Share

3. Penolakan keluarga.

"Apa maksud ucapan Mas Ridho?" tanyaku yang tak bisa menyembunyikan rasa penasaranku.

"Tak usah kamu dengarkan dia, El. Ridho dan Galuh suka bertengkar sejak dulu di meja makan. Mereka suka membahas hal-hal yang tak penting, itu sebabnya Almarhum Papa mereka melarang berbicara saat makan. Sudahlah, tak usah dihiraukan!" ujar Mama padaku. Dia mengambil sepotong ayam goreng dan meletakkannya ke atas piringku.

Mbak Vina melihat itu dengan tatapan cemburu. Dan aku tak peduli itu, dia bisa mengambilnya sendiri jika mau.

"Yang dikatakan Mama benar. Tak usah kamu dengarkan perkataan Mas Ridho, dia memang seperti itu sejak dulu. Selalu mencari celah menjatuhkanku. Ya ... mau bagaimana lagi, aku memang selalu lebih unggul darinya," timpal Mas Galuh dengan gayanya yang jumawa.

Aku akui terkadang tingkat kepercayaan diri suamiku ini jauh di atas rata-rata.

Aku masih kurang puas dengan jawaban suami dan mertuaku itu. Ucapan Mas Ridho dan juga Mbak Vina kini mulai berputar-putar dibenakku.

 Aku kembali  mencoba menikmati makananku dengan santai. Selama aku menikah dengan Mas Galuh, aku melihat hubungan mereka berdua sebagai kakak dan adik cukup dingin. Walau tak mereka tampakkan, tapi aku bisa merasakannya.

Aku juga tak mengerti kenapa bisa seperti itu. Apa karena sikap Mama yang terkadang tampak pilih kasih, sehingga hubungan dua saudara ini jadi begitu rumit.

Suasa kembali seperti awal, tenang dan seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Mataku menyipit memperhatikan Mbak Vina yang tampak gelisah. Dia menyikut lengan suaminya pelan.

Mas Ridho dan Mbak Vina saling melempar pandangan menatap ke arah Mama yang tampak kembali menikmati makan malamnya dengan santai bersama cucu-cucu di sebelahnya.

  “Ma, hmm … ada yang ingin aku dan Vina sampaikan pada Mama,”. ujar Mas Ridho ragu.

Mama menoleh, menatap anak dan menantunya lekat. Mbak Vina tampak sekali tak enak hati dari raut wajahnya. Membuat aku semakin penasaran, kali ini apalagi yang akan terjadi.

  “Mau bicara tentang apa? Kenapa raut wajah kalian tegang begitu?” balas Mama tak suka. Wajah tua yang mulai keriput itu tampak curiga.

  “Begini, Ma. Aku dan Vina berencana untuk pindah, kami sudah mengambil sebuah KPR yang—”

 Braak!

Belum habis Kakak iparku itu berbicara, Mama sudah menghentak meja dengan keras. Beliau tampak marah. Aku mengusap dadaku, menenenangkan jantungku yang terasa ingin melompat dari tempatnya.

Mas Galuh tak pernah menjelaskan padaku alasan apa yang membuat Mama melarang Mas Ridho dan Mbak Vina pindah dari rumah ini. Hingga pernikahannya menginjak 6 tahun, mereka belum juga memiliki hunian sendiri. 

Berbeda dengan diriku yang memang telah memiliki rumah peninggalan kedua orang tuaku. Jadi saat menikah dengan Mas Galuh, aku menempati rumahku sendiri. Rumah yang cukup besar untuk kami tempati berdua.

Melihat suasana yang memanas, aku membawa kedua keponakannku itu untuk masuk dalam kamar. Tak baik untuk anak seumuran mereka melihat pertengkaran antar orang tua.

“Ini pasti hasutan istrimu lagi, kan, Ridho? Sejak awal kalian menikah Mama tidak setuju kamu menikah dengan wanita ini. Dia tak bisa menjadi istri yang baik, hanya akan membuat keluarga kita terpisah.”

“Cukup, Ma! Mama jangan menyalahkan Vina terus. Ini bukan saja kehendaknya, tapi juga kemauan aku. Kami ingin mandiri, Ma,” ujar Mas Ridho membela istrinya.

Aku menatap dari depan pintu kamar si kembar, setelah menyuruh kedua bocah itu masuk dan tidur.

“Apa yang Mama bilang itu benar, lagi pula KPR itu kecil, apa cukup menampung kalian ber-empat? Belum lagi gaji kamu yang nggak seberapa itu harus kena potong angsuran bank lagi. Sudahlah, jangan terlalu kamu ikutin kemauman istrimu itu.” sungut Mama. Matanya memandang Mbak Vina dengan sinis.

 Mas Ridho terlihat mengepalkan kedua tangannya. Setiap Mama membahas tentang penghasilannya sebagai karyawan perusahaan biasa, tampak adanya raut sakit dan kecewa di wajahnya.

  “Ma, kami hanya ingin belajar mandiri. Kami sudah bertahun-tahun tinggal di sini, aku juga tak enak mendengar selentingan omongan tetangga tentang kami yang terus-terusan numpang di rumah orang tua,” debat Mas Ridho masih tak ingin kalah dengan keinginannya.

  “Siapa yang berani menggunjingkan kalian, katakan pada Mama! Biar Mama samperin orang itu. Pokoknya Mama tak setuju kamu mau pindah rumah. Sekali tidak maka tetap tidak!” titah Mama begitu tegas.

  “Aku tetap akan pindah, dengan ataupun tanpa restu dari Mama. Rumah itu sudah aku bayar dan berkas angkat kredit-nya sudah aku tanda tangani. Jadi tak mungkin aku batalkan seenaknya seperti ini.”

 Mas Ridho tetap tampak begitu keukeh dan tak tergoyahkan. Sepertinya akan terjadi pertengkaran sengit di sini. Hari ini aku kurang beruntung menginap di rumah mertua.

 Alih-alih ingin dekat dengan keluarga aku justru harus menyaksikan pertengkaran hebat antar keluarga.Membuat kepalaku pusing, perutku rasanya di putar-putar hingga sedikit bergejolak. 

  “Kenapa kamu tidak bertanya lebih dulu pada, Mama?!” Mata melotot, wajahnya menegang dengan sorot mata yang begitu tajam. 

Mbak Vina hanya menunduk seraya meremas jari tangannya. Sesekali dia menaikan kepalanya untuk melirik suaminya. Aku yakin, di dalam hati Mbak Vina pasti berharap suaminya bisa berkata dengan lancar dan tak goyah.

 Sebagai seorang istri aku paham keinginan Mbak Vina yang ingin memiliki hunian sendiri. Rumah yang hanya ada dirinya yang menjadi ratu, memiliki kekuasaan penuh untuk mengurus dan mendidik anak-anak. Tidak seperti sekarang, Mbak Vina lebih mirip pelayan daripada menantu. 

  “Karena kalau lapor sama Mama lebih dulu,tentu saja Mama tidak akan mengizinkan,” lirih Mas Ridho. Lelaki tinggi hitam manis itu menghela napas berat. 

Mengusap wajahnya kasar. Perdebatan ini cukup pelik, dia hanya ingin pindah rumah agar mandiri, tapi seperti meminta izin ke medan perang, susahnya.

  “Oh, jelas! Ibu mana yang mau jauh dari anak-anaknya,” jawab Mama kembali emosi.

Setiap membahas masalah pindah rumah, emosi Mama mertuaku memang selalu meletup-letup.

 

"Lalu bagaimana dengan Galuh? Kenapa Mama tak tinggal satu atap juga dengannya? Bukankah kalau Mama tinggal dengan Galuh di rumah ini, maka suasana rumah ini akan semakin ramai dengan kehadiran para menantu dan cucu-cucu Mama!"

Degh!

"Apa maksud ucapanmu Mas?" sergahku yang sudah tak tahan lagi.

Mas Ridho seakan memberi kode-kode yang menarik pikiranku ke arah yang negatif.  Sebetulnya ada apa ini? Apakah benar yang dikatakan Mbak Vina? Atau suami-istri ini sedang berusaha untuk merusak keharmonisan rumah tangga kami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status