Share

Bab 3 Gugurkan

"Aku HAMIL!" Kataku tanpa berpikir panjang karena aku sudah dikuasai amarah.

Mendadak hening. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Anton di sana. Terkejut? Shock? Kenapa dia diam?

"Bang..." Aku mengecek ponselku. Masih menyala. Aku pikir dia sudah mematikannya seperti biasa kalau dia marah.

"Apa kamu bilang?" Akhirnya aku mendengar suaranya lagi. "Ha... Hamil?"

"Iya, Bang. Aku hamil," jawabku.

"Kok bisa?"

"Maksudnya apa kok bisa?" Aku mulai marah lagi tapi aku tetap menjaga suaraku tetap stabil. Bisa saja Wina mendengar dari kamar sebelah.

"Maksudku... Eh..." Dia tergagap. "Kamu tahu dari mana?"

"Ya, aku pake test pack lah," seruku tertahan. "Jadi bagaimana ini?"

"Bagaimana apa?" Tanya Anton balik.

"Hamilku ini, Bang," aku menahan marah.

"Gugurkan aja," katanya enteng.

"APA?" Kali ini suaraku menggelegar.

"Kenapa, Tin?" Wina menegur dari kamarnya. Aku kaget. Ternyata dia masih bangun padahal sudah hampir jam 12 malam.

"Eh, nggak, Win, biasa lagi nelpon sama Anton," jawabku.

"Apa maksud Abang gugurkan?" Bisikku setelah tak terdengar lagi suara Wina.

"Ya, janinmu gugurkan aja," ulangnya masih dengan nada enteng.

"Astaga, Bang," aku ternganga. Janinku katanya?

"Besok aja kita bicarakan lagi. Aku capek. Dengar kabar kayak gini malah bikin kepalaku rasanya mau pecah."

Aku menggeram marah. Gugurkan katanya? Enteng benar dia ngomong begitu. Dan apa katanya tadi? Capek? Kepalanya mau pecah? Memangnya ini perbuatanku seorang diri. Aku menangis tersedu-sedu di atas bantal. Rasanya berlipat-lipat kali menyiksa karena aku nggak bisa melampiaskannya dengan menangis keras-keras. Aku tidak tahu sampai jam berapa aku terjaga dan menangis. Tapi saat aku bangun, mataku sudah bengkak dan memerah.

"Kamu berantem sama Anton?" Tanya Wina saat melihat mataku bengkak.

Aku diam saja. Wina pasti juga sudah tahu dari kondisiku.

"Kamu pasti menangis tadi malam, ya. Tuh, lihat mata kamu bengkak kayak mata kodok," kata Wina. "Kompres sana pake es."

"Iya, ntar lagi aja," jawabku. Suaraku sedikit sengau.

Dan sekuat tenaga kutahan rasa mual yang muncul saat mencium bau masakan Wina. Aku segera ke kamar mandi dan menghidupkan air keras-keras. Aku muntah.

"Kamu udah langsung mandi aja, Tin? Nggak bikin sarapan? Tanya Wina.

"Nggak dengar!" Aku pura-pura berteriak. Padahal suara Wina terdengar jelas kok. Dia malah yang tidak bisa mendengar suaraku. Aku menekan suara muntah-muntahku.

"Masuk angin lagi?" Tanya Wina saat aku keluar dari kamar mandi. "Makanya jangan begadang sampai larut malam. Kayaknya kamu lebih banyak berantemnya deh sama Anton daripada rukunnya."

Aku tidak menjawabnya. Aku melewatinya dan masuk ke kamar. Wina benar. Baru tujuh bulan kami pacaran, kami memang lebih banyak ribut. Aku tidak mengerti sifat Anton. Moodnya bisa berubah sangat cepat. Sebentar masih baik-baik saja, masih bercanda, eh tiba-tiba dia bisa sangat marah. Dia bahkan pernah hampir memukul aku karena aku terlambat membeli rokoknya.

Aku bertahan selama ini karena aku tidak mau dia meninggalkan aku setelah dia mengambil semua hal berharga yang kumiliki. Aku tidak mau dia merasakan enaknya saja. Dia harus bertanggung jawab.

***

"Kamu serius lagi hamil?" Tanya Anton saat sore harinya kami akhirnya bertemu. Dia membawaku ke sebuah taman di pinggir danau. Kami duduk di bangku panjang yang tersedia di taman itu.

"Abang pikir aku bohong?" Aku balik bertanya.

"Kamu bilang kamu tahu dari test pack. Emangnya itu valid? Tanya Anton ragu.

"Nih!" Aku meletakkan ketujuh test pack bergaris dua itu ke hadapannya. Aku sengaja membawanya. "Kalau cuma 1 atau 2 kali tes, mungkin bisa terjadi kekeliruan. Tapi ini 7, Bang. Aku mengetesnya tiap hari dalam seminggu ini. Dan kemarin aku sengaja membeli yang paling mahal karena katanya hasilnya 99 % akurat. Dan tetap aja hasilnya garis dua."

Anton segera meraup semua test pack itu tanpa melihatnya dan menyodorkannya ke tanganku. Matanya sibuk melihat sekeliling seakan takut ada yang melihat. "Simpan lagi!"

"Bisa aja kita masih punya kemungkinan 1%," katanya masih berusaha menyangkal.

"Kalau begitu, kita ke dokter aja," aku menantangnya.

"Gila kamu!" Kata Anton tanpa pikir panjang.

"Kenapa? Kita kan butuh kepastian," kataku.

"Kota ini sangat kecil, Tin. Gosip apa pun akan cepat menyebar," katanya.

Benar. Tempat yang kami tinggali ini memang ibukota kabupaten tapi masih merupakan kota kecil yang baru berkembang. Hampir semua penduduk di sini saling mengenal. Bahkan antar kecamatan pun sebagian besar masih punya ikatan kekeluargaan.

"Jadi gimana? Abang tidak yakin tapi aku sendiri sudah sangat yakin kalau aku hamil. Tiap pagi dan malam aku selalu muntah-muntah karena mual," kataku sambil menyimpan test pack itu ke tasku.

"Kamu gugurkan ajalah!" Kata yang sama yang diucakannya tadi malam kembali dilontarkannya tanpa merasa bersalah. Dan aku tetap terkejut mendengarnya.

"Gampang sekali Abang ngomong gugurkan," seruku marah.

"Jadi mau kamu apa?" Dia juga marah.

"Abang harus tanggung jawab!"

"Apa? Tanggung jawab?" Anton berdiri dan bertolak pinggang. "Dengan cara apa? Menikahi kamu?"

"Iya!" Jawabku tegas.

"Hahahahaha..." Anton tertawa terbahak-bahak. "Kamu jangan bercanda. Aku belum kepikiran ke arah sana. Aku masih muda."

"Emangnya aku udah tua?" Seruku tertahan. "5 bulan lagi aku baru 20 tahun, Bang!"

"Coba kamu pikir, aku masih punya kakak yang belum menikah. Nggak mungkin aku melangkahi dia kan?" Kata Anton.

"Tapi nggak mungkin juga janin ini kamu biarkan tumbuh tanpa ikatan sah dari orang tuanya. Kita tidak hidup di negara Barat, Bang!"

"Makanya aku bilang gugurkan!" Katanya dengan suara berbisik di telingaku tapi dengan nada penuh ancaman.

"Aku nggak mau," kataku spontan.

Beberapa pengunjung taman itu menoleh kepada kami. Mungkin mereka menyadari pertengkaran kami karena mereka berbisik satu sama lain. Anton mendelik ke arah mereka membuat mereka segera mengalihkan pandangan ke tempat lain.

"Tina, aku sangat menghormati kakakku. Aku segan sama dia. Kamu tahu itu. Aku nggak mungkin melangkahi dia," lanjut Anton. "Kamu juga. Kakak dan abang kamu belum menikah, masa kamu mau melangkahi mereka sekali dua?"

"Aku akan kasih mereka pengertian," kataku.

" Dengan ngasih tahu kalau kamu hamil?" Apa kamu nggak malu"?

"Aku akan lebih malu kalau perutku ini makin besar."

"Makanya sebelum membesar lakukan apa yang aku bilang. Mumpung masih muda, masih gampang membuangnya."

Hatiku sakit mendengarnya. Gampang sekali dan tanpa beban dia mengatakan hal seperti itu. Membuangnya? Darah dagingnya sendiri?

"Kamu jangan egois, Tin!" Suara Anton menyentakkanku dari lamunan.

Egois? Aku menatapnya. "Aku egois? Kenapa Abang bilang aku egois?"

"Kamu nggak memikirkan perasaan kakakku. Padahal aku udah bilang alasanku kenapa belum mau menikah."

"Terus apakah Abang memikirkan perasaanku? Aku rasa kakakmu juga bisa menerima kalau kamu ngomong baik-baik!".

"Aku nggak mau membebani pikiran kakakku," katanya. "Dan kamu jangan lupa bahwa ayahku seorang kepala desa dan ibuku seorang kepala sekolah. Mereka orang terhormat! Aku nggak mau merusak rasa hormat orang-orang terhadap mereka."

Jantungku berdebar keras bagai dipalu godam mendengat penuturan Anton. Apa hubungannya status orang tuanya dengan masalah kami ini?

"Apa hubungannya dengan kita?"

"Tentu aja ada. Kalau mereka membuat hajatan, mereka harus punya persiapan yang panjang. Sama kayak abangku yang sulung saat menikah dulu."

Jadi itu persoalannya? Hanya demi gengsi dan kehormatan? Dan bisa-bisanya dia bicara tentang hajatan sekarang?

"Aku juga nggak bilang harus menikah besok," kataku. "Masih perlu persiapan juga. Dan aku juga nggak bilang harus pesta besar. Cukup acara pemberkatan aja. Kalau masalah pesta adat bisa kita pikirkan nanti."

"Belum ada sejarahnya dalam keluarga kami ada pernikahan tanpa pesta adat," kata Anton. " Aku juga mau pesta meriah kayak abangku dulu."

"Tapi ini kondisinya berbeda, Bang," aku mulai putus asa. Aku menangis.

"Udah, jangan menangis. Malu dilihat orang-orang," katanya. "Kita pulang aja. Kamu pikirkan cara yang aku bilang tadi. Yang pasti aku nggak mau menyusahkan orang tuaku. Kalau kamu nggak mau, kita putus aja!"

Aku ternganga mendengar perkataannya. Putus? Enak saja dia melenggang tanpa tanggung jawab. Sedangkan saat kesucianku direnggutnya pertama kali, sejak itu aku tidak mau melepaskannya sesakit apa pun perlakuannya. Dia harus bertanggung jawab. Apalagi sekarang ada anaknya dalam rahimku.

"Aku akan pikirkan," kataku akhirnya.

Aku pikir dia harus dihadapi dengan kepala dingin. Tapi aku bertekad untuk tidak melakukan sarannya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status