Share

Bab 3 Gugurkan

Author: Hans Yunata
last update Last Updated: 2022-08-25 22:16:12

"Aku HAMIL!" Kataku tanpa berpikir panjang karena aku sudah dikuasai amarah.

Mendadak hening. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Anton di sana. Terkejut? Shock? Kenapa dia diam?

"Bang..." Aku mengecek ponselku. Masih menyala. Aku pikir dia sudah mematikannya seperti biasa kalau dia marah.

"Apa kamu bilang?" Akhirnya aku mendengar suaranya lagi. "Ha... Hamil?"

"Iya, Bang. Aku hamil," jawabku.

"Kok bisa?"

"Maksudnya apa kok bisa?" Aku mulai marah lagi tapi aku tetap menjaga suaraku tetap stabil. Bisa saja Wina mendengar dari kamar sebelah.

"Maksudku... Eh..." Dia tergagap. "Kamu tahu dari mana?"

"Ya, aku pake test pack lah," seruku tertahan. "Jadi bagaimana ini?"

"Bagaimana apa?" Tanya Anton balik.

"Hamilku ini, Bang," aku menahan marah.

"Gugurkan aja," katanya enteng.

"APA?" Kali ini suaraku menggelegar.

"Kenapa, Tin?" Wina menegur dari kamarnya. Aku kaget. Ternyata dia masih bangun padahal sudah hampir jam 12 malam.

"Eh, nggak, Win, biasa lagi nelpon sama Anton," jawabku.

"Apa maksud Abang gugurkan?" Bisikku setelah tak terdengar lagi suara Wina.

"Ya, janinmu gugurkan aja," ulangnya masih dengan nada enteng.

"Astaga, Bang," aku ternganga. Janinku katanya?

"Besok aja kita bicarakan lagi. Aku capek. Dengar kabar kayak gini malah bikin kepalaku rasanya mau pecah."

Aku menggeram marah. Gugurkan katanya? Enteng benar dia ngomong begitu. Dan apa katanya tadi? Capek? Kepalanya mau pecah? Memangnya ini perbuatanku seorang diri. Aku menangis tersedu-sedu di atas bantal. Rasanya berlipat-lipat kali menyiksa karena aku nggak bisa melampiaskannya dengan menangis keras-keras. Aku tidak tahu sampai jam berapa aku terjaga dan menangis. Tapi saat aku bangun, mataku sudah bengkak dan memerah.

"Kamu berantem sama Anton?" Tanya Wina saat melihat mataku bengkak.

Aku diam saja. Wina pasti juga sudah tahu dari kondisiku.

"Kamu pasti menangis tadi malam, ya. Tuh, lihat mata kamu bengkak kayak mata kodok," kata Wina. "Kompres sana pake es."

"Iya, ntar lagi aja," jawabku. Suaraku sedikit sengau.

Dan sekuat tenaga kutahan rasa mual yang muncul saat mencium bau masakan Wina. Aku segera ke kamar mandi dan menghidupkan air keras-keras. Aku muntah.

"Kamu udah langsung mandi aja, Tin? Nggak bikin sarapan? Tanya Wina.

"Nggak dengar!" Aku pura-pura berteriak. Padahal suara Wina terdengar jelas kok. Dia malah yang tidak bisa mendengar suaraku. Aku menekan suara muntah-muntahku.

"Masuk angin lagi?" Tanya Wina saat aku keluar dari kamar mandi. "Makanya jangan begadang sampai larut malam. Kayaknya kamu lebih banyak berantemnya deh sama Anton daripada rukunnya."

Aku tidak menjawabnya. Aku melewatinya dan masuk ke kamar. Wina benar. Baru tujuh bulan kami pacaran, kami memang lebih banyak ribut. Aku tidak mengerti sifat Anton. Moodnya bisa berubah sangat cepat. Sebentar masih baik-baik saja, masih bercanda, eh tiba-tiba dia bisa sangat marah. Dia bahkan pernah hampir memukul aku karena aku terlambat membeli rokoknya.

Aku bertahan selama ini karena aku tidak mau dia meninggalkan aku setelah dia mengambil semua hal berharga yang kumiliki. Aku tidak mau dia merasakan enaknya saja. Dia harus bertanggung jawab.

***

"Kamu serius lagi hamil?" Tanya Anton saat sore harinya kami akhirnya bertemu. Dia membawaku ke sebuah taman di pinggir danau. Kami duduk di bangku panjang yang tersedia di taman itu.

"Abang pikir aku bohong?" Aku balik bertanya.

"Kamu bilang kamu tahu dari test pack. Emangnya itu valid? Tanya Anton ragu.

"Nih!" Aku meletakkan ketujuh test pack bergaris dua itu ke hadapannya. Aku sengaja membawanya. "Kalau cuma 1 atau 2 kali tes, mungkin bisa terjadi kekeliruan. Tapi ini 7, Bang. Aku mengetesnya tiap hari dalam seminggu ini. Dan kemarin aku sengaja membeli yang paling mahal karena katanya hasilnya 99 % akurat. Dan tetap aja hasilnya garis dua."

Anton segera meraup semua test pack itu tanpa melihatnya dan menyodorkannya ke tanganku. Matanya sibuk melihat sekeliling seakan takut ada yang melihat. "Simpan lagi!"

"Bisa aja kita masih punya kemungkinan 1%," katanya masih berusaha menyangkal.

"Kalau begitu, kita ke dokter aja," aku menantangnya.

"Gila kamu!" Kata Anton tanpa pikir panjang.

"Kenapa? Kita kan butuh kepastian," kataku.

"Kota ini sangat kecil, Tin. Gosip apa pun akan cepat menyebar," katanya.

Benar. Tempat yang kami tinggali ini memang ibukota kabupaten tapi masih merupakan kota kecil yang baru berkembang. Hampir semua penduduk di sini saling mengenal. Bahkan antar kecamatan pun sebagian besar masih punya ikatan kekeluargaan.

"Jadi gimana? Abang tidak yakin tapi aku sendiri sudah sangat yakin kalau aku hamil. Tiap pagi dan malam aku selalu muntah-muntah karena mual," kataku sambil menyimpan test pack itu ke tasku.

"Kamu gugurkan ajalah!" Kata yang sama yang diucakannya tadi malam kembali dilontarkannya tanpa merasa bersalah. Dan aku tetap terkejut mendengarnya.

"Gampang sekali Abang ngomong gugurkan," seruku marah.

"Jadi mau kamu apa?" Dia juga marah.

"Abang harus tanggung jawab!"

"Apa? Tanggung jawab?" Anton berdiri dan bertolak pinggang. "Dengan cara apa? Menikahi kamu?"

"Iya!" Jawabku tegas.

"Hahahahaha..." Anton tertawa terbahak-bahak. "Kamu jangan bercanda. Aku belum kepikiran ke arah sana. Aku masih muda."

"Emangnya aku udah tua?" Seruku tertahan. "5 bulan lagi aku baru 20 tahun, Bang!"

"Coba kamu pikir, aku masih punya kakak yang belum menikah. Nggak mungkin aku melangkahi dia kan?" Kata Anton.

"Tapi nggak mungkin juga janin ini kamu biarkan tumbuh tanpa ikatan sah dari orang tuanya. Kita tidak hidup di negara Barat, Bang!"

"Makanya aku bilang gugurkan!" Katanya dengan suara berbisik di telingaku tapi dengan nada penuh ancaman.

"Aku nggak mau," kataku spontan.

Beberapa pengunjung taman itu menoleh kepada kami. Mungkin mereka menyadari pertengkaran kami karena mereka berbisik satu sama lain. Anton mendelik ke arah mereka membuat mereka segera mengalihkan pandangan ke tempat lain.

"Tina, aku sangat menghormati kakakku. Aku segan sama dia. Kamu tahu itu. Aku nggak mungkin melangkahi dia," lanjut Anton. "Kamu juga. Kakak dan abang kamu belum menikah, masa kamu mau melangkahi mereka sekali dua?"

"Aku akan kasih mereka pengertian," kataku.

" Dengan ngasih tahu kalau kamu hamil?" Apa kamu nggak malu"?

"Aku akan lebih malu kalau perutku ini makin besar."

"Makanya sebelum membesar lakukan apa yang aku bilang. Mumpung masih muda, masih gampang membuangnya."

Hatiku sakit mendengarnya. Gampang sekali dan tanpa beban dia mengatakan hal seperti itu. Membuangnya? Darah dagingnya sendiri?

"Kamu jangan egois, Tin!" Suara Anton menyentakkanku dari lamunan.

Egois? Aku menatapnya. "Aku egois? Kenapa Abang bilang aku egois?"

"Kamu nggak memikirkan perasaan kakakku. Padahal aku udah bilang alasanku kenapa belum mau menikah."

"Terus apakah Abang memikirkan perasaanku? Aku rasa kakakmu juga bisa menerima kalau kamu ngomong baik-baik!".

"Aku nggak mau membebani pikiran kakakku," katanya. "Dan kamu jangan lupa bahwa ayahku seorang kepala desa dan ibuku seorang kepala sekolah. Mereka orang terhormat! Aku nggak mau merusak rasa hormat orang-orang terhadap mereka."

Jantungku berdebar keras bagai dipalu godam mendengat penuturan Anton. Apa hubungannya status orang tuanya dengan masalah kami ini?

"Apa hubungannya dengan kita?"

"Tentu aja ada. Kalau mereka membuat hajatan, mereka harus punya persiapan yang panjang. Sama kayak abangku yang sulung saat menikah dulu."

Jadi itu persoalannya? Hanya demi gengsi dan kehormatan? Dan bisa-bisanya dia bicara tentang hajatan sekarang?

"Aku juga nggak bilang harus menikah besok," kataku. "Masih perlu persiapan juga. Dan aku juga nggak bilang harus pesta besar. Cukup acara pemberkatan aja. Kalau masalah pesta adat bisa kita pikirkan nanti."

"Belum ada sejarahnya dalam keluarga kami ada pernikahan tanpa pesta adat," kata Anton. " Aku juga mau pesta meriah kayak abangku dulu."

"Tapi ini kondisinya berbeda, Bang," aku mulai putus asa. Aku menangis.

"Udah, jangan menangis. Malu dilihat orang-orang," katanya. "Kita pulang aja. Kamu pikirkan cara yang aku bilang tadi. Yang pasti aku nggak mau menyusahkan orang tuaku. Kalau kamu nggak mau, kita putus aja!"

Aku ternganga mendengar perkataannya. Putus? Enak saja dia melenggang tanpa tanggung jawab. Sedangkan saat kesucianku direnggutnya pertama kali, sejak itu aku tidak mau melepaskannya sesakit apa pun perlakuannya. Dia harus bertanggung jawab. Apalagi sekarang ada anaknya dalam rahimku.

"Aku akan pikirkan," kataku akhirnya.

Aku pikir dia harus dihadapi dengan kepala dingin. Tapi aku bertekad untuk tidak melakukan sarannya.

***

Related chapters

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 4 Marah

    Kantor kami akan pindah ke gedung baru karena gedung yang kami pakai sekarang adalah sebuah ruko yang akan habis kontraknya. Lokasi gedung baru itu jauh dari rumah kosku sekarang. Nantinya semua kantor akan berpusat di sana. Gedung kami adalah yang pertama kali selesai dibangun dan gedung yang lainnya masih dalam tahap pembangunan. Jaraknya 28 kilometer dari ibukota kabupaten walaupun masih dalam kecamatan yang sama tapi di desa yang berbeda dan bisa dijangkau kendaraan kira-kira 20-30 menit perjalanan. Kami sudah mulai berbenah. Para pegawai laki-laki hampir tiap hari ke sana melakukan pembenahan sedangkan kami para perempuan mulai mengepak barang-barang di kantor yang akan kami tinggalkan."Ada yang bisa ikut ke sana hari ini?" tanya Pak John, Kepala Tata Usaha, bosku, sambil memandangi kami satu per satu."Perempuan ikut, Pak?" tanya Bu Amalia."Iya, untuk memasang gorden," kata Pak John. "Perempuan kan lebih mahir hal-hal begituan.""Saya, Pak," tanpa pikir panjang aku langsung me

    Last Updated : 2022-08-29
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 5 Ibunya Sakit

    "Ada apa, Kak?" tanya Anton. Ia mematikan pengeras suara ponselnya dan memandangku biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Padahal perkataan kakaknya sangat menohok perasaanku."...........""Apa?" Anton berseru dengan kaget. Ia bangkit dari kursinya. "Mama sakit?""..........""Iya, aku akan segera pulang."Anton mematikan ponselnya dan segera menyambar jaket dan kunci motornya."Ada apa, Bang?" tanyaku ikut berdiri."Mama sakit." jawabnya sambil naik ke motornya. Dan tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia bergegas melarikan motornya keluar dari pekarangan rumah kosku.Aku kembali duduk termangu. Perkataan Kak Ana kembali terngiang di telingaku."Lho, Anton udah pergi?" Wina muncul dari dalam. "Barusan kudengar suara motor.""Udah, Win," kataku merasa bersyukur lampu teras tadi kumatikan sehingga suasana teras remang-remang hanya diterangi lampu jalan yang jaraknya kira-kira 30 meter dari rumah sehingga Wina tidak melihat mataku yang sembab."Capek, ya," kata Wina. "Aduh, aku nggak bisa

    Last Updated : 2022-08-31
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 6 Tidak Boleh

    Satu bulan sudah berlalu sejak aku tahu kehamilanku dari test pack itu. Aku merasa tubuhku sudah mulai berubah. Aku mulai gemuk. Perutku memang masih rata tapi ada perubahan di bagian-bagian tertentu. Aku memang merasa mual di pagi hari dan terkadang di malam hari juga. Tapi nafsu makanku meningkat di siang hari. Aku tidak tahu bagaimana kondisi kandunganku karena aku belum pernah memeriksakan diri ke dokter spesial kandungan. Aku harap janinku baik-baik saja. Sebisa mungkin kujaga pola asupan makananku dan diam-diam aku minum susu ibu hamil.Aku harus menahan keinginanku untuk bertanya kepada Anton tentang tanggung jawabnya karena kondisi ibunya yang masih dirawat di rumah sakit. Dia terlihat tertekan. Anton memang sangat dekat dengan ibunya dan sepanjang yang kutahu dan juga cerita orang-orang, ibunya juga sangat menanjakan Anton. Dia anak kesayangan Bu Ria. Padahal Anton hanya anak ketiga dari 5 bersaudara.Aku berusaha memenuhi keinginannya. Setiap hari dia menyuruhku ke rumah sak

    Last Updated : 2022-09-03
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 7 Sedih

    Aku segera berlari ke taman. Aku muntah-muntah di dekat tong sampah sambil memegangi perutku. Aku sedih. Bahkan Anton sama sekali tidak menyusulku. Aku menatap nanar ke belakang. Berharap dia muncul tapi halaman rumah sakit sepi. Hanya ada beberapa mobil dan motor terparkir di sana.Setelah perutku lega, aku berdiri. Aku memutuskan berjalan kaki ke rumah karena jaraknya yang memang dekat. Hanya butuh 10 menit berjalan kaki. Aku sengaja berjalan lambat-lambat sambil menghirup udara malam yang berdebu.Tiba-tiba sebuah motor berhenti mendadak di depanku sampai bannya berdecit nyaring. Ternyata Anton. Dia membuka helmnya dan menatapku marah."Apa maksudmu tadi, hah?" bentaknya garang. "Kamu mau bikin mama sakit lagi?""Aku hanya ingin membantu Abang mengatakan yang sebenarnya," kataku."Sama aja kamu membunuh mama." serunya marah."Abang berlebihan." kataku. "Tak ada sedikit pun niatku untuk membunuh mama Abang dan Abang pasti tahu itu.""Kenapa kamu nggak bisa sabar sedikit? Aku tadi ud

    Last Updated : 2022-09-06
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 8 Curhat

    Hari-hari sepertinya berlalu dengan sangat cepat. Perubahan tubuhku juga berkembang sangat pesat. Aku sudah mulai merasakan desas-desus orang sekitarku. Di kantor aku sepertinya sudah menjadi bahan gosip dan gunjingan. Wina dan Sarah juga sering mencuri pandang kepadaku saat kami berada di rumah kos. Aku serba salah. Sedangkan Anton belum memberikan keputusan apa pun. Dia selalu berkilah bahwa ibunya belum sehat benar. Dia takut ibunya shock dan masuk rumah sakit lagi kalau mendengar kabar kehamilanku.Aku mulai stress. Tapi itu malah membuatku semakin bernafsu makan. Tubuhku semakin gemuk. Apalagi pipi dan pinggangku. Padahal hampir setiap malam aku menangis sedih. Kupegangi perutku setiap kali itu terjadi. Berharap janinku tidak ikut merasakan kepedihan hatiku. Pernah di satu titik aku mengharapkan dia jatuh gugur akibat frustrasi yang kurasakan. Aku juga pernah ingin memakan obat keras yang katanya bisa merontokkan janin muda. Tapi aku cepat-cepat tersadar dan mohon ampun kepada Tu

    Last Updated : 2022-09-12
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 9 Tanggung Sendiri

    Aku melepaskan korset dari perutku. Sejenak aku menghirup udara lepas karena perutku yang terasa longgar. Aku mengelus perutku dengan sayang."Maaf, ya, Nak. Mama terpaksa melakukan ini karena mama nggak mau kamu jadi bahan gunjingan orang-orang."Ada perasaan aneh saat aku menyebut diriku 'mama'. Sesuatu bergerak dari dalam sana. Aku terperangah. Kuraba perutku lagi tapi gerakan itu sudah berhenti. Kuulangi lagi tapi dia benar-benar berhenti. "Mungkinkah kamu mendengar mama, Nak?" air mataku menetes, aku terharu. "Kamu yang sabar, ya. Kamu bertahan, ya, Nak. Doakan saja ayah kamu segera menemukan jalan keluarnya supaya kamu bisa bebas."Aku berbaring dan membuka kaosku. Kubiarkan perutku yang sudah membuncit bebas lepas. Aku membelai-belainya dengan penuh kasih sayang."Maafkan mama, ya, Sayang. Seharusnya mama udah bisa lihat kamu di layar USG tapi mama belum bisa, Nak. Mama malu," air mataku bergulir lagi."Tin... Tina...." Wina memanggilku dari luar. "Kamu di kamar?"Darahku tersi

    Last Updated : 2022-09-19
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 10 Pernikahan

    Aku menatap sendu wajah kedua orang tuaku yang duduk di deretan undangan pihak perempuan. Tidak ada kebahagiaan terpancar di wajah kedua orang tercintaku itu, juga dari wajah keluarga dekat kami. Pun dengan keluarga pihak lelaki. Semua menunjukkan wajah datar tanpa senyum yang tidak perlu repot-repot disembunyikan di depan segelintir tamu undangan. Bahkan Kak Ana yang hanya memakai baju kemeja dan rok biasa, seolah-olah bukan saudara kandungnya yang menikah, terang-terangan menunjukkan kebenciannya kepadaku. Sejatinya sebuah pernikahan akan memancarkan keceriaan dan kegembiraan. Tapi tidak dengan pernikahanku ini. Suasananya malah seperti acara berkabung. Ditambah dengan hujan gerimis yang tidak henti-hentinya turun sejak pagi. Pernikahan yang akhirnya terlaksana tiga minggu setelah kami menghadap Bu Ria, yang kini sah menjadi mertuaku. Tiga hari setelah Bu Ria mengetahui kehamilanku, beliau, Pak Joko, dan beberapa keluarga inti Anton mendatangi rumah orang tuaku. Mereka hendak membi

    Last Updated : 2022-09-22
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 11 Kado dan Amplop

    Aku menghenyakkan pantatku di kasur. Aku sangat lelah. Lelah jiwa dan raga. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar Anton. Kamar yang akan kami tempati. Sangat berantakan dan agak sempit. Kamar kosku bahkan masih lebih lapang dibandingkan ini. Puntung rokok berserakan di mana-mana. Maksud hati ingin merebahkan badan sebentar, tapi tak ada tempat yang tersisa di kasur itu. Pakaian Anton menumpuk di atasnya. Menjijikkan.Aku mengelus perutku dengan bibir tersenyum. 'Akhirnya, ya, Nak', bisikku sendu.Perlahan aku membuka sanggul dan bunga melati dan mawar yang disematkan di atasnya dan meletakkannya di atas kasur. Aku membuka kebayaku. Kebaya pengantin yang dijahit ekspress, cuma dua hari. Kebaya yang dalam impianku seharusnya mewah di hari bahagiaku ternyata hanya kebaya sederhana begini. Kebaya yang terpaksa harus kujahitkan ke tukang jahit karena tidak ada kebaya yang muat yang bisa kupinjam. Dengan menahan malu aku mendatangi penjahit yang menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengu

    Last Updated : 2022-09-23

Latest chapter

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 63 Keluargalah Tempatmu Pulang

    Sehari sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah kembali ke rumah kontrakanku ditemani oleh Wina. Kemarin saat aku keluar dari rumah mertuaku, aku mendatangi Wina ke kosnya. Di sana, dalam pelukan sahabatku itu, tanpa dapat kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Kalau di rumah mertuaku, aku tidak bisa menangis dan aku pun tidak tahu kenapa. Rasa marah, dongkol, kesal, kecewa dan entah rasa apa lagi yang menumpuk di rongga dadaku, seakan tersalurkan lewat tangisanku."Menangislah, keluarkan semua bebanmu," kata Wina sambil memeluk aku sangat erat. Dia pun ikut menangis sesenggukan. "Ada apa?" tanya Bu Sari heran mendapati kami berdua berpelukan sambil menangis di kamar Wina. Suara tangisku yang keras membuat beliau mendatangi kamar Wina."Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga ibu akan tahu," jawab Wina.Bu Sari keluar dan menutup kembali pintu kamar. Aku yakin hatinya sekarang penuh tanda tanya dan kebingungan. Tapi seperti kata Wina, beliau juga bakalan segera tahu penyebabnya.Wina me

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 62

    Setelah selesai merekam perbuatan bejat suamiku dengan Lola memakai ponsel Anton, aku segera mengirimnya ke ponselku juga ke grup keluarga kami. Tidak main-main, aku tidak mengirimnya ke grup keluarga kecil kami tapi aku mengirimnya ke 2 grup besar atas nama nenek Anton dari pihak ayah mertuaku yang anggotanya ada 30 orang lebih dan atas nama kakek dari pihak ibu mertuaku, mulai dari anak SD sampai orang tua ada di sana sebagai anggota."Silakan dinikmati pertunjukan gratis ini!" Itu caption yang kutulis sebagai pengantar pesan itu."Aku nggak menyangka kalau kamu bersikap kasar kepadaku dan selalu membela Lola, itu karena ternyata kalian menjalin hubungan?" kataku pelan seolah kepada diriku sendiri. "Betapa bodohnya aku.""Aku memang tidak mencintaimu lagi, Ton. Aku sudah mati rasa sejak menjadi istrimu. Aku bertahan demi anak ini tapi semua sia-sia. Aku memang menuntut cerai dari kamu. Tapi aku tak menyangka akan menyertakan bukti perselingkuhanmu ini juga ke pengadilan. Tadinya ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 61 Zinah

    Terdengar suara kentongan 3 kali dari pos siskamling yang tak jauh dari rumah pertanda sekarang sudah pukul 3 dini hari. Aku menutup mulutku menahan isak tangisku sambil merekam perbuatan bejat lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Perbuatan mereka terekam dengan jelas walaupun kamar itu temaram yang hanya diterangi lampu tidur. Setelah durasinya hampir mencapai 1 menit aku berhenti dan segera mengirimnya ke ponselku. Itu sudah cukup menjadi bukti. Pesanku sudah terkirim dan kulemparkan ponsel Anton begitu saja ke lantai.Dengan sinis kupandangi aktivitas kedua manusia laknat itu dan mundur. Kuhapus air mata di pipiku dengan kasar. Tak sudi rasanya menangisi pria bejat itu. Dengan sengaja kuraih daun pintu dan kuhempaskan dengan keras. Suaranya berdentam keras di malam sunyi itu. Segera kunyalakan lampu Kedua makhluk yang sedang berbagi peluh itu terkejut dan menoleh ke belakang. Aku tak dapat menggambarkan betapa terkejutnya mereka melihatku berdiri di ambang pintu dan menatap mer

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 60 Tertangkap Basah

    "Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 59 POV Lola

    Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 58 POV Anton (2)

    POV Anton"Ton, kamu di mana?"Terdengar suara manja mendayu dari arah depan. Kulirik jam. Sudah jam 6 sore. Wajah ceria Lola muncul dari balik gorden pembatas ruang depan dan ruang tamu."Kok lama amat pulangnya?" tegurku kesal."Kangen, ya?" dengan manja Lola bergelayut di lenganku tapi segera kutepis. Dia cemberut. "Kok gitu sih?""Kamu jangan macam-macam. Ini di rumah, ada Tina juga," kataku sambil melihat ke depan, siapa tahu mereka sudah kembali dari jalan-jalan."Mereka masih di luar. Tadi aku lewati di ujung jalan mereka ngobrol dengan Pak Johan," kata Lola. "Ana belum pulang kan?""Dia kan lagi dinas luar," jawabku."Berarti kita bebas dong," Lola mengedipkan sebelah mata kepadaku dan memelukku erat."Jaga sikapmu!" kataku setengah membentak."Apaan sih, Ton?" Lola duduk menjauh dengan muka ditekuk. "Toh kita akan bersama juga kan? Biar aja mereka tahu!""Iya, tapi nggak sekarang juga. Mama masih sakit," bentakku."Awas kalau kamu ingkar. Habis kamu!" ancam Lola sebelum beran

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 57 POV Anton (1)

    POV AntonAku berdiri di ambang pintu kamar mama dan melihat semua yang dikerjakan oleh Tina, istriku, di sana. Dia dengan telaten dan sabar menyuapi mama makan. Dia sabar menunggu sampai mama benar-benar menelan buburnya. Sisa-sisa makanan yang belepotan di mulut mama, dibersihkannya dengan tisu. Mama begitu sumringah menerima perlakuan Tina. Wajahnya berbinar dan matanya selalu menatap wajah Tina seolah-olah dia baru pertama kali mengenal Tina.Aku heran. Mama hanya mau dirawat oleh Tina. Sudah seminggu ini memang ada perawat untuk mama. Dia bekerja mulai dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Tugasnya adalah memandikan, menyuapi, pokoknya mengurus segala keperluan mama selama rentang waktu tersebut. Tapi kalau sore sudah tiba, saat Ratih, perawat itu, pulang, mama hanya mau dirawat oleh Tina. Terkadang aku kasihan melihat dia bergerak dengan lamban karena perutnya yang semakin besar.Aku berusaha membantu tapi mama selalu menolakku. Seperti tadi, Tina terlambat datang. Aku tidak tahu d

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 56 Di Rumah Sakit

    "Lebih baik jadi janda daripada hidup dengan orang jahat. Untuk apa punya suami kalau aku harus hidup sendiri dan berjuang sendiri," kataku sambil menatap Anton telak.Anton menatapku tidak suka sementara Lola juga mendelik dari belakangnya. Pak Joko menghela nafas berat. Sesekali beliau menatap ke arah tempat tidur di mana istrinya terbaring."Tin, bapak tahu ini sangat berat dan perbuatan Anton memang tidak bisa ditolerir," kata Pak Joko. "Tapi maukah kamu mempertimbangkannya setidaknya biarlah sampai cucu bapak lahir."Aku tersentak mendengar permintaan mertuaku itu. Aku memandangi Anton. Sejak pertengkaran itu bahkan sejak aku tinggal lagi di rumah mertuaku, dia sama sekali tak ada usaha untuk berdamai denganku. Dia malah semakin hari semakin kompak dengan Lola. Terlebih dalam hal menghina aku. Lihatlah, harusnya dia yang mengatakan apa yang dikatakan mertuaku tapi dia malah sikut-sikutan dengan Lola. Mungkin mereka ingin aku segera mengurus perceraian itu sehingga mereka keberata

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 55 Apa Gunanya Punya Suami Tapi...

    "Maaf, ya, Tin, aku tak pernah tahu keadaan kamu selama ini."Aku menatap Kak Reni. Selama aku menikah, baru kali ini aku berbicara sedekat ini dengan dia. Walaupun aku sempat tinggal di rumah ini di awal pernikahan dulu, tapi aku sangat jarang bertemu dengan Kak Reni. Dia tinggal di rumah kontrakan yang dekat ke sekolah tempat dia mengajar. Paling banyak kami bertemu 3 kali, itu pun hanya sekadar bertegur sapa."Aku nggak menyangka kalau Anton ternyata mengabaikan kamu," lanjut Kak Reni. "Jadi persiapan perlengkapan bayi dan kamu melahirkan udah beres?""Belum, Kak," aku menggeleng. "Aku baru membeli sebagian.""Kamu nggak usah beli banyak-banyak. Toh anak bayi sangat cepat pertumbuhannya. Kayak kain bedong dan popok, paling lama dipakai sebulan. Kamu mau nggak pakai yang bekas?" tanya Kak. Reni."Bekas?" aku mengernyitkan kening tanda tak mengerti."Maksudku, aku masih menyimpan punya anak-anak. Kamu masih bisa pakai itu," jelas Kak Reni."Boleh, Kak?" mataku berbinar. "Aku maulah,

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status