Share

Bab 5 Ibunya Sakit

Penulis: Hans Yunata
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-31 08:35:56

"Ada apa, Kak?" tanya Anton. Ia mematikan pengeras suara ponselnya dan memandangku biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Padahal perkataan kakaknya sangat menohok perasaanku.

"..........."

"Apa?" Anton berseru dengan kaget. Ia bangkit dari kursinya. "Mama sakit?"

".........."

"Iya, aku akan segera pulang."

Anton mematikan ponselnya dan segera menyambar jaket dan kunci motornya.

"Ada apa, Bang?" tanyaku ikut berdiri.

"Mama sakit." jawabnya sambil naik ke motornya. Dan tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia bergegas melarikan motornya keluar dari pekarangan rumah kosku.

Aku kembali duduk termangu. Perkataan Kak Ana kembali terngiang di telingaku.

"Lho, Anton udah pergi?" Wina muncul dari dalam. "Barusan kudengar suara motor."

"Udah, Win," kataku merasa bersyukur lampu teras tadi kumatikan sehingga suasana teras remang-remang hanya diterangi lampu jalan yang jaraknya kira-kira 30 meter dari rumah sehingga Wina tidak melihat mataku yang sembab.

"Capek, ya," kata Wina. "Aduh, aku nggak bisa membayangkan kalau kita akhirnya jadi berkantor di sana. Jauhhhh...."

"Iya, kenapa juga pemerintah harus memilih lokasi di sana," kataku menimpali.

"Lokasi itu kan pemberian masyarakat di sana supaya daerah itu maju. Mana sanggup pemerintah membeli lahan seluas itu untuk perkantoran sedangkan kabupaten ini masih baru. Masih 4 tahun. Ibarat manusia, kita masih mau masuk pra sekolah. Lagi lucu-lucunya," kata Wina.

"Nggak ada rencana pindah ke sana, Win?"

"Pindah? Kayaknya nggak deh, Tin. Toh kita lebih banyak berurusan di sini. Pasar di sini, bank di sini, terus kalau aku pulang kampung nanti makin ribet juga," jawab Wina. "Kamu?"

"Sama." jawabku. "Lagian kabarnya kita akan disediakan transportasi umum juga."

"Semoga aja. Kalau tiap hari naik motor ke sana bisa ambruk juga badan ini," kata Wina. "Kita tetap di sini aja, Tin. Kalau busnya nggak jalan, kita bisa gantian boncengan."

"Betul." jawabku asal.

"Tuh, ponselmu nyala," Wina menunjuk saku bajuku yang bercahaya karena ponselku ada yang menghubungi. Tadi memang sengaja kubuat mode diam.

Aku mengeluarkan ponselku dan melihat nama Anton di layarnya.

"Mama di rumah sakit." katanya langsung.

"Sakit? Bibi kenapa?"

"Gulanya naik. Kamu ke sini, ya!"

Dia langsung mematikan sambungan telepon. Kebiasaan buruknya tak pernah berubah. Tapi kali ini kumaklumi karena mungkin dia sedang kalut.

Wina menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Mamanya Anton sakit dan sekarang di rumah sakit." kataku.

"Kamu mau ke sana?" Wina melihat jam tangannya. " Ini udah jam 10 lho."

"Iya. Pinjam motormu, ya, Win."

"Boleh. Aku ambilkan kuncinya dulu, ya." Wina beranjak masuk dan aku mengikutinya untuk mengganti pakaian. "Tapi aku nggak bisa menemani kamu, ya."

"Iya, nggak apa-apa."

Aku memasuki rumah sakit milik pemerintah itu dengan jantung berdebar lebih cepat. Aku memang sudah mengenal Bu Ria, mamanya Anton, dari awal kami pacaran. Beliau gemuk dan pendek, menurutku malah sudah obesitas. Dia selalu bersikap biasa saja bahkan terkesan cuek kalau kami bertemu. Entah beliau menyukaiku atau tidak.

Aku membuka pintu ruangan kelas Mawar itu. Di sana sudah ada Anton, Pak Joko, ayahnya, Kak Ana, abang sulungnya, dan Denny si anak bungsu yang masih duduk di kelas 6 SD itu menangis menggenggam tangan ibunya. Bu Ria mengelus rambut anaknya sambil berusaha tersenyum.

Aku mengangguk kikuk kepada ayahnya dan kepada semua orang yang ada di ruangan itu dan mendekati ranjang pasien. Bu Ria memandangiku.

"Udah baikan, Bi?" akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Sungguh mati aku merasa sangat asing berada di sana. Apalagi saudara-saudara Anton menatapku tak suka.

Bu Ria mengangguk. Nafasnya agak berat.

"Maaf, ya, bapak-ibu keluarga pasien," seorang perawat masuk membuatku menghela nafas lega. "Yang bisa jaga ibu ini di sini maksimal 2 orang, ya. Yang lain boleh pulang."

"Berarti yang jaga Anton dan kamu Ana," terdengar suara bass Pak Joko, ayahnya.

"Ok, Pak," jawab Kak Ana cepat.

"Iya, Pak." jawaban Anton juga sama.

"Sekarang kondisi pasien sudah stabil, jadi keluarga boleh pulang kecuali yang menjaga." kata perawat itu lagi.

"Ton, kamu aja yang pulang mengambil selimut dan yang lainnya ke rumah," kata Kak Ana.

"Ok, Kak." jawab Anton.

"Semoga lekas sembuh, ya, Bi." kataku sebelum pulang.

Bu Ria mengangguk. Kami beriringan keluar dari rumah sakit menuju parkiran.

"Kamu naik apa tadi?" tanya Anton.

"Pinjam motornya si Wina." jawabku.

Pak Joko, Daniel, abang sulung Anton, dan Denny pulang dengan mobil mereka. Aku dan Anton berkendara beriringan. Setelah melewati simpang rumah mereka, Anton masih tetap mengikutiku.

"Abang langsung pulang aja," kataku agak keras mengatasi suara ribut motor kami dan juga kendaraan lain yang masih berseliweran.

Anton tidak menjawab. Ada sedikit rasa bahagia di hatiku. Mungkinkah dia khawatir dengan kondisiku sehingga dia mengantarku pulang? Apalagi ini sudah hampir jam 12 malam. Aku tersenyum kecil dalam keremangan malam. Tapi senyumku langsung pudar saat kami sampai di kosku.

"Aku pinjam dulu uang kamu."

"Aku pinjam dulu uang kamu," katanya.

Ooh... jadi dia mengikutiku untuk minta uang? Aku malu sendiri sempat berpikir dia perhatian padaku. Pinjam katanya? Sejak dulu kata itu yang selalu dipakainya untuk meminta uangku tapi tak pernah dikembalikannya.

"Buat apa?" tanyaku basa basi.

"Untuk jaga-jagalah."

"Jaga-jaga buat apa?" tanyaku lagi.

"Nggak usah banyak tanyalah. Kamu kan lihat mama lagi sakit? Tentu butuh uanglah."

"Emangnya Abang yang bayar? Kan masih ada Paman. Uang Bibi juga pasti ada."

"Kalau nanti ada sesuatu apa aku harus minta sama Bapak? Misalnya dokter menyuruh mengambil obat ke apotek?"

"Setahuku, semua biaya akan dibayar pada saat pasien mau pulang." aku masih bertahan. "Lagian ada Kak Ana. Dia pasti ada uang juga."

"Kamu kok gitu sih? Perhitungan amat? Itu mamaku yang sakit. Calon mertua kamu."

Mendengar kata 'calon mertua' darahku tersirap sejenak. Apa Anton sudah ngomong ke orang tuanya? Tapi tidak mungkin mengingat pertengkaran kami tadi sore sebelum dia ke rumah sakit.

"Tapi aku nggak ada uang, Bang."

"Masa nggak ada? Kan baru gajian." katanya.

"Terus gaji Abang ke mana?" kubalikkan kata-katanya.

"Kita beda. Aku perlu beli rokok, beli tuak sekali-sekali," katanya enteng. "Kadang-kadang mentraktir teman minum."

"Abang nggak dipaksa membeli itu semua. Itu bukan kebutuhan utama." kataku ketus.

"Ada nggak nih?" dia mulai menggeber motornya. Hal yang sering dilakukannya kalau sedang marah atau kesal. Karena takut mengganggu tetangga, biasanya aku selalu mengalah. Kali ini juga karena aku takut tetangga akan keluar dan memarahi kami. Aku melangkah ke rumah dan mengambil dompetku.

"Nih!" aku memberikan tiga lembar uang seratus ribu rupiah ke tangannya.

"Mana cukup ini?" katanya enteng.

"Aku hanya punya itu. Kalau Abang nggak mau, sini!" aku mengambil uangku lagi tapi segera dimasukkannya ke saku bajunya

"Ya, udah. Aku pergi dulu."

Aku menghela nafas berat berusaha menebah dada. Selalu saja begitu.

bersambung...

Bab terkait

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 6 Tidak Boleh

    Satu bulan sudah berlalu sejak aku tahu kehamilanku dari test pack itu. Aku merasa tubuhku sudah mulai berubah. Aku mulai gemuk. Perutku memang masih rata tapi ada perubahan di bagian-bagian tertentu. Aku memang merasa mual di pagi hari dan terkadang di malam hari juga. Tapi nafsu makanku meningkat di siang hari. Aku tidak tahu bagaimana kondisi kandunganku karena aku belum pernah memeriksakan diri ke dokter spesial kandungan. Aku harap janinku baik-baik saja. Sebisa mungkin kujaga pola asupan makananku dan diam-diam aku minum susu ibu hamil.Aku harus menahan keinginanku untuk bertanya kepada Anton tentang tanggung jawabnya karena kondisi ibunya yang masih dirawat di rumah sakit. Dia terlihat tertekan. Anton memang sangat dekat dengan ibunya dan sepanjang yang kutahu dan juga cerita orang-orang, ibunya juga sangat menanjakan Anton. Dia anak kesayangan Bu Ria. Padahal Anton hanya anak ketiga dari 5 bersaudara.Aku berusaha memenuhi keinginannya. Setiap hari dia menyuruhku ke rumah sak

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-03
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 7 Sedih

    Aku segera berlari ke taman. Aku muntah-muntah di dekat tong sampah sambil memegangi perutku. Aku sedih. Bahkan Anton sama sekali tidak menyusulku. Aku menatap nanar ke belakang. Berharap dia muncul tapi halaman rumah sakit sepi. Hanya ada beberapa mobil dan motor terparkir di sana.Setelah perutku lega, aku berdiri. Aku memutuskan berjalan kaki ke rumah karena jaraknya yang memang dekat. Hanya butuh 10 menit berjalan kaki. Aku sengaja berjalan lambat-lambat sambil menghirup udara malam yang berdebu.Tiba-tiba sebuah motor berhenti mendadak di depanku sampai bannya berdecit nyaring. Ternyata Anton. Dia membuka helmnya dan menatapku marah."Apa maksudmu tadi, hah?" bentaknya garang. "Kamu mau bikin mama sakit lagi?""Aku hanya ingin membantu Abang mengatakan yang sebenarnya," kataku."Sama aja kamu membunuh mama." serunya marah."Abang berlebihan." kataku. "Tak ada sedikit pun niatku untuk membunuh mama Abang dan Abang pasti tahu itu.""Kenapa kamu nggak bisa sabar sedikit? Aku tadi ud

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-06
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 8 Curhat

    Hari-hari sepertinya berlalu dengan sangat cepat. Perubahan tubuhku juga berkembang sangat pesat. Aku sudah mulai merasakan desas-desus orang sekitarku. Di kantor aku sepertinya sudah menjadi bahan gosip dan gunjingan. Wina dan Sarah juga sering mencuri pandang kepadaku saat kami berada di rumah kos. Aku serba salah. Sedangkan Anton belum memberikan keputusan apa pun. Dia selalu berkilah bahwa ibunya belum sehat benar. Dia takut ibunya shock dan masuk rumah sakit lagi kalau mendengar kabar kehamilanku.Aku mulai stress. Tapi itu malah membuatku semakin bernafsu makan. Tubuhku semakin gemuk. Apalagi pipi dan pinggangku. Padahal hampir setiap malam aku menangis sedih. Kupegangi perutku setiap kali itu terjadi. Berharap janinku tidak ikut merasakan kepedihan hatiku. Pernah di satu titik aku mengharapkan dia jatuh gugur akibat frustrasi yang kurasakan. Aku juga pernah ingin memakan obat keras yang katanya bisa merontokkan janin muda. Tapi aku cepat-cepat tersadar dan mohon ampun kepada Tu

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-12
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 9 Tanggung Sendiri

    Aku melepaskan korset dari perutku. Sejenak aku menghirup udara lepas karena perutku yang terasa longgar. Aku mengelus perutku dengan sayang."Maaf, ya, Nak. Mama terpaksa melakukan ini karena mama nggak mau kamu jadi bahan gunjingan orang-orang."Ada perasaan aneh saat aku menyebut diriku 'mama'. Sesuatu bergerak dari dalam sana. Aku terperangah. Kuraba perutku lagi tapi gerakan itu sudah berhenti. Kuulangi lagi tapi dia benar-benar berhenti. "Mungkinkah kamu mendengar mama, Nak?" air mataku menetes, aku terharu. "Kamu yang sabar, ya. Kamu bertahan, ya, Nak. Doakan saja ayah kamu segera menemukan jalan keluarnya supaya kamu bisa bebas."Aku berbaring dan membuka kaosku. Kubiarkan perutku yang sudah membuncit bebas lepas. Aku membelai-belainya dengan penuh kasih sayang."Maafkan mama, ya, Sayang. Seharusnya mama udah bisa lihat kamu di layar USG tapi mama belum bisa, Nak. Mama malu," air mataku bergulir lagi."Tin... Tina...." Wina memanggilku dari luar. "Kamu di kamar?"Darahku tersi

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-19
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 10 Pernikahan

    Aku menatap sendu wajah kedua orang tuaku yang duduk di deretan undangan pihak perempuan. Tidak ada kebahagiaan terpancar di wajah kedua orang tercintaku itu, juga dari wajah keluarga dekat kami. Pun dengan keluarga pihak lelaki. Semua menunjukkan wajah datar tanpa senyum yang tidak perlu repot-repot disembunyikan di depan segelintir tamu undangan. Bahkan Kak Ana yang hanya memakai baju kemeja dan rok biasa, seolah-olah bukan saudara kandungnya yang menikah, terang-terangan menunjukkan kebenciannya kepadaku. Sejatinya sebuah pernikahan akan memancarkan keceriaan dan kegembiraan. Tapi tidak dengan pernikahanku ini. Suasananya malah seperti acara berkabung. Ditambah dengan hujan gerimis yang tidak henti-hentinya turun sejak pagi. Pernikahan yang akhirnya terlaksana tiga minggu setelah kami menghadap Bu Ria, yang kini sah menjadi mertuaku. Tiga hari setelah Bu Ria mengetahui kehamilanku, beliau, Pak Joko, dan beberapa keluarga inti Anton mendatangi rumah orang tuaku. Mereka hendak membi

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-22
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 11 Kado dan Amplop

    Aku menghenyakkan pantatku di kasur. Aku sangat lelah. Lelah jiwa dan raga. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar Anton. Kamar yang akan kami tempati. Sangat berantakan dan agak sempit. Kamar kosku bahkan masih lebih lapang dibandingkan ini. Puntung rokok berserakan di mana-mana. Maksud hati ingin merebahkan badan sebentar, tapi tak ada tempat yang tersisa di kasur itu. Pakaian Anton menumpuk di atasnya. Menjijikkan.Aku mengelus perutku dengan bibir tersenyum. 'Akhirnya, ya, Nak', bisikku sendu.Perlahan aku membuka sanggul dan bunga melati dan mawar yang disematkan di atasnya dan meletakkannya di atas kasur. Aku membuka kebayaku. Kebaya pengantin yang dijahit ekspress, cuma dua hari. Kebaya yang dalam impianku seharusnya mewah di hari bahagiaku ternyata hanya kebaya sederhana begini. Kebaya yang terpaksa harus kujahitkan ke tukang jahit karena tidak ada kebaya yang muat yang bisa kupinjam. Dengan menahan malu aku mendatangi penjahit yang menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengu

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-23
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 12 Bagi-bagi Amplop

    "Ambilkan, Tin," teriak Anton.Aku menatapnya tak percaya. "Tapi, Bang...""Susah amat sih? Kalau mama bilang ambil, ya, ambil," katanya dengan mata melotot."Tapi itu hutang kita, Bang. Kita harus membalasnya nanti. Kita aja belum mencatat siapa aja yang memberikan amplop itu." aku berusaha memberikan pengertian."Tina, kamu kok bodoh amat sih? Kamu kan tahu siapa aja yang datang tadi. Kalau mereka mengundangmu nanti, kamu kan tinggal membalas pemberian mereka," sela Kak Ana."Tapi saya belum mencatatnya, Kak.""Untuk apa? Kamu mau membalas mereka sebesar berapa yang mereka kasih? Begitu?" kali ini ibu mertua yang menyela dengan tawa mengejek."Baiklah." aku tak punya pilihan lain lagi. Akhirnya aku kembali ke kamar dan mengambil semua amplop pemberian undangan tadi siang. Setelah kuhitung ada 20 amplop. Satu di antaranya agak tebal. Setelah kubaca nama di sampulnya, ternyata atas nama kantor tempatku bekerja. Aku segera memasukkannya kembali ke tasku."Ini, Ma..."Bu Ria segera menya

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-26
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 13 Tidak Penting

    "Dan kamu juga jangan berani membantah aku!" telunjuknya menuding aku tepat di depan mataku."Kenapa? Itu sebabnya Abang ikut memarahi aku di depan mama dan keluargamu?" tanyaku. Nafasku tersengal. Perutku mulai tak nyaman."Itu karena kamu berani nyolot." seru Anton."Bukan nyolot, Bang. Siapa pun pasti nggak rela kalau uang dan kado itu dibagi-bagi tanpa izin yang punya.""Aku yang ngasih izin sama mereka.""Emangnya itu punya Abang sendiri? Harusnya Abang minta pendapatku juga, Bang. Aku istrimu. Dan aku juga berhak atas semua itu."Anton tertawa terkekeh dan memandangku dengan tatapan melecehkan."Kalau bukan karena buntingmu itu," matanya dilebarkan menunjuk perutku. "Aku takkan pernah menikahi kamu.""Benar. Kalau bukan karena anak ini, aku juga nggak akan sudi menikah dengan kamu!" kataku dengan bibir bergetar memeluk perutku sambil berdoa dalam hati semoga anakku tidak mendengar ucapan ayahnya."Hahaha... Bisa apa kamu tanpa aku?" Anton tertawa meremehkan kemudian ia keluar ka

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-27

Bab terbaru

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 63 Keluargalah Tempatmu Pulang

    Sehari sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah kembali ke rumah kontrakanku ditemani oleh Wina. Kemarin saat aku keluar dari rumah mertuaku, aku mendatangi Wina ke kosnya. Di sana, dalam pelukan sahabatku itu, tanpa dapat kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Kalau di rumah mertuaku, aku tidak bisa menangis dan aku pun tidak tahu kenapa. Rasa marah, dongkol, kesal, kecewa dan entah rasa apa lagi yang menumpuk di rongga dadaku, seakan tersalurkan lewat tangisanku."Menangislah, keluarkan semua bebanmu," kata Wina sambil memeluk aku sangat erat. Dia pun ikut menangis sesenggukan. "Ada apa?" tanya Bu Sari heran mendapati kami berdua berpelukan sambil menangis di kamar Wina. Suara tangisku yang keras membuat beliau mendatangi kamar Wina."Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga ibu akan tahu," jawab Wina.Bu Sari keluar dan menutup kembali pintu kamar. Aku yakin hatinya sekarang penuh tanda tanya dan kebingungan. Tapi seperti kata Wina, beliau juga bakalan segera tahu penyebabnya.Wina me

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 62

    Setelah selesai merekam perbuatan bejat suamiku dengan Lola memakai ponsel Anton, aku segera mengirimnya ke ponselku juga ke grup keluarga kami. Tidak main-main, aku tidak mengirimnya ke grup keluarga kecil kami tapi aku mengirimnya ke 2 grup besar atas nama nenek Anton dari pihak ayah mertuaku yang anggotanya ada 30 orang lebih dan atas nama kakek dari pihak ibu mertuaku, mulai dari anak SD sampai orang tua ada di sana sebagai anggota."Silakan dinikmati pertunjukan gratis ini!" Itu caption yang kutulis sebagai pengantar pesan itu."Aku nggak menyangka kalau kamu bersikap kasar kepadaku dan selalu membela Lola, itu karena ternyata kalian menjalin hubungan?" kataku pelan seolah kepada diriku sendiri. "Betapa bodohnya aku.""Aku memang tidak mencintaimu lagi, Ton. Aku sudah mati rasa sejak menjadi istrimu. Aku bertahan demi anak ini tapi semua sia-sia. Aku memang menuntut cerai dari kamu. Tapi aku tak menyangka akan menyertakan bukti perselingkuhanmu ini juga ke pengadilan. Tadinya ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 61 Zinah

    Terdengar suara kentongan 3 kali dari pos siskamling yang tak jauh dari rumah pertanda sekarang sudah pukul 3 dini hari. Aku menutup mulutku menahan isak tangisku sambil merekam perbuatan bejat lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Perbuatan mereka terekam dengan jelas walaupun kamar itu temaram yang hanya diterangi lampu tidur. Setelah durasinya hampir mencapai 1 menit aku berhenti dan segera mengirimnya ke ponselku. Itu sudah cukup menjadi bukti. Pesanku sudah terkirim dan kulemparkan ponsel Anton begitu saja ke lantai.Dengan sinis kupandangi aktivitas kedua manusia laknat itu dan mundur. Kuhapus air mata di pipiku dengan kasar. Tak sudi rasanya menangisi pria bejat itu. Dengan sengaja kuraih daun pintu dan kuhempaskan dengan keras. Suaranya berdentam keras di malam sunyi itu. Segera kunyalakan lampu Kedua makhluk yang sedang berbagi peluh itu terkejut dan menoleh ke belakang. Aku tak dapat menggambarkan betapa terkejutnya mereka melihatku berdiri di ambang pintu dan menatap mer

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 60 Tertangkap Basah

    "Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 59 POV Lola

    Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 58 POV Anton (2)

    POV Anton"Ton, kamu di mana?"Terdengar suara manja mendayu dari arah depan. Kulirik jam. Sudah jam 6 sore. Wajah ceria Lola muncul dari balik gorden pembatas ruang depan dan ruang tamu."Kok lama amat pulangnya?" tegurku kesal."Kangen, ya?" dengan manja Lola bergelayut di lenganku tapi segera kutepis. Dia cemberut. "Kok gitu sih?""Kamu jangan macam-macam. Ini di rumah, ada Tina juga," kataku sambil melihat ke depan, siapa tahu mereka sudah kembali dari jalan-jalan."Mereka masih di luar. Tadi aku lewati di ujung jalan mereka ngobrol dengan Pak Johan," kata Lola. "Ana belum pulang kan?""Dia kan lagi dinas luar," jawabku."Berarti kita bebas dong," Lola mengedipkan sebelah mata kepadaku dan memelukku erat."Jaga sikapmu!" kataku setengah membentak."Apaan sih, Ton?" Lola duduk menjauh dengan muka ditekuk. "Toh kita akan bersama juga kan? Biar aja mereka tahu!""Iya, tapi nggak sekarang juga. Mama masih sakit," bentakku."Awas kalau kamu ingkar. Habis kamu!" ancam Lola sebelum beran

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 57 POV Anton (1)

    POV AntonAku berdiri di ambang pintu kamar mama dan melihat semua yang dikerjakan oleh Tina, istriku, di sana. Dia dengan telaten dan sabar menyuapi mama makan. Dia sabar menunggu sampai mama benar-benar menelan buburnya. Sisa-sisa makanan yang belepotan di mulut mama, dibersihkannya dengan tisu. Mama begitu sumringah menerima perlakuan Tina. Wajahnya berbinar dan matanya selalu menatap wajah Tina seolah-olah dia baru pertama kali mengenal Tina.Aku heran. Mama hanya mau dirawat oleh Tina. Sudah seminggu ini memang ada perawat untuk mama. Dia bekerja mulai dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Tugasnya adalah memandikan, menyuapi, pokoknya mengurus segala keperluan mama selama rentang waktu tersebut. Tapi kalau sore sudah tiba, saat Ratih, perawat itu, pulang, mama hanya mau dirawat oleh Tina. Terkadang aku kasihan melihat dia bergerak dengan lamban karena perutnya yang semakin besar.Aku berusaha membantu tapi mama selalu menolakku. Seperti tadi, Tina terlambat datang. Aku tidak tahu d

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 56 Di Rumah Sakit

    "Lebih baik jadi janda daripada hidup dengan orang jahat. Untuk apa punya suami kalau aku harus hidup sendiri dan berjuang sendiri," kataku sambil menatap Anton telak.Anton menatapku tidak suka sementara Lola juga mendelik dari belakangnya. Pak Joko menghela nafas berat. Sesekali beliau menatap ke arah tempat tidur di mana istrinya terbaring."Tin, bapak tahu ini sangat berat dan perbuatan Anton memang tidak bisa ditolerir," kata Pak Joko. "Tapi maukah kamu mempertimbangkannya setidaknya biarlah sampai cucu bapak lahir."Aku tersentak mendengar permintaan mertuaku itu. Aku memandangi Anton. Sejak pertengkaran itu bahkan sejak aku tinggal lagi di rumah mertuaku, dia sama sekali tak ada usaha untuk berdamai denganku. Dia malah semakin hari semakin kompak dengan Lola. Terlebih dalam hal menghina aku. Lihatlah, harusnya dia yang mengatakan apa yang dikatakan mertuaku tapi dia malah sikut-sikutan dengan Lola. Mungkin mereka ingin aku segera mengurus perceraian itu sehingga mereka keberata

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 55 Apa Gunanya Punya Suami Tapi...

    "Maaf, ya, Tin, aku tak pernah tahu keadaan kamu selama ini."Aku menatap Kak Reni. Selama aku menikah, baru kali ini aku berbicara sedekat ini dengan dia. Walaupun aku sempat tinggal di rumah ini di awal pernikahan dulu, tapi aku sangat jarang bertemu dengan Kak Reni. Dia tinggal di rumah kontrakan yang dekat ke sekolah tempat dia mengajar. Paling banyak kami bertemu 3 kali, itu pun hanya sekadar bertegur sapa."Aku nggak menyangka kalau Anton ternyata mengabaikan kamu," lanjut Kak Reni. "Jadi persiapan perlengkapan bayi dan kamu melahirkan udah beres?""Belum, Kak," aku menggeleng. "Aku baru membeli sebagian.""Kamu nggak usah beli banyak-banyak. Toh anak bayi sangat cepat pertumbuhannya. Kayak kain bedong dan popok, paling lama dipakai sebulan. Kamu mau nggak pakai yang bekas?" tanya Kak. Reni."Bekas?" aku mengernyitkan kening tanda tak mengerti."Maksudku, aku masih menyimpan punya anak-anak. Kamu masih bisa pakai itu," jelas Kak Reni."Boleh, Kak?" mataku berbinar. "Aku maulah,

DMCA.com Protection Status