"Aku HAMIL!" Kataku tanpa berpikir panjang karena aku sudah dikuasai amarah.Mendadak hening. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Anton di sana. Terkejut? Shock? Kenapa dia diam?"Bang..." Aku mengecek ponselku. Masih menyala. Aku pikir dia sudah mematikannya seperti biasa kalau dia marah."Apa kamu bilang?" Akhirnya aku mendengar suaranya lagi. "Ha... Hamil?""Iya, Bang. Aku hamil," jawabku."Kok bisa?""Maksudnya apa kok bisa?" Aku mulai marah lagi tapi aku tetap menjaga suaraku tetap stabil. Bisa saja Wina mendengar dari kamar sebelah."Maksudku... Eh..." Dia tergagap. "Kamu tahu dari mana?""Ya, aku pake test pack lah," seruku tertahan. "Jadi bagaimana ini?""Bagaimana apa?" Tanya Anton balik."Hamilku ini, Bang," aku menahan marah."Gugurkan aja," katanya enteng."APA?" Kali ini suaraku menggelegar."Kenapa, Tin?" Wina menegur dari kamarnya. Aku kaget. Ternyata dia masih bangun padahal sudah hampir jam 12 malam."Eh, nggak, Win, biasa lagi nelpon sama Anton," jawabku."Apa maksud Aba
Kantor kami akan pindah ke gedung baru karena gedung yang kami pakai sekarang adalah sebuah ruko yang akan habis kontraknya. Lokasi gedung baru itu jauh dari rumah kosku sekarang. Nantinya semua kantor akan berpusat di sana. Gedung kami adalah yang pertama kali selesai dibangun dan gedung yang lainnya masih dalam tahap pembangunan. Jaraknya 28 kilometer dari ibukota kabupaten walaupun masih dalam kecamatan yang sama tapi di desa yang berbeda dan bisa dijangkau kendaraan kira-kira 20-30 menit perjalanan. Kami sudah mulai berbenah. Para pegawai laki-laki hampir tiap hari ke sana melakukan pembenahan sedangkan kami para perempuan mulai mengepak barang-barang di kantor yang akan kami tinggalkan."Ada yang bisa ikut ke sana hari ini?" tanya Pak John, Kepala Tata Usaha, bosku, sambil memandangi kami satu per satu."Perempuan ikut, Pak?" tanya Bu Amalia."Iya, untuk memasang gorden," kata Pak John. "Perempuan kan lebih mahir hal-hal begituan.""Saya, Pak," tanpa pikir panjang aku langsung me
"Ada apa, Kak?" tanya Anton. Ia mematikan pengeras suara ponselnya dan memandangku biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Padahal perkataan kakaknya sangat menohok perasaanku."...........""Apa?" Anton berseru dengan kaget. Ia bangkit dari kursinya. "Mama sakit?""..........""Iya, aku akan segera pulang."Anton mematikan ponselnya dan segera menyambar jaket dan kunci motornya."Ada apa, Bang?" tanyaku ikut berdiri."Mama sakit." jawabnya sambil naik ke motornya. Dan tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia bergegas melarikan motornya keluar dari pekarangan rumah kosku.Aku kembali duduk termangu. Perkataan Kak Ana kembali terngiang di telingaku."Lho, Anton udah pergi?" Wina muncul dari dalam. "Barusan kudengar suara motor.""Udah, Win," kataku merasa bersyukur lampu teras tadi kumatikan sehingga suasana teras remang-remang hanya diterangi lampu jalan yang jaraknya kira-kira 30 meter dari rumah sehingga Wina tidak melihat mataku yang sembab."Capek, ya," kata Wina. "Aduh, aku nggak bisa
Satu bulan sudah berlalu sejak aku tahu kehamilanku dari test pack itu. Aku merasa tubuhku sudah mulai berubah. Aku mulai gemuk. Perutku memang masih rata tapi ada perubahan di bagian-bagian tertentu. Aku memang merasa mual di pagi hari dan terkadang di malam hari juga. Tapi nafsu makanku meningkat di siang hari. Aku tidak tahu bagaimana kondisi kandunganku karena aku belum pernah memeriksakan diri ke dokter spesial kandungan. Aku harap janinku baik-baik saja. Sebisa mungkin kujaga pola asupan makananku dan diam-diam aku minum susu ibu hamil.Aku harus menahan keinginanku untuk bertanya kepada Anton tentang tanggung jawabnya karena kondisi ibunya yang masih dirawat di rumah sakit. Dia terlihat tertekan. Anton memang sangat dekat dengan ibunya dan sepanjang yang kutahu dan juga cerita orang-orang, ibunya juga sangat menanjakan Anton. Dia anak kesayangan Bu Ria. Padahal Anton hanya anak ketiga dari 5 bersaudara.Aku berusaha memenuhi keinginannya. Setiap hari dia menyuruhku ke rumah sak
Aku segera berlari ke taman. Aku muntah-muntah di dekat tong sampah sambil memegangi perutku. Aku sedih. Bahkan Anton sama sekali tidak menyusulku. Aku menatap nanar ke belakang. Berharap dia muncul tapi halaman rumah sakit sepi. Hanya ada beberapa mobil dan motor terparkir di sana.Setelah perutku lega, aku berdiri. Aku memutuskan berjalan kaki ke rumah karena jaraknya yang memang dekat. Hanya butuh 10 menit berjalan kaki. Aku sengaja berjalan lambat-lambat sambil menghirup udara malam yang berdebu.Tiba-tiba sebuah motor berhenti mendadak di depanku sampai bannya berdecit nyaring. Ternyata Anton. Dia membuka helmnya dan menatapku marah."Apa maksudmu tadi, hah?" bentaknya garang. "Kamu mau bikin mama sakit lagi?""Aku hanya ingin membantu Abang mengatakan yang sebenarnya," kataku."Sama aja kamu membunuh mama." serunya marah."Abang berlebihan." kataku. "Tak ada sedikit pun niatku untuk membunuh mama Abang dan Abang pasti tahu itu.""Kenapa kamu nggak bisa sabar sedikit? Aku tadi ud
Hari-hari sepertinya berlalu dengan sangat cepat. Perubahan tubuhku juga berkembang sangat pesat. Aku sudah mulai merasakan desas-desus orang sekitarku. Di kantor aku sepertinya sudah menjadi bahan gosip dan gunjingan. Wina dan Sarah juga sering mencuri pandang kepadaku saat kami berada di rumah kos. Aku serba salah. Sedangkan Anton belum memberikan keputusan apa pun. Dia selalu berkilah bahwa ibunya belum sehat benar. Dia takut ibunya shock dan masuk rumah sakit lagi kalau mendengar kabar kehamilanku.Aku mulai stress. Tapi itu malah membuatku semakin bernafsu makan. Tubuhku semakin gemuk. Apalagi pipi dan pinggangku. Padahal hampir setiap malam aku menangis sedih. Kupegangi perutku setiap kali itu terjadi. Berharap janinku tidak ikut merasakan kepedihan hatiku. Pernah di satu titik aku mengharapkan dia jatuh gugur akibat frustrasi yang kurasakan. Aku juga pernah ingin memakan obat keras yang katanya bisa merontokkan janin muda. Tapi aku cepat-cepat tersadar dan mohon ampun kepada Tu
Aku melepaskan korset dari perutku. Sejenak aku menghirup udara lepas karena perutku yang terasa longgar. Aku mengelus perutku dengan sayang."Maaf, ya, Nak. Mama terpaksa melakukan ini karena mama nggak mau kamu jadi bahan gunjingan orang-orang."Ada perasaan aneh saat aku menyebut diriku 'mama'. Sesuatu bergerak dari dalam sana. Aku terperangah. Kuraba perutku lagi tapi gerakan itu sudah berhenti. Kuulangi lagi tapi dia benar-benar berhenti. "Mungkinkah kamu mendengar mama, Nak?" air mataku menetes, aku terharu. "Kamu yang sabar, ya. Kamu bertahan, ya, Nak. Doakan saja ayah kamu segera menemukan jalan keluarnya supaya kamu bisa bebas."Aku berbaring dan membuka kaosku. Kubiarkan perutku yang sudah membuncit bebas lepas. Aku membelai-belainya dengan penuh kasih sayang."Maafkan mama, ya, Sayang. Seharusnya mama udah bisa lihat kamu di layar USG tapi mama belum bisa, Nak. Mama malu," air mataku bergulir lagi."Tin... Tina...." Wina memanggilku dari luar. "Kamu di kamar?"Darahku tersi
Aku menatap sendu wajah kedua orang tuaku yang duduk di deretan undangan pihak perempuan. Tidak ada kebahagiaan terpancar di wajah kedua orang tercintaku itu, juga dari wajah keluarga dekat kami. Pun dengan keluarga pihak lelaki. Semua menunjukkan wajah datar tanpa senyum yang tidak perlu repot-repot disembunyikan di depan segelintir tamu undangan. Bahkan Kak Ana yang hanya memakai baju kemeja dan rok biasa, seolah-olah bukan saudara kandungnya yang menikah, terang-terangan menunjukkan kebenciannya kepadaku. Sejatinya sebuah pernikahan akan memancarkan keceriaan dan kegembiraan. Tapi tidak dengan pernikahanku ini. Suasananya malah seperti acara berkabung. Ditambah dengan hujan gerimis yang tidak henti-hentinya turun sejak pagi. Pernikahan yang akhirnya terlaksana tiga minggu setelah kami menghadap Bu Ria, yang kini sah menjadi mertuaku. Tiga hari setelah Bu Ria mengetahui kehamilanku, beliau, Pak Joko, dan beberapa keluarga inti Anton mendatangi rumah orang tuaku. Mereka hendak membi