Kami menoleh ke belakang. Tampak Mama sedang melambaikan tangan untuk memanggil menantu yang merangkap jadi asisten rumah tangga dadakannya itu.
Sontak Mbak Vina pergi menghampiri, seraya melengoskan wajahnya dariku. Kenapa jadi dia yang marah. Seharusnya aku dong, suamiku dia fitnah disini. Sikapnya yang seperti itu membuatku semakin yakin, ada niat tak baik yang dia selipkan di balik foto yang ditunjukkan padaku. Aku menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Meredam amarah yang sempat memuncak. Kembali kuusap perutku yang datar. Semenjak hamil aku suka mengusap-usap perutku ini. “Bibimu itu pasti berbohong pada, Mama. Iya, kan, sayang. Papamu orang baik, mana mungkin berbuat hal sejahat itu pada kita. Bibimu itu jahat, dia ingin merusak keluarga kecil kita. Bisa jadi sih, selama ini Bibimu itu iri melihat Mama yang lebih di sayang daripada dirinya,” celotehku pada janin yang belum bisa merespons apa pun. Aku pun kini beranjak dari dudukku, melangkahkan kaki menuju rumah. Untuk apa aku duduk sendirian di belakang. Selain sepi dan semak, banyak nyamuk nakal juga yang bikin gatal-gatal. Belum beberapa lama aku disana, kulit putihku sudah memerah dengan bentol beberapa bagian di lengan. "Menyesal aku ikut dengannya ke belakang ini. Jadi gatal semua badanku sekarang!" rutukku jengkel dan kembali ke kamar. Malam kini mulai menghampiri. Suasana di meja makan ini tampak begitu ramai seperti biasanya. Ada Mbak Vina dan suaminya serta dua anak kembar mereka. Bagas dan Viona. Mama serta aku dan suamiku. Kami bertiga duduk berhadapan dengan Mbak Vina dan keluarganya. Satu rumah ini diisi dengan dua keluarga. Aku pernah bertanya pada Mas Galuh apakah Mas Ridho tak mau membeli rumah sendiri? Sudah lama mereka menikah tapi masih saja tinggal satu rumah dengan orang tua. Mas Galuh bilang, mertuaku itu yang tak mau anaknya pergi semua darinya. Untungnya aku tak tinggal seatap dengan mereka semua. Satu atap tiga ratu, tak terbayangkan dibenakku. “Lama kita tak bisa makan bersama seperti ini, Galuh. Senang rasanya bisa kumpul bareng seperti ini,” ujar Abang iparku itu memulai percakapan. Memecah keheningan di antara mereka. Acara makan malam di rumah ini selalu tampak canggung dan mencekam. Lebih mirip obrolan dua lawan yang tak sengaja berjumpa dalam satu meja ketimbang dua saudara. Mama mertua asik menikmati makanan kesukaannya, begitupun dengan yang lainnya. Bahkan dua bocah yang seharusnya bertengkar memperebutkan sesuatu saat makan, justru tak pernah terdengar di meja makan ini. Semuanya tampak tenang, teratur dan sunyi tanpa adanya obrolan hangat yang menghiasi. Jauh dari kata keluarga harmonis menurutku. “Mas Ridho yang jarang ada di rumah setiap kami mampir ke sini. Tampaknya Abangku ini sibuk sekali,” balas suamiku santai. Terdengar seperti mencibir di telingaku. “Mau gimana lagi, Masmu itu tak seberuntung kamu Galuh. Memiliki istri yang mandiri dan pembawa hoki. Makanya dia harus pontang-panting siang malam untuk bekerja. Tapi tetap saja, hidupnya gitu-gitu saja.” celetuk Mama mengejek putra sulungnya itu. Raut wajah Mbak Vina langsung berubah. Tak sedap di pandang walau sebisa mungkin dia mengalihkan tatapan matanya dari Mama. Aku tahu saat ini, Mama sedang membandingkan aku dengan menantunya yang satu lagi. Pasti rasanya sangat sakit. “Iya, kamu beruntung Galuh. Jangan sia-siakan keberuntunganmu itu. Kesempatan tak datang dua kali. Tak ada yang kurang dari Eliana. Dia baik, cantik, mandiri dan sebentar lagi akan memberikanmu pelita hati. Kau sungguh beruntung Galuh!” puji Mas Ridho begitu luwes tanpa memperdulikan wanita yang duduk di sebelahnya itu. Entah pujian itu tulus atau tidak. Namun aku merasa tersanjung mendengarnya walau aku juga merasa kasihan dengan Mbak Vina. Sebegitu buruk keluarga ini memperlakukannya, tapi kenapa dia tak pergi saja atau memberontak. Sampai kapan dia diam tak berkutik seperti itu saat harga dirinya di injak-injak? “Mas Ridho bisa saja kalau memuji. Terlalu manis sampai bikin sakit gula,” kelakarku sambil tertawa seraya melirik wanita di sebelahnya. Tak perlu ditanya bagaimana ekspresi wajah Mbak Vina saat ini.Masamnya jeruk nipis, masih kalah asam dengan raut wajahnya itu. Mas Ridho ikut terkekeh. “Mau aku kasih tahu keahlian Galuh saat kecil, El?” “Apa itu, Mas?” tanyaku antusias. Aku ingin tahu bagaimana suamiku saat kecil dulu. Bahkan kini aku sampai membayangakan saat anak kami lahir akan mirip diriku atau suamiku itu. “Adikku ini …,” Mas Ridho menjeda ucapannya. Dia menatap Mas Galuh sejenak dengan tatapan yang sulit aku artikan. Lalu beralih menatap mataku dalam. “Sangat pandai bermain petak umpet. Aku tak yakin kamu bisa menang melawannya bermain, El!” jelasnya. Dengan tatapan mata yang syarat akan makna. "Petak umpet? Jadi Mas Galuh suka permainan anak perempuan seperti itu? Aku pikir melihat dirinya yang seperti ini, Mas Galuh suka main bola atau permainan laki-laki yang lain." "Petak umpet justru lebih menyenangkan baginya. Dia bisa menyembunyikan banyak hal dan ya ... suamimu itu penyembunyi yang ulung. Apa kau tahu, dulu dia pernah menyembunyikan—" "Sebaiknya kita habiskan makanan ini sebelum semuanya dingin. Ayo!" Mas Galuh memotong ucapan saudaranya. Tatapan matanya tajam seperti mengancam. Mas Ridho terkekeh dan kembali menatapku penuh arti. "Kenapa? Apa kamu takut Eliana mengetahui siapa dirimu?" "Memangnya seperti apa aku? Jangan bercanda, kau membuat Eliana bingung dengan gurauan garingmu. Dari dulu hingga sekarang kau tak berubah. Suka mengarang cerita," balas Mas Galuh dengan kekehan khasnya. "Ya ... mungkin aku terdengar seperti seorang pengarang cerita karenamu. Tapi ada masanya 'lepas kaki lehermu terjerat' dan aku menantikan masa itu, ha ha," ucap Mas Ridho tertawa. Hatiku tersentak. Ada maksud lain dari ucapannya itu. Apa maksud dari perkataan Mas Ridho tersebut?"Apa maksud ucapan Mas Ridho?" tanyaku yang tak bisa menyembunyikan rasa penasaranku. "Tak usah kamu dengarkan dia, El. Ridho dan Galuh suka bertengkar sejak dulu di meja makan. Mereka suka membahas hal-hal yang tak penting, itu sebabnya Almarhum Papa mereka melarang berbicara saat makan. Sudahlah, tak usah dihiraukan!" ujar Mama padaku. Dia mengambil sepotong ayam goreng dan meletakkannya ke atas piringku. Mbak Vina melihat itu dengan tatapan cemburu. Dan aku tak peduli itu, dia bisa mengambilnya sendiri jika mau. "Yang dikatakan Mama benar. Tak usah kamu dengarkan perkataan Mas Ridho, dia memang seperti itu sejak dulu. Selalu mencari celah menjatuhkanku. Ya ... mau bagaimana lagi, aku memang selalu lebih unggul darinya," timpal Mas Galuh dengan gayanya yang jumawa. Aku akui terkadang tingkat kepercayaan diri suamiku ini jauh di atas rata-rata. Aku masih kurang puas dengan jawaban suami dan mertuaku itu. Ucapan Mas Ridho dan juga Mbak Vina kini mulai berputar-putar dibenakku.
Aku mendekati Mas Ridho dan meninggalkan kedua keponakanku itu di dalam kamar begitu saja. "Sayang, kamu kenapa ke sini? Sebaiknya kamu masuk ke kamar dan tak usah ikut campur dengan masalah ini!" Mas Galuh panik. Dia menarik tanganku untuk menjauh. Tapi segera kutepis tangannya itu. Aku harus tahu apa yang tidak aku ketahui jika memang apa yang dikatakan Mas Ridho adalah benar. Bukan kalimat ngawur karena emosi belaka untuk memecah belah hubungan kami. "Apa maksud ucapamu tentang para mantu dan cucu-cucu Mama?" "Memangnya kau dan Vina bukan menantu Mama? Dan anak yang ada di perutmu itu dan anak-anakku bukan termasuk cucu-cucu Mama?" jawab Mas Ridho kembali membentakku. Intonasinya yang begitu tinggi membuatku sakit hati. Seumur hidup aku tak pernah dibentak kedua orang tuaku dan selama menikah pun Mas Galuh bersikap sopan padaku. Sedangkan kini, Mas Ridho yang hanya sebatas abang ipar sudah lancang membentak-bentak aku. Sikapnya yang begitu kasar sangat bertolak bela
Mentari pagi bersinar dengan begitu cerahnya, sinarnya yang hangat melingkupi semua mahkluk di bumi. Aku duduk di teras yang berlantaikan marmer ini. Jajaran pot-pot kecil ada di hadapanku kini sudah berbaris minta sentuhan. Kulepaskan daun-daun kering serta mencabut rumput-rumput kecil yang tumbuh merusak pemandangan mata. Agar pesona kecantikan bunga-bunga ini bisa tampil maksimal. Aku pulang ke rumah jam 8 pagi, setelah sarapan di rumah Mama, Mas Galuh langsung mengantarku pulang ke rumah. Baru setelah itu dia berangkat bekerja. Aku yang merasa bosan mencari kegiatan yang bisa mengusir rasa sepiku. “Mbak, ini di letakkan di mana?” tanya Bi Ninis. Asisten rumah tangga yang sudah bekerja puluhan tahun menagabdi di keluargaku. Dia bekerja sejak aku masih berumur 10 tahun. Bi Ninis sudah seperti orang tua kandung untukku, kehadirannya bisa mengusir kerinduanku pada kedua orang tuaku yang sudah tiada. Menjadi tempatku mengadu dan berkeluh-kesah. “Letak di rak itu saja, Bi! Biar
Saat mendengar deru mobil suamiku memasuki pekarangan rumah. Bergegas aku menghampiri Mas Galuh, dia sangat suka jika aku menyambutnya saat pulang kerja dengan tampilan cantik dan fress. “Kamu sudah makan sayang, maaf ya, Mas pulang agak lambat hari ini,” ujarnya. Aku meraih tangannya dan mencium punggung tangan lebar itu. “Belum, aku memang menunggumu, Mas.” “Kalau begitu, Mas mandi dulu.”Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum. Mas Galuh beranjak menaiki anak tangga untuk ke kamar kami. Tak sampai 15 menit suamiku turun dengan tampilan yang lebih fress. Aroma shampoo menguar dari tubuhnya. Wangi maskulinnya membuatku nyaman.Sejak hamil aroma tubuh Mas Galuh menjadi candu untukku. Mas Galuh menarik kursi di sebelahku. Aku langsung membuka piring miliknya dan mengisinya dengan nasi. “Kamu mau lauk apa, Mas?” tawarku. Di depan kami saat ini ada beberapa piring yang tersusun rapi dengan menu masakan kesukaannya. “Apa saja, tampaknya semuanya enak.” Aku mengambilkan
Mas Galuh menepati janjinya, dirinya menambahkan jatah uang belanja jatahku. Tentu saja itu membuatku senang. hari ini aku berniat membeli kebutuhan dapur. Kegiatan yang biasa aku lakukan setiap bulannya. Jika biasanya aku ditemani Mas Galuh, namun kali ini aku pergi di temani oleh Bi Ninis.“Bi cariin ini di rak nomor dua yang letaknya paling ujung, ya!” pintaku pada Bi Ninis.Aku memberikan selembar kertas yang berisi lima macam barang yang aku inginkan dan letaknya berdekatan. Mulai dari ember dan kain pel di rumah yang sudah mulai usang.“Baik, Mbak.”Bi Ninis melangkah menjauh dariku. Kini aku mendorong troli-ku mendekati rak yang berisi susu khusus Ibu hamil. Tak lupa tanganku dengan lincah mengambil barang-barang di rak yang aku lewati. Tentunya memang barang yang memang aku butuhkan. Aku bukan tipe wanita yang akan kalap saat berbelanja. Sesampainya di rak susu, aku mengernyitkan dahi saat melihat susu yang aku butuhkan berada di rak yang paling atas seperti biasanya.Tubuhk
“Mbak, El! Loh … kok, malah bengong, Mbak. Mbak El kenapa, kenapa wajah Mbak tampak pucat. Ayo kita pulang, Mbak! Mbak harus istirahat.” Bi Ninis merangkul tanganku. Dia menuntun tubuhku yang tiba-tiba lemas untuk kembali ke arah mobil kami yang terparkir.“Bi tadi aku yakin, aku melihat Mas Galuh baru saja turun dari mobil tadi. Dia menggendong seorang anak kecil sekitar satu atau dua tahunan. Tapi sekarang kok, dia tak ada?” kataku seperti anka kecil yang tengah mengadu pada ibunya. Bi Ninis terkekeh kecil. “Ya mana mungkinlah, Mbak. Kan sekarang suami Mbak sedang tugas ke luar kota. Mungkin karena Mbak El rindu sama Pak Galuh paling Mbak. Makanya kebayang-bayang terus. Yang sabar ya Mbak, masa-masa seperti Mbak ini memang selalu ingin di manja dan diperhatikan suami. Besok juga Pak Galuh pulang, Mbak. Sudah jangan dipikirkan terus,” ucap Bi Ninis padaku. Tapi ucapannya tak cukup menenangkanku.Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil aku masih saja kepikiran hingga diam sembari
“Kamu mau kemana, sayang?” tanya Mas Galuh. Dia mengecup lembut keningku. Lalu mengusap perutku dengan sayang. “Hmm … aku mau ke pasar rencananya, Mas. Mau belanja bahan perlengkapan dapur,” jawabku berbohong. Aku melirik sekilas pada Bi Ninis memberikan kode untuk diam. “Ke pasarnya nanti saja, suami baru pulang masa mau ditinggal!” Mas Galuh memberikan tasnya pada Bi Ninis, mengajakku masuk ke dalam rumah sambil mengobrol. Kami berdua duduk di sofa yang ada di ruang tv. Mas Galuh menyandarkan bahunya pada sandaran sofa. Bi Ninis kini telah kembali seraya membawa sepiring cemilan serta kopi hitam manis ynag menjadi kesukaan suamiku itu. “Kerjaanmu sudah beres semuanya, Mas? Kemarin kamu bilang di telpon pulangnya lusa malam." Aku merangkul mesra lengan suamiku, sesuatu yang biasa aku lakukan saat kami sedang berdua seperti ini. Mas Galuh menyeruput kopinya pelan kemudian meletakkannya kembali ke atas meja. “Kamu nggak suka melihat Mas pulang cepat?”
“Jangan melihat hal-hal yang tak perlu di lihat. Jangan mencari tahu apa yang tak perlu aku ketahui, agar rumah tanggaku tetap harmonis.” Nasehat Papa kala itu. Aku pun juga melihat Almarhum Mama melakukan hal yang sama. Jadi aku pun ikut menerapkan hal yang serupa. Tiga tahun berumah tangga, tak sekali pun aku memegang ponsel suamiku. Dulu ia pernah memberikannya, namun aku tak mau. Tapi sekarang, rasa ingin tahuku mendorongku untuk melakukan lebih. Aku berjalan dengan pelan menuju balkon. Bersembunyi di balik pintu dekat pagar pembatas. Membuka layar benda pipih tersebut. Membongkar pesan satu persatu. Tak kutemukan ada yang mencurigakan, begitu pun dengan pesan di applikasi hijau yang dia miliki. Aku buka galeri, juga tak ada yang aneh. Hanya ada beberapa foto di galerinya, fotoku dan foto pernikahan kami serta foto yang berhubungan dengan pekerjaannya. Keningku semakin berkerut, apa Mbak Vina membohongiku? Dia sengaja menunjukkan foto tempo hari itu padaku agar