Aku pulang ke rumah jam 8 pagi, setelah sarapan di rumah Mama, Mas Galuh langsung mengantarku pulang ke rumah. Baru setelah itu dia berangkat bekerja. Aku yang merasa bosan mencari kegiatan yang bisa mengusir rasa sepiku. “Mbak, ini di letakkan di mana?” tanya Bi Ninis. Asisten rumah tangga yang sudah bekerja puluhan tahun menagabdi di keluargaku. Dia bekerja sejak aku masih berumur 10 tahun. Bi Ninis sudah seperti orang tua kandung untukku, kehadirannya bisa mengusir kerinduanku pada kedua orang tuaku yang sudah tiada. Menjadi tempatku mengadu dan berkeluh-kesah. “Letak di rak itu saja, Bi! Biar agak rapi sedikit.” Aku menunjuk pada rak tiga tingkat berwarna putih dengan lebar 120 cm di sebelah sudut, dekat tembok yang berhadapan dengan taman samping. Agar dapat mendapatkan cahaya sinar matahari yang cukup. “Mbak El lagi hamil muda, jangan terlalu capek-capek. Untuk urusan ini biar Bibi aja yang kerjakan,” ujarnya setelah meletakkan pot tersebut. Aku tersenyum. “Aku baik-baik saja kok, Bi. Aku kan hamil, bukannya sakit. Kalau nggak bergerak sedikit pun tubuhku malah terasa lemes dan nggak enak,” jelasku. “Bi, aku mau bertanya sesuatu,” ujarku ragu-ragu. Namun apa yang terjadi semalam masih mengganjal di pikiranku. Bi Ninis mendekat. Dia duduk di pinggir teras menghadap ke arahku. “Ada apa, Mbak? Bibi lihat sejak pulang tadi Mbak El tampak banyak pikiran.” Aku diam sejenak untuk berpikir. Apakah aku harus cerita atau harus diam. “Bi, ada teman aku yang cerita. Katanya ada sepupunya mengatakan kalau suaminya selingkuh. Menurut Bibi, temanku itu harus melakukan apa? Percaya pada bukti yang ditunjukkan oleh sepupunya. Atau percaya pada suaminya?” tanyaku meminta pendapat. Kini Bi Ninis yang terdiam sejenak. Dia seperti memikirkan kat-kata yang akan dia ucapkan. Lalu menghela napas lelah. Ada binar kecewa di raut wajahnya yang keriput. Aku tak begitu tahu betul latar belakang kehidupan Bi Ninis, yang aku tahu saat pertama kali dia masuk ke rumah ini, dirinya masih sangat muda sekali. Dia seorang janda dengan satu anak yang dia tinggalkan di kampung. Anaknya berumur 2 tahun lebih muda dariku kala itu, kini anaknya bekerja di sebuah pabrik Garmen. Baru empat tahun yang lalu anaknya datang ke kota ini untuk merantau. Sesekali putrinya itu datang kesini untuk menjenguknya. Terakhir putrinya itu datang sekitar 1 tahun yang lalu, kalau tidak salah. Mengajak Bi Ninis untuk tinggal bersama, tapi Bi Ninis menolaknya. “Percaya pada suaminya! Jika tak ada yang mencurigakan dari sikap dan prilaku suaminya, lalu apa yang perlu di khawatirkan? Lebih baik tak mencari tahu apa yang tak perlu diketahui, Mbak. Agar hidup bisa tenang dan damai.” “Maaf, Mbak El.” Imbuhnya. “Maaf untuk apa, Bi? Bi Ninis kan nggak salah apa-apa sama aku?” Aku mengerutkan dahi merasa heran. “Maaf jika selama ini Bibi ada salah pada, Mbak Eliana. Membuat Mbak tersinggung atau sakit hati. Maafkan Bibi ya, Mbak,” jelasnya semakin membuatku bingung. Sikapnya seakan dirinya memiliki dosa besar padaku saja. “Bibi jangan ngomong seperti itu, Ah. Seperti orang yang akan pergi jauh saja. Bikin aku merinding, sudah jangan bahas itu. Aku jadi takut!” tegurku. Aku tak suka suasana sedih yang tercipta dari perbincangan kami. Aku tak suka suasa seperti ini. Kehilangan kedua orang tua sudah membuatku trauma jika mendengar ucapan yang terasa ganjil. Apalagi seperti sekarang ini yang kupunya hanya Bi Ninis. “Oh iya, ya, kenapa Bibi ngomong seperti itu, ya, Mbak. Maklum Bibi ini sudah tua, jadi suka bicara ngelantur.” Bi Ninis terkekeh berusaha untuk mencairkan suasana, namun raut wajahnya seperti orang yang bingung. Bi Ninis kembali merapikan bunga-bunga yang indah itu kemudian pamit padaku menuju dapur untuk memasakkan makan malam untuk kami nanti. Aku memandangnya masih dengan tatapan tajam, aneh dengan sikapnya. “Jangan melihat hal-hal yang tak perlu dilihat. Jangan mencari tahu apa yang tak perlu kamu ketahui, agar rumah tanggamu tetap harmonis.” Nasehat Papa kala itu yang masih aku ingat di kepala. Sama persis dengan apa yang dikatakan Bi Ninis barusan. Aku pun juga melihat Almarhum Mama melakukan hal yang sama. Di mataku, kedua orang tuaku hidup dengan rukun tanpa adanya pertengkaran. Tiga tahun berumah tangga, tak sekali pun aku memegang ponsel suamiku. Dulu dia pernah memberikannya, namun aku tak mau. Karena saat itu aku pikir memang tak ada yang patut aku curigai. Tingkah dan polah suamiku masih dalam taraf wajar, suamiku juga tak pernah melakukan tindakan yang membuatku cemburu. Tapi entah kenapa kali ini aku penasaran. Matahari mulai meninggi, panasnya menancap di atas kepala hingga meninggalkan rasa terbakar. Aku menyudahi pekerjaanku. Taman yang awalnya berantakan kini mulai tertata rapi walau tidak semuanya. Lagi pula masih ada waktu esok hari untuk menyekesaikan semuanya. "Mama tidak bisa melakukan itu. Mama berhutang budi poada keluarga ini, Mama mohon jangan paksa Mama untuk melakukan itu." Langkah kakiku terhenti saat hendak memasuki dapur. Aku mendapati Bi Ninis sedang menelpon seseorang di balik lemari piring seraya berbisik. Dari nada suaranya terdengar begitu sedih. Apakah dia berbicara pada putrinya? Tapi kenapa terdengar seperti tertekan? "Bukannya Mama gak sayang. Tapi Mama gak bisa melakukan itu padanya. Dia terlalu baik pada Mama dan gak mungkin Mama memballas kebaikannya seperti ini. Mama mohon, jangan libatkan Mama akan hal ini, Nak!" Suara Bi Ninis terdengar kembali memelas. Keningku berkerut dalam. "Bibi bicara sama siapa?" tanyaku yang sontak membuat Bi Ninis tersentak kaget bukan kepalang. Wajahnya tampak pucat seperti seseorang yang ketangkap basah tengah mencuri saja. "Anu ... anu, Non. Tadi ... tadi Bibik menelpon putri Bibi yang meminta Bibik untuk ikut dengannya," jawab Bi Ninis berbohong padaku. Aku yakin sekali bukan itu yang dia bicarakan di telpon tadi. Sebenarnya apa yang tengah dia sembunyikan dariku?
Saat mendengar deru mobil suamiku memasuki pekarangan rumah. Bergegas aku menghampiri Mas Galuh, dia sangat suka jika aku menyambutnya saat pulang kerja dengan tampilan cantik dan fress. “Kamu sudah makan sayang, maaf ya, Mas pulang agak lambat hari ini,” ujarnya. Aku meraih tangannya dan mencium punggung tangan lebar itu. “Belum, aku memang menunggumu, Mas.” “Kalau begitu, Mas mandi dulu.”Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum. Mas Galuh beranjak menaiki anak tangga untuk ke kamar kami. Tak sampai 15 menit suamiku turun dengan tampilan yang lebih fress. Aroma shampoo menguar dari tubuhnya. Wangi maskulinnya membuatku nyaman.Sejak hamil aroma tubuh Mas Galuh menjadi candu untukku. Mas Galuh menarik kursi di sebelahku. Aku langsung membuka piring miliknya dan mengisinya dengan nasi. “Kamu mau lauk apa, Mas?” tawarku. Di depan kami saat ini ada beberapa piring yang tersusun rapi dengan menu masakan kesukaannya. “Apa saja, tampaknya semuanya enak.” Aku mengambilkan
Mas Galuh menepati janjinya, dirinya menambahkan jatah uang belanja jatahku. Tentu saja itu membuatku senang. hari ini aku berniat membeli kebutuhan dapur. Kegiatan yang biasa aku lakukan setiap bulannya. Jika biasanya aku ditemani Mas Galuh, namun kali ini aku pergi di temani oleh Bi Ninis.“Bi cariin ini di rak nomor dua yang letaknya paling ujung, ya!” pintaku pada Bi Ninis.Aku memberikan selembar kertas yang berisi lima macam barang yang aku inginkan dan letaknya berdekatan. Mulai dari ember dan kain pel di rumah yang sudah mulai usang.“Baik, Mbak.”Bi Ninis melangkah menjauh dariku. Kini aku mendorong troli-ku mendekati rak yang berisi susu khusus Ibu hamil. Tak lupa tanganku dengan lincah mengambil barang-barang di rak yang aku lewati. Tentunya memang barang yang memang aku butuhkan. Aku bukan tipe wanita yang akan kalap saat berbelanja. Sesampainya di rak susu, aku mengernyitkan dahi saat melihat susu yang aku butuhkan berada di rak yang paling atas seperti biasanya.Tubuhk
“Mbak, El! Loh … kok, malah bengong, Mbak. Mbak El kenapa, kenapa wajah Mbak tampak pucat. Ayo kita pulang, Mbak! Mbak harus istirahat.” Bi Ninis merangkul tanganku. Dia menuntun tubuhku yang tiba-tiba lemas untuk kembali ke arah mobil kami yang terparkir.“Bi tadi aku yakin, aku melihat Mas Galuh baru saja turun dari mobil tadi. Dia menggendong seorang anak kecil sekitar satu atau dua tahunan. Tapi sekarang kok, dia tak ada?” kataku seperti anka kecil yang tengah mengadu pada ibunya. Bi Ninis terkekeh kecil. “Ya mana mungkinlah, Mbak. Kan sekarang suami Mbak sedang tugas ke luar kota. Mungkin karena Mbak El rindu sama Pak Galuh paling Mbak. Makanya kebayang-bayang terus. Yang sabar ya Mbak, masa-masa seperti Mbak ini memang selalu ingin di manja dan diperhatikan suami. Besok juga Pak Galuh pulang, Mbak. Sudah jangan dipikirkan terus,” ucap Bi Ninis padaku. Tapi ucapannya tak cukup menenangkanku.Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil aku masih saja kepikiran hingga diam sembari
“Kamu mau kemana, sayang?” tanya Mas Galuh. Dia mengecup lembut keningku. Lalu mengusap perutku dengan sayang. “Hmm … aku mau ke pasar rencananya, Mas. Mau belanja bahan perlengkapan dapur,” jawabku berbohong. Aku melirik sekilas pada Bi Ninis memberikan kode untuk diam. “Ke pasarnya nanti saja, suami baru pulang masa mau ditinggal!” Mas Galuh memberikan tasnya pada Bi Ninis, mengajakku masuk ke dalam rumah sambil mengobrol. Kami berdua duduk di sofa yang ada di ruang tv. Mas Galuh menyandarkan bahunya pada sandaran sofa. Bi Ninis kini telah kembali seraya membawa sepiring cemilan serta kopi hitam manis ynag menjadi kesukaan suamiku itu. “Kerjaanmu sudah beres semuanya, Mas? Kemarin kamu bilang di telpon pulangnya lusa malam." Aku merangkul mesra lengan suamiku, sesuatu yang biasa aku lakukan saat kami sedang berdua seperti ini. Mas Galuh menyeruput kopinya pelan kemudian meletakkannya kembali ke atas meja. “Kamu nggak suka melihat Mas pulang cepat?”
“Jangan melihat hal-hal yang tak perlu di lihat. Jangan mencari tahu apa yang tak perlu aku ketahui, agar rumah tanggaku tetap harmonis.” Nasehat Papa kala itu. Aku pun juga melihat Almarhum Mama melakukan hal yang sama. Jadi aku pun ikut menerapkan hal yang serupa. Tiga tahun berumah tangga, tak sekali pun aku memegang ponsel suamiku. Dulu ia pernah memberikannya, namun aku tak mau. Tapi sekarang, rasa ingin tahuku mendorongku untuk melakukan lebih. Aku berjalan dengan pelan menuju balkon. Bersembunyi di balik pintu dekat pagar pembatas. Membuka layar benda pipih tersebut. Membongkar pesan satu persatu. Tak kutemukan ada yang mencurigakan, begitu pun dengan pesan di applikasi hijau yang dia miliki. Aku buka galeri, juga tak ada yang aneh. Hanya ada beberapa foto di galerinya, fotoku dan foto pernikahan kami serta foto yang berhubungan dengan pekerjaannya. Keningku semakin berkerut, apa Mbak Vina membohongiku? Dia sengaja menunjukkan foto tempo hari itu padaku agar
Aku duduk seorang diri di bangku panjang bercat warna putih. Kontras dengan dinding yang memiliki warna yang sama. Dalam satu baris terdapat dua kursi panjang yang bersusun rapi namun di berikan jarak. Di sebelahku ada dua orang ibu-ibu hamil yang ditemani suaminya. Sedangkan bangku yang ada di hadapanku ada sekitar 6 orang ibu-ibu yang duduk. Terdapat dua orang yang sama sepertiku datang tanpa ditemani suami. Sebenarnya, ini sudah kesekian kali aku datang ke dokter kandungan tanpa ditemani dengan Mas Galuh. Karena perdebatan pagi tadi dan beberapa hari belakangan ini, membuatku enggan untuk menagih janjinya padaku. Serasa ada sekat di hatiku yang aku sendiri tak tahu itu karena apa. “Ibu Elliana!” seru seorang wanita berseragam putih di depan ruangan yang pintunya terbuka. Di tangannya terdapat map yang aku yakini adalah data dan rekam medis milikku. “Iya,” jawabku. Aku berdiri dan mendekatinya. Perawa
“Itu bukan rumah kosong, Dek. Ada kok orangnya di dalam, orangnya memang rada tertutup gitu. Jarang keluar rumah hanya sesekali saat suaminya pulang mereka keluar bersama anaknya yang berumur kurang dari 2 tahun,” jelas wanita baik itu. Dia mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya. “Benarkah? Kalau boleh tahu, suaminya kerja apa, Mbak? Oh ya, nama Mbak siapa?” Wanita itu mengulurkan tangannya padaku. Tentu saja langsung aku sambut dengan senang hati. "Kamu bisa panggil aku Mbak Asma." "Kalau saya Etta, Mbak," balasku memperkenalkan diri. Aku tak sepenuhnya berbohong, nama itu aku ambil dari nama belakangku sendiri. Mendengar dari nada suara dan ucapan Mbak Asma, aku bisa menarik kesimpulan jika perempuan ini suka mengobrol dan jika mengobrol sampai lupa waktu dan privasi. "Suaminya tadi kerja apa, Mbak? Soalnya aku lihat dari luar rumahnya tampak bagus desainnya. Apa seorang arsitek?" Aku ke
“Ada apa, Mbak? Kenapa Mbak ngajak aku ngobrol di sini. Di sini banyak nyamuk Mbak. Kenapa tidak di dalam saja?” tanyaku dengan dahi yang berkerut karena bingung.Aku yang sedang duduk di ruang TV tiba-tiba di panggil dan diajak Kakak iparku ini ke arah taman belakang yang sunyi.Diantara semua tempat, entah kenapa dia mengajakku duduk di taman belakang dekat kolam renang.Raut wajah istri kakak iparku ini tampak begitu aneh. Kedua tangannya saling bertaut dan meremas. Matanya liar menatap ke kiri dan ke kanan seakan takut pada sesuatu atau mungkin lebih tepatnya pada seseorang, mungkin.Vina panduwinata, nama yang indah tersemat di dirinya. Katanya, orang tuanya dulu sangat suka dengan penyanyi tersebut. Berharap anaknya bisa mengikuti jejak sang idola.“Ada yang ingin Mbak sampaikan sama kamu, El. Tapi kamu harus percaya sama Mbak. Mbak gak akan mungkin membohongimu. Mbak mohon untuk sekali ini saja, kamu harus percaya sama Mbak sebelum semuanya terlambat,” bisiknya pelan.Seperti t