Aku melepaskan korset dari perutku. Sejenak aku menghirup udara lepas karena perutku yang terasa longgar. Aku mengelus perutku dengan sayang."Maaf, ya, Nak. Mama terpaksa melakukan ini karena mama nggak mau kamu jadi bahan gunjingan orang-orang."Ada perasaan aneh saat aku menyebut diriku 'mama'. Sesuatu bergerak dari dalam sana. Aku terperangah. Kuraba perutku lagi tapi gerakan itu sudah berhenti. Kuulangi lagi tapi dia benar-benar berhenti. "Mungkinkah kamu mendengar mama, Nak?" air mataku menetes, aku terharu. "Kamu yang sabar, ya. Kamu bertahan, ya, Nak. Doakan saja ayah kamu segera menemukan jalan keluarnya supaya kamu bisa bebas."Aku berbaring dan membuka kaosku. Kubiarkan perutku yang sudah membuncit bebas lepas. Aku membelai-belainya dengan penuh kasih sayang."Maafkan mama, ya, Sayang. Seharusnya mama udah bisa lihat kamu di layar USG tapi mama belum bisa, Nak. Mama malu," air mataku bergulir lagi."Tin... Tina...." Wina memanggilku dari luar. "Kamu di kamar?"Darahku tersi
Aku menatap sendu wajah kedua orang tuaku yang duduk di deretan undangan pihak perempuan. Tidak ada kebahagiaan terpancar di wajah kedua orang tercintaku itu, juga dari wajah keluarga dekat kami. Pun dengan keluarga pihak lelaki. Semua menunjukkan wajah datar tanpa senyum yang tidak perlu repot-repot disembunyikan di depan segelintir tamu undangan. Bahkan Kak Ana yang hanya memakai baju kemeja dan rok biasa, seolah-olah bukan saudara kandungnya yang menikah, terang-terangan menunjukkan kebenciannya kepadaku. Sejatinya sebuah pernikahan akan memancarkan keceriaan dan kegembiraan. Tapi tidak dengan pernikahanku ini. Suasananya malah seperti acara berkabung. Ditambah dengan hujan gerimis yang tidak henti-hentinya turun sejak pagi. Pernikahan yang akhirnya terlaksana tiga minggu setelah kami menghadap Bu Ria, yang kini sah menjadi mertuaku. Tiga hari setelah Bu Ria mengetahui kehamilanku, beliau, Pak Joko, dan beberapa keluarga inti Anton mendatangi rumah orang tuaku. Mereka hendak membi
Aku menghenyakkan pantatku di kasur. Aku sangat lelah. Lelah jiwa dan raga. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar Anton. Kamar yang akan kami tempati. Sangat berantakan dan agak sempit. Kamar kosku bahkan masih lebih lapang dibandingkan ini. Puntung rokok berserakan di mana-mana. Maksud hati ingin merebahkan badan sebentar, tapi tak ada tempat yang tersisa di kasur itu. Pakaian Anton menumpuk di atasnya. Menjijikkan.Aku mengelus perutku dengan bibir tersenyum. 'Akhirnya, ya, Nak', bisikku sendu.Perlahan aku membuka sanggul dan bunga melati dan mawar yang disematkan di atasnya dan meletakkannya di atas kasur. Aku membuka kebayaku. Kebaya pengantin yang dijahit ekspress, cuma dua hari. Kebaya yang dalam impianku seharusnya mewah di hari bahagiaku ternyata hanya kebaya sederhana begini. Kebaya yang terpaksa harus kujahitkan ke tukang jahit karena tidak ada kebaya yang muat yang bisa kupinjam. Dengan menahan malu aku mendatangi penjahit yang menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengu
"Ambilkan, Tin," teriak Anton.Aku menatapnya tak percaya. "Tapi, Bang...""Susah amat sih? Kalau mama bilang ambil, ya, ambil," katanya dengan mata melotot."Tapi itu hutang kita, Bang. Kita harus membalasnya nanti. Kita aja belum mencatat siapa aja yang memberikan amplop itu." aku berusaha memberikan pengertian."Tina, kamu kok bodoh amat sih? Kamu kan tahu siapa aja yang datang tadi. Kalau mereka mengundangmu nanti, kamu kan tinggal membalas pemberian mereka," sela Kak Ana."Tapi saya belum mencatatnya, Kak.""Untuk apa? Kamu mau membalas mereka sebesar berapa yang mereka kasih? Begitu?" kali ini ibu mertua yang menyela dengan tawa mengejek."Baiklah." aku tak punya pilihan lain lagi. Akhirnya aku kembali ke kamar dan mengambil semua amplop pemberian undangan tadi siang. Setelah kuhitung ada 20 amplop. Satu di antaranya agak tebal. Setelah kubaca nama di sampulnya, ternyata atas nama kantor tempatku bekerja. Aku segera memasukkannya kembali ke tasku."Ini, Ma..."Bu Ria segera menya
"Dan kamu juga jangan berani membantah aku!" telunjuknya menuding aku tepat di depan mataku."Kenapa? Itu sebabnya Abang ikut memarahi aku di depan mama dan keluargamu?" tanyaku. Nafasku tersengal. Perutku mulai tak nyaman."Itu karena kamu berani nyolot." seru Anton."Bukan nyolot, Bang. Siapa pun pasti nggak rela kalau uang dan kado itu dibagi-bagi tanpa izin yang punya.""Aku yang ngasih izin sama mereka.""Emangnya itu punya Abang sendiri? Harusnya Abang minta pendapatku juga, Bang. Aku istrimu. Dan aku juga berhak atas semua itu."Anton tertawa terkekeh dan memandangku dengan tatapan melecehkan."Kalau bukan karena buntingmu itu," matanya dilebarkan menunjuk perutku. "Aku takkan pernah menikahi kamu.""Benar. Kalau bukan karena anak ini, aku juga nggak akan sudi menikah dengan kamu!" kataku dengan bibir bergetar memeluk perutku sambil berdoa dalam hati semoga anakku tidak mendengar ucapan ayahnya."Hahaha... Bisa apa kamu tanpa aku?" Anton tertawa meremehkan kemudian ia keluar ka
"Ada apa ribut-ribut?" Bu Ria muncul.Perasaanku tak enak setelah ibu mertuaku datang. Anton langsung duduk menyambut ibunya."Ini, Ma. Tina mengajak aku ke dokter." lapor Anton."Siapa yang sakit? Kamu sakit, Ton?" ibu mertuaku meraba kening Anton. Dia pasti pura-pura tidak tahu apa maksudku."Nggak, Ma. Aku nggak sakit." jawaban Anton tidak sinkron dengan kepura-puraan ibunya."Kami mau ke dokter spesialis kandungan, Ma." aku menekankan kata 'dokter kandungan' dengan jelas. "Untuk memeriksa kandunganku.""Ooh..." Bu Ria mencebikkan bibirnya."Iya, Ma. Saya sudah bikin janji dengan dokternya hari ini," kataku."Tapi aku nggak mau pergi. Aku masih capek. Masih ngantuk." jawab Anton santai."Aku juga capek, Bang. Lagian abang capek ngapain?" seruku. "Terus Abang dari mana tadi malam?""Aku di rumahlah." jawab Anton."Sebelum jam satu Abang ke mana?""Aku di rumah!" Anton ngotot. Kuperhatikan tiba-tiba wajahnya mendadak berubah seperti teringat sesuatu. Tapi hanya sebentar. Dia segera b
"Nyonya Agustina Kusuma," seorang suster memanggil namaku setelah sepasang suami istri keluar dari ruang periksa. Ternyata sudah giliranku."Iya, saya, Suster." aku berdiri."Silakan masuk, Bu," kata suster itu ramah."Aku boleh ikut masuk kan?" bisik Wina."Kurasa boleh. Yuk!"dr. Tony ternyata masih muda. Umurnya mungkin di pertengahan tiga puluh."Dengan ibu Agustina?" dr. Tony membaca dataku yang kukirim melalui seorang temanku yang bekerja di rumah sakit. "19 tahun. Masih sangat muda.""Iya, Dok." jawabku sedikit kikuk."Santai aja, Bu," kata dr. Tony ramah. "Maaf, tadi pagi saya cancel pertemuan kita.""Nggak apa-apa, Dok.""Suaminya mana, Bu?" tanya dr. Tony.Aku dan Wina berpandangan."Suaminya ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan, Dok," Wina membantuku menjawab pertanyaan menyebalkan itu. "Saya kakaknya yang menemani.""Ok, silakan ibu berbaring di sana!" dr. Tony menunjuk tempat periksa di sampingnya. "Sudah pernah USG sebelumnya?""Belum, Dok " jawabku sambil berbaring.
"Bang..." aku menangis menahan sakit."Jangan manja!" Anton menyeretku dan segera kuhempaskan tangannya."Lepaskan! Aku bisa sendiri." aku menatapnya nyalang dan bersusah payah untuk berdiri.Kulihat senyum culas di bibir Bu Ria dan Kak Ana. Dadaku bergemuruh menahan amarah. Baru hari pertama menikah, sudah begini amat nasibku. Dengan bercucuran air mata, aku mulai mencuci piring."Kak..." Aku menoleh. Kulihat Denny menghampiri aku. Tanpa berusaha menyembunyikan, kuseka air mataku dengan tanganku di hadapannya."Sini aku bantu, Kak." Denny mengambil piring yang sudah kusabuni dan membilasnya. Bahkan Denny masih lebih punya perasaan dari pada orang-orang dewasa di rumah ini. "Tolong langsung dilap, ya, Den," kataku. "Dan langsung antar ke meja makan. Mama dan yang lain mau makan.""Mereka udah makan kok," jawab Denny polos."Makan? Tapi katanya nggak ada piring jadi mereka nggak bisa makan tadi." kataku jengkel."Masa sih, Kak? Emangnya piring di rumah ini cuma ini?" kata Denny. "Ban