"Urusan cari nafkah itu adalah urusan laki-laki. Perempuan sifatnya hanya membantu. Berani berbuat, berani bertanggung jawab." kata Pak Joko tegas.Aku memandang Anton dengan senyum miring. Wajahnya memerah mendengar perkataan ayahnya. Dia menunduk menekuri lantai."Bapak nggak usah keras gitulah sama Anton." kata Bu Ria."Mama yang nggak usah memanjakan dia," kata Pak Joko tegas. "Mau sampai kapan dia begitu? Sebenarnya bagus Tina mengusulkan untuk mandiri supaya Anton juga punya tanggung jawab sendiri. Seharusnya Anton yang mengatakan itu, bukan Tina. " sindir Pak Joko. "Kalau sudah berumah tangga, tanggung sendiri suka dukanya. Jangan bisanya nebeng hidup di rumah orang tua." Anton hanya menunduk saja dari tadi, tak berani membantah ayahnya."Kenapa kok tegang semua ini?" Kak Ana dan Lola muncul memecahkan suasana. Mereka sudah rapi dengan baju kantor dan tanpa basa basi langsung mengambil sarapan."Kamu juga Ana, Lola, kalian sudah dewasa, saling membantulah kerja di rumah ini!"
Aku memandangi tumpukan kain kotor di atas keranjang di depan kamar mandi. Bahkan sebagian sudah keluar dan menjuntai di sekeliling keranjang. "Kakak mau ngapain?" Denny mengejutkanku."Lho, kamu belum pergi ke sekolah?" tanyaku heran melihatnya masih di rumah."Ini udah mau berangkat, Kak." jawabnya sambil meletakkan pakaian kotornya di atas tumpukan pakaian kotor itu. "Kakak mau nyuci?""Iya, Den," jawabku."Nggak usah, Kak. Nanti ada orang yang datang nyuci kok," kata Denny."Oh, ya?" aku agak terkejut mendengarnya."Tapi mulai sekarang nggak ada lagi," tiba-tiba ibu mertuaku sudah berdiri di belakangku."Kenapa, Ma?" tanya Denny polos."Untuk menghemat biaya. Ngapain bayar tukang cuci lagi sementara di rumah ini ada yang nganggur," kata Bu Ria sambil melirikku."Maksudnya Kak Tina?" Denny lagi-lagi bertanya dengan polosnya."Siapa lagi?" kata Bu Ria ketus."Tapi kan Kak Tina kerja juga, Ma. Kebetulan aja sekarang dia masih libur." kata Denny. "Iya, kan, Kak?""Eh, anak kecil tahu
Aku menjepit hidungku dengan jari telunjuk dan jempol untuk menahan bau yang menguar dari pakaian kotor di hadapanku supaya jangan sampai ke hidungku. Dengan menahan mual aku memilih dan memilah pakaian itu. Aku menyisihkan pakaian Kak Ana dan Lola. Lihat saja. Akan kubalas perlakuan mereka salah satunya dengan tidak mencuci pakaian mereka. Aku mengangkut pakaian yang akan kucuci ke tempat pencucian pakaian di samping rumah. Setelah merendamnya, aku kembali ke dapur untuk memasukkan pakaian-pakaian kakak iparku itu ke dalam keranjang. Saat mengangkatnya sebuah CD jatuh dan teronggok di kakiku. Aku segera menyingkirkannya dengan jijik dan menghentak-hentakkan kakiku di lantai seperti saat aku melihat kecoa. Ada bercak darah di CD itu. Mungkin darah haid. Aku menumpangkan kain kotor lain di atasnya supaya aku tidak memegang langsung CD berdarah itu.Tiba-tiba sebuah benda jatuh dari kain itu. Setelah kuperhatikan ternyata kondom. Astaga... Aku menutup mulut. Kondom itu jatuh dari cela
Hari ini aku kembali bekerja setelah mengambil cuti beberapa hari. Aku sengaja datang lebih awal karena aku nggak mau teman-temanku mendapat celah untuk mengolok-olok aku. Aku segera menyibukkan diri dengan membersihkan ruangan."Hei, kamu udah masuk?" Diana orang kedua yang datang setelah aku menyapaku. Dia menyalamiku. "Selamat atas pernikahan kamu, ya. Udah selesai cutimu?""Udah, Kak," jawabku. "Makasih, ya, Kak.""Kamu masih di rumah mertua?" tanya Diana."Masih, Kak." jawabku."Halo, Pengantin Baru," teman-teman yang lain berdatangan dan menyalamiku. Ditha, Sarah, Tommy, dan Bu Amalia. "Apa kabar?""Kabar baik. Terima kasih." Aku menjabat tangan mereka satu per satu."Gimana nikahnya?" Tommy mengedipkan sebelah matanya. "Enak dong, ya. Ranjang bergoyang dong setiap saat."Semua yang di ruangan itu tertawa terbahak-bahak tapi jantungku malah berdentam keras menunggu apa yang akan terjadi."Kamu, ya, Tom, kayak ngerti aja yang begituan," kata Bu Amalia. "Anak bau kencur."Tommy me
"Kamu pulang sama siapa?" tanya Wina saat melihatku masih belum beranjak. "Kamu dijemput?"Aku menggeleng. Aku juga nggak tahu harus pulang dengan siapa."Kamu sama siapa?" aku balik bertanya."Sama aku," Sarah tiba-tiba muncul. "Kamu nggak bawa motor?" tanyaku."Nggak. Motorku lagi masuk bengkel." Jawab Sarah."Terus kamu sama siapa, ya?" Wina mengedarkan pandangannya ke sekeliling."Nggak apa-apa, Win, kalian pulang duluan aja," kataku."Nggak bisa gitu, masa kamu tinggal sendirian di sini," kata Wina. "Eh, Tom, kamu pulang sendiri kan?"Tommy yang kebetulan lewat, masuk lagi ke ruangan mendengar panggilan Wina."Sendiri. Kenapa?" tanya Tommy."Kamu boncengan sama Tina, ya," kata Wina."Tina?" Tommy memandangku sambil mengerutkan keningnya. "Jangan deh, Kak Win.""Lho, kenapa? Kamu bilang kamu pulang sendiri," kata Wina heran.Aku juga agak tersinggung dengan penolakan Tommy. "Motorku kan trail, Kak. Tinggi. Sementara Tina lagi begituan," Tommy menggelembungkan tangannya membentuk
"Ngapain aja kamu di kamar?" badanku terhenyak saat tiba-tiba pintu kamar dibuka dan ibu mertuaku berdiri di sana."Saya cuma mau ganti baju dulu, Ma," kataku."Jangan lamban begitu. Nanti anak kamu lahir jadi pemalas," bentaknya. "Cepat keluar dan bereskan semua yang berantakan di dapur sana.""Iya, Ma. Sebentar," jawabku."Tunggu apa lagi? Ini udah jam 5. Masak, nyuci, ngepel, masih banyak lagi kerjaan kamu."Sambil menggerutu Bu Ria keluar dari kamarku. Aku menghela nafas panjang. Aku melangkah ke dapur dan mendapati piring kotor bertumpuk di wastafel, pakaian kotor di keranjang, dan onggokan sampah di balik pintu dapur. Apa setiap hari kebiasaan keluarga ini begini, ya? Padahal ada dua anak gadis dewasa tapi dapur berantakan begini. Piring kotor, gelas-gelas, dan peralatan dapur kotor lainnya berserakan di meja makan, belum lagi di wastafel. Tadi pagi aku sudah membereskannya tapi kok bisa kayak baru ada pesta? Apa mereka sengaja membiarkannya supaya aku yang mengerjakannya?Pert
"Ada apa kalian semua berkumpul di sini?"Terdengar suara ayah mertuaku disusul dengan sosok tubuhnya yang berdiri di pintu. Mendadak semua mengubah gestur tubuh melihat kedatangan Pak Joko. "Eh, Bapak udah pulang," Bu Ria menyambut suaminya dengan senyum mengembang di bibirnya.Pak Joko tidak menggubris perkataan istrinya. Dia menatap kami satu per satu. Tatapannya bertahan lama di pipiku."Kamu kenapa, Tin? Wajahmu merah begitu? Kamu menangis?" tanya Pak Joko kaget."O, itu tadi terbentur pintu," Bu Ria yang menjawab dengan cepat. "Iya, kan Tin?" Bu Ria memandangku dengan tatapan mengintimidasi supaya aku mengikuti skenarionya."Mama tadi menampar saya, Pak," jawabku membuat mata Bu Ria mendelik marah kepadaku."Hah? Menampar?" Pak Joko terperanjat dan menatap istrinya untuk memastikan. "Mama menampar Tina? Kenapa, Ma?""Habis dia menjelek-jelekkan Mama," Bu Ria berkilah membela diri."Bukan, Pak. Mama menampar saya karena saya mengungkit uang sepuluh juta yang saya berikan sama M
"Apa maksud Abang?"Aku menatap wajah suamiku yang juga menatapku dengan mimik masa bodoh."Kalau kamu ngotot mau pindah rumah, mengontrak, berarti kamu sendiri yang tanggung jawab untuk segala biayanya," kata Anton enteng."Mana bisa begitu? Harusnya Abang yang tanggung jawab karena Abang adalah kepala rumah tangga." kataku ketus."Kan kamu yang ngotot pindah," kata Anton cuek."Lagian ya, kamu nggak usah sok," kata Kak Ana. "Kamu udah hidup enak di sini. Gratis rumah dan makanan. Nggak usah deh sok-sokan ngontrak ujung-ujungnya nanti ngemis juga ke sini.""Aku bisa pastikan itu takkan terjadi, Kak," kataku."Sombong amat," Lola menimpali. "Kamu beruntung tinggal gratis di sini. Wajarlah kamu ngerjain pekerjaan rumah sebagai rasa terima kasihmu.""Mana ngerti dia terima kasih, La," ejek Bu Ria."Ucapan syukur dan terima kasih itu bukan jadi pembantu juga, Bu," sergahku. "Di luar sana banyak mertua yang memfasilitasi anaknya tapi nggak ngomong apa-apa.""Kamu nggak usah sok tahu," ben