"Ngapain aja kamu di kamar?" badanku terhenyak saat tiba-tiba pintu kamar dibuka dan ibu mertuaku berdiri di sana."Saya cuma mau ganti baju dulu, Ma," kataku."Jangan lamban begitu. Nanti anak kamu lahir jadi pemalas," bentaknya. "Cepat keluar dan bereskan semua yang berantakan di dapur sana.""Iya, Ma. Sebentar," jawabku."Tunggu apa lagi? Ini udah jam 5. Masak, nyuci, ngepel, masih banyak lagi kerjaan kamu."Sambil menggerutu Bu Ria keluar dari kamarku. Aku menghela nafas panjang. Aku melangkah ke dapur dan mendapati piring kotor bertumpuk di wastafel, pakaian kotor di keranjang, dan onggokan sampah di balik pintu dapur. Apa setiap hari kebiasaan keluarga ini begini, ya? Padahal ada dua anak gadis dewasa tapi dapur berantakan begini. Piring kotor, gelas-gelas, dan peralatan dapur kotor lainnya berserakan di meja makan, belum lagi di wastafel. Tadi pagi aku sudah membereskannya tapi kok bisa kayak baru ada pesta? Apa mereka sengaja membiarkannya supaya aku yang mengerjakannya?Pert
"Ada apa kalian semua berkumpul di sini?"Terdengar suara ayah mertuaku disusul dengan sosok tubuhnya yang berdiri di pintu. Mendadak semua mengubah gestur tubuh melihat kedatangan Pak Joko. "Eh, Bapak udah pulang," Bu Ria menyambut suaminya dengan senyum mengembang di bibirnya.Pak Joko tidak menggubris perkataan istrinya. Dia menatap kami satu per satu. Tatapannya bertahan lama di pipiku."Kamu kenapa, Tin? Wajahmu merah begitu? Kamu menangis?" tanya Pak Joko kaget."O, itu tadi terbentur pintu," Bu Ria yang menjawab dengan cepat. "Iya, kan Tin?" Bu Ria memandangku dengan tatapan mengintimidasi supaya aku mengikuti skenarionya."Mama tadi menampar saya, Pak," jawabku membuat mata Bu Ria mendelik marah kepadaku."Hah? Menampar?" Pak Joko terperanjat dan menatap istrinya untuk memastikan. "Mama menampar Tina? Kenapa, Ma?""Habis dia menjelek-jelekkan Mama," Bu Ria berkilah membela diri."Bukan, Pak. Mama menampar saya karena saya mengungkit uang sepuluh juta yang saya berikan sama M
"Apa maksud Abang?"Aku menatap wajah suamiku yang juga menatapku dengan mimik masa bodoh."Kalau kamu ngotot mau pindah rumah, mengontrak, berarti kamu sendiri yang tanggung jawab untuk segala biayanya," kata Anton enteng."Mana bisa begitu? Harusnya Abang yang tanggung jawab karena Abang adalah kepala rumah tangga." kataku ketus."Kan kamu yang ngotot pindah," kata Anton cuek."Lagian ya, kamu nggak usah sok," kata Kak Ana. "Kamu udah hidup enak di sini. Gratis rumah dan makanan. Nggak usah deh sok-sokan ngontrak ujung-ujungnya nanti ngemis juga ke sini.""Aku bisa pastikan itu takkan terjadi, Kak," kataku."Sombong amat," Lola menimpali. "Kamu beruntung tinggal gratis di sini. Wajarlah kamu ngerjain pekerjaan rumah sebagai rasa terima kasihmu.""Mana ngerti dia terima kasih, La," ejek Bu Ria."Ucapan syukur dan terima kasih itu bukan jadi pembantu juga, Bu," sergahku. "Di luar sana banyak mertua yang memfasilitasi anaknya tapi nggak ngomong apa-apa.""Kamu nggak usah sok tahu," ben
Akhirnya kami, lebih tepatnya aku, pindah juga ke rumah kontrakan. Anton tetap ogah-ogahan tak mau. Untuk mengangkat barang-barangku yang masih tertinggal di kosku dulu saja, aku minta tolong kepada Tommy. Wina juga ikut membantu. Memang tidak banyak. Hanya sebuah lemari berukuran sedang, sebuah meja kecil dan kasur kecilku juga sedikit barang pecah belah yang kupakai saat kos.Rumah kontrakanku hampir kosong melompong karena semua barang-barang itu masuk ke kamar. Dengan berbaik hati, Wina membelikan sebuah rak piring sehingga dapur kecil itu tidak kosong hanya ditempati sebuah kompor satu tungku yang masih tergeletak begitu saja di lantai dengan tabung gasnya. Dia benar-benar baik hati. Aku berdoa semoga dia mendapat jodoh yang baik dan bertanggung jawab. Bukan seperti suamiku.Aku bersyukur mendapat rumah ini. Rumah yang dekat ke kantorku. Hanya sepuluh menit berjalan kaki jadi aku tidak perlu naik angkutan umum atau menebeng ke orang lain kalau pergi bekerja. Kepala Desa pemilik r
"Nggak ada kopi dan gula," jawabku ketus.Anton memandangku sinis. "Makanya jangan sok-sokan minta pindah. Untuk beli gula dan kopi aja kamu nggak punya uang kan."Aku tertawa sinis. Lalu aku menadahkan tangan kepadanya. Dia memandang tanganku kemudian beralih ke wajahku."Apa maksudmu?""Minta uang belanja," jawabku."Uang belanja?" ulangnya. "Kenapa kamu minta uang samaku?""Lupa kalau aku istrimu?" sinisku. "Sejak kita menikah, coba Abang ingat, sudah berapa kali Abang ngasih uang belanja?""Kenapa juga aku ngasih uang belanja sementara kemarin kita masih sama orang tuaku. Kan mamaku yang bayar belanja," katanya dengan nada bangga."Ok, kita abaikan yang kemarin. Jadi sekarang karena kita sudah tinggal sendiri, berarti Abang wajib ngasih uang belanja," kataku tenang. "Kalau Abang mau minum kopi, sini uangnya biar kubelikan ke warung."Anton tersenyum sinis dan menaikkan sebelah sudut bibirnya. Kebiasaannya kalau mengejek memang begitu."Lebih baik aku tinggal di rumah mama aja, hat
"Kamu gila!" bentakku. "Kalau kamu nggak mau menceraikan aku, aku yang akan menuntut cerai."Anton menatapku tak percaya. Bahkan rokok yang dipegangnya sampai terlepas dan jatuh ke lantai. Aku hampir tertawa melihat reaksinya. Cepat-cepat dia tersadar dan membungkuk untuk memungutnya kembali."Kamu pikir menuntut cerai itu gampang?" matanya melotot lebar. "Kamu nggak mikir perasaan orang tuamu? Keluargamu? Mereka pasti malu punya anak perempuan yang menjadi janda karena dicerai."Aku mendadak terdiam. Perasaan di atas angin tadi mendadak lenyap begitu saja mendengar perkataannya. Tidak pernah terpikirkan sampai ke sana karena aku memang nggak ada niat untuk bercerai. Aku hanya menggertaknya. Kelakuan Anton membuatku spontan memikirkan dan mengucapkan kata-kata itu. Tak bisa juga kubayangkan bagaimana perasaan kedua orang tuaku. Sedangkan pernikahanku_karena ingin menutupi aib_ ini saja masih membuat mereka menderita apalagi kalau ditambah dengan berita perceraianku nanti? "Diam kan k
Kupandangi wajah suamiku yang pucat dengan hati nelangsa. Tadi malam aku dan dibantu tetangga membawanya ke klinik ini karena dia mendadak sakit dan mengeluhkan ulu hatinya terasa sesak.Setelah diperiksa, dokter klinik mengatakan suamiku menderita asam lambung dan sudah lumayan parah. Selama ini dia tidak pernah mengeluh tentang perutnya. Jangankan asam lambung, sakit maag biasa pun tidak.Terbayang di benakku kejadian tadi malam. Suamiku mendekap ulu hatinya dengan kuat. Mulutnya komat kamit tapi tidak mampu bersuara. Keringat sebesar jagung membasahi kening dan lehernya. Aku yang panik langsung menjerit memanggil tetangga. Untung mereka belum tidur dan segera membantuku membawa suamiku ke klinik swasta yang tidak jauh dari rumah kami."Suami saya kenapa, Dokter?" tanyaku setelah melihat dokter muda itu melepaskan stetoskop dari telinganya."Suami ibu..." dia berpikir sejenak, mungkin untuk memilah kata yang tepat. "Asam lambungnya naik. Tapi ibu nggak usah khawatir, ya."dr. Budi.
Klinik SetiawanDari jauh aku sudah dapat membaca plang nama bangunan putih itu. Klinik yang sudah lama berdiri di kampung kami bahkan sebelum aku lahir. Klinik yang dibangun oleh Dokter Setiawan, seorang dokter bertangan dingin. Rata-rata orang yang berobat kepadanya pasti sembuh. Itulah makanya aku sedikit lega saat tahu Ayahku dibawa berobat ke klinik ini.Aku bergegas menyeret langkahku ke sana. Jaraknya hanya kurang lebih 100 meter dari jalan besar. Sepanjang perjalanan tadi tak henti-hentinya aku memanjatkan doa memohon pertolongan kepada Tuhan untuk kesehatan dan keselamatan Ayahku.Setelah sampai di sana, aku segera masuk ke ruang rawat. Aku sangat hapal bagian dalam klinik ini karena kami selalu berobat ke sini.Aku mendapati Ayah duduk di ranjang bersandar kepada beberapa bantal yang ditumpuk di belakangnya."Ayah..." aku menubruk ayahku dan memeluknya erat. Tak dapat lagi kutahan air mataku."Tina..." Ayah membalas pelukanku dengan erat.Ya, Tuhan, aku sangat merindukan sos