Home / Pernikahan / Salahkah Menjadi Janda? / Bab 9 Tanggung Sendiri

Share

Bab 9 Tanggung Sendiri

Aku melepaskan korset dari perutku. Sejenak aku menghirup udara lepas karena perutku yang terasa longgar. Aku mengelus perutku dengan sayang.

"Maaf, ya, Nak. Mama terpaksa melakukan ini karena mama nggak mau kamu jadi bahan gunjingan orang-orang."

Ada perasaan aneh saat aku menyebut diriku 'mama'. Sesuatu bergerak dari dalam sana. Aku terperangah. Kuraba perutku lagi tapi gerakan itu sudah berhenti. Kuulangi lagi tapi dia benar-benar berhenti.

"Mungkinkah kamu mendengar mama, Nak?" air mataku menetes, aku terharu. "Kamu yang sabar, ya. Kamu bertahan, ya, Nak. Doakan saja ayah kamu segera menemukan jalan keluarnya supaya kamu bisa bebas."

Aku berbaring dan membuka kaosku. Kubiarkan perutku yang sudah membuncit bebas lepas. Aku membelai-belainya dengan penuh kasih sayang.

"Maafkan mama, ya, Sayang. Seharusnya mama udah bisa lihat kamu di layar USG tapi mama belum bisa, Nak. Mama malu," air mataku bergulir lagi.

"Tin... Tina...." Wina memanggilku dari luar. "Kamu di kamar?"

Darahku tersirap. Segera kupakai kembali bajuku. "Iya, Win?"

"Kamu ikut ke pasar, nggak?"

"Nggak, Win. Lagian nggak ada juga yang mau dibeli." jawabku.

"Sambil jalan- jalan sore, yuk!" itu suara Sarah.

"Kalian aja, ya. Aku lagi malas," jawabku tanpa membuka pintu kamar.

"Mengeram aja kamu di kamar," seru Sarah sambil tertawa. "Lihat tuh, kamu makin hari makin bengkak aja."

Aku hanya bisa menggeram marah mendengar perkataan Sarah.

"Udah, ah," Wina menimpali. "Biar aja dia gemuk, bagus badannya berisi begitu. Ayo!"

Aku menghela nafas lega. Sarah dan Wina memiliki kepribadian yang bertolak belakang. Wina kalem dan tenang sedangkan Sarah sangat berisik. Seperti kata pepatah 'tong kosong berbunyi nyaring'.

"Tina..." kali ini suara ibu kos yang memanggilku.

"Iya, Bu."

"Tuh, ada si Anton di depan."

Anton? Benarkah? Aku segera bangkit duduk dari tidurku. "Iya, Bu. Aku akan keluar."

Aku mendapati Anton sudah duduk di teras. Ia memandangiku lama.

"Kenapa?" tak urung aku jengah juga dipandangi seperti itu.

"Nggak apa-apa," ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Aku diam saja. Malas berdebat. Aku menekuri lantai.

"Kok diam aja?" Anton memecahkan keheningan di antara kami.

Aku tetap diam.

"Ganti baju sana!" perintah Anton.

"Untuk apa?"

"Kamu mau kita nikah, kan? Jadi ganti bajumu, kita menghadap mama sekarang."

Aku ternganga memandangnya tak percaya. "Benarkah?"

"Kamu mau aku berubah pikiran?"

Tanpa disuruh dua kali aku segera masuk ke kamar dan mencari baju yang pantas untuk menemui orang tuanya. Agak susah karena kebanyakan bajuku sudah tidak muat lagi. Akhirnya kuputuskan memakai sweater longgar.

Walaupun jantungku berdetak kencang tak karuan, aku akan menghadapi apa pun yang akan terjadi. Kalau tidak sekarang kapan lagi? Sembari beres-beres, hatiku bertanya-tanya ada apa dengan perubahan sikap Anton. Apakah dia kasihan padaku? Teringat tatapannya tadi yang sulit kuartikan. Ataukah dia sudah menyadari bahwa kami memang harus bertanggung jawab? Persetan, apa pun itu aku tak peduli. Yang penting masalah ini segera selesai.

***

Debar jantungku semakin tak menentu saat kami tiba di rumahnya. Rumah mereka sepi. Hanya ada ibunya di rumah memakai daster batik tersenyum kepadaku.

"Tumben kamu datang, Tin?" katanya. "Ayo, duduk."

Aku tersenyum kikuk dan duduk di sofa panjang di samping Anton.

"Ada apa? Kok kayaknya penting?" Bu Ria menatap kami bergantian.

"Ma, seperti yang aku bilang waktu di rumah sakit, aku mau menikahi Tina," Anton menunduk tak berani menatap ibunya. Aku juga.

"Menikah?" ulang Bu Ria. "Tapi kan mama juga udah bilang alasannya kenapa mama masih belum mengizinkan kamu untuk menikah."

"Tapi kali ini mama harus setuju," kata Anton masih dengan posisi menunduk.

Sementara jantungku berdetak kencang sampai aku bisa mendengar suara detakannya menghantam dadaku.

"Kenapa? Selain karena kakakmu, mama juga nggak punya uang untuk biaya pesta kalian. Atau kalian udah punya modal?" kali ini Bu Ria menatapku tajam. "Kalau kalian punya uang, oke, kita laksanakan."

"Kami nggak menuntut pesta besar, Bi. Cukup acara pemberkatan aja," kataku lirih.

"Kenapa sih kalian ngotot begini?" tanya Bu Ria. "Lagian bapakmu lagi nggak ada. Harusnya kita tunggu bapak datang biar bapak juga tahu."

"Nggak, Ma," seru Anton. "Aku memang sengaja minta izin sama mama sekarang karena aku tahu bapak lagi pergi ke luar kota dan Kak Ana juga lagi dinas luar. Mama aja yang ngasih tahu bapak dan kakak."

Aku tahu bahwa Anton sangat takut kepada ayah dan kakaknya.

"Tapi kenapa?" ulang Bu Ria.

Aku dan Anton saling menatap. Ia menganggukkan kepalanya.

"Karena aku hamil, Bi," kutundukkan kepalaku dalam-dalam tak berani menatap wajah Bu Ria yang terhenyak mendengar pernyataanku.

"Ha...hamil?" Bu Ria tergagap sambil menutup mulutnya.

"Iya, Ma. Itulah sebabnya kenapa kami ngotot memohon sama mama," kata Anton.

Aku melihat ada sekilas kelegaan dari sikap tubuhnya yang tadi kaku, sekarang sedikit santai setelah aku memberitahukan tentang kehamilanku.

Bu Ria menyandarkan tubuhnya dengan kasar. Aku menatapnya khawatir. Takut kalau tiba-tiba penyakitnya kambuh

"Mama nggak kenapa-kenapa kan?" Anton mendekati ibunya tapi tiba-tiba Bu Ria bangkit dan secepat kilat melayangkan tamparan ke wajah Anton.

Kami berdua terkejut. Terlebih Anton. Kami sama sekali tidak menyangka kalau Bu Ria akan menampar Anton, anak kesayangannya.

"Anak tak tahu diuntung kamu," telunjuk Bu Ria menuding wajah Anton yang memerah karena bekas tamparannya. "Kamu bisanya bikin malu keluarga saja!"

"Maafkan aku, Ma," Anton duduk merosot di kaki ibunya. "Aku salah. Tapi aku harus bertanggung jawab, Ma."

Aku sedikit terharu saat Anton menyebut 'tanggung jawab'. Bu Ria terdiam lama. Saat ia mengangkat wajah, aku melihat air mata membasahi pipinya yang gemuk.

"Kamu memang selalu bikin masalah. Sejak dulu," lanjut Bu Ria. "Tamat SMA dari paket C saking bandalnya kamu. Disuruh kuliah nggak mau. Udah kerja malah bikin malu dengan bikin bunting anak orang. Mau jadi apa kamu, Anton?"

Anton memeluk kaki ibunya. "Maaf, Ma. Aku mohon ampun."

"Sudah berapa bulan?" beliau beralih menatapku dan bertanya dengan suara serak.

"Jalan 5 bulan, Bi," jawabku takut-takut

"Sudah selama itu tapi baru sekarang kalian ngomong?" seru Bu Ria. "Memang kalian sengaja bikin malu keluarga."

"Waktu di rumah sakit saya sudah mau bilang,Bi, tapi saya takut karena bibi masih sakit," jawabku.

Kembali kami bertiga terdiam. Kami sibuk dengan pikiran kami sendiri. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku menghela nafas lega. Setidaknya orang tua Anton sudah tahu.

"Mama pusing, Ton. Mama nggak bisa memecahkan persoalan ini sendiri. Mama harus ngomong sama bapakmu. " kata Bu Ria. "Dan kamu, Tin, apa orang tuamu sudah tahu masalah ini?"

"Belum, Bi. Saya juga tidak berani bilang," kataku jujur.

"Kalian berdua yang berbuat berarti kalian berdua yang bertanggung jawab untuk memberi tahu mereka," kata Bu Ria.

Kami berpandangan.

"Kalau pada akhirnya kalian menikah, mungkin hanya acara pemberkatan aja, nggak ada namanya pesta," kata Bu Ria tegas.

"Tapi, Ma..." bantah Anton.

"Nggak masalah, Bi," jawabku memotong protes Anton. "Yang penting anakku nggak dicap haram oleh orang-orang."

"Bagus kalau kamu mengerti," kata Bu Ria. "Dan satu lagi, kalau kalian menikah, pikirkan baju pengantin kalian. Saya tidak bersedia menanggung itu," kata Bu Ria tegas.

"Iya, Bi," jawabku cepat.

Aku tidak mempersoalkan itu. Soal baju itu bisa dipinjam. Aku hanya ingin ini segera selesai.

Persoalannya baju kebaya siapakah yang masih muat di badanku yang sudah gemuk dan perutku yang sudah buncit ini?

"Oh, Tuhan... Kenapa serumit ini akibat yang harus kutanggung? Akankah ini berakhir?"

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status