"Ada apa kalian semua berkumpul di sini?"Terdengar suara ayah mertuaku disusul dengan sosok tubuhnya yang berdiri di pintu. Mendadak semua mengubah gestur tubuh melihat kedatangan Pak Joko. "Eh, Bapak udah pulang," Bu Ria menyambut suaminya dengan senyum mengembang di bibirnya.Pak Joko tidak menggubris perkataan istrinya. Dia menatap kami satu per satu. Tatapannya bertahan lama di pipiku."Kamu kenapa, Tin? Wajahmu merah begitu? Kamu menangis?" tanya Pak Joko kaget."O, itu tadi terbentur pintu," Bu Ria yang menjawab dengan cepat. "Iya, kan Tin?" Bu Ria memandangku dengan tatapan mengintimidasi supaya aku mengikuti skenarionya."Mama tadi menampar saya, Pak," jawabku membuat mata Bu Ria mendelik marah kepadaku."Hah? Menampar?" Pak Joko terperanjat dan menatap istrinya untuk memastikan. "Mama menampar Tina? Kenapa, Ma?""Habis dia menjelek-jelekkan Mama," Bu Ria berkilah membela diri."Bukan, Pak. Mama menampar saya karena saya mengungkit uang sepuluh juta yang saya berikan sama M
"Apa maksud Abang?"Aku menatap wajah suamiku yang juga menatapku dengan mimik masa bodoh."Kalau kamu ngotot mau pindah rumah, mengontrak, berarti kamu sendiri yang tanggung jawab untuk segala biayanya," kata Anton enteng."Mana bisa begitu? Harusnya Abang yang tanggung jawab karena Abang adalah kepala rumah tangga." kataku ketus."Kan kamu yang ngotot pindah," kata Anton cuek."Lagian ya, kamu nggak usah sok," kata Kak Ana. "Kamu udah hidup enak di sini. Gratis rumah dan makanan. Nggak usah deh sok-sokan ngontrak ujung-ujungnya nanti ngemis juga ke sini.""Aku bisa pastikan itu takkan terjadi, Kak," kataku."Sombong amat," Lola menimpali. "Kamu beruntung tinggal gratis di sini. Wajarlah kamu ngerjain pekerjaan rumah sebagai rasa terima kasihmu.""Mana ngerti dia terima kasih, La," ejek Bu Ria."Ucapan syukur dan terima kasih itu bukan jadi pembantu juga, Bu," sergahku. "Di luar sana banyak mertua yang memfasilitasi anaknya tapi nggak ngomong apa-apa.""Kamu nggak usah sok tahu," ben
Akhirnya kami, lebih tepatnya aku, pindah juga ke rumah kontrakan. Anton tetap ogah-ogahan tak mau. Untuk mengangkat barang-barangku yang masih tertinggal di kosku dulu saja, aku minta tolong kepada Tommy. Wina juga ikut membantu. Memang tidak banyak. Hanya sebuah lemari berukuran sedang, sebuah meja kecil dan kasur kecilku juga sedikit barang pecah belah yang kupakai saat kos.Rumah kontrakanku hampir kosong melompong karena semua barang-barang itu masuk ke kamar. Dengan berbaik hati, Wina membelikan sebuah rak piring sehingga dapur kecil itu tidak kosong hanya ditempati sebuah kompor satu tungku yang masih tergeletak begitu saja di lantai dengan tabung gasnya. Dia benar-benar baik hati. Aku berdoa semoga dia mendapat jodoh yang baik dan bertanggung jawab. Bukan seperti suamiku.Aku bersyukur mendapat rumah ini. Rumah yang dekat ke kantorku. Hanya sepuluh menit berjalan kaki jadi aku tidak perlu naik angkutan umum atau menebeng ke orang lain kalau pergi bekerja. Kepala Desa pemilik r
"Nggak ada kopi dan gula," jawabku ketus.Anton memandangku sinis. "Makanya jangan sok-sokan minta pindah. Untuk beli gula dan kopi aja kamu nggak punya uang kan."Aku tertawa sinis. Lalu aku menadahkan tangan kepadanya. Dia memandang tanganku kemudian beralih ke wajahku."Apa maksudmu?""Minta uang belanja," jawabku."Uang belanja?" ulangnya. "Kenapa kamu minta uang samaku?""Lupa kalau aku istrimu?" sinisku. "Sejak kita menikah, coba Abang ingat, sudah berapa kali Abang ngasih uang belanja?""Kenapa juga aku ngasih uang belanja sementara kemarin kita masih sama orang tuaku. Kan mamaku yang bayar belanja," katanya dengan nada bangga."Ok, kita abaikan yang kemarin. Jadi sekarang karena kita sudah tinggal sendiri, berarti Abang wajib ngasih uang belanja," kataku tenang. "Kalau Abang mau minum kopi, sini uangnya biar kubelikan ke warung."Anton tersenyum sinis dan menaikkan sebelah sudut bibirnya. Kebiasaannya kalau mengejek memang begitu."Lebih baik aku tinggal di rumah mama aja, hat
"Kamu gila!" bentakku. "Kalau kamu nggak mau menceraikan aku, aku yang akan menuntut cerai."Anton menatapku tak percaya. Bahkan rokok yang dipegangnya sampai terlepas dan jatuh ke lantai. Aku hampir tertawa melihat reaksinya. Cepat-cepat dia tersadar dan membungkuk untuk memungutnya kembali."Kamu pikir menuntut cerai itu gampang?" matanya melotot lebar. "Kamu nggak mikir perasaan orang tuamu? Keluargamu? Mereka pasti malu punya anak perempuan yang menjadi janda karena dicerai."Aku mendadak terdiam. Perasaan di atas angin tadi mendadak lenyap begitu saja mendengar perkataannya. Tidak pernah terpikirkan sampai ke sana karena aku memang nggak ada niat untuk bercerai. Aku hanya menggertaknya. Kelakuan Anton membuatku spontan memikirkan dan mengucapkan kata-kata itu. Tak bisa juga kubayangkan bagaimana perasaan kedua orang tuaku. Sedangkan pernikahanku_karena ingin menutupi aib_ ini saja masih membuat mereka menderita apalagi kalau ditambah dengan berita perceraianku nanti? "Diam kan k
Kupandangi wajah suamiku yang pucat dengan hati nelangsa. Tadi malam aku dan dibantu tetangga membawanya ke klinik ini karena dia mendadak sakit dan mengeluhkan ulu hatinya terasa sesak.Setelah diperiksa, dokter klinik mengatakan suamiku menderita asam lambung dan sudah lumayan parah. Selama ini dia tidak pernah mengeluh tentang perutnya. Jangankan asam lambung, sakit maag biasa pun tidak.Terbayang di benakku kejadian tadi malam. Suamiku mendekap ulu hatinya dengan kuat. Mulutnya komat kamit tapi tidak mampu bersuara. Keringat sebesar jagung membasahi kening dan lehernya. Aku yang panik langsung menjerit memanggil tetangga. Untung mereka belum tidur dan segera membantuku membawa suamiku ke klinik swasta yang tidak jauh dari rumah kami."Suami saya kenapa, Dokter?" tanyaku setelah melihat dokter muda itu melepaskan stetoskop dari telinganya."Suami ibu..." dia berpikir sejenak, mungkin untuk memilah kata yang tepat. "Asam lambungnya naik. Tapi ibu nggak usah khawatir, ya."dr. Budi.
Klinik SetiawanDari jauh aku sudah dapat membaca plang nama bangunan putih itu. Klinik yang sudah lama berdiri di kampung kami bahkan sebelum aku lahir. Klinik yang dibangun oleh Dokter Setiawan, seorang dokter bertangan dingin. Rata-rata orang yang berobat kepadanya pasti sembuh. Itulah makanya aku sedikit lega saat tahu Ayahku dibawa berobat ke klinik ini.Aku bergegas menyeret langkahku ke sana. Jaraknya hanya kurang lebih 100 meter dari jalan besar. Sepanjang perjalanan tadi tak henti-hentinya aku memanjatkan doa memohon pertolongan kepada Tuhan untuk kesehatan dan keselamatan Ayahku.Setelah sampai di sana, aku segera masuk ke ruang rawat. Aku sangat hapal bagian dalam klinik ini karena kami selalu berobat ke sini.Aku mendapati Ayah duduk di ranjang bersandar kepada beberapa bantal yang ditumpuk di belakangnya."Ayah..." aku menubruk ayahku dan memeluknya erat. Tak dapat lagi kutahan air mataku."Tina..." Ayah membalas pelukanku dengan erat.Ya, Tuhan, aku sangat merindukan sos
Aku menuntun Ayah duduk di sofa sederhana di ruang tamu kami. Tak ada yang berubah dari kondisi rumah kami kecuali kehangatannya yang tak lagi kurasakan. Ibu berjalan terus ke belakang membawa tas dan kantong plastik itu."Ayah mau minum?" tanyaku.Ayah menggeleng."Atau Ayah mau makan? Biar aku masakkan sebentar.""Tadi udah dikasih sarapan di klinik, Nak," jawab Ayah. "Kamu pasti yang belum sarapan karena buru-buru ke sini."Pernyataan Ayah menyadarkan aku bahwa aku memang belum makan apa-apa dari sejak aku bangun. Jangankan makan, minum segelas air putih pun belum ada."Aku nggak apa-apa, Yah. Aku hanya khawatir sama Ayah," jawabku."Kamu jangan sepele dengan kondisi kamu. Kamu sekarang lagi mengandung, kamu harus memikirkan anakmu juga," kata Ayah.Aku menunduk malu. Andai kehamilanku ini kudapat dari hubungan yang wajar dan normal, aku pasti bangga menunjukkannya kepada orang tuaku. Ini apa? Besarnya perutku malah seolah-olah menambah luka di hati orang tuaku. Masih kuingat tatap
Sehari sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah kembali ke rumah kontrakanku ditemani oleh Wina. Kemarin saat aku keluar dari rumah mertuaku, aku mendatangi Wina ke kosnya. Di sana, dalam pelukan sahabatku itu, tanpa dapat kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Kalau di rumah mertuaku, aku tidak bisa menangis dan aku pun tidak tahu kenapa. Rasa marah, dongkol, kesal, kecewa dan entah rasa apa lagi yang menumpuk di rongga dadaku, seakan tersalurkan lewat tangisanku."Menangislah, keluarkan semua bebanmu," kata Wina sambil memeluk aku sangat erat. Dia pun ikut menangis sesenggukan. "Ada apa?" tanya Bu Sari heran mendapati kami berdua berpelukan sambil menangis di kamar Wina. Suara tangisku yang keras membuat beliau mendatangi kamar Wina."Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga ibu akan tahu," jawab Wina.Bu Sari keluar dan menutup kembali pintu kamar. Aku yakin hatinya sekarang penuh tanda tanya dan kebingungan. Tapi seperti kata Wina, beliau juga bakalan segera tahu penyebabnya.Wina me
Setelah selesai merekam perbuatan bejat suamiku dengan Lola memakai ponsel Anton, aku segera mengirimnya ke ponselku juga ke grup keluarga kami. Tidak main-main, aku tidak mengirimnya ke grup keluarga kecil kami tapi aku mengirimnya ke 2 grup besar atas nama nenek Anton dari pihak ayah mertuaku yang anggotanya ada 30 orang lebih dan atas nama kakek dari pihak ibu mertuaku, mulai dari anak SD sampai orang tua ada di sana sebagai anggota."Silakan dinikmati pertunjukan gratis ini!" Itu caption yang kutulis sebagai pengantar pesan itu."Aku nggak menyangka kalau kamu bersikap kasar kepadaku dan selalu membela Lola, itu karena ternyata kalian menjalin hubungan?" kataku pelan seolah kepada diriku sendiri. "Betapa bodohnya aku.""Aku memang tidak mencintaimu lagi, Ton. Aku sudah mati rasa sejak menjadi istrimu. Aku bertahan demi anak ini tapi semua sia-sia. Aku memang menuntut cerai dari kamu. Tapi aku tak menyangka akan menyertakan bukti perselingkuhanmu ini juga ke pengadilan. Tadinya ak
Terdengar suara kentongan 3 kali dari pos siskamling yang tak jauh dari rumah pertanda sekarang sudah pukul 3 dini hari. Aku menutup mulutku menahan isak tangisku sambil merekam perbuatan bejat lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Perbuatan mereka terekam dengan jelas walaupun kamar itu temaram yang hanya diterangi lampu tidur. Setelah durasinya hampir mencapai 1 menit aku berhenti dan segera mengirimnya ke ponselku. Itu sudah cukup menjadi bukti. Pesanku sudah terkirim dan kulemparkan ponsel Anton begitu saja ke lantai.Dengan sinis kupandangi aktivitas kedua manusia laknat itu dan mundur. Kuhapus air mata di pipiku dengan kasar. Tak sudi rasanya menangisi pria bejat itu. Dengan sengaja kuraih daun pintu dan kuhempaskan dengan keras. Suaranya berdentam keras di malam sunyi itu. Segera kunyalakan lampu Kedua makhluk yang sedang berbagi peluh itu terkejut dan menoleh ke belakang. Aku tak dapat menggambarkan betapa terkejutnya mereka melihatku berdiri di ambang pintu dan menatap mer
"Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk
Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak
POV Anton"Ton, kamu di mana?"Terdengar suara manja mendayu dari arah depan. Kulirik jam. Sudah jam 6 sore. Wajah ceria Lola muncul dari balik gorden pembatas ruang depan dan ruang tamu."Kok lama amat pulangnya?" tegurku kesal."Kangen, ya?" dengan manja Lola bergelayut di lenganku tapi segera kutepis. Dia cemberut. "Kok gitu sih?""Kamu jangan macam-macam. Ini di rumah, ada Tina juga," kataku sambil melihat ke depan, siapa tahu mereka sudah kembali dari jalan-jalan."Mereka masih di luar. Tadi aku lewati di ujung jalan mereka ngobrol dengan Pak Johan," kata Lola. "Ana belum pulang kan?""Dia kan lagi dinas luar," jawabku."Berarti kita bebas dong," Lola mengedipkan sebelah mata kepadaku dan memelukku erat."Jaga sikapmu!" kataku setengah membentak."Apaan sih, Ton?" Lola duduk menjauh dengan muka ditekuk. "Toh kita akan bersama juga kan? Biar aja mereka tahu!""Iya, tapi nggak sekarang juga. Mama masih sakit," bentakku."Awas kalau kamu ingkar. Habis kamu!" ancam Lola sebelum beran
POV AntonAku berdiri di ambang pintu kamar mama dan melihat semua yang dikerjakan oleh Tina, istriku, di sana. Dia dengan telaten dan sabar menyuapi mama makan. Dia sabar menunggu sampai mama benar-benar menelan buburnya. Sisa-sisa makanan yang belepotan di mulut mama, dibersihkannya dengan tisu. Mama begitu sumringah menerima perlakuan Tina. Wajahnya berbinar dan matanya selalu menatap wajah Tina seolah-olah dia baru pertama kali mengenal Tina.Aku heran. Mama hanya mau dirawat oleh Tina. Sudah seminggu ini memang ada perawat untuk mama. Dia bekerja mulai dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Tugasnya adalah memandikan, menyuapi, pokoknya mengurus segala keperluan mama selama rentang waktu tersebut. Tapi kalau sore sudah tiba, saat Ratih, perawat itu, pulang, mama hanya mau dirawat oleh Tina. Terkadang aku kasihan melihat dia bergerak dengan lamban karena perutnya yang semakin besar.Aku berusaha membantu tapi mama selalu menolakku. Seperti tadi, Tina terlambat datang. Aku tidak tahu d
"Lebih baik jadi janda daripada hidup dengan orang jahat. Untuk apa punya suami kalau aku harus hidup sendiri dan berjuang sendiri," kataku sambil menatap Anton telak.Anton menatapku tidak suka sementara Lola juga mendelik dari belakangnya. Pak Joko menghela nafas berat. Sesekali beliau menatap ke arah tempat tidur di mana istrinya terbaring."Tin, bapak tahu ini sangat berat dan perbuatan Anton memang tidak bisa ditolerir," kata Pak Joko. "Tapi maukah kamu mempertimbangkannya setidaknya biarlah sampai cucu bapak lahir."Aku tersentak mendengar permintaan mertuaku itu. Aku memandangi Anton. Sejak pertengkaran itu bahkan sejak aku tinggal lagi di rumah mertuaku, dia sama sekali tak ada usaha untuk berdamai denganku. Dia malah semakin hari semakin kompak dengan Lola. Terlebih dalam hal menghina aku. Lihatlah, harusnya dia yang mengatakan apa yang dikatakan mertuaku tapi dia malah sikut-sikutan dengan Lola. Mungkin mereka ingin aku segera mengurus perceraian itu sehingga mereka keberata
"Maaf, ya, Tin, aku tak pernah tahu keadaan kamu selama ini."Aku menatap Kak Reni. Selama aku menikah, baru kali ini aku berbicara sedekat ini dengan dia. Walaupun aku sempat tinggal di rumah ini di awal pernikahan dulu, tapi aku sangat jarang bertemu dengan Kak Reni. Dia tinggal di rumah kontrakan yang dekat ke sekolah tempat dia mengajar. Paling banyak kami bertemu 3 kali, itu pun hanya sekadar bertegur sapa."Aku nggak menyangka kalau Anton ternyata mengabaikan kamu," lanjut Kak Reni. "Jadi persiapan perlengkapan bayi dan kamu melahirkan udah beres?""Belum, Kak," aku menggeleng. "Aku baru membeli sebagian.""Kamu nggak usah beli banyak-banyak. Toh anak bayi sangat cepat pertumbuhannya. Kayak kain bedong dan popok, paling lama dipakai sebulan. Kamu mau nggak pakai yang bekas?" tanya Kak. Reni."Bekas?" aku mengernyitkan kening tanda tak mengerti."Maksudku, aku masih menyimpan punya anak-anak. Kamu masih bisa pakai itu," jelas Kak Reni."Boleh, Kak?" mataku berbinar. "Aku maulah,