Share

Bab 8 Curhat

Penulis: Hans Yunata
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-12 15:01:19

Hari-hari sepertinya berlalu dengan sangat cepat. Perubahan tubuhku juga berkembang sangat pesat. Aku sudah mulai merasakan desas-desus orang sekitarku. Di kantor aku sepertinya sudah menjadi bahan gosip dan gunjingan. Wina dan Sarah juga sering mencuri pandang kepadaku saat kami berada di rumah kos. Aku serba salah. Sedangkan Anton belum memberikan keputusan apa pun. Dia selalu berkilah bahwa ibunya belum sehat benar. Dia takut ibunya shock dan masuk rumah sakit lagi kalau mendengar kabar kehamilanku.

Aku mulai stress. Tapi itu malah membuatku semakin bernafsu makan. Tubuhku semakin gemuk. Apalagi pipi dan pinggangku. Padahal hampir setiap malam aku menangis sedih. Kupegangi perutku setiap kali itu terjadi. Berharap janinku tidak ikut merasakan kepedihan hatiku. Pernah di satu titik aku mengharapkan dia jatuh gugur akibat frustrasi yang kurasakan. Aku juga pernah ingin memakan obat keras yang katanya bisa merontokkan janin muda. Tapi aku cepat-cepat tersadar dan mohon ampun kepada Tuhan dan juga kepada calon anakku.

Sudah hampir jam 10 pagi saat aku tiba di kantor. Aku sudah siap dengan omelan Bu Amalia karena keterlambatanku. Kudengar ruangan kami sudah ramai dengan suara teman-temanku. Saat aku hampir mencapai pintu, aku menghentikan langkahku dan mencuri dengar obrolan mereka.

"Kok si Tina ini keseringan datang terlambat akhir-akhir ini, ya?" itu suara Bu Amalia.

"Iya kan, kupikir cuma aku yang memperhatikan," Diana menimpali. "Dia sering pula ngantuk dan ketiduran di sini."

"Kalian perhatikan nggak sih," itu suara Sarah, teman sekosku. "Dia gemukan kan sekarang. Dia tiap hari pake jaket lagi."

Ya, aku memang akhirnya memakai jaket setiap hari untuk menutupi perutku yang sudah mulai membesar. Dan Sarah adalah teman sekosku yang bahkan tak pernah menanyakan langsung keadaanku tapi malah bikin pernyataan yang membuat teman-temanku lebih penasaran.

"Apa jangan-jangan..." suara Bu Amalia menggantung saat aku memutuskan masuk dengan menebalkan muka untuk memotong kalimat Bu Amalia. Aku tahu kalimat apa yang bakal diucapkannya.

"Selamat pagi semua," aku berusaha memasang wajah tersenyum padahal aku tahu wajahku pasti sudah memerah karena dapat kurasakan wajahku sudah memanas.

"Dari mana aja kamu?" tanya Bu Amalia ketus.

"Maaf, Bu, tadi saya ada urusan," jawabku sopan.

"Setiap hari kamu selalu ada urusan?" tanya Bu Amalia. "Dan kami semua yang ada di sini nggak ada urusan begitu?"

Aku hanya terdiam sambil meletakkan tasku di meja dan segera duduk menghadap komputer. Ditha mendekat dan duduk di sampingku.

"Kami dari mana aja?" tanyanya dengan suara berbisik. "Mereka semua membicarakan kamu dari tadi."

"Iya, aku masih sempat dengar tadi," jawabku.

"Kamu ada masalah?" tanya Ditha lagi. Pertanyaan yang sama yang sering dilontarkan oleh Wina kepadaku akhir-akhir ini. Hanya mereka berdua yang bertanya dengan intens setiap hari dan selalu kujawab tidak ada apa-apa.

Aku akhirnya mengangguk. Aku tak sanggup lagi menutupi keadaanku. Aku menunduk tak berani menatap wajah Ditha.

"Segera selesaikan laporan kemarin," perintah Bu Amalia.

"Baik, Bu." jawabku.

"Nanti kamu cerita, ya!" kata Ditha sebelum beranjak meninggalkanku.

***

Kami duduk di kantin setelah jam kantor berakhir. Ditha memesan jus mangga dan makanan kecil. Tidak banyak orang di kantin itu. Hanya ada lima orang laki-laki berseragam seperti kami sedang duduk di pojok asyik bermain kartu tanpa memperdulikan kehadiran kami.

"Nah, ada apa?" tanya Ditha.

Pemilik kantin datang dan meletakkan pesanan kami.

"Makasih, Bu," kataku sebelum dia pergi.

Aku menyeruput jusku sampai habis setengah. Kemudian aku menghela nafas panjang. Ditha menungguku dengan sabar.

"Kak, aku hamil." bisikku perlahan.

Reaksi Ditha sungguh di luar dugaanku. Dia bersikap biasa saja, tidak terkejut atau heran. Malah aku yang heran sampai memelototinya. Aku pikir dia akan terkejut kemudian akan menghinaku atau memakiku atau memarahiku. Tapi dia bersikap sangat biasa. Seolah-olah apa yang aku ungkapkan itu hanya berita biasa saja. Ya, mungkin itu memang biasa bagi dia, ya.

"Sama Anton?" dia juga bertanya dengan santai.

Aku mengangguk. "Memangnya aku sama siapa lagi, Kak?" tanyaku agak tersinggung.

"Udah berapa lama?"

"Apanya?"

"Ya, usia kandunganmulah."

"Oh," aku menunduk malu. "Sepertinya udah Empat bulan, Kak, dari sejak aku tahu dari test pack."

"Berarti udah jalan lima bulan dong sekarang."

"Bisa jadi, Kak."

"Pantaslah kamu bengkak begini," katanya. "Anton udah tahu?"

Aku mengangguk. "Udah, Kak."

"Terus apa rencana kalian?"

Aku menggeleng.

"Belum tahu?" tanya Ditha. Kali ini reaksinya berbeda. Kaget. "Kalian belum membicarakan apa-apa?"

"Anton selalu mengelak, Kak. Bahkan awalnya dia menyuruh aku untuk menggugurkan janin ini." aku mengelus perutku.

"Astaga, gila..." Ditha sampai menutup mulut mendengar perkataanku. "Dia gila, ya. Tapi kamu nggak ada niat kan menuruti apa kata Anton?"

"Nggak, Kak. Tapi pernah saat lagi sangat stress aku berharap janinku ini gugur saja. Hanya sebatas itu, Kak. Tapi untuk menggugurkan dengan makan obat atau semacamnya nggak pernah terpikirkan sama sekali."

"Bagus. Jangan menambah dosa lagi kalian." kata Ditha. "Jadi sekarang bagaimana? Nggak mungkin kan kamu bisa menutupi ini semua?"

"Iya, Kak. Anton sangat pandai mengelak. Dan sekarang alasannya adalah ibunya." aku menceritakan semua tanpa ada yang kusembunyikan kepada temanku itu.

"Jadi sampai kapan kamu menunggu? Sampai perut kamu makin buncit? Begini aja kamu udah jadi bahan gunjingan orang-orang."

"Aku tahu, Kak."

"Kamu nggak menuntut pesta besar atau pesta adat kan?"

"Nggak, Kak. Sumpah! Aku hanya ingin anak ini lahir dengan orang tua yang sah. Aku nggak mau dia dicap sebagai anak haram."

"Jadi apa rencanamu?"

"Entahlah, Kak." aku mendesah.

"Tin, aku tahu ini berat, sangat berat. Aku harap kamu kuat menghadapi ini semua." Ditha merengkuh bahuku erat. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya mengalir dengan deras.

"Aku nggak bisa bantu kamu apa-apa. Tapi percayalah aku mendukung kamu."

"Terima kasih, Kak. Itu sangat berarti buatku. Tapi tolong jangan bilang siapa-siapa dulu tentang ini, ya, Kak. Biar aja mereka ngomong apa aja, aku nggak peduli."

"Kamu tenang aja, ini rahasia kita berdua."

"Termasuk dengan Wina, ya, Kak. Dia sering bertanya kepadaku tapi aku malu jujur sama dia. Aku malu karena kekhawatirannya dulu tentang Anton semua benar. Aku seperti kehilangan muka di hadapan dia."

"Tapi kalian satu kos, lho. Nggak apa-apa sih kamu curhat sama dia. Aku yakin dia nggak akan menghakimi kamu." kata Ditha

"Nggak, Kak. Biar aja dia tahu sendiri."

"Dia orang baik lho, Tin. Dia bisa kecewa sama kamu. Kalau dengan Sarah aku nggak menyarankan itu."

"Aku tahu, Kak. Wina orang baik. Justru itu yang membuat aku segan sama dia. Kalau Sarah, aku nggak dekat sama dia dan dia betul-betul tukang gosip."

"Semoga segera dapat jalan keluarnya, ya, Tin."

"Terima kasih, Kak. Tahu, nggak, aku merasa plong sekarang setelah bercerita sama kakak."

"Itulah gunanya teman. Udah, jangan menangis lagi. Bisa berpengaruh buruk sama bayimu, lho. Jaga kesehatanmu baik-baik."

"Iya, Kak." aku mengangguk.

bersambung...

Bab terkait

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 9 Tanggung Sendiri

    Aku melepaskan korset dari perutku. Sejenak aku menghirup udara lepas karena perutku yang terasa longgar. Aku mengelus perutku dengan sayang."Maaf, ya, Nak. Mama terpaksa melakukan ini karena mama nggak mau kamu jadi bahan gunjingan orang-orang."Ada perasaan aneh saat aku menyebut diriku 'mama'. Sesuatu bergerak dari dalam sana. Aku terperangah. Kuraba perutku lagi tapi gerakan itu sudah berhenti. Kuulangi lagi tapi dia benar-benar berhenti. "Mungkinkah kamu mendengar mama, Nak?" air mataku menetes, aku terharu. "Kamu yang sabar, ya. Kamu bertahan, ya, Nak. Doakan saja ayah kamu segera menemukan jalan keluarnya supaya kamu bisa bebas."Aku berbaring dan membuka kaosku. Kubiarkan perutku yang sudah membuncit bebas lepas. Aku membelai-belainya dengan penuh kasih sayang."Maafkan mama, ya, Sayang. Seharusnya mama udah bisa lihat kamu di layar USG tapi mama belum bisa, Nak. Mama malu," air mataku bergulir lagi."Tin... Tina...." Wina memanggilku dari luar. "Kamu di kamar?"Darahku tersi

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-19
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 10 Pernikahan

    Aku menatap sendu wajah kedua orang tuaku yang duduk di deretan undangan pihak perempuan. Tidak ada kebahagiaan terpancar di wajah kedua orang tercintaku itu, juga dari wajah keluarga dekat kami. Pun dengan keluarga pihak lelaki. Semua menunjukkan wajah datar tanpa senyum yang tidak perlu repot-repot disembunyikan di depan segelintir tamu undangan. Bahkan Kak Ana yang hanya memakai baju kemeja dan rok biasa, seolah-olah bukan saudara kandungnya yang menikah, terang-terangan menunjukkan kebenciannya kepadaku. Sejatinya sebuah pernikahan akan memancarkan keceriaan dan kegembiraan. Tapi tidak dengan pernikahanku ini. Suasananya malah seperti acara berkabung. Ditambah dengan hujan gerimis yang tidak henti-hentinya turun sejak pagi. Pernikahan yang akhirnya terlaksana tiga minggu setelah kami menghadap Bu Ria, yang kini sah menjadi mertuaku. Tiga hari setelah Bu Ria mengetahui kehamilanku, beliau, Pak Joko, dan beberapa keluarga inti Anton mendatangi rumah orang tuaku. Mereka hendak membi

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-22
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 11 Kado dan Amplop

    Aku menghenyakkan pantatku di kasur. Aku sangat lelah. Lelah jiwa dan raga. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar Anton. Kamar yang akan kami tempati. Sangat berantakan dan agak sempit. Kamar kosku bahkan masih lebih lapang dibandingkan ini. Puntung rokok berserakan di mana-mana. Maksud hati ingin merebahkan badan sebentar, tapi tak ada tempat yang tersisa di kasur itu. Pakaian Anton menumpuk di atasnya. Menjijikkan.Aku mengelus perutku dengan bibir tersenyum. 'Akhirnya, ya, Nak', bisikku sendu.Perlahan aku membuka sanggul dan bunga melati dan mawar yang disematkan di atasnya dan meletakkannya di atas kasur. Aku membuka kebayaku. Kebaya pengantin yang dijahit ekspress, cuma dua hari. Kebaya yang dalam impianku seharusnya mewah di hari bahagiaku ternyata hanya kebaya sederhana begini. Kebaya yang terpaksa harus kujahitkan ke tukang jahit karena tidak ada kebaya yang muat yang bisa kupinjam. Dengan menahan malu aku mendatangi penjahit yang menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengu

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-23
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 12 Bagi-bagi Amplop

    "Ambilkan, Tin," teriak Anton.Aku menatapnya tak percaya. "Tapi, Bang...""Susah amat sih? Kalau mama bilang ambil, ya, ambil," katanya dengan mata melotot."Tapi itu hutang kita, Bang. Kita harus membalasnya nanti. Kita aja belum mencatat siapa aja yang memberikan amplop itu." aku berusaha memberikan pengertian."Tina, kamu kok bodoh amat sih? Kamu kan tahu siapa aja yang datang tadi. Kalau mereka mengundangmu nanti, kamu kan tinggal membalas pemberian mereka," sela Kak Ana."Tapi saya belum mencatatnya, Kak.""Untuk apa? Kamu mau membalas mereka sebesar berapa yang mereka kasih? Begitu?" kali ini ibu mertua yang menyela dengan tawa mengejek."Baiklah." aku tak punya pilihan lain lagi. Akhirnya aku kembali ke kamar dan mengambil semua amplop pemberian undangan tadi siang. Setelah kuhitung ada 20 amplop. Satu di antaranya agak tebal. Setelah kubaca nama di sampulnya, ternyata atas nama kantor tempatku bekerja. Aku segera memasukkannya kembali ke tasku."Ini, Ma..."Bu Ria segera menya

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-26
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 13 Tidak Penting

    "Dan kamu juga jangan berani membantah aku!" telunjuknya menuding aku tepat di depan mataku."Kenapa? Itu sebabnya Abang ikut memarahi aku di depan mama dan keluargamu?" tanyaku. Nafasku tersengal. Perutku mulai tak nyaman."Itu karena kamu berani nyolot." seru Anton."Bukan nyolot, Bang. Siapa pun pasti nggak rela kalau uang dan kado itu dibagi-bagi tanpa izin yang punya.""Aku yang ngasih izin sama mereka.""Emangnya itu punya Abang sendiri? Harusnya Abang minta pendapatku juga, Bang. Aku istrimu. Dan aku juga berhak atas semua itu."Anton tertawa terkekeh dan memandangku dengan tatapan melecehkan."Kalau bukan karena buntingmu itu," matanya dilebarkan menunjuk perutku. "Aku takkan pernah menikahi kamu.""Benar. Kalau bukan karena anak ini, aku juga nggak akan sudi menikah dengan kamu!" kataku dengan bibir bergetar memeluk perutku sambil berdoa dalam hati semoga anakku tidak mendengar ucapan ayahnya."Hahaha... Bisa apa kamu tanpa aku?" Anton tertawa meremehkan kemudian ia keluar ka

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-27
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 14 USG

    "Ada apa ribut-ribut?" Bu Ria muncul.Perasaanku tak enak setelah ibu mertuaku datang. Anton langsung duduk menyambut ibunya."Ini, Ma. Tina mengajak aku ke dokter." lapor Anton."Siapa yang sakit? Kamu sakit, Ton?" ibu mertuaku meraba kening Anton. Dia pasti pura-pura tidak tahu apa maksudku."Nggak, Ma. Aku nggak sakit." jawaban Anton tidak sinkron dengan kepura-puraan ibunya."Kami mau ke dokter spesialis kandungan, Ma." aku menekankan kata 'dokter kandungan' dengan jelas. "Untuk memeriksa kandunganku.""Ooh..." Bu Ria mencebikkan bibirnya."Iya, Ma. Saya sudah bikin janji dengan dokternya hari ini," kataku."Tapi aku nggak mau pergi. Aku masih capek. Masih ngantuk." jawab Anton santai."Aku juga capek, Bang. Lagian abang capek ngapain?" seruku. "Terus Abang dari mana tadi malam?""Aku di rumahlah." jawab Anton."Sebelum jam satu Abang ke mana?""Aku di rumah!" Anton ngotot. Kuperhatikan tiba-tiba wajahnya mendadak berubah seperti teringat sesuatu. Tapi hanya sebentar. Dia segera b

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-28
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 15 Awal Derita

    "Nyonya Agustina Kusuma," seorang suster memanggil namaku setelah sepasang suami istri keluar dari ruang periksa. Ternyata sudah giliranku."Iya, saya, Suster." aku berdiri."Silakan masuk, Bu," kata suster itu ramah."Aku boleh ikut masuk kan?" bisik Wina."Kurasa boleh. Yuk!"dr. Tony ternyata masih muda. Umurnya mungkin di pertengahan tiga puluh."Dengan ibu Agustina?" dr. Tony membaca dataku yang kukirim melalui seorang temanku yang bekerja di rumah sakit. "19 tahun. Masih sangat muda.""Iya, Dok." jawabku sedikit kikuk."Santai aja, Bu," kata dr. Tony ramah. "Maaf, tadi pagi saya cancel pertemuan kita.""Nggak apa-apa, Dok.""Suaminya mana, Bu?" tanya dr. Tony.Aku dan Wina berpandangan."Suaminya ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan, Dok," Wina membantuku menjawab pertanyaan menyebalkan itu. "Saya kakaknya yang menemani.""Ok, silakan ibu berbaring di sana!" dr. Tony menunjuk tempat periksa di sampingnya. "Sudah pernah USG sebelumnya?""Belum, Dok " jawabku sambil berbaring.

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-29
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 16 Dia Lebih Baik

    "Bang..." aku menangis menahan sakit."Jangan manja!" Anton menyeretku dan segera kuhempaskan tangannya."Lepaskan! Aku bisa sendiri." aku menatapnya nyalang dan bersusah payah untuk berdiri.Kulihat senyum culas di bibir Bu Ria dan Kak Ana. Dadaku bergemuruh menahan amarah. Baru hari pertama menikah, sudah begini amat nasibku. Dengan bercucuran air mata, aku mulai mencuci piring."Kak..." Aku menoleh. Kulihat Denny menghampiri aku. Tanpa berusaha menyembunyikan, kuseka air mataku dengan tanganku di hadapannya."Sini aku bantu, Kak." Denny mengambil piring yang sudah kusabuni dan membilasnya. Bahkan Denny masih lebih punya perasaan dari pada orang-orang dewasa di rumah ini. "Tolong langsung dilap, ya, Den," kataku. "Dan langsung antar ke meja makan. Mama dan yang lain mau makan.""Mereka udah makan kok," jawab Denny polos."Makan? Tapi katanya nggak ada piring jadi mereka nggak bisa makan tadi." kataku jengkel."Masa sih, Kak? Emangnya piring di rumah ini cuma ini?" kata Denny. "Ban

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-30

Bab terbaru

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 63 Keluargalah Tempatmu Pulang

    Sehari sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah kembali ke rumah kontrakanku ditemani oleh Wina. Kemarin saat aku keluar dari rumah mertuaku, aku mendatangi Wina ke kosnya. Di sana, dalam pelukan sahabatku itu, tanpa dapat kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Kalau di rumah mertuaku, aku tidak bisa menangis dan aku pun tidak tahu kenapa. Rasa marah, dongkol, kesal, kecewa dan entah rasa apa lagi yang menumpuk di rongga dadaku, seakan tersalurkan lewat tangisanku."Menangislah, keluarkan semua bebanmu," kata Wina sambil memeluk aku sangat erat. Dia pun ikut menangis sesenggukan. "Ada apa?" tanya Bu Sari heran mendapati kami berdua berpelukan sambil menangis di kamar Wina. Suara tangisku yang keras membuat beliau mendatangi kamar Wina."Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga ibu akan tahu," jawab Wina.Bu Sari keluar dan menutup kembali pintu kamar. Aku yakin hatinya sekarang penuh tanda tanya dan kebingungan. Tapi seperti kata Wina, beliau juga bakalan segera tahu penyebabnya.Wina me

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 62

    Setelah selesai merekam perbuatan bejat suamiku dengan Lola memakai ponsel Anton, aku segera mengirimnya ke ponselku juga ke grup keluarga kami. Tidak main-main, aku tidak mengirimnya ke grup keluarga kecil kami tapi aku mengirimnya ke 2 grup besar atas nama nenek Anton dari pihak ayah mertuaku yang anggotanya ada 30 orang lebih dan atas nama kakek dari pihak ibu mertuaku, mulai dari anak SD sampai orang tua ada di sana sebagai anggota."Silakan dinikmati pertunjukan gratis ini!" Itu caption yang kutulis sebagai pengantar pesan itu."Aku nggak menyangka kalau kamu bersikap kasar kepadaku dan selalu membela Lola, itu karena ternyata kalian menjalin hubungan?" kataku pelan seolah kepada diriku sendiri. "Betapa bodohnya aku.""Aku memang tidak mencintaimu lagi, Ton. Aku sudah mati rasa sejak menjadi istrimu. Aku bertahan demi anak ini tapi semua sia-sia. Aku memang menuntut cerai dari kamu. Tapi aku tak menyangka akan menyertakan bukti perselingkuhanmu ini juga ke pengadilan. Tadinya ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 61 Zinah

    Terdengar suara kentongan 3 kali dari pos siskamling yang tak jauh dari rumah pertanda sekarang sudah pukul 3 dini hari. Aku menutup mulutku menahan isak tangisku sambil merekam perbuatan bejat lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Perbuatan mereka terekam dengan jelas walaupun kamar itu temaram yang hanya diterangi lampu tidur. Setelah durasinya hampir mencapai 1 menit aku berhenti dan segera mengirimnya ke ponselku. Itu sudah cukup menjadi bukti. Pesanku sudah terkirim dan kulemparkan ponsel Anton begitu saja ke lantai.Dengan sinis kupandangi aktivitas kedua manusia laknat itu dan mundur. Kuhapus air mata di pipiku dengan kasar. Tak sudi rasanya menangisi pria bejat itu. Dengan sengaja kuraih daun pintu dan kuhempaskan dengan keras. Suaranya berdentam keras di malam sunyi itu. Segera kunyalakan lampu Kedua makhluk yang sedang berbagi peluh itu terkejut dan menoleh ke belakang. Aku tak dapat menggambarkan betapa terkejutnya mereka melihatku berdiri di ambang pintu dan menatap mer

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 60 Tertangkap Basah

    "Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 59 POV Lola

    Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 58 POV Anton (2)

    POV Anton"Ton, kamu di mana?"Terdengar suara manja mendayu dari arah depan. Kulirik jam. Sudah jam 6 sore. Wajah ceria Lola muncul dari balik gorden pembatas ruang depan dan ruang tamu."Kok lama amat pulangnya?" tegurku kesal."Kangen, ya?" dengan manja Lola bergelayut di lenganku tapi segera kutepis. Dia cemberut. "Kok gitu sih?""Kamu jangan macam-macam. Ini di rumah, ada Tina juga," kataku sambil melihat ke depan, siapa tahu mereka sudah kembali dari jalan-jalan."Mereka masih di luar. Tadi aku lewati di ujung jalan mereka ngobrol dengan Pak Johan," kata Lola. "Ana belum pulang kan?""Dia kan lagi dinas luar," jawabku."Berarti kita bebas dong," Lola mengedipkan sebelah mata kepadaku dan memelukku erat."Jaga sikapmu!" kataku setengah membentak."Apaan sih, Ton?" Lola duduk menjauh dengan muka ditekuk. "Toh kita akan bersama juga kan? Biar aja mereka tahu!""Iya, tapi nggak sekarang juga. Mama masih sakit," bentakku."Awas kalau kamu ingkar. Habis kamu!" ancam Lola sebelum beran

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 57 POV Anton (1)

    POV AntonAku berdiri di ambang pintu kamar mama dan melihat semua yang dikerjakan oleh Tina, istriku, di sana. Dia dengan telaten dan sabar menyuapi mama makan. Dia sabar menunggu sampai mama benar-benar menelan buburnya. Sisa-sisa makanan yang belepotan di mulut mama, dibersihkannya dengan tisu. Mama begitu sumringah menerima perlakuan Tina. Wajahnya berbinar dan matanya selalu menatap wajah Tina seolah-olah dia baru pertama kali mengenal Tina.Aku heran. Mama hanya mau dirawat oleh Tina. Sudah seminggu ini memang ada perawat untuk mama. Dia bekerja mulai dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Tugasnya adalah memandikan, menyuapi, pokoknya mengurus segala keperluan mama selama rentang waktu tersebut. Tapi kalau sore sudah tiba, saat Ratih, perawat itu, pulang, mama hanya mau dirawat oleh Tina. Terkadang aku kasihan melihat dia bergerak dengan lamban karena perutnya yang semakin besar.Aku berusaha membantu tapi mama selalu menolakku. Seperti tadi, Tina terlambat datang. Aku tidak tahu d

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 56 Di Rumah Sakit

    "Lebih baik jadi janda daripada hidup dengan orang jahat. Untuk apa punya suami kalau aku harus hidup sendiri dan berjuang sendiri," kataku sambil menatap Anton telak.Anton menatapku tidak suka sementara Lola juga mendelik dari belakangnya. Pak Joko menghela nafas berat. Sesekali beliau menatap ke arah tempat tidur di mana istrinya terbaring."Tin, bapak tahu ini sangat berat dan perbuatan Anton memang tidak bisa ditolerir," kata Pak Joko. "Tapi maukah kamu mempertimbangkannya setidaknya biarlah sampai cucu bapak lahir."Aku tersentak mendengar permintaan mertuaku itu. Aku memandangi Anton. Sejak pertengkaran itu bahkan sejak aku tinggal lagi di rumah mertuaku, dia sama sekali tak ada usaha untuk berdamai denganku. Dia malah semakin hari semakin kompak dengan Lola. Terlebih dalam hal menghina aku. Lihatlah, harusnya dia yang mengatakan apa yang dikatakan mertuaku tapi dia malah sikut-sikutan dengan Lola. Mungkin mereka ingin aku segera mengurus perceraian itu sehingga mereka keberata

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 55 Apa Gunanya Punya Suami Tapi...

    "Maaf, ya, Tin, aku tak pernah tahu keadaan kamu selama ini."Aku menatap Kak Reni. Selama aku menikah, baru kali ini aku berbicara sedekat ini dengan dia. Walaupun aku sempat tinggal di rumah ini di awal pernikahan dulu, tapi aku sangat jarang bertemu dengan Kak Reni. Dia tinggal di rumah kontrakan yang dekat ke sekolah tempat dia mengajar. Paling banyak kami bertemu 3 kali, itu pun hanya sekadar bertegur sapa."Aku nggak menyangka kalau Anton ternyata mengabaikan kamu," lanjut Kak Reni. "Jadi persiapan perlengkapan bayi dan kamu melahirkan udah beres?""Belum, Kak," aku menggeleng. "Aku baru membeli sebagian.""Kamu nggak usah beli banyak-banyak. Toh anak bayi sangat cepat pertumbuhannya. Kayak kain bedong dan popok, paling lama dipakai sebulan. Kamu mau nggak pakai yang bekas?" tanya Kak. Reni."Bekas?" aku mengernyitkan kening tanda tak mengerti."Maksudku, aku masih menyimpan punya anak-anak. Kamu masih bisa pakai itu," jelas Kak Reni."Boleh, Kak?" mataku berbinar. "Aku maulah,

DMCA.com Protection Status