Share

2. Makna yang tersirat.

Kami menoleh ke belakang. Tampak Mama sedang melambaikan tangan untuk memanggil menantu yang merangkap jadi asisten rumah tangga dadakannya itu.

Sontak Mbak Vina pergi menghampiri, seraya melengoskan wajahnya dariku. Kenapa jadi dia yang marah.

Seharusnya aku dong, suamiku dia fitnah disini. Sikapnya yang seperti itu membuatku semakin yakin, ada niat tak baik yang dia selipkan di balik foto yang ditunjukkan padaku.

Aku menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Meredam amarah yang sempat memuncak. Kembali kuusap perutku yang datar. Semenjak hamil aku suka mengusap-usap perutku ini.

“Bibimu itu pasti berbohong pada, Mama. Iya, kan, sayang. Papamu orang baik, mana mungkin berbuat hal sejahat itu pada kita. Bibimu itu jahat, dia ingin merusak keluarga kecil kita. Bisa jadi sih, selama ini Bibimu itu iri melihat Mama yang lebih di sayang daripada dirinya,” celotehku pada janin yang belum bisa merespons apa pun.

Aku pun kini beranjak dari dudukku, melangkahkan kaki menuju rumah. Untuk apa aku duduk sendirian di belakang. Selain sepi dan semak, banyak nyamuk nakal juga yang bikin gatal-gatal.

Belum beberapa lama aku disana, kulit putihku sudah memerah dengan bentol beberapa bagian di lengan.

"Menyesal aku ikut dengannya ke belakang ini. Jadi gatal semua badanku sekarang!" rutukku jengkel dan kembali ke kamar.

Malam kini mulai menghampiri. Suasana di meja makan ini tampak begitu ramai seperti biasanya.

Ada Mbak Vina dan suaminya serta dua anak kembar mereka. Bagas dan Viona. Mama serta aku dan suamiku. Kami bertiga duduk berhadapan dengan Mbak Vina dan keluarganya.

Satu rumah ini diisi dengan dua keluarga. Aku pernah bertanya pada Mas Galuh apakah Mas Ridho tak mau membeli rumah sendiri? Sudah lama mereka menikah tapi masih saja tinggal satu rumah dengan orang tua.

Mas Galuh bilang, mertuaku itu yang tak mau anaknya pergi semua darinya. Untungnya aku tak tinggal seatap dengan mereka semua. Satu atap tiga ratu, tak terbayangkan dibenakku.

“Lama kita tak bisa makan bersama seperti ini, Galuh. Senang rasanya bisa kumpul bareng seperti ini,” ujar Abang iparku itu memulai percakapan.

Memecah keheningan di antara mereka. Acara makan malam di rumah ini selalu tampak canggung dan mencekam. Lebih mirip obrolan dua lawan yang tak sengaja berjumpa dalam satu meja ketimbang dua saudara.

Mama mertua asik menikmati makanan kesukaannya, begitupun dengan yang lainnya. Bahkan dua bocah yang seharusnya bertengkar memperebutkan sesuatu saat makan, justru tak pernah terdengar di meja makan ini. Semuanya tampak tenang, teratur dan sunyi tanpa adanya obrolan hangat yang menghiasi. Jauh dari kata keluarga harmonis menurutku.

“Mas Ridho yang jarang ada di rumah setiap kami mampir ke sini. Tampaknya Abangku ini sibuk sekali,” balas suamiku santai. Terdengar seperti mencibir di telingaku.

“Mau gimana lagi, Masmu itu tak seberuntung kamu Galuh. Memiliki istri yang mandiri dan pembawa hoki. Makanya dia harus pontang-panting siang malam untuk bekerja. Tapi tetap saja, hidupnya gitu-gitu saja.” celetuk Mama mengejek putra sulungnya itu.

Raut wajah Mbak Vina langsung berubah. Tak sedap di pandang walau sebisa mungkin dia mengalihkan tatapan matanya dari Mama. Aku tahu saat ini, Mama sedang membandingkan aku dengan menantunya yang satu lagi.

Pasti rasanya sangat sakit.

“Iya, kamu beruntung Galuh. Jangan sia-siakan keberuntunganmu itu. Kesempatan tak datang dua kali. Tak ada yang kurang dari Eliana. Dia baik, cantik, mandiri dan sebentar lagi akan memberikanmu pelita hati. Kau sungguh beruntung Galuh!” puji Mas Ridho begitu luwes tanpa memperdulikan wanita yang duduk di sebelahnya itu.

Entah pujian itu tulus atau tidak. Namun aku merasa tersanjung mendengarnya walau aku juga merasa kasihan dengan Mbak Vina. Sebegitu buruk keluarga ini memperlakukannya, tapi kenapa dia tak pergi saja atau memberontak. Sampai kapan dia diam tak berkutik seperti itu saat harga dirinya di injak-injak?

“Mas Ridho bisa saja kalau memuji. Terlalu manis sampai bikin sakit gula,” kelakarku sambil tertawa seraya melirik wanita di sebelahnya.

Tak perlu ditanya bagaimana ekspresi wajah Mbak Vina saat ini.Masamnya jeruk nipis, masih kalah asam dengan raut wajahnya itu.

Mas Ridho ikut terkekeh. “Mau aku kasih tahu keahlian Galuh saat kecil, El?”

“Apa itu, Mas?” tanyaku antusias. Aku ingin tahu bagaimana suamiku saat kecil dulu. Bahkan kini aku sampai membayangakan saat anak kami lahir akan mirip diriku atau suamiku itu.

“Adikku ini …,” Mas Ridho menjeda ucapannya. Dia menatap Mas Galuh sejenak dengan tatapan yang sulit aku artikan. Lalu beralih menatap mataku dalam.

“Sangat pandai bermain petak umpet. Aku tak yakin kamu bisa menang melawannya bermain, El!” jelasnya. Dengan tatapan mata yang syarat akan makna.

"Petak umpet? Jadi Mas Galuh suka permainan anak perempuan seperti itu? Aku pikir melihat dirinya yang seperti ini, Mas Galuh suka main bola atau permainan laki-laki yang lain."

"Petak umpet justru lebih menyenangkan baginya. Dia bisa menyembunyikan banyak hal dan ya ... suamimu itu penyembunyi yang ulung. Apa kau tahu, dulu dia pernah menyembunyikan—"

"Sebaiknya kita habiskan makanan ini sebelum semuanya dingin. Ayo!" Mas Galuh memotong ucapan saudaranya. Tatapan matanya tajam seperti mengancam.

Mas Ridho terkekeh dan kembali menatapku penuh arti.

"Kenapa? Apa kamu takut Eliana mengetahui siapa dirimu?"

"Memangnya seperti apa aku? Jangan bercanda, kau membuat Eliana bingung dengan gurauan garingmu. Dari dulu hingga sekarang kau tak berubah. Suka mengarang cerita," balas Mas Galuh dengan kekehan khasnya.

"Ya ... mungkin aku terdengar seperti seorang pengarang cerita karenamu. Tapi ada masanya 'lepas kaki lehermu terjerat' dan aku menantikan masa itu, ha ha," ucap Mas Ridho tertawa.

Hatiku tersentak. Ada maksud lain dari ucapannya itu. Apa maksud dari perkataan Mas Ridho tersebut?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status