Klinik SetiawanDari jauh aku sudah dapat membaca plang nama bangunan putih itu. Klinik yang sudah lama berdiri di kampung kami bahkan sebelum aku lahir. Klinik yang dibangun oleh Dokter Setiawan, seorang dokter bertangan dingin. Rata-rata orang yang berobat kepadanya pasti sembuh. Itulah makanya aku sedikit lega saat tahu Ayahku dibawa berobat ke klinik ini.Aku bergegas menyeret langkahku ke sana. Jaraknya hanya kurang lebih 100 meter dari jalan besar. Sepanjang perjalanan tadi tak henti-hentinya aku memanjatkan doa memohon pertolongan kepada Tuhan untuk kesehatan dan keselamatan Ayahku.Setelah sampai di sana, aku segera masuk ke ruang rawat. Aku sangat hapal bagian dalam klinik ini karena kami selalu berobat ke sini.Aku mendapati Ayah duduk di ranjang bersandar kepada beberapa bantal yang ditumpuk di belakangnya."Ayah..." aku menubruk ayahku dan memeluknya erat. Tak dapat lagi kutahan air mataku."Tina..." Ayah membalas pelukanku dengan erat.Ya, Tuhan, aku sangat merindukan sos
Aku menuntun Ayah duduk di sofa sederhana di ruang tamu kami. Tak ada yang berubah dari kondisi rumah kami kecuali kehangatannya yang tak lagi kurasakan. Ibu berjalan terus ke belakang membawa tas dan kantong plastik itu."Ayah mau minum?" tanyaku.Ayah menggeleng."Atau Ayah mau makan? Biar aku masakkan sebentar.""Tadi udah dikasih sarapan di klinik, Nak," jawab Ayah. "Kamu pasti yang belum sarapan karena buru-buru ke sini."Pernyataan Ayah menyadarkan aku bahwa aku memang belum makan apa-apa dari sejak aku bangun. Jangankan makan, minum segelas air putih pun belum ada."Aku nggak apa-apa, Yah. Aku hanya khawatir sama Ayah," jawabku."Kamu jangan sepele dengan kondisi kamu. Kamu sekarang lagi mengandung, kamu harus memikirkan anakmu juga," kata Ayah.Aku menunduk malu. Andai kehamilanku ini kudapat dari hubungan yang wajar dan normal, aku pasti bangga menunjukkannya kepada orang tuaku. Ini apa? Besarnya perutku malah seolah-olah menambah luka di hati orang tuaku. Masih kuingat tatap
Sebenarnya aku sangat merindukan Tina, putri kecilku itu. Jantungku berdebar lebih cepat menunggu kedatangannya. Aku menyibukkan diriku dengan membereskan selimut dan bantal yang kami bawa tadi malam untuk menutupi kegelisahanku.Dan saat putriku sampai dan memeluk suamiku, hatiku bagai diiris sembilu melihat keadaannya. Tina sangat kurus. Tulang pipinya menonjol. Dia tak ada bedanya dengan gambar penderita busung lapar yang ada di buku-buku atau yang kutonton di televisi. Tubuh kurus tapi perut buncit. Dan saat menyalamiku, jari-jarinya seakan-akan tinggal kulit pembalut tulang. Dulu sebelum menikah, Tina memang bertubuh ramping tapi tidak sekurus sekarang, apalagi sekarang sedang hamil, seharusnya dia bisa agak gemuk.Aku melengos menghindari tatap mata dengannya. Aku tak tahan melihatnya. Hati ibu mana yang tidak teriris pedih melihat keadaan putrinya yang sangat memprihatinkan seperti itu? Anak yang kurawat dengan kasih sayang walaupun tidak bergelimang harta, dalam sekejap tampil
"Apa maksudnya, Bu Darmi?" aku berbalik dan berteriak membuat mereka bertiga berhenti melangkah.Kekesalan dan kemarahan yang menyesak di dadaku semakin menggunung. Aku memandang Bu Darmi dengan tajam membuatnya mengalihkan pandangannya ke arah lain."Suami saya sakit bukan gara-gara Tina atau siapa pun," kataku sengit."Jangan diambil hati, Bu," Bu Ruth menghampiri aku. "Mungkin maksud Bu Darmi bukan begitu.""Jadi maksudnya apa? Aku masih bisa mendengar dengan jelas, Bu," kataku emosi. "Dan siapa yang menggosipkan keluargaku di kampung ini kalau bukan dia?" Bu Darmi yang tadi mengalihkan pandangannya, sekarang menatapku dengan garang."Memang benar kok, Bu. Kenapa Ibu malah marah?" tantangnya. "Seluruh kampung ini ngomongin keluarga Ibu.""Apaan sih, Bu?" Bu Ruth menarik tangan Bu Darmi menjauh. "Maaf, Bu, kami pulang dulu.""Lepaskan!" Bu Darmi menghempaskan tangan Bu Ruth dan kembali maju mendatangiku."Ibu nggak usah malu. Akui aja kalau Ibu gagal mendidik anak. Kalau nggak, ngg
"Tina, katakan sejujurnya," Ibu menatapku tajam. "Apa maksud Bu Darmi tadi tentang mertuamu? Apa mereka baik sama kamu?"Jantungku berdebar kencang. Pertanyaan yang sangat kuhindari akhirnya terlontar juga. Aku mengusap air mataku sampai wajahku kering. Kutatap kedua orang tuaku sambil tersenyum."Mereka baik kok, Yah, Bu," kubuat suaraku sealami mungkin. "Nggak usah khawatir.""Tapi kata Bu Darmi..." "Ibu kayak nggak tahu Bu Darmi aja. Dia kan suka bergosip. Lagian memangnya dia kenal sama mertuaku?" aku berusaha meyakinkan Ibu. "Ibu dan Ayah nggak usah khawatir. Aku baik-baik aja kok, Yah, Bu."Ayah dan Ibu berpandangan. Di satu sisi aku merasa senang karena Ibu sudah mau berbicara denganku meskipun ketus dan kasar. Di sisi lain aku sedih karena harus berbohong kepada mereka. Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya apalagi dengan kondisi Ayah yang sedang sakit begini. Aku menghela nafas berat. Kepalaku sakit."Kamu nggak usah bohong. Ibu memang masih marah sama kamu tapi Ibu
Sekali lagi aku menatap Anton yang masih tidur dibungkus selimut. Dari tadi aku sudah berusaha membangunkannya dan menanyakan apakah dia bekerja atau tidak. Tapi jangankan bangun, untuk sekadar menjawab saja tidak ada. Dia malah menarik selimut dan menutup sekujur tubuhnya.Aku menutup pintu kamar dan meraih tasku. Saat membuka pintu, ternyata ada Bu Umar dengan tangan terangkat hendak mengetuk pintu. Beliau tersenyum manis. Aku sudah mengenal istri kepala desa sekaligus pemilik kontrakanku itu walaupun belum pernah bicara dengannya. Dia bekerja di Puskesmas pembantu yang tak jauh dari kediaman kami."Kamu Tina kan?" tanyanya. "Menantunya Pak Joko dan Bu Ria?""Iya, Bu," aku mengangguk sopan. "Ada apa, Bu?""Maaf, ya, saya baru ini bisa kenalan sama kamu. Saya baru sehat, jadi nggak pernah keluar rumah," kata Bu Umar.Wajahnya memang terlihat pucat kekuningan."Nggak apa-apa, Bu. Harusnya saya yang ke rumah Ibu memperkenalkan diri," kataku tak enak."Kamu udah mau berangkat kerja?" ta
Jam sudah menunjukkan waktu pulang. Setelah mematikan komputer dan membereskan barang-barangku, aku berjalan keluar menuju ruangan Wina. Aku lihat dia sedang berbicara dengan dua orang yang duduk membelakangi pintu."Sebentar, ya, Tin," kata Wina saat melihatku berdiri di pintu. Kedua orang itu refleks melihat ke belakang mengikuti pandangan Wina."Eh, Tina?" ternyata mereka adalah Hanna, teman sekerja Anton, dan Meta, tetangga rumahku."Halo, Kak Hanna," aku menyapa gadis cantik itu. "Hai, Met, ngapain ke sini?" tanyaku kepada Meta."Aku yang ngajak," Hanna yang menjawab. "Kalian tetanggaan kan? Udah tahu kan kalau Meta sepupuku?""Iya, Kak. Meta udah ngasih tahu aku," jawabku."Oh, Meta tinggal di samping rumahmu?" tanya Wina.Aku mengangguk."Duduk dulu, Tin," kata Wina. "Sebentar aku selesaikan dulu masalah yang dibawa si Hanna ini," candanya sambil kembali bekerja di depan komputernya."Kamu sehat kan, Tin?" tanya Hanna. Ia memutar kursinya menghadap ke aku."Sehat, Kak," jawabku
"Bukan lima juta. Tapi empat juta."Kena kamu.Ada perubahan di wajah Anton saat dia keceplosan mengungkapkan jumlah uang yang diterimanya. "Mana?" aku mengulurkan tanganku. "Nggak ada. Udah habis." Anton menepis tanganku dengan kasar."Baru kemarin Abang dapat uang itu. Masa udah habis dalam sehari? Empat juta lho, Bang," kataku."Kebutuhanku banyak," katanya ketus."Kebutuhan apa? Rokok? Tuak? Bir?" tanyaku sinis. Di samping minum tuak, Anton juga sangat menyukai bir dan juga minuman beralkohol lainnya."Bukan urusanmu," kata Anton."Abang bisa mentraktir kawan-kawan Abang tapi aku sepeser pun nggak Abang kasih?" protesku."Dia kawan-kawanku. Mereka kawanku bermain," kata Anton. "Kamu jangan melarang aku bergaul dengan mereka.""Aku tidak pernah melarang Abang bergaul dengan siapa pun, tapi jangan lupa kalau Abang udah menikah. Harusnya prioritas Abang sekarang adalah istri dan rumah tangga Abang," kataku. "Sebentar lagi kita punya anak, Bang. Kita belum beli perlengkapannya.""It