"Apa maksud ucapan Mas Ridho?" tanyaku yang tak bisa menyembunyikan rasa penasaranku.
"Tak usah kamu dengarkan dia, El. Ridho dan Galuh suka bertengkar sejak dulu di meja makan. Mereka suka membahas hal-hal yang tak penting, itu sebabnya Almarhum Papa mereka melarang berbicara saat makan. Sudahlah, tak usah dihiraukan!" ujar Mama padaku. Dia mengambil sepotong ayam goreng dan meletakkannya ke atas piringku. Mbak Vina melihat itu dengan tatapan cemburu. Dan aku tak peduli itu, dia bisa mengambilnya sendiri jika mau. "Yang dikatakan Mama benar. Tak usah kamu dengarkan perkataan Mas Ridho, dia memang seperti itu sejak dulu. Selalu mencari celah menjatuhkanku. Ya ... mau bagaimana lagi, aku memang selalu lebih unggul darinya," timpal Mas Galuh dengan gayanya yang jumawa. Aku akui terkadang tingkat kepercayaan diri suamiku ini jauh di atas rata-rata. Aku masih kurang puas dengan jawaban suami dan mertuaku itu. Ucapan Mas Ridho dan juga Mbak Vina kini mulai berputar-putar dibenakku. Aku kembali mencoba menikmati makananku dengan santai. Selama aku menikah dengan Mas Galuh, aku melihat hubungan mereka berdua sebagai kakak dan adik cukup dingin. Walau tak mereka tampakkan, tapi aku bisa merasakannya. Aku juga tak mengerti kenapa bisa seperti itu. Apa karena sikap Mama yang terkadang tampak pilih kasih, sehingga hubungan dua saudara ini jadi begitu rumit. Suasa kembali seperti awal, tenang dan seolah tak pernah terjadi apa-apa. Mataku menyipit memperhatikan Mbak Vina yang tampak gelisah. Dia menyikut lengan suaminya pelan. Mas Ridho dan Mbak Vina saling melempar pandangan menatap ke arah Mama yang tampak kembali menikmati makan malamnya dengan santai bersama cucu-cucu di sebelahnya. “Ma, hmm … ada yang ingin aku dan Vina sampaikan pada Mama,”. ujar Mas Ridho ragu. Mama menoleh, menatap anak dan menantunya lekat. Mbak Vina tampak sekali tak enak hati dari raut wajahnya. Membuat aku semakin penasaran, kali ini apalagi yang akan terjadi. “Mau bicara tentang apa? Kenapa raut wajah kalian tegang begitu?” balas Mama tak suka. Wajah tua yang mulai keriput itu tampak curiga. “Begini, Ma. Aku dan Vina berencana untuk pindah, kami sudah mengambil sebuah KPR yang—” Braak! Belum habis Kakak iparku itu berbicara, Mama sudah menghentak meja dengan keras. Beliau tampak marah. Aku mengusap dadaku, menenenangkan jantungku yang terasa ingin melompat dari tempatnya. Mas Galuh tak pernah menjelaskan padaku alasan apa yang membuat Mama melarang Mas Ridho dan Mbak Vina pindah dari rumah ini. Hingga pernikahannya menginjak 6 tahun, mereka belum juga memiliki hunian sendiri. Berbeda dengan diriku yang memang telah memiliki rumah peninggalan kedua orang tuaku. Jadi saat menikah dengan Mas Galuh, aku menempati rumahku sendiri. Rumah yang cukup besar untuk kami tempati berdua. Melihat suasana yang memanas, aku membawa kedua keponakannku itu untuk masuk dalam kamar. Tak baik untuk anak seumuran mereka melihat pertengkaran antar orang tua. “Ini pasti hasutan istrimu lagi, kan, Ridho? Sejak awal kalian menikah Mama tidak setuju kamu menikah dengan wanita ini. Dia tak bisa menjadi istri yang baik, hanya akan membuat keluarga kita terpisah.” “Cukup, Ma! Mama jangan menyalahkan Vina terus. Ini bukan saja kehendaknya, tapi juga kemauan aku. Kami ingin mandiri, Ma,” ujar Mas Ridho membela istrinya. Aku menatap dari depan pintu kamar si kembar, setelah menyuruh kedua bocah itu masuk dan tidur. “Apa yang Mama bilang itu benar, lagi pula KPR itu kecil, apa cukup menampung kalian ber-empat? Belum lagi gaji kamu yang nggak seberapa itu harus kena potong angsuran bank lagi. Sudahlah, jangan terlalu kamu ikutin kemauman istrimu itu.” sungut Mama. Matanya memandang Mbak Vina dengan sinis. Mas Ridho terlihat mengepalkan kedua tangannya. Setiap Mama membahas tentang penghasilannya sebagai karyawan perusahaan biasa, tampak adanya raut sakit dan kecewa di wajahnya. “Ma, kami hanya ingin belajar mandiri. Kami sudah bertahun-tahun tinggal di sini, aku juga tak enak mendengar selentingan omongan tetangga tentang kami yang terus-terusan numpang di rumah orang tua,” debat Mas Ridho masih tak ingin kalah dengan keinginannya. “Siapa yang berani menggunjingkan kalian, katakan pada Mama! Biar Mama samperin orang itu. Pokoknya Mama tak setuju kamu mau pindah rumah. Sekali tidak maka tetap tidak!” titah Mama begitu tegas. “Aku tetap akan pindah, dengan ataupun tanpa restu dari Mama. Rumah itu sudah aku bayar dan berkas angkat kredit-nya sudah aku tanda tangani. Jadi tak mungkin aku batalkan seenaknya seperti ini.” Mas Ridho tetap tampak begitu keukeh dan tak tergoyahkan. Sepertinya akan terjadi pertengkaran sengit di sini. Hari ini aku kurang beruntung menginap di rumah mertua. Alih-alih ingin dekat dengan keluarga aku justru harus menyaksikan pertengkaran hebat antar keluarga.Membuat kepalaku pusing, perutku rasanya di putar-putar hingga sedikit bergejolak. “Kenapa kamu tidak bertanya lebih dulu pada, Mama?!” Mata melotot, wajahnya menegang dengan sorot mata yang begitu tajam. Mbak Vina hanya menunduk seraya meremas jari tangannya. Sesekali dia menaikan kepalanya untuk melirik suaminya. Aku yakin, di dalam hati Mbak Vina pasti berharap suaminya bisa berkata dengan lancar dan tak goyah. Sebagai seorang istri aku paham keinginan Mbak Vina yang ingin memiliki hunian sendiri. Rumah yang hanya ada dirinya yang menjadi ratu, memiliki kekuasaan penuh untuk mengurus dan mendidik anak-anak. Tidak seperti sekarang, Mbak Vina lebih mirip pelayan daripada menantu. “Karena kalau lapor sama Mama lebih dulu,tentu saja Mama tidak akan mengizinkan,” lirih Mas Ridho. Lelaki tinggi hitam manis itu menghela napas berat. Mengusap wajahnya kasar. Perdebatan ini cukup pelik, dia hanya ingin pindah rumah agar mandiri, tapi seperti meminta izin ke medan perang, susahnya. “Oh, jelas! Ibu mana yang mau jauh dari anak-anaknya,” jawab Mama kembali emosi. Setiap membahas masalah pindah rumah, emosi Mama mertuaku memang selalu meletup-letup. "Lalu bagaimana dengan Galuh? Kenapa Mama tak tinggal satu atap juga dengannya? Bukankah kalau Mama tinggal dengan Galuh di rumah ini, maka suasana rumah ini akan semakin ramai dengan kehadiran para menantu dan cucu-cucu Mama!" Degh! "Apa maksud ucapanmu Mas?" sergahku yang sudah tak tahan lagi. Mas Ridho seakan memberi kode-kode yang menarik pikiranku ke arah yang negatif. Sebetulnya ada apa ini? Apakah benar yang dikatakan Mbak Vina? Atau suami-istri ini sedang berusaha untuk merusak keharmonisan rumah tangga kami.Aku mendekati Mas Ridho dan meninggalkan kedua keponakanku itu di dalam kamar begitu saja. "Sayang, kamu kenapa ke sini? Sebaiknya kamu masuk ke kamar dan tak usah ikut campur dengan masalah ini!" Mas Galuh panik. Dia menarik tanganku untuk menjauh. Tapi segera kutepis tangannya itu. Aku harus tahu apa yang tidak aku ketahui jika memang apa yang dikatakan Mas Ridho adalah benar. Bukan kalimat ngawur karena emosi belaka untuk memecah belah hubungan kami. "Apa maksud ucapamu tentang para mantu dan cucu-cucu Mama?" "Memangnya kau dan Vina bukan menantu Mama? Dan anak yang ada di perutmu itu dan anak-anakku bukan termasuk cucu-cucu Mama?" jawab Mas Ridho kembali membentakku. Intonasinya yang begitu tinggi membuatku sakit hati. Seumur hidup aku tak pernah dibentak kedua orang tuaku dan selama menikah pun Mas Galuh bersikap sopan padaku. Sedangkan kini, Mas Ridho yang hanya sebatas abang ipar sudah lancang membentak-bentak aku. Sikapnya yang begitu kasar sangat bertolak bela
Mentari pagi bersinar dengan begitu cerahnya, sinarnya yang hangat melingkupi semua mahkluk di bumi. Aku duduk di teras yang berlantaikan marmer ini. Jajaran pot-pot kecil ada di hadapanku kini sudah berbaris minta sentuhan. Kulepaskan daun-daun kering serta mencabut rumput-rumput kecil yang tumbuh merusak pemandangan mata. Agar pesona kecantikan bunga-bunga ini bisa tampil maksimal. Aku pulang ke rumah jam 8 pagi, setelah sarapan di rumah Mama, Mas Galuh langsung mengantarku pulang ke rumah. Baru setelah itu dia berangkat bekerja. Aku yang merasa bosan mencari kegiatan yang bisa mengusir rasa sepiku. “Mbak, ini di letakkan di mana?” tanya Bi Ninis. Asisten rumah tangga yang sudah bekerja puluhan tahun menagabdi di keluargaku. Dia bekerja sejak aku masih berumur 10 tahun. Bi Ninis sudah seperti orang tua kandung untukku, kehadirannya bisa mengusir kerinduanku pada kedua orang tuaku yang sudah tiada. Menjadi tempatku mengadu dan berkeluh-kesah. “Letak di rak itu saja, Bi! Biar
Saat mendengar deru mobil suamiku memasuki pekarangan rumah. Bergegas aku menghampiri Mas Galuh, dia sangat suka jika aku menyambutnya saat pulang kerja dengan tampilan cantik dan fress. “Kamu sudah makan sayang, maaf ya, Mas pulang agak lambat hari ini,” ujarnya. Aku meraih tangannya dan mencium punggung tangan lebar itu. “Belum, aku memang menunggumu, Mas.” “Kalau begitu, Mas mandi dulu.”Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum. Mas Galuh beranjak menaiki anak tangga untuk ke kamar kami. Tak sampai 15 menit suamiku turun dengan tampilan yang lebih fress. Aroma shampoo menguar dari tubuhnya. Wangi maskulinnya membuatku nyaman.Sejak hamil aroma tubuh Mas Galuh menjadi candu untukku. Mas Galuh menarik kursi di sebelahku. Aku langsung membuka piring miliknya dan mengisinya dengan nasi. “Kamu mau lauk apa, Mas?” tawarku. Di depan kami saat ini ada beberapa piring yang tersusun rapi dengan menu masakan kesukaannya. “Apa saja, tampaknya semuanya enak.” Aku mengambilkan
Mas Galuh menepati janjinya, dirinya menambahkan jatah uang belanja jatahku. Tentu saja itu membuatku senang. hari ini aku berniat membeli kebutuhan dapur. Kegiatan yang biasa aku lakukan setiap bulannya. Jika biasanya aku ditemani Mas Galuh, namun kali ini aku pergi di temani oleh Bi Ninis.“Bi cariin ini di rak nomor dua yang letaknya paling ujung, ya!” pintaku pada Bi Ninis.Aku memberikan selembar kertas yang berisi lima macam barang yang aku inginkan dan letaknya berdekatan. Mulai dari ember dan kain pel di rumah yang sudah mulai usang.“Baik, Mbak.”Bi Ninis melangkah menjauh dariku. Kini aku mendorong troli-ku mendekati rak yang berisi susu khusus Ibu hamil. Tak lupa tanganku dengan lincah mengambil barang-barang di rak yang aku lewati. Tentunya memang barang yang memang aku butuhkan. Aku bukan tipe wanita yang akan kalap saat berbelanja. Sesampainya di rak susu, aku mengernyitkan dahi saat melihat susu yang aku butuhkan berada di rak yang paling atas seperti biasanya.Tubuhk
“Mbak, El! Loh … kok, malah bengong, Mbak. Mbak El kenapa, kenapa wajah Mbak tampak pucat. Ayo kita pulang, Mbak! Mbak harus istirahat.” Bi Ninis merangkul tanganku. Dia menuntun tubuhku yang tiba-tiba lemas untuk kembali ke arah mobil kami yang terparkir.“Bi tadi aku yakin, aku melihat Mas Galuh baru saja turun dari mobil tadi. Dia menggendong seorang anak kecil sekitar satu atau dua tahunan. Tapi sekarang kok, dia tak ada?” kataku seperti anka kecil yang tengah mengadu pada ibunya. Bi Ninis terkekeh kecil. “Ya mana mungkinlah, Mbak. Kan sekarang suami Mbak sedang tugas ke luar kota. Mungkin karena Mbak El rindu sama Pak Galuh paling Mbak. Makanya kebayang-bayang terus. Yang sabar ya Mbak, masa-masa seperti Mbak ini memang selalu ingin di manja dan diperhatikan suami. Besok juga Pak Galuh pulang, Mbak. Sudah jangan dipikirkan terus,” ucap Bi Ninis padaku. Tapi ucapannya tak cukup menenangkanku.Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil aku masih saja kepikiran hingga diam sembari
“Kamu mau kemana, sayang?” tanya Mas Galuh. Dia mengecup lembut keningku. Lalu mengusap perutku dengan sayang. “Hmm … aku mau ke pasar rencananya, Mas. Mau belanja bahan perlengkapan dapur,” jawabku berbohong. Aku melirik sekilas pada Bi Ninis memberikan kode untuk diam. “Ke pasarnya nanti saja, suami baru pulang masa mau ditinggal!” Mas Galuh memberikan tasnya pada Bi Ninis, mengajakku masuk ke dalam rumah sambil mengobrol. Kami berdua duduk di sofa yang ada di ruang tv. Mas Galuh menyandarkan bahunya pada sandaran sofa. Bi Ninis kini telah kembali seraya membawa sepiring cemilan serta kopi hitam manis ynag menjadi kesukaan suamiku itu. “Kerjaanmu sudah beres semuanya, Mas? Kemarin kamu bilang di telpon pulangnya lusa malam." Aku merangkul mesra lengan suamiku, sesuatu yang biasa aku lakukan saat kami sedang berdua seperti ini. Mas Galuh menyeruput kopinya pelan kemudian meletakkannya kembali ke atas meja. “Kamu nggak suka melihat Mas pulang cepat?”
“Jangan melihat hal-hal yang tak perlu di lihat. Jangan mencari tahu apa yang tak perlu aku ketahui, agar rumah tanggaku tetap harmonis.” Nasehat Papa kala itu. Aku pun juga melihat Almarhum Mama melakukan hal yang sama. Jadi aku pun ikut menerapkan hal yang serupa. Tiga tahun berumah tangga, tak sekali pun aku memegang ponsel suamiku. Dulu ia pernah memberikannya, namun aku tak mau. Tapi sekarang, rasa ingin tahuku mendorongku untuk melakukan lebih. Aku berjalan dengan pelan menuju balkon. Bersembunyi di balik pintu dekat pagar pembatas. Membuka layar benda pipih tersebut. Membongkar pesan satu persatu. Tak kutemukan ada yang mencurigakan, begitu pun dengan pesan di applikasi hijau yang dia miliki. Aku buka galeri, juga tak ada yang aneh. Hanya ada beberapa foto di galerinya, fotoku dan foto pernikahan kami serta foto yang berhubungan dengan pekerjaannya. Keningku semakin berkerut, apa Mbak Vina membohongiku? Dia sengaja menunjukkan foto tempo hari itu padaku agar
Aku duduk seorang diri di bangku panjang bercat warna putih. Kontras dengan dinding yang memiliki warna yang sama. Dalam satu baris terdapat dua kursi panjang yang bersusun rapi namun di berikan jarak. Di sebelahku ada dua orang ibu-ibu hamil yang ditemani suaminya. Sedangkan bangku yang ada di hadapanku ada sekitar 6 orang ibu-ibu yang duduk. Terdapat dua orang yang sama sepertiku datang tanpa ditemani suami. Sebenarnya, ini sudah kesekian kali aku datang ke dokter kandungan tanpa ditemani dengan Mas Galuh. Karena perdebatan pagi tadi dan beberapa hari belakangan ini, membuatku enggan untuk menagih janjinya padaku. Serasa ada sekat di hatiku yang aku sendiri tak tahu itu karena apa. “Ibu Elliana!” seru seorang wanita berseragam putih di depan ruangan yang pintunya terbuka. Di tangannya terdapat map yang aku yakini adalah data dan rekam medis milikku. “Iya,” jawabku. Aku berdiri dan mendekatinya. Perawa