"Harus karena dia lebih baik dari kamu!"Jawaban Anton sukses membuatku ternganga."Dari segi mana dia lebih baik dari aku?" tanyaku berang. Hatiku sakit sekali."Tentu aja. Aku mengenal dia lebih dulu dan dia sudah diangkat anak sama bapak dan mama." kata Anton santai."Tapi aku istrimu, Bang!" protesku."Kamu istriku baru kemarin. Sedangkan Kak Lola sudah di sini sejak lima tahun lalu." kata Anton."Aku istrimu baru kemarin tapi Abang udah jahat samaku," kataku. "Harusnya Abang membela aku, bukan malah memojokkan aku.""Kamu yang tidak menghargai aku sebagai suami. Harusnya kamu tidak membantah mamaku. Aku aja nggak pernah melawan mama."Aku mengusap wajahku frustrasi. Lelah menghadapi suami yang pintar membalikkan kata-kata."Diam kan kamu?" Anton menatapku sinis sambil meraih selimut."Tadi aku dari dokter. Harusnya Abang tanya bagaimana hasilnya." kataku getir."Tadi kan kamu bilang semua baik-baik aja. Jadi nggak usah lebay deh.""Tadi Bapak yang tanya, bukan Abang!" kataku ngot
"Urusan cari nafkah itu adalah urusan laki-laki. Perempuan sifatnya hanya membantu. Berani berbuat, berani bertanggung jawab." kata Pak Joko tegas.Aku memandang Anton dengan senyum miring. Wajahnya memerah mendengar perkataan ayahnya. Dia menunduk menekuri lantai."Bapak nggak usah keras gitulah sama Anton." kata Bu Ria."Mama yang nggak usah memanjakan dia," kata Pak Joko tegas. "Mau sampai kapan dia begitu? Sebenarnya bagus Tina mengusulkan untuk mandiri supaya Anton juga punya tanggung jawab sendiri. Seharusnya Anton yang mengatakan itu, bukan Tina. " sindir Pak Joko. "Kalau sudah berumah tangga, tanggung sendiri suka dukanya. Jangan bisanya nebeng hidup di rumah orang tua." Anton hanya menunduk saja dari tadi, tak berani membantah ayahnya."Kenapa kok tegang semua ini?" Kak Ana dan Lola muncul memecahkan suasana. Mereka sudah rapi dengan baju kantor dan tanpa basa basi langsung mengambil sarapan."Kamu juga Ana, Lola, kalian sudah dewasa, saling membantulah kerja di rumah ini!"
Aku memandangi tumpukan kain kotor di atas keranjang di depan kamar mandi. Bahkan sebagian sudah keluar dan menjuntai di sekeliling keranjang. "Kakak mau ngapain?" Denny mengejutkanku."Lho, kamu belum pergi ke sekolah?" tanyaku heran melihatnya masih di rumah."Ini udah mau berangkat, Kak." jawabnya sambil meletakkan pakaian kotornya di atas tumpukan pakaian kotor itu. "Kakak mau nyuci?""Iya, Den," jawabku."Nggak usah, Kak. Nanti ada orang yang datang nyuci kok," kata Denny."Oh, ya?" aku agak terkejut mendengarnya."Tapi mulai sekarang nggak ada lagi," tiba-tiba ibu mertuaku sudah berdiri di belakangku."Kenapa, Ma?" tanya Denny polos."Untuk menghemat biaya. Ngapain bayar tukang cuci lagi sementara di rumah ini ada yang nganggur," kata Bu Ria sambil melirikku."Maksudnya Kak Tina?" Denny lagi-lagi bertanya dengan polosnya."Siapa lagi?" kata Bu Ria ketus."Tapi kan Kak Tina kerja juga, Ma. Kebetulan aja sekarang dia masih libur." kata Denny. "Iya, kan, Kak?""Eh, anak kecil tahu
Aku menjepit hidungku dengan jari telunjuk dan jempol untuk menahan bau yang menguar dari pakaian kotor di hadapanku supaya jangan sampai ke hidungku. Dengan menahan mual aku memilih dan memilah pakaian itu. Aku menyisihkan pakaian Kak Ana dan Lola. Lihat saja. Akan kubalas perlakuan mereka salah satunya dengan tidak mencuci pakaian mereka. Aku mengangkut pakaian yang akan kucuci ke tempat pencucian pakaian di samping rumah. Setelah merendamnya, aku kembali ke dapur untuk memasukkan pakaian-pakaian kakak iparku itu ke dalam keranjang. Saat mengangkatnya sebuah CD jatuh dan teronggok di kakiku. Aku segera menyingkirkannya dengan jijik dan menghentak-hentakkan kakiku di lantai seperti saat aku melihat kecoa. Ada bercak darah di CD itu. Mungkin darah haid. Aku menumpangkan kain kotor lain di atasnya supaya aku tidak memegang langsung CD berdarah itu.Tiba-tiba sebuah benda jatuh dari kain itu. Setelah kuperhatikan ternyata kondom. Astaga... Aku menutup mulut. Kondom itu jatuh dari cela
Hari ini aku kembali bekerja setelah mengambil cuti beberapa hari. Aku sengaja datang lebih awal karena aku nggak mau teman-temanku mendapat celah untuk mengolok-olok aku. Aku segera menyibukkan diri dengan membersihkan ruangan."Hei, kamu udah masuk?" Diana orang kedua yang datang setelah aku menyapaku. Dia menyalamiku. "Selamat atas pernikahan kamu, ya. Udah selesai cutimu?""Udah, Kak," jawabku. "Makasih, ya, Kak.""Kamu masih di rumah mertua?" tanya Diana."Masih, Kak." jawabku."Halo, Pengantin Baru," teman-teman yang lain berdatangan dan menyalamiku. Ditha, Sarah, Tommy, dan Bu Amalia. "Apa kabar?""Kabar baik. Terima kasih." Aku menjabat tangan mereka satu per satu."Gimana nikahnya?" Tommy mengedipkan sebelah matanya. "Enak dong, ya. Ranjang bergoyang dong setiap saat."Semua yang di ruangan itu tertawa terbahak-bahak tapi jantungku malah berdentam keras menunggu apa yang akan terjadi."Kamu, ya, Tom, kayak ngerti aja yang begituan," kata Bu Amalia. "Anak bau kencur."Tommy me
"Kamu pulang sama siapa?" tanya Wina saat melihatku masih belum beranjak. "Kamu dijemput?"Aku menggeleng. Aku juga nggak tahu harus pulang dengan siapa."Kamu sama siapa?" aku balik bertanya."Sama aku," Sarah tiba-tiba muncul. "Kamu nggak bawa motor?" tanyaku."Nggak. Motorku lagi masuk bengkel." Jawab Sarah."Terus kamu sama siapa, ya?" Wina mengedarkan pandangannya ke sekeliling."Nggak apa-apa, Win, kalian pulang duluan aja," kataku."Nggak bisa gitu, masa kamu tinggal sendirian di sini," kata Wina. "Eh, Tom, kamu pulang sendiri kan?"Tommy yang kebetulan lewat, masuk lagi ke ruangan mendengar panggilan Wina."Sendiri. Kenapa?" tanya Tommy."Kamu boncengan sama Tina, ya," kata Wina."Tina?" Tommy memandangku sambil mengerutkan keningnya. "Jangan deh, Kak Win.""Lho, kenapa? Kamu bilang kamu pulang sendiri," kata Wina heran.Aku juga agak tersinggung dengan penolakan Tommy. "Motorku kan trail, Kak. Tinggi. Sementara Tina lagi begituan," Tommy menggelembungkan tangannya membentuk
"Ngapain aja kamu di kamar?" badanku terhenyak saat tiba-tiba pintu kamar dibuka dan ibu mertuaku berdiri di sana."Saya cuma mau ganti baju dulu, Ma," kataku."Jangan lamban begitu. Nanti anak kamu lahir jadi pemalas," bentaknya. "Cepat keluar dan bereskan semua yang berantakan di dapur sana.""Iya, Ma. Sebentar," jawabku."Tunggu apa lagi? Ini udah jam 5. Masak, nyuci, ngepel, masih banyak lagi kerjaan kamu."Sambil menggerutu Bu Ria keluar dari kamarku. Aku menghela nafas panjang. Aku melangkah ke dapur dan mendapati piring kotor bertumpuk di wastafel, pakaian kotor di keranjang, dan onggokan sampah di balik pintu dapur. Apa setiap hari kebiasaan keluarga ini begini, ya? Padahal ada dua anak gadis dewasa tapi dapur berantakan begini. Piring kotor, gelas-gelas, dan peralatan dapur kotor lainnya berserakan di meja makan, belum lagi di wastafel. Tadi pagi aku sudah membereskannya tapi kok bisa kayak baru ada pesta? Apa mereka sengaja membiarkannya supaya aku yang mengerjakannya?Pert
"Ada apa kalian semua berkumpul di sini?"Terdengar suara ayah mertuaku disusul dengan sosok tubuhnya yang berdiri di pintu. Mendadak semua mengubah gestur tubuh melihat kedatangan Pak Joko. "Eh, Bapak udah pulang," Bu Ria menyambut suaminya dengan senyum mengembang di bibirnya.Pak Joko tidak menggubris perkataan istrinya. Dia menatap kami satu per satu. Tatapannya bertahan lama di pipiku."Kamu kenapa, Tin? Wajahmu merah begitu? Kamu menangis?" tanya Pak Joko kaget."O, itu tadi terbentur pintu," Bu Ria yang menjawab dengan cepat. "Iya, kan Tin?" Bu Ria memandangku dengan tatapan mengintimidasi supaya aku mengikuti skenarionya."Mama tadi menampar saya, Pak," jawabku membuat mata Bu Ria mendelik marah kepadaku."Hah? Menampar?" Pak Joko terperanjat dan menatap istrinya untuk memastikan. "Mama menampar Tina? Kenapa, Ma?""Habis dia menjelek-jelekkan Mama," Bu Ria berkilah membela diri."Bukan, Pak. Mama menampar saya karena saya mengungkit uang sepuluh juta yang saya berikan sama M
Sehari sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah kembali ke rumah kontrakanku ditemani oleh Wina. Kemarin saat aku keluar dari rumah mertuaku, aku mendatangi Wina ke kosnya. Di sana, dalam pelukan sahabatku itu, tanpa dapat kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Kalau di rumah mertuaku, aku tidak bisa menangis dan aku pun tidak tahu kenapa. Rasa marah, dongkol, kesal, kecewa dan entah rasa apa lagi yang menumpuk di rongga dadaku, seakan tersalurkan lewat tangisanku."Menangislah, keluarkan semua bebanmu," kata Wina sambil memeluk aku sangat erat. Dia pun ikut menangis sesenggukan. "Ada apa?" tanya Bu Sari heran mendapati kami berdua berpelukan sambil menangis di kamar Wina. Suara tangisku yang keras membuat beliau mendatangi kamar Wina."Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga ibu akan tahu," jawab Wina.Bu Sari keluar dan menutup kembali pintu kamar. Aku yakin hatinya sekarang penuh tanda tanya dan kebingungan. Tapi seperti kata Wina, beliau juga bakalan segera tahu penyebabnya.Wina me
Setelah selesai merekam perbuatan bejat suamiku dengan Lola memakai ponsel Anton, aku segera mengirimnya ke ponselku juga ke grup keluarga kami. Tidak main-main, aku tidak mengirimnya ke grup keluarga kecil kami tapi aku mengirimnya ke 2 grup besar atas nama nenek Anton dari pihak ayah mertuaku yang anggotanya ada 30 orang lebih dan atas nama kakek dari pihak ibu mertuaku, mulai dari anak SD sampai orang tua ada di sana sebagai anggota."Silakan dinikmati pertunjukan gratis ini!" Itu caption yang kutulis sebagai pengantar pesan itu."Aku nggak menyangka kalau kamu bersikap kasar kepadaku dan selalu membela Lola, itu karena ternyata kalian menjalin hubungan?" kataku pelan seolah kepada diriku sendiri. "Betapa bodohnya aku.""Aku memang tidak mencintaimu lagi, Ton. Aku sudah mati rasa sejak menjadi istrimu. Aku bertahan demi anak ini tapi semua sia-sia. Aku memang menuntut cerai dari kamu. Tapi aku tak menyangka akan menyertakan bukti perselingkuhanmu ini juga ke pengadilan. Tadinya ak
Terdengar suara kentongan 3 kali dari pos siskamling yang tak jauh dari rumah pertanda sekarang sudah pukul 3 dini hari. Aku menutup mulutku menahan isak tangisku sambil merekam perbuatan bejat lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Perbuatan mereka terekam dengan jelas walaupun kamar itu temaram yang hanya diterangi lampu tidur. Setelah durasinya hampir mencapai 1 menit aku berhenti dan segera mengirimnya ke ponselku. Itu sudah cukup menjadi bukti. Pesanku sudah terkirim dan kulemparkan ponsel Anton begitu saja ke lantai.Dengan sinis kupandangi aktivitas kedua manusia laknat itu dan mundur. Kuhapus air mata di pipiku dengan kasar. Tak sudi rasanya menangisi pria bejat itu. Dengan sengaja kuraih daun pintu dan kuhempaskan dengan keras. Suaranya berdentam keras di malam sunyi itu. Segera kunyalakan lampu Kedua makhluk yang sedang berbagi peluh itu terkejut dan menoleh ke belakang. Aku tak dapat menggambarkan betapa terkejutnya mereka melihatku berdiri di ambang pintu dan menatap mer
"Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk
Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak
POV Anton"Ton, kamu di mana?"Terdengar suara manja mendayu dari arah depan. Kulirik jam. Sudah jam 6 sore. Wajah ceria Lola muncul dari balik gorden pembatas ruang depan dan ruang tamu."Kok lama amat pulangnya?" tegurku kesal."Kangen, ya?" dengan manja Lola bergelayut di lenganku tapi segera kutepis. Dia cemberut. "Kok gitu sih?""Kamu jangan macam-macam. Ini di rumah, ada Tina juga," kataku sambil melihat ke depan, siapa tahu mereka sudah kembali dari jalan-jalan."Mereka masih di luar. Tadi aku lewati di ujung jalan mereka ngobrol dengan Pak Johan," kata Lola. "Ana belum pulang kan?""Dia kan lagi dinas luar," jawabku."Berarti kita bebas dong," Lola mengedipkan sebelah mata kepadaku dan memelukku erat."Jaga sikapmu!" kataku setengah membentak."Apaan sih, Ton?" Lola duduk menjauh dengan muka ditekuk. "Toh kita akan bersama juga kan? Biar aja mereka tahu!""Iya, tapi nggak sekarang juga. Mama masih sakit," bentakku."Awas kalau kamu ingkar. Habis kamu!" ancam Lola sebelum beran
POV AntonAku berdiri di ambang pintu kamar mama dan melihat semua yang dikerjakan oleh Tina, istriku, di sana. Dia dengan telaten dan sabar menyuapi mama makan. Dia sabar menunggu sampai mama benar-benar menelan buburnya. Sisa-sisa makanan yang belepotan di mulut mama, dibersihkannya dengan tisu. Mama begitu sumringah menerima perlakuan Tina. Wajahnya berbinar dan matanya selalu menatap wajah Tina seolah-olah dia baru pertama kali mengenal Tina.Aku heran. Mama hanya mau dirawat oleh Tina. Sudah seminggu ini memang ada perawat untuk mama. Dia bekerja mulai dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Tugasnya adalah memandikan, menyuapi, pokoknya mengurus segala keperluan mama selama rentang waktu tersebut. Tapi kalau sore sudah tiba, saat Ratih, perawat itu, pulang, mama hanya mau dirawat oleh Tina. Terkadang aku kasihan melihat dia bergerak dengan lamban karena perutnya yang semakin besar.Aku berusaha membantu tapi mama selalu menolakku. Seperti tadi, Tina terlambat datang. Aku tidak tahu d
"Lebih baik jadi janda daripada hidup dengan orang jahat. Untuk apa punya suami kalau aku harus hidup sendiri dan berjuang sendiri," kataku sambil menatap Anton telak.Anton menatapku tidak suka sementara Lola juga mendelik dari belakangnya. Pak Joko menghela nafas berat. Sesekali beliau menatap ke arah tempat tidur di mana istrinya terbaring."Tin, bapak tahu ini sangat berat dan perbuatan Anton memang tidak bisa ditolerir," kata Pak Joko. "Tapi maukah kamu mempertimbangkannya setidaknya biarlah sampai cucu bapak lahir."Aku tersentak mendengar permintaan mertuaku itu. Aku memandangi Anton. Sejak pertengkaran itu bahkan sejak aku tinggal lagi di rumah mertuaku, dia sama sekali tak ada usaha untuk berdamai denganku. Dia malah semakin hari semakin kompak dengan Lola. Terlebih dalam hal menghina aku. Lihatlah, harusnya dia yang mengatakan apa yang dikatakan mertuaku tapi dia malah sikut-sikutan dengan Lola. Mungkin mereka ingin aku segera mengurus perceraian itu sehingga mereka keberata
"Maaf, ya, Tin, aku tak pernah tahu keadaan kamu selama ini."Aku menatap Kak Reni. Selama aku menikah, baru kali ini aku berbicara sedekat ini dengan dia. Walaupun aku sempat tinggal di rumah ini di awal pernikahan dulu, tapi aku sangat jarang bertemu dengan Kak Reni. Dia tinggal di rumah kontrakan yang dekat ke sekolah tempat dia mengajar. Paling banyak kami bertemu 3 kali, itu pun hanya sekadar bertegur sapa."Aku nggak menyangka kalau Anton ternyata mengabaikan kamu," lanjut Kak Reni. "Jadi persiapan perlengkapan bayi dan kamu melahirkan udah beres?""Belum, Kak," aku menggeleng. "Aku baru membeli sebagian.""Kamu nggak usah beli banyak-banyak. Toh anak bayi sangat cepat pertumbuhannya. Kayak kain bedong dan popok, paling lama dipakai sebulan. Kamu mau nggak pakai yang bekas?" tanya Kak. Reni."Bekas?" aku mengernyitkan kening tanda tak mengerti."Maksudku, aku masih menyimpan punya anak-anak. Kamu masih bisa pakai itu," jelas Kak Reni."Boleh, Kak?" mataku berbinar. "Aku maulah,