Share

4. Pertengkaran dua saudara.

Aku mendekati Mas Ridho dan meninggalkan kedua keponakanku itu di dalam kamar begitu saja.

"Sayang, kamu kenapa ke sini? Sebaiknya kamu masuk ke kamar dan tak usah ikut campur dengan masalah ini!" Mas Galuh panik. Dia menarik tanganku untuk menjauh. Tapi segera kutepis tangannya itu.

Aku harus tahu apa yang tidak aku ketahui jika memang apa yang dikatakan Mas Ridho adalah benar. Bukan kalimat ngawur karena emosi belaka untuk memecah belah hubungan kami.

"Apa maksud ucapamu tentang para mantu dan cucu-cucu Mama?"

"Memangnya kau dan Vina bukan menantu Mama? Dan anak yang ada di perutmu itu dan anak-anakku bukan termasuk cucu-cucu Mama?" jawab Mas Ridho kembali membentakku.

Intonasinya yang begitu tinggi membuatku sakit hati. Seumur hidup aku tak pernah dibentak kedua orang tuaku dan selama menikah pun Mas Galuh bersikap sopan padaku. Sedangkan kini, Mas Ridho yang hanya sebatas abang ipar sudah lancang membentak-bentak aku.

Sikapnya yang begitu kasar sangat bertolak belakang dengan suamiku. Mungkin itu juga yang membuat sikap mertuaku berbeda padanya. Bukankah sikap orang pada kita akan tergantung bagaimana sikap kita pada orang tersebut.

"Sudah Ridho! Kamu membuat selera makan Mama hilang saja. Pokoknya Mama tetap pada keputusan Mama, kalian berdua tak boleh pindah dari sini, titik!"

“Ma, ayolah … aku tidak pindah ke luar kota. Hanya pindah rumah dan jaraknya pun tak jauh dari sini. Aku akan menjenguk Mama seminggu sekali seperti apa yang dilakukan Galuh.”

Kali ini Mas Ridho menurunkan intonasi nada suaranya. Dia masih berusaha membujuk, namun Mama yang keras kepala tetap tak memperbolehkan anak sulungnya itu untuk pergi.

Wajar saja, jika mereka pergi dari rumah ini, maka Mama akan tinggal seorang diri.

Ada yang bilang pondok mertua akan seperti neraka jika memiliki ipar-ipar yang kejam dalam satu lingkungan yang berdekatan. Mungkin Kak Vina beruntung karena hanya memiliki ipar seperti aku.

Tak usil dan tak mau ikut campur dengan urusan iparku, tentunya. Hanya saja perlakuan Mama sama Mbak Vina agak kurang baik menurutku. Mama yang cerewet kerap mengomel pada Mbak Vina atas pekerjaan rumah yang tak pernah ada habisnya.

“Galuh dan kamu beda Ridho, dia sudah punya rumah sendiri, sedangkan kamu kan tidak!”

“Gimana aku bisa punya rumah sendiri jika Mama menghalangi kami. Atau jangan-jangan Mama takut saat aku dan Vina pergi, tak ada lagi pembantu gratis yang bisa Mama suruh-suruh, iya, kan?!” tukas Mas Ridho tajam.

“Mas, jaga ucapanmu! yang sedang berdebat denganmu saat ini adalah Ibu yang melahirkan kita. Kamu tak boleh bersikap seperti itu padanya!” Mas Galuh menghentikan langkah kakinya. Sebagai anak kesayangan tentu dia tak terima mendengar Mama dibentak-bentak.

“Diam kamu, Galuh! Disini aku tak minta pendapatmu. Urus saja keluargamu itu dan anak-anakmu!” balas Ridho ketus.

Telunjuknya dia acungkan ke wajah adiknya dengan nyalang. Mas Ridho sepertinya sudah hilang akal sehat.

Lagi-lagi aku tersentak kaget. Anak-anak? Bukannya anak kami masih di dalan perut dan itu hanya ada satu, sementara anak-anak adalah kata majemuk. Apa Mas Ridho salah sebut karena emosi? Aku seperti menyatukan potongan puzzle yang membuat kepalaku terasa sakit.

“Tapi aku mengatakan semua ini juga demi kamu. Apa yang dikatakan Mama benar, tindakan kamu ini hanya akan menyiksa diri. Selama numpamg di rumah ini saja, gaji yang kamu dapat tak cukup untuk kehidupan, kan. Apalagi kalau kamu ada ansuran cicilan KPR. Apa kamu yakin sanggup, Mas? Sudahlah … kamu tinggal saja di rumah ini. Apa kamu tak kasihan melihat Mama seorang diri di rumah?!” ujar Mas Galuh.

Mas Ridho mengerang penuh marah. Ucapan suamiku telak melukai harga dirinya. Seharusnya Mas Galuh tak perlu mengatakan itu.

“Jangan terlalu sombong kamu Galuh. Walaupun kami hidup pas-pasan, tapi kami berdua hidup dari hasil keringat sendiri. Bukan dari numpang harta bawaan istri. Berapa pun hasil yang kudapat, aku menghabiskan dengan anak-istriku. Bukan untuk bersenang-senang dengan wanita diluaran sana!”

“Apa maksud ucapan Mas Ridho, Mas. Kamu main perempuan diluaran sana?!” tanyaku tak percaya.

Mas Galuh menoleh, tampak sedikit kaget dengan pertanyaanku. Pandangan mata kami beradu pandang.

“Aku? Sejak kapan aku main wanita? Kamu jangan dengarkan ucapan Mas Ridho yang mengada-ngada. Dia hanya sedang emosi karena harga dirinya tersakiti, malu karena tak mampu memberikan kehidupan yang layak untuk istri!” jelas Mas Galuh membela dirinya.

Aku memicingkan mata, memperhatikan gerak tubuhnya. Entah kenapa hatiku mulai curiga dengan apa yang dikatakan Mas Ridho tadi. Kuusap perutku yang sudah menyembul ini.

Aku jadi teringat kembali dengan foto yang ditunjukkan Mbak Vina sore tadi. Andai apa yang dikatakan kakak iparku itu benar, sungguh kejam sekali suamiku ini.

“Lihat apa yang kamu perbuat, Mas. Kamu sengaja, kan, mengatakan sesuatu yang menggiring opini buruk tentangku, agar rumah tanggaku dan Eliana hancur. Dasar licik kamu, Mas. Dipikirkan tapi tidak tahu terima kasih, jika mau pindah ya pindah saja. Tapi nanti jika hidupmu sengsara jangan ganggu kami!”

Aku melihat hubungan persaudaraan yang terjadi antara Mas Galuh dan Mas Ridho jauh dari kata hubungan saudara yang normal. Entah dimana salahnya. Kurangnya komunikasi atau didikan orangtua? Aku juga tak mengerti.

Aku memang terlahir sebagai anak tunggal, tak memiliki kakak ataupun adik. Namun bukan berarti aku tak tahu hubungan kakak beradik itu seperti apa.

“Aku, meminta bantuanmu? Ha ha … jangan khawatir, itu tak akan pernah kami lakukan.” Mas Ridho menertawakan suamiku. Seakan mengejek.

“Sudah cukup! Tak usah bertengkar lagi, pembicaraan kalian berdua mulai ngelantur. Pokoknya Mama tak setuju kamu pindah dari rumah ini, titik!” ujar Mama tegas.

Mama bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Mbak Vina. Tangan Mama terulur, menaikkan dagu kakak iparku itu dengan tatapan mata yang tajam.

“Untuk ke depannya Mama tak mau ini terjadi lagi Vina. Jika kamu tak ingin Mama membuat rumah tangga kalian berdua benar-benar berpisah. Hidup saja yang tenang di rumah ini, lakukan tugasmu sebagai menantu dan istri. Mengerti!”

“Me-mengerti, Ma,” jawab Mbak Vina bergetar. Kenapa dia begitu takut dengan Mama?

“Bagus! Mama mau istirahat, kalian istirahatlah!” tandas Mama.

Mbak Vina pergi meninggalkan meja makan yang mulai hening ini. Seribu tanda tanya singgah di dalam pikiranku. Aku menatap Mas Ridho dan punggung Mbak Vina secara bergantian, begitu pun Mas Galuh yang menatap sembarang arah karena kesal. Raut wajahnya tampak tak sedap dipandang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status