Share

Bab 4 Marah

Penulis: Hans Yunata
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-29 21:43:42

Kantor kami akan pindah ke gedung baru karena gedung yang kami pakai sekarang adalah sebuah ruko yang akan habis kontraknya. Lokasi gedung baru itu jauh dari rumah kosku sekarang. Nantinya semua kantor akan berpusat di sana. Gedung kami adalah yang pertama kali selesai dibangun dan gedung yang lainnya masih dalam tahap pembangunan. Jaraknya 28 kilometer dari ibukota kabupaten walaupun masih dalam kecamatan yang sama tapi di desa yang berbeda dan bisa dijangkau kendaraan kira-kira 20-30 menit perjalanan. Kami sudah mulai berbenah. Para pegawai laki-laki hampir tiap hari ke sana melakukan pembenahan sedangkan kami para perempuan mulai mengepak barang-barang di kantor yang akan kami tinggalkan.

"Ada yang bisa ikut ke sana hari ini?" tanya Pak John, Kepala Tata Usaha, bosku, sambil memandangi kami satu per satu.

"Perempuan ikut, Pak?" tanya Bu Amalia.

"Iya, untuk memasang gorden," kata Pak John. "Perempuan kan lebih mahir hal-hal begituan."

"Saya, Pak," tanpa pikir panjang aku langsung menyahut. Aku perlu mendinginkan otakku yang panas ini.

"Ok, Tina satu. Yang lain?" Pak John menunggu kesediaan teman-temanku.

Tak ada yang menjawab. Kami saling memandang.

"Ok, biar saya yang tentukan," kata Pak John. "Diana, Yuli, kalian ikut dengan Tina ke sana. Dari bidang lain ada juga yang ikut. Masing-masing mengurus ruangannya sendiri."

Tak ada lagi yang bisa membantah. Walaupun Pak John sangat baik tapi dia juga bisa bersifat tegas tanpa membedakan siapa pun, PNS atau THL.

"Bu Amalia dan Ditha, kalian tinggal di sini. Saya yakin kalian bisa menghandle segala urusan di sini sementara kami di sana. Kalau ada apa-apa, segera hubungi saya."

"Baik, Pak!" jawab Bu Amalia dan Ditha serentak.

Tapi sesampainya di sana aku tidak melakukan apa-apa. Berkali-kali teman-temanku memergoki aku melamun dan menegurku.

"Kamu kenapa?" Wina yang juga ikut dengan kami bertanya. "Kok lesu amat wajah kamu?"

"Nggak apa-apa kok," aku berusaha tersenyum.

"Nggak apa-apa tapi dari tadi kamu melamun terus. Kamu malah nggak ada mengerjakan apa-apa dari tadi," tegur Wina. "Tuh, teman-teman kamu udah ngomongin kamu dari tadi."

Aku tahu. Tapi aku sangat tidak bertenaga membantu mereka.

"Kamu ada masalah?" tanya Wina.

"Nggak," aku menggeleng lambat-lambat.

"Ok, yuk kita bantu mereka," ajak Wina. "Gorden ruangan kami udah terpasang lho. Ruangan kalian belum ada apa-apa."

Aku bangkit perlahan. Aku mencari ponselku di saku saat merasakan getarannya. Anton menelepon.

"Kamu di mana?"

"Di gedung baru," jawabku.

"Ngapain kamu ke sana?"

"Disuruh sama atasanku."

"Masalah kemarin, udah kamu kerjakan belum?"

Bukannya bertanya apa kabarku, dia malah mengingatkan tentang rencana gilanya.

"Nggak! Aku nggak akan melakukan itu!" seruku marah.

Wina yang berjalan di depanku menoleh ke belakang dan mengernyitkan keningnya. Darahku berdesir cepat. Apakah dia mendengarnya? batinku. Aku segera menyingkir ke belakang gedung untuk menghindari teman-temanku.

"Kamu mau melawanku?" suara Anton menggelegar di seberang sana.

"Iya, emangnya Abang mau apa?" aku juga berseru.

"Kamu udah siap kalau..."

"Kalau apa?" aku memotong ucapannya. "Abang mau ngasih tahu ke semua orang tentang kita? Silahkan. Bukankah Abang juga sebagai pelakunya? Bagaimana cara Abang mengumumkan perbuatan bejat kita?"

"Aku nggak hanya membeberkan itu tapi aku juga akan meninggalkan kamu!" ancamnya.

"Silakan. Abang pikir aku nggak tahu caranya supaya Abang bertanggung jawab?" aku tidak mengindahkan ancamannya.

"Kamu mau apa?" kudengar suaranya melemah.

"Aku akan ke rumah Abang!"

"Apa? Apa kamu bilang?" nada suaranya terkejut.

"Ya, aku akan ke rumah kalian dan akan kuberi tahu semua tentang kita kepada kedua orang tuamu. Aku yakin mereka akan shock."

"Jangan pernah kamu berani melakukan itu!" geramnya marah.

"Aku bisa melakukan apa pun!" kataku tegas.

"Kamu mengancam aku?"

"Aku bertindak sesuai dengan perbuatan Abang," balasku sengit.

"Ok...ok...stop! Kamu jangan pernah datang ke rumah kami. Aku janji aku tidak akan mendesak kamu." Anton menyerah.

"Abang jangan hanya berjanji nggak akan mendesakku. Pikirkan bagaimana caranya mengatasi ini." kataku.

"Ok, baik," suaranya melunak. "Kamu jangan bertindak nekad!"

"Seperti yang aku bilang, Abang jual, aku beli."

Pembicaraan kami berakhir. Aku menarik nafas berat. Tiba-tiba Diana muncul dari balik semak-semak. Aku merasa jantungku berhenti berdetak. Apakah dia mendengar pembicaraan kami? Sampai sejauh mana dia mendengarnya? Aku menduga-duga dalam hati.

"Ngapain, kak?" tanyaku akhirnya.

"Panggilan alam. Lega rasanya," ia tersenyum. Dari gelagatnya ia tidak mendengar apa-apa, atau ia tidak memperhatikan, atau ia pura-pura tidak mendengar.

"Pantasan bau," aku mencoba bercanda.

"Hahahaha... kamu bisa aja," Diana terbahak. "Entah kapan air tersambung ke sini. Padahal kita udah mau di sini ngantornya. Ya, kali kita buang air terus di semak ini? Kalau buang air kecil, okelah. Nah, buang air besar?"

Aku tidak menanggapinya. Kumasukkan ponselku ke dalam saku bajuku.

"Masuk, yuk!" ajak Diana.

Aku mengikutinya. Dalam hati masih bertanya-tanya sejauh mana dia mendengar obrolanku di telepon tadi? Apa tadi dia pura-pura acuh tak acuh supaya aku tidak curiga? Tapi Diana yang kukenal selama ini adalah orang yang polos dan apa adanya. Dengan sikapnya tadi, aku yakin ia tidak mendengar dengan jelas apa yang kubicarakan dengan Anton.

Tapi semenjak kehamilan ini, aku jadi gampang curiga dan was was kalau orang lain mengetahuinya.

***

"Apa maksud kamu ngomong begitu tadi siang?" Anton mendatangiku malam harinya. Suara dan tatapan matanya tajam menusuk hatiku. Aku bergidik takut. Kami duduk di teras rumah kosku.

"Kalau Abang masih memaksaku untuk melakukan itu, jelas aku nggak mau," kataku.

"Tapi aku juga nggak mau menikahi kamu secepat itu," bantahnya.

"Pikirkan bagaimana caranya," seruku. "Aku nggak mau menunggu-nunggu lagi. Makin hari perutku akan semakin membesar."

"Aku nggak menyangka ternyata kamu begitu egois," seru Anton. "Atau jangan-jangan kamu sengaja menjebakku, ya?"

"Menjebak bagaimana?" kataku kaget. "Abang yang selalu memaksa aku melakukan itu dan Abang pernah tidak memakai pengaman. Abang pikir ini kemauanku?"

"Bisa aja makanya kamu nggak mau menggugurkannya," tudingnya kejam.

"Bang!" seruku. Aku menangis. "Selama ini kita cukup beruntung bahwa aku tidak hamil setiap kali kita melakukan dosa itu. Tapi aku yakin Tuhan..." bulu kudukku meremang saat menyebut nama yang mulia itu. "Makanya Dia mengizinkan ini terjadi supaya kita berhenti berbuat dosa. Dan sekarang Abang menyuruh aku menggugurkannya?. Kita akan semakin berdosa, Bang."

"Alahhhh... kamu jangan ngomongin dosa sekarang," Anton mengibaskan tangannya di hadapanku. "Sok alim kamu. Munafik!"

Hatiku sakit sekali mendengar omongannya. Dia yang membuat aku jadi begini. Aku dikenal orang sebagai orang yang taat beragama. Aku aktif di gereja, aktif membantu mengajar anak-anak sekolah minggu, juga aktif di kepemudaan gereja. Dan ayahku? Astaga! Ayahku adalah penatua gereja yang sangat disegani di kampungku. Oh, Tuhan, kenapa aku sampai melupakan itu? Air mataku mengalir deras mengingat semua itu.

"Kamu nggak usah menangis. Emangnya menangis menyelesaikan masalah?"

"Terus Abang bisa bikin solusi apa selain menghina aku?" aku mengusap air mataku dengan ujung lengan bajuku.

"Aku pusing..." dia meremas rambutnya dengan kasar.

Tiba-tiba ponselnya yang terletak di atas meja berbunyi. Kak Ana, nama yang tertera di layar kaca benda pipih itu. Anton menekan tombol speaker.

"Kamu di mana?" Kak Ana langsung bertanya tanpa basa-basi.

"Di kosan Tina." jawab Anton.

"Ngapain aja kamu di sana, hah?" suara Kak Ana terdengar marah. "Kenapa kamu harus selalu ke sana? Dia yang nyuruh kamu datang? Belum jadi istri udah posesif sama kamu."

Aku terkejut mendengar omelan kakaknya. Separah itukah aku di matanya? Aku tak pernah menyuruh Anton datang. Bahkan akhir-akhir ini aku lebih senang kalau dia tidak datang sana sekali.

bersambung ...

Bab terkait

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 5 Ibunya Sakit

    "Ada apa, Kak?" tanya Anton. Ia mematikan pengeras suara ponselnya dan memandangku biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Padahal perkataan kakaknya sangat menohok perasaanku."...........""Apa?" Anton berseru dengan kaget. Ia bangkit dari kursinya. "Mama sakit?""..........""Iya, aku akan segera pulang."Anton mematikan ponselnya dan segera menyambar jaket dan kunci motornya."Ada apa, Bang?" tanyaku ikut berdiri."Mama sakit." jawabnya sambil naik ke motornya. Dan tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia bergegas melarikan motornya keluar dari pekarangan rumah kosku.Aku kembali duduk termangu. Perkataan Kak Ana kembali terngiang di telingaku."Lho, Anton udah pergi?" Wina muncul dari dalam. "Barusan kudengar suara motor.""Udah, Win," kataku merasa bersyukur lampu teras tadi kumatikan sehingga suasana teras remang-remang hanya diterangi lampu jalan yang jaraknya kira-kira 30 meter dari rumah sehingga Wina tidak melihat mataku yang sembab."Capek, ya," kata Wina. "Aduh, aku nggak bisa

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-31
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 6 Tidak Boleh

    Satu bulan sudah berlalu sejak aku tahu kehamilanku dari test pack itu. Aku merasa tubuhku sudah mulai berubah. Aku mulai gemuk. Perutku memang masih rata tapi ada perubahan di bagian-bagian tertentu. Aku memang merasa mual di pagi hari dan terkadang di malam hari juga. Tapi nafsu makanku meningkat di siang hari. Aku tidak tahu bagaimana kondisi kandunganku karena aku belum pernah memeriksakan diri ke dokter spesial kandungan. Aku harap janinku baik-baik saja. Sebisa mungkin kujaga pola asupan makananku dan diam-diam aku minum susu ibu hamil.Aku harus menahan keinginanku untuk bertanya kepada Anton tentang tanggung jawabnya karena kondisi ibunya yang masih dirawat di rumah sakit. Dia terlihat tertekan. Anton memang sangat dekat dengan ibunya dan sepanjang yang kutahu dan juga cerita orang-orang, ibunya juga sangat menanjakan Anton. Dia anak kesayangan Bu Ria. Padahal Anton hanya anak ketiga dari 5 bersaudara.Aku berusaha memenuhi keinginannya. Setiap hari dia menyuruhku ke rumah sak

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-03
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 7 Sedih

    Aku segera berlari ke taman. Aku muntah-muntah di dekat tong sampah sambil memegangi perutku. Aku sedih. Bahkan Anton sama sekali tidak menyusulku. Aku menatap nanar ke belakang. Berharap dia muncul tapi halaman rumah sakit sepi. Hanya ada beberapa mobil dan motor terparkir di sana.Setelah perutku lega, aku berdiri. Aku memutuskan berjalan kaki ke rumah karena jaraknya yang memang dekat. Hanya butuh 10 menit berjalan kaki. Aku sengaja berjalan lambat-lambat sambil menghirup udara malam yang berdebu.Tiba-tiba sebuah motor berhenti mendadak di depanku sampai bannya berdecit nyaring. Ternyata Anton. Dia membuka helmnya dan menatapku marah."Apa maksudmu tadi, hah?" bentaknya garang. "Kamu mau bikin mama sakit lagi?""Aku hanya ingin membantu Abang mengatakan yang sebenarnya," kataku."Sama aja kamu membunuh mama." serunya marah."Abang berlebihan." kataku. "Tak ada sedikit pun niatku untuk membunuh mama Abang dan Abang pasti tahu itu.""Kenapa kamu nggak bisa sabar sedikit? Aku tadi ud

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-06
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 8 Curhat

    Hari-hari sepertinya berlalu dengan sangat cepat. Perubahan tubuhku juga berkembang sangat pesat. Aku sudah mulai merasakan desas-desus orang sekitarku. Di kantor aku sepertinya sudah menjadi bahan gosip dan gunjingan. Wina dan Sarah juga sering mencuri pandang kepadaku saat kami berada di rumah kos. Aku serba salah. Sedangkan Anton belum memberikan keputusan apa pun. Dia selalu berkilah bahwa ibunya belum sehat benar. Dia takut ibunya shock dan masuk rumah sakit lagi kalau mendengar kabar kehamilanku.Aku mulai stress. Tapi itu malah membuatku semakin bernafsu makan. Tubuhku semakin gemuk. Apalagi pipi dan pinggangku. Padahal hampir setiap malam aku menangis sedih. Kupegangi perutku setiap kali itu terjadi. Berharap janinku tidak ikut merasakan kepedihan hatiku. Pernah di satu titik aku mengharapkan dia jatuh gugur akibat frustrasi yang kurasakan. Aku juga pernah ingin memakan obat keras yang katanya bisa merontokkan janin muda. Tapi aku cepat-cepat tersadar dan mohon ampun kepada Tu

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-12
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 9 Tanggung Sendiri

    Aku melepaskan korset dari perutku. Sejenak aku menghirup udara lepas karena perutku yang terasa longgar. Aku mengelus perutku dengan sayang."Maaf, ya, Nak. Mama terpaksa melakukan ini karena mama nggak mau kamu jadi bahan gunjingan orang-orang."Ada perasaan aneh saat aku menyebut diriku 'mama'. Sesuatu bergerak dari dalam sana. Aku terperangah. Kuraba perutku lagi tapi gerakan itu sudah berhenti. Kuulangi lagi tapi dia benar-benar berhenti. "Mungkinkah kamu mendengar mama, Nak?" air mataku menetes, aku terharu. "Kamu yang sabar, ya. Kamu bertahan, ya, Nak. Doakan saja ayah kamu segera menemukan jalan keluarnya supaya kamu bisa bebas."Aku berbaring dan membuka kaosku. Kubiarkan perutku yang sudah membuncit bebas lepas. Aku membelai-belainya dengan penuh kasih sayang."Maafkan mama, ya, Sayang. Seharusnya mama udah bisa lihat kamu di layar USG tapi mama belum bisa, Nak. Mama malu," air mataku bergulir lagi."Tin... Tina...." Wina memanggilku dari luar. "Kamu di kamar?"Darahku tersi

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-19
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 10 Pernikahan

    Aku menatap sendu wajah kedua orang tuaku yang duduk di deretan undangan pihak perempuan. Tidak ada kebahagiaan terpancar di wajah kedua orang tercintaku itu, juga dari wajah keluarga dekat kami. Pun dengan keluarga pihak lelaki. Semua menunjukkan wajah datar tanpa senyum yang tidak perlu repot-repot disembunyikan di depan segelintir tamu undangan. Bahkan Kak Ana yang hanya memakai baju kemeja dan rok biasa, seolah-olah bukan saudara kandungnya yang menikah, terang-terangan menunjukkan kebenciannya kepadaku. Sejatinya sebuah pernikahan akan memancarkan keceriaan dan kegembiraan. Tapi tidak dengan pernikahanku ini. Suasananya malah seperti acara berkabung. Ditambah dengan hujan gerimis yang tidak henti-hentinya turun sejak pagi. Pernikahan yang akhirnya terlaksana tiga minggu setelah kami menghadap Bu Ria, yang kini sah menjadi mertuaku. Tiga hari setelah Bu Ria mengetahui kehamilanku, beliau, Pak Joko, dan beberapa keluarga inti Anton mendatangi rumah orang tuaku. Mereka hendak membi

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-22
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 11 Kado dan Amplop

    Aku menghenyakkan pantatku di kasur. Aku sangat lelah. Lelah jiwa dan raga. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar Anton. Kamar yang akan kami tempati. Sangat berantakan dan agak sempit. Kamar kosku bahkan masih lebih lapang dibandingkan ini. Puntung rokok berserakan di mana-mana. Maksud hati ingin merebahkan badan sebentar, tapi tak ada tempat yang tersisa di kasur itu. Pakaian Anton menumpuk di atasnya. Menjijikkan.Aku mengelus perutku dengan bibir tersenyum. 'Akhirnya, ya, Nak', bisikku sendu.Perlahan aku membuka sanggul dan bunga melati dan mawar yang disematkan di atasnya dan meletakkannya di atas kasur. Aku membuka kebayaku. Kebaya pengantin yang dijahit ekspress, cuma dua hari. Kebaya yang dalam impianku seharusnya mewah di hari bahagiaku ternyata hanya kebaya sederhana begini. Kebaya yang terpaksa harus kujahitkan ke tukang jahit karena tidak ada kebaya yang muat yang bisa kupinjam. Dengan menahan malu aku mendatangi penjahit yang menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengu

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-23
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 12 Bagi-bagi Amplop

    "Ambilkan, Tin," teriak Anton.Aku menatapnya tak percaya. "Tapi, Bang...""Susah amat sih? Kalau mama bilang ambil, ya, ambil," katanya dengan mata melotot."Tapi itu hutang kita, Bang. Kita harus membalasnya nanti. Kita aja belum mencatat siapa aja yang memberikan amplop itu." aku berusaha memberikan pengertian."Tina, kamu kok bodoh amat sih? Kamu kan tahu siapa aja yang datang tadi. Kalau mereka mengundangmu nanti, kamu kan tinggal membalas pemberian mereka," sela Kak Ana."Tapi saya belum mencatatnya, Kak.""Untuk apa? Kamu mau membalas mereka sebesar berapa yang mereka kasih? Begitu?" kali ini ibu mertua yang menyela dengan tawa mengejek."Baiklah." aku tak punya pilihan lain lagi. Akhirnya aku kembali ke kamar dan mengambil semua amplop pemberian undangan tadi siang. Setelah kuhitung ada 20 amplop. Satu di antaranya agak tebal. Setelah kubaca nama di sampulnya, ternyata atas nama kantor tempatku bekerja. Aku segera memasukkannya kembali ke tasku."Ini, Ma..."Bu Ria segera menya

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-26

Bab terbaru

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 63 Keluargalah Tempatmu Pulang

    Sehari sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah kembali ke rumah kontrakanku ditemani oleh Wina. Kemarin saat aku keluar dari rumah mertuaku, aku mendatangi Wina ke kosnya. Di sana, dalam pelukan sahabatku itu, tanpa dapat kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Kalau di rumah mertuaku, aku tidak bisa menangis dan aku pun tidak tahu kenapa. Rasa marah, dongkol, kesal, kecewa dan entah rasa apa lagi yang menumpuk di rongga dadaku, seakan tersalurkan lewat tangisanku."Menangislah, keluarkan semua bebanmu," kata Wina sambil memeluk aku sangat erat. Dia pun ikut menangis sesenggukan. "Ada apa?" tanya Bu Sari heran mendapati kami berdua berpelukan sambil menangis di kamar Wina. Suara tangisku yang keras membuat beliau mendatangi kamar Wina."Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga ibu akan tahu," jawab Wina.Bu Sari keluar dan menutup kembali pintu kamar. Aku yakin hatinya sekarang penuh tanda tanya dan kebingungan. Tapi seperti kata Wina, beliau juga bakalan segera tahu penyebabnya.Wina me

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 62

    Setelah selesai merekam perbuatan bejat suamiku dengan Lola memakai ponsel Anton, aku segera mengirimnya ke ponselku juga ke grup keluarga kami. Tidak main-main, aku tidak mengirimnya ke grup keluarga kecil kami tapi aku mengirimnya ke 2 grup besar atas nama nenek Anton dari pihak ayah mertuaku yang anggotanya ada 30 orang lebih dan atas nama kakek dari pihak ibu mertuaku, mulai dari anak SD sampai orang tua ada di sana sebagai anggota."Silakan dinikmati pertunjukan gratis ini!" Itu caption yang kutulis sebagai pengantar pesan itu."Aku nggak menyangka kalau kamu bersikap kasar kepadaku dan selalu membela Lola, itu karena ternyata kalian menjalin hubungan?" kataku pelan seolah kepada diriku sendiri. "Betapa bodohnya aku.""Aku memang tidak mencintaimu lagi, Ton. Aku sudah mati rasa sejak menjadi istrimu. Aku bertahan demi anak ini tapi semua sia-sia. Aku memang menuntut cerai dari kamu. Tapi aku tak menyangka akan menyertakan bukti perselingkuhanmu ini juga ke pengadilan. Tadinya ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 61 Zinah

    Terdengar suara kentongan 3 kali dari pos siskamling yang tak jauh dari rumah pertanda sekarang sudah pukul 3 dini hari. Aku menutup mulutku menahan isak tangisku sambil merekam perbuatan bejat lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Perbuatan mereka terekam dengan jelas walaupun kamar itu temaram yang hanya diterangi lampu tidur. Setelah durasinya hampir mencapai 1 menit aku berhenti dan segera mengirimnya ke ponselku. Itu sudah cukup menjadi bukti. Pesanku sudah terkirim dan kulemparkan ponsel Anton begitu saja ke lantai.Dengan sinis kupandangi aktivitas kedua manusia laknat itu dan mundur. Kuhapus air mata di pipiku dengan kasar. Tak sudi rasanya menangisi pria bejat itu. Dengan sengaja kuraih daun pintu dan kuhempaskan dengan keras. Suaranya berdentam keras di malam sunyi itu. Segera kunyalakan lampu Kedua makhluk yang sedang berbagi peluh itu terkejut dan menoleh ke belakang. Aku tak dapat menggambarkan betapa terkejutnya mereka melihatku berdiri di ambang pintu dan menatap mer

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 60 Tertangkap Basah

    "Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 59 POV Lola

    Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 58 POV Anton (2)

    POV Anton"Ton, kamu di mana?"Terdengar suara manja mendayu dari arah depan. Kulirik jam. Sudah jam 6 sore. Wajah ceria Lola muncul dari balik gorden pembatas ruang depan dan ruang tamu."Kok lama amat pulangnya?" tegurku kesal."Kangen, ya?" dengan manja Lola bergelayut di lenganku tapi segera kutepis. Dia cemberut. "Kok gitu sih?""Kamu jangan macam-macam. Ini di rumah, ada Tina juga," kataku sambil melihat ke depan, siapa tahu mereka sudah kembali dari jalan-jalan."Mereka masih di luar. Tadi aku lewati di ujung jalan mereka ngobrol dengan Pak Johan," kata Lola. "Ana belum pulang kan?""Dia kan lagi dinas luar," jawabku."Berarti kita bebas dong," Lola mengedipkan sebelah mata kepadaku dan memelukku erat."Jaga sikapmu!" kataku setengah membentak."Apaan sih, Ton?" Lola duduk menjauh dengan muka ditekuk. "Toh kita akan bersama juga kan? Biar aja mereka tahu!""Iya, tapi nggak sekarang juga. Mama masih sakit," bentakku."Awas kalau kamu ingkar. Habis kamu!" ancam Lola sebelum beran

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 57 POV Anton (1)

    POV AntonAku berdiri di ambang pintu kamar mama dan melihat semua yang dikerjakan oleh Tina, istriku, di sana. Dia dengan telaten dan sabar menyuapi mama makan. Dia sabar menunggu sampai mama benar-benar menelan buburnya. Sisa-sisa makanan yang belepotan di mulut mama, dibersihkannya dengan tisu. Mama begitu sumringah menerima perlakuan Tina. Wajahnya berbinar dan matanya selalu menatap wajah Tina seolah-olah dia baru pertama kali mengenal Tina.Aku heran. Mama hanya mau dirawat oleh Tina. Sudah seminggu ini memang ada perawat untuk mama. Dia bekerja mulai dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Tugasnya adalah memandikan, menyuapi, pokoknya mengurus segala keperluan mama selama rentang waktu tersebut. Tapi kalau sore sudah tiba, saat Ratih, perawat itu, pulang, mama hanya mau dirawat oleh Tina. Terkadang aku kasihan melihat dia bergerak dengan lamban karena perutnya yang semakin besar.Aku berusaha membantu tapi mama selalu menolakku. Seperti tadi, Tina terlambat datang. Aku tidak tahu d

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 56 Di Rumah Sakit

    "Lebih baik jadi janda daripada hidup dengan orang jahat. Untuk apa punya suami kalau aku harus hidup sendiri dan berjuang sendiri," kataku sambil menatap Anton telak.Anton menatapku tidak suka sementara Lola juga mendelik dari belakangnya. Pak Joko menghela nafas berat. Sesekali beliau menatap ke arah tempat tidur di mana istrinya terbaring."Tin, bapak tahu ini sangat berat dan perbuatan Anton memang tidak bisa ditolerir," kata Pak Joko. "Tapi maukah kamu mempertimbangkannya setidaknya biarlah sampai cucu bapak lahir."Aku tersentak mendengar permintaan mertuaku itu. Aku memandangi Anton. Sejak pertengkaran itu bahkan sejak aku tinggal lagi di rumah mertuaku, dia sama sekali tak ada usaha untuk berdamai denganku. Dia malah semakin hari semakin kompak dengan Lola. Terlebih dalam hal menghina aku. Lihatlah, harusnya dia yang mengatakan apa yang dikatakan mertuaku tapi dia malah sikut-sikutan dengan Lola. Mungkin mereka ingin aku segera mengurus perceraian itu sehingga mereka keberata

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 55 Apa Gunanya Punya Suami Tapi...

    "Maaf, ya, Tin, aku tak pernah tahu keadaan kamu selama ini."Aku menatap Kak Reni. Selama aku menikah, baru kali ini aku berbicara sedekat ini dengan dia. Walaupun aku sempat tinggal di rumah ini di awal pernikahan dulu, tapi aku sangat jarang bertemu dengan Kak Reni. Dia tinggal di rumah kontrakan yang dekat ke sekolah tempat dia mengajar. Paling banyak kami bertemu 3 kali, itu pun hanya sekadar bertegur sapa."Aku nggak menyangka kalau Anton ternyata mengabaikan kamu," lanjut Kak Reni. "Jadi persiapan perlengkapan bayi dan kamu melahirkan udah beres?""Belum, Kak," aku menggeleng. "Aku baru membeli sebagian.""Kamu nggak usah beli banyak-banyak. Toh anak bayi sangat cepat pertumbuhannya. Kayak kain bedong dan popok, paling lama dipakai sebulan. Kamu mau nggak pakai yang bekas?" tanya Kak. Reni."Bekas?" aku mengernyitkan kening tanda tak mengerti."Maksudku, aku masih menyimpan punya anak-anak. Kamu masih bisa pakai itu," jelas Kak Reni."Boleh, Kak?" mataku berbinar. "Aku maulah,

DMCA.com Protection Status