"Ambilkan, Tin," teriak Anton.Aku menatapnya tak percaya. "Tapi, Bang...""Susah amat sih? Kalau mama bilang ambil, ya, ambil," katanya dengan mata melotot."Tapi itu hutang kita, Bang. Kita harus membalasnya nanti. Kita aja belum mencatat siapa aja yang memberikan amplop itu." aku berusaha memberikan pengertian."Tina, kamu kok bodoh amat sih? Kamu kan tahu siapa aja yang datang tadi. Kalau mereka mengundangmu nanti, kamu kan tinggal membalas pemberian mereka," sela Kak Ana."Tapi saya belum mencatatnya, Kak.""Untuk apa? Kamu mau membalas mereka sebesar berapa yang mereka kasih? Begitu?" kali ini ibu mertua yang menyela dengan tawa mengejek."Baiklah." aku tak punya pilihan lain lagi. Akhirnya aku kembali ke kamar dan mengambil semua amplop pemberian undangan tadi siang. Setelah kuhitung ada 20 amplop. Satu di antaranya agak tebal. Setelah kubaca nama di sampulnya, ternyata atas nama kantor tempatku bekerja. Aku segera memasukkannya kembali ke tasku."Ini, Ma..."Bu Ria segera menya
"Dan kamu juga jangan berani membantah aku!" telunjuknya menuding aku tepat di depan mataku."Kenapa? Itu sebabnya Abang ikut memarahi aku di depan mama dan keluargamu?" tanyaku. Nafasku tersengal. Perutku mulai tak nyaman."Itu karena kamu berani nyolot." seru Anton."Bukan nyolot, Bang. Siapa pun pasti nggak rela kalau uang dan kado itu dibagi-bagi tanpa izin yang punya.""Aku yang ngasih izin sama mereka.""Emangnya itu punya Abang sendiri? Harusnya Abang minta pendapatku juga, Bang. Aku istrimu. Dan aku juga berhak atas semua itu."Anton tertawa terkekeh dan memandangku dengan tatapan melecehkan."Kalau bukan karena buntingmu itu," matanya dilebarkan menunjuk perutku. "Aku takkan pernah menikahi kamu.""Benar. Kalau bukan karena anak ini, aku juga nggak akan sudi menikah dengan kamu!" kataku dengan bibir bergetar memeluk perutku sambil berdoa dalam hati semoga anakku tidak mendengar ucapan ayahnya."Hahaha... Bisa apa kamu tanpa aku?" Anton tertawa meremehkan kemudian ia keluar ka
"Ada apa ribut-ribut?" Bu Ria muncul.Perasaanku tak enak setelah ibu mertuaku datang. Anton langsung duduk menyambut ibunya."Ini, Ma. Tina mengajak aku ke dokter." lapor Anton."Siapa yang sakit? Kamu sakit, Ton?" ibu mertuaku meraba kening Anton. Dia pasti pura-pura tidak tahu apa maksudku."Nggak, Ma. Aku nggak sakit." jawaban Anton tidak sinkron dengan kepura-puraan ibunya."Kami mau ke dokter spesialis kandungan, Ma." aku menekankan kata 'dokter kandungan' dengan jelas. "Untuk memeriksa kandunganku.""Ooh..." Bu Ria mencebikkan bibirnya."Iya, Ma. Saya sudah bikin janji dengan dokternya hari ini," kataku."Tapi aku nggak mau pergi. Aku masih capek. Masih ngantuk." jawab Anton santai."Aku juga capek, Bang. Lagian abang capek ngapain?" seruku. "Terus Abang dari mana tadi malam?""Aku di rumahlah." jawab Anton."Sebelum jam satu Abang ke mana?""Aku di rumah!" Anton ngotot. Kuperhatikan tiba-tiba wajahnya mendadak berubah seperti teringat sesuatu. Tapi hanya sebentar. Dia segera b
"Nyonya Agustina Kusuma," seorang suster memanggil namaku setelah sepasang suami istri keluar dari ruang periksa. Ternyata sudah giliranku."Iya, saya, Suster." aku berdiri."Silakan masuk, Bu," kata suster itu ramah."Aku boleh ikut masuk kan?" bisik Wina."Kurasa boleh. Yuk!"dr. Tony ternyata masih muda. Umurnya mungkin di pertengahan tiga puluh."Dengan ibu Agustina?" dr. Tony membaca dataku yang kukirim melalui seorang temanku yang bekerja di rumah sakit. "19 tahun. Masih sangat muda.""Iya, Dok." jawabku sedikit kikuk."Santai aja, Bu," kata dr. Tony ramah. "Maaf, tadi pagi saya cancel pertemuan kita.""Nggak apa-apa, Dok.""Suaminya mana, Bu?" tanya dr. Tony.Aku dan Wina berpandangan."Suaminya ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan, Dok," Wina membantuku menjawab pertanyaan menyebalkan itu. "Saya kakaknya yang menemani.""Ok, silakan ibu berbaring di sana!" dr. Tony menunjuk tempat periksa di sampingnya. "Sudah pernah USG sebelumnya?""Belum, Dok " jawabku sambil berbaring.
"Bang..." aku menangis menahan sakit."Jangan manja!" Anton menyeretku dan segera kuhempaskan tangannya."Lepaskan! Aku bisa sendiri." aku menatapnya nyalang dan bersusah payah untuk berdiri.Kulihat senyum culas di bibir Bu Ria dan Kak Ana. Dadaku bergemuruh menahan amarah. Baru hari pertama menikah, sudah begini amat nasibku. Dengan bercucuran air mata, aku mulai mencuci piring."Kak..." Aku menoleh. Kulihat Denny menghampiri aku. Tanpa berusaha menyembunyikan, kuseka air mataku dengan tanganku di hadapannya."Sini aku bantu, Kak." Denny mengambil piring yang sudah kusabuni dan membilasnya. Bahkan Denny masih lebih punya perasaan dari pada orang-orang dewasa di rumah ini. "Tolong langsung dilap, ya, Den," kataku. "Dan langsung antar ke meja makan. Mama dan yang lain mau makan.""Mereka udah makan kok," jawab Denny polos."Makan? Tapi katanya nggak ada piring jadi mereka nggak bisa makan tadi." kataku jengkel."Masa sih, Kak? Emangnya piring di rumah ini cuma ini?" kata Denny. "Ban
"Harus karena dia lebih baik dari kamu!"Jawaban Anton sukses membuatku ternganga."Dari segi mana dia lebih baik dari aku?" tanyaku berang. Hatiku sakit sekali."Tentu aja. Aku mengenal dia lebih dulu dan dia sudah diangkat anak sama bapak dan mama." kata Anton santai."Tapi aku istrimu, Bang!" protesku."Kamu istriku baru kemarin. Sedangkan Kak Lola sudah di sini sejak lima tahun lalu." kata Anton."Aku istrimu baru kemarin tapi Abang udah jahat samaku," kataku. "Harusnya Abang membela aku, bukan malah memojokkan aku.""Kamu yang tidak menghargai aku sebagai suami. Harusnya kamu tidak membantah mamaku. Aku aja nggak pernah melawan mama."Aku mengusap wajahku frustrasi. Lelah menghadapi suami yang pintar membalikkan kata-kata."Diam kan kamu?" Anton menatapku sinis sambil meraih selimut."Tadi aku dari dokter. Harusnya Abang tanya bagaimana hasilnya." kataku getir."Tadi kan kamu bilang semua baik-baik aja. Jadi nggak usah lebay deh.""Tadi Bapak yang tanya, bukan Abang!" kataku ngot
"Urusan cari nafkah itu adalah urusan laki-laki. Perempuan sifatnya hanya membantu. Berani berbuat, berani bertanggung jawab." kata Pak Joko tegas.Aku memandang Anton dengan senyum miring. Wajahnya memerah mendengar perkataan ayahnya. Dia menunduk menekuri lantai."Bapak nggak usah keras gitulah sama Anton." kata Bu Ria."Mama yang nggak usah memanjakan dia," kata Pak Joko tegas. "Mau sampai kapan dia begitu? Sebenarnya bagus Tina mengusulkan untuk mandiri supaya Anton juga punya tanggung jawab sendiri. Seharusnya Anton yang mengatakan itu, bukan Tina. " sindir Pak Joko. "Kalau sudah berumah tangga, tanggung sendiri suka dukanya. Jangan bisanya nebeng hidup di rumah orang tua." Anton hanya menunduk saja dari tadi, tak berani membantah ayahnya."Kenapa kok tegang semua ini?" Kak Ana dan Lola muncul memecahkan suasana. Mereka sudah rapi dengan baju kantor dan tanpa basa basi langsung mengambil sarapan."Kamu juga Ana, Lola, kalian sudah dewasa, saling membantulah kerja di rumah ini!"
Aku memandangi tumpukan kain kotor di atas keranjang di depan kamar mandi. Bahkan sebagian sudah keluar dan menjuntai di sekeliling keranjang. "Kakak mau ngapain?" Denny mengejutkanku."Lho, kamu belum pergi ke sekolah?" tanyaku heran melihatnya masih di rumah."Ini udah mau berangkat, Kak." jawabnya sambil meletakkan pakaian kotornya di atas tumpukan pakaian kotor itu. "Kakak mau nyuci?""Iya, Den," jawabku."Nggak usah, Kak. Nanti ada orang yang datang nyuci kok," kata Denny."Oh, ya?" aku agak terkejut mendengarnya."Tapi mulai sekarang nggak ada lagi," tiba-tiba ibu mertuaku sudah berdiri di belakangku."Kenapa, Ma?" tanya Denny polos."Untuk menghemat biaya. Ngapain bayar tukang cuci lagi sementara di rumah ini ada yang nganggur," kata Bu Ria sambil melirikku."Maksudnya Kak Tina?" Denny lagi-lagi bertanya dengan polosnya."Siapa lagi?" kata Bu Ria ketus."Tapi kan Kak Tina kerja juga, Ma. Kebetulan aja sekarang dia masih libur." kata Denny. "Iya, kan, Kak?""Eh, anak kecil tahu