"Nggak ada kopi dan gula," jawabku ketus.Anton memandangku sinis. "Makanya jangan sok-sokan minta pindah. Untuk beli gula dan kopi aja kamu nggak punya uang kan."Aku tertawa sinis. Lalu aku menadahkan tangan kepadanya. Dia memandang tanganku kemudian beralih ke wajahku."Apa maksudmu?""Minta uang belanja," jawabku."Uang belanja?" ulangnya. "Kenapa kamu minta uang samaku?""Lupa kalau aku istrimu?" sinisku. "Sejak kita menikah, coba Abang ingat, sudah berapa kali Abang ngasih uang belanja?""Kenapa juga aku ngasih uang belanja sementara kemarin kita masih sama orang tuaku. Kan mamaku yang bayar belanja," katanya dengan nada bangga."Ok, kita abaikan yang kemarin. Jadi sekarang karena kita sudah tinggal sendiri, berarti Abang wajib ngasih uang belanja," kataku tenang. "Kalau Abang mau minum kopi, sini uangnya biar kubelikan ke warung."Anton tersenyum sinis dan menaikkan sebelah sudut bibirnya. Kebiasaannya kalau mengejek memang begitu."Lebih baik aku tinggal di rumah mama aja, hat
"Kamu gila!" bentakku. "Kalau kamu nggak mau menceraikan aku, aku yang akan menuntut cerai."Anton menatapku tak percaya. Bahkan rokok yang dipegangnya sampai terlepas dan jatuh ke lantai. Aku hampir tertawa melihat reaksinya. Cepat-cepat dia tersadar dan membungkuk untuk memungutnya kembali."Kamu pikir menuntut cerai itu gampang?" matanya melotot lebar. "Kamu nggak mikir perasaan orang tuamu? Keluargamu? Mereka pasti malu punya anak perempuan yang menjadi janda karena dicerai."Aku mendadak terdiam. Perasaan di atas angin tadi mendadak lenyap begitu saja mendengar perkataannya. Tidak pernah terpikirkan sampai ke sana karena aku memang nggak ada niat untuk bercerai. Aku hanya menggertaknya. Kelakuan Anton membuatku spontan memikirkan dan mengucapkan kata-kata itu. Tak bisa juga kubayangkan bagaimana perasaan kedua orang tuaku. Sedangkan pernikahanku_karena ingin menutupi aib_ ini saja masih membuat mereka menderita apalagi kalau ditambah dengan berita perceraianku nanti? "Diam kan k
Kupandangi wajah suamiku yang pucat dengan hati nelangsa. Tadi malam aku dan dibantu tetangga membawanya ke klinik ini karena dia mendadak sakit dan mengeluhkan ulu hatinya terasa sesak.Setelah diperiksa, dokter klinik mengatakan suamiku menderita asam lambung dan sudah lumayan parah. Selama ini dia tidak pernah mengeluh tentang perutnya. Jangankan asam lambung, sakit maag biasa pun tidak.Terbayang di benakku kejadian tadi malam. Suamiku mendekap ulu hatinya dengan kuat. Mulutnya komat kamit tapi tidak mampu bersuara. Keringat sebesar jagung membasahi kening dan lehernya. Aku yang panik langsung menjerit memanggil tetangga. Untung mereka belum tidur dan segera membantuku membawa suamiku ke klinik swasta yang tidak jauh dari rumah kami."Suami saya kenapa, Dokter?" tanyaku setelah melihat dokter muda itu melepaskan stetoskop dari telinganya."Suami ibu..." dia berpikir sejenak, mungkin untuk memilah kata yang tepat. "Asam lambungnya naik. Tapi ibu nggak usah khawatir, ya."dr. Budi.
Klinik SetiawanDari jauh aku sudah dapat membaca plang nama bangunan putih itu. Klinik yang sudah lama berdiri di kampung kami bahkan sebelum aku lahir. Klinik yang dibangun oleh Dokter Setiawan, seorang dokter bertangan dingin. Rata-rata orang yang berobat kepadanya pasti sembuh. Itulah makanya aku sedikit lega saat tahu Ayahku dibawa berobat ke klinik ini.Aku bergegas menyeret langkahku ke sana. Jaraknya hanya kurang lebih 100 meter dari jalan besar. Sepanjang perjalanan tadi tak henti-hentinya aku memanjatkan doa memohon pertolongan kepada Tuhan untuk kesehatan dan keselamatan Ayahku.Setelah sampai di sana, aku segera masuk ke ruang rawat. Aku sangat hapal bagian dalam klinik ini karena kami selalu berobat ke sini.Aku mendapati Ayah duduk di ranjang bersandar kepada beberapa bantal yang ditumpuk di belakangnya."Ayah..." aku menubruk ayahku dan memeluknya erat. Tak dapat lagi kutahan air mataku."Tina..." Ayah membalas pelukanku dengan erat.Ya, Tuhan, aku sangat merindukan sos
Aku menuntun Ayah duduk di sofa sederhana di ruang tamu kami. Tak ada yang berubah dari kondisi rumah kami kecuali kehangatannya yang tak lagi kurasakan. Ibu berjalan terus ke belakang membawa tas dan kantong plastik itu."Ayah mau minum?" tanyaku.Ayah menggeleng."Atau Ayah mau makan? Biar aku masakkan sebentar.""Tadi udah dikasih sarapan di klinik, Nak," jawab Ayah. "Kamu pasti yang belum sarapan karena buru-buru ke sini."Pernyataan Ayah menyadarkan aku bahwa aku memang belum makan apa-apa dari sejak aku bangun. Jangankan makan, minum segelas air putih pun belum ada."Aku nggak apa-apa, Yah. Aku hanya khawatir sama Ayah," jawabku."Kamu jangan sepele dengan kondisi kamu. Kamu sekarang lagi mengandung, kamu harus memikirkan anakmu juga," kata Ayah.Aku menunduk malu. Andai kehamilanku ini kudapat dari hubungan yang wajar dan normal, aku pasti bangga menunjukkannya kepada orang tuaku. Ini apa? Besarnya perutku malah seolah-olah menambah luka di hati orang tuaku. Masih kuingat tatap
Sebenarnya aku sangat merindukan Tina, putri kecilku itu. Jantungku berdebar lebih cepat menunggu kedatangannya. Aku menyibukkan diriku dengan membereskan selimut dan bantal yang kami bawa tadi malam untuk menutupi kegelisahanku.Dan saat putriku sampai dan memeluk suamiku, hatiku bagai diiris sembilu melihat keadaannya. Tina sangat kurus. Tulang pipinya menonjol. Dia tak ada bedanya dengan gambar penderita busung lapar yang ada di buku-buku atau yang kutonton di televisi. Tubuh kurus tapi perut buncit. Dan saat menyalamiku, jari-jarinya seakan-akan tinggal kulit pembalut tulang. Dulu sebelum menikah, Tina memang bertubuh ramping tapi tidak sekurus sekarang, apalagi sekarang sedang hamil, seharusnya dia bisa agak gemuk.Aku melengos menghindari tatap mata dengannya. Aku tak tahan melihatnya. Hati ibu mana yang tidak teriris pedih melihat keadaan putrinya yang sangat memprihatinkan seperti itu? Anak yang kurawat dengan kasih sayang walaupun tidak bergelimang harta, dalam sekejap tampil
"Apa maksudnya, Bu Darmi?" aku berbalik dan berteriak membuat mereka bertiga berhenti melangkah.Kekesalan dan kemarahan yang menyesak di dadaku semakin menggunung. Aku memandang Bu Darmi dengan tajam membuatnya mengalihkan pandangannya ke arah lain."Suami saya sakit bukan gara-gara Tina atau siapa pun," kataku sengit."Jangan diambil hati, Bu," Bu Ruth menghampiri aku. "Mungkin maksud Bu Darmi bukan begitu.""Jadi maksudnya apa? Aku masih bisa mendengar dengan jelas, Bu," kataku emosi. "Dan siapa yang menggosipkan keluargaku di kampung ini kalau bukan dia?" Bu Darmi yang tadi mengalihkan pandangannya, sekarang menatapku dengan garang."Memang benar kok, Bu. Kenapa Ibu malah marah?" tantangnya. "Seluruh kampung ini ngomongin keluarga Ibu.""Apaan sih, Bu?" Bu Ruth menarik tangan Bu Darmi menjauh. "Maaf, Bu, kami pulang dulu.""Lepaskan!" Bu Darmi menghempaskan tangan Bu Ruth dan kembali maju mendatangiku."Ibu nggak usah malu. Akui aja kalau Ibu gagal mendidik anak. Kalau nggak, ngg
"Tina, katakan sejujurnya," Ibu menatapku tajam. "Apa maksud Bu Darmi tadi tentang mertuamu? Apa mereka baik sama kamu?"Jantungku berdebar kencang. Pertanyaan yang sangat kuhindari akhirnya terlontar juga. Aku mengusap air mataku sampai wajahku kering. Kutatap kedua orang tuaku sambil tersenyum."Mereka baik kok, Yah, Bu," kubuat suaraku sealami mungkin. "Nggak usah khawatir.""Tapi kata Bu Darmi..." "Ibu kayak nggak tahu Bu Darmi aja. Dia kan suka bergosip. Lagian memangnya dia kenal sama mertuaku?" aku berusaha meyakinkan Ibu. "Ibu dan Ayah nggak usah khawatir. Aku baik-baik aja kok, Yah, Bu."Ayah dan Ibu berpandangan. Di satu sisi aku merasa senang karena Ibu sudah mau berbicara denganku meskipun ketus dan kasar. Di sisi lain aku sedih karena harus berbohong kepada mereka. Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya apalagi dengan kondisi Ayah yang sedang sakit begini. Aku menghela nafas berat. Kepalaku sakit."Kamu nggak usah bohong. Ibu memang masih marah sama kamu tapi Ibu