Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak
"Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk
Terdengar suara kentongan 3 kali dari pos siskamling yang tak jauh dari rumah pertanda sekarang sudah pukul 3 dini hari. Aku menutup mulutku menahan isak tangisku sambil merekam perbuatan bejat lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Perbuatan mereka terekam dengan jelas walaupun kamar itu temaram yang hanya diterangi lampu tidur. Setelah durasinya hampir mencapai 1 menit aku berhenti dan segera mengirimnya ke ponselku. Itu sudah cukup menjadi bukti. Pesanku sudah terkirim dan kulemparkan ponsel Anton begitu saja ke lantai.Dengan sinis kupandangi aktivitas kedua manusia laknat itu dan mundur. Kuhapus air mata di pipiku dengan kasar. Tak sudi rasanya menangisi pria bejat itu. Dengan sengaja kuraih daun pintu dan kuhempaskan dengan keras. Suaranya berdentam keras di malam sunyi itu. Segera kunyalakan lampu Kedua makhluk yang sedang berbagi peluh itu terkejut dan menoleh ke belakang. Aku tak dapat menggambarkan betapa terkejutnya mereka melihatku berdiri di ambang pintu dan menatap mer
Setelah selesai merekam perbuatan bejat suamiku dengan Lola memakai ponsel Anton, aku segera mengirimnya ke ponselku juga ke grup keluarga kami. Tidak main-main, aku tidak mengirimnya ke grup keluarga kecil kami tapi aku mengirimnya ke 2 grup besar atas nama nenek Anton dari pihak ayah mertuaku yang anggotanya ada 30 orang lebih dan atas nama kakek dari pihak ibu mertuaku, mulai dari anak SD sampai orang tua ada di sana sebagai anggota."Silakan dinikmati pertunjukan gratis ini!" Itu caption yang kutulis sebagai pengantar pesan itu."Aku nggak menyangka kalau kamu bersikap kasar kepadaku dan selalu membela Lola, itu karena ternyata kalian menjalin hubungan?" kataku pelan seolah kepada diriku sendiri. "Betapa bodohnya aku.""Aku memang tidak mencintaimu lagi, Ton. Aku sudah mati rasa sejak menjadi istrimu. Aku bertahan demi anak ini tapi semua sia-sia. Aku memang menuntut cerai dari kamu. Tapi aku tak menyangka akan menyertakan bukti perselingkuhanmu ini juga ke pengadilan. Tadinya ak
Sehari sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah kembali ke rumah kontrakanku ditemani oleh Wina. Kemarin saat aku keluar dari rumah mertuaku, aku mendatangi Wina ke kosnya. Di sana, dalam pelukan sahabatku itu, tanpa dapat kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Kalau di rumah mertuaku, aku tidak bisa menangis dan aku pun tidak tahu kenapa. Rasa marah, dongkol, kesal, kecewa dan entah rasa apa lagi yang menumpuk di rongga dadaku, seakan tersalurkan lewat tangisanku."Menangislah, keluarkan semua bebanmu," kata Wina sambil memeluk aku sangat erat. Dia pun ikut menangis sesenggukan. "Ada apa?" tanya Bu Sari heran mendapati kami berdua berpelukan sambil menangis di kamar Wina. Suara tangisku yang keras membuat beliau mendatangi kamar Wina."Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga ibu akan tahu," jawab Wina.Bu Sari keluar dan menutup kembali pintu kamar. Aku yakin hatinya sekarang penuh tanda tanya dan kebingungan. Tapi seperti kata Wina, beliau juga bakalan segera tahu penyebabnya.Wina me
Darahku tersirap memandang benda pipih kecil di tanganku."Tina..." teriakan dari luar serta gedoran di pintu kamar mandi membuat benda itu jatuh ke lantai."Iya..." jawabku dengan jantung berdetak kencang."Buruan... Lama amat?" teriak Wina."Iya, sebentar." sahutku.Aku mengambil benda yang jatuh itu.Mataku nanar menatap hasil test pack di tanganku. Test pack termahal yang katanya hasilnya 99,99% akurat. Dan sama seperti test pack sebelumnya, kali ini pun hasilnya tetap garis dua yang sangat jelas dan tegas. Sebenarnya aku yang naif dan berusaha menyangkal. Enam test pack sebelumnya (yang kupakai untuk tes urine setiap hari), walaupun harganya murah, sudah menunjukkan garis dua yang artinya aku positif hamil. Tapi aku tetap mengulanginya, berharap hasilnya berbeda.Bagaimana aku harus menyangkalnya? Bahkan tanpa test pack ini pun, aku sudah tahu kalau aku hamil. Perubahan tubuhku sangat nyata. Aku sering merasakan mual terutama di pagi hari dan emosiku gampang sekali berubah-ubah d
Bab 2 LINGLUNGAku menggigit bibirku. Bagaimana cara mengatakannya? Haruskah melalui telepon ini? Pikiran-pikiran itu berperang di otakku."Apa sih, Tin?" Tanya Anton."Bang, aku...""Eh, nanti aja kita sambung lagi, ya. Bosku mengajak aku ke proyek yang di Desa A itu. Jangan hubungi aku karena nanti aku yang menyetir." Tiba-tiba Anton sudah menutup pembicaraan dengan mematikan sambungan telepon sepihak.Aku memandangi ponsel itu lama sebelum melemparkannya ke atas kasur. Saat aku memandang susu yang sudah kuseduh tadi tiba-tiba perutku bergolak. Rasa mual itu kembali datang. Aku segera berlari ke kamar mandi. Aku muntah-muntah di sana."Ada apa, Tin? Kamu sakit?" Tiba- tiba saja Bu Sari sudah berdiri di belakangku. Aku lupa mengunci pintu."Iya, Bu. Mungkin masuk angin." Jawabku."Makanya kalau pacaran itu cukup malam minggu aja," omelnya. "Ini tiap malam datang, pulang sampai larut. Kalian ngomongin apa sih? Harga cabe? Bawang?"Aku tidak menjawab. Tenggorokanku terasa sakit. Ibu ko
"Aku HAMIL!" Kataku tanpa berpikir panjang karena aku sudah dikuasai amarah.Mendadak hening. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Anton di sana. Terkejut? Shock? Kenapa dia diam?"Bang..." Aku mengecek ponselku. Masih menyala. Aku pikir dia sudah mematikannya seperti biasa kalau dia marah."Apa kamu bilang?" Akhirnya aku mendengar suaranya lagi. "Ha... Hamil?""Iya, Bang. Aku hamil," jawabku."Kok bisa?""Maksudnya apa kok bisa?" Aku mulai marah lagi tapi aku tetap menjaga suaraku tetap stabil. Bisa saja Wina mendengar dari kamar sebelah."Maksudku... Eh..." Dia tergagap. "Kamu tahu dari mana?""Ya, aku pake test pack lah," seruku tertahan. "Jadi bagaimana ini?""Bagaimana apa?" Tanya Anton balik."Hamilku ini, Bang," aku menahan marah."Gugurkan aja," katanya enteng."APA?" Kali ini suaraku menggelegar."Kenapa, Tin?" Wina menegur dari kamarnya. Aku kaget. Ternyata dia masih bangun padahal sudah hampir jam 12 malam."Eh, nggak, Win, biasa lagi nelpon sama Anton," jawabku."Apa maksud Aba