Share

Bab 2 Linglung

Penulis: Hans Yunata
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-25 14:53:12

Bab 2 LINGLUNG

Aku menggigit bibirku. Bagaimana cara mengatakannya? Haruskah melalui telepon ini? Pikiran-pikiran itu berperang di otakku.

"Apa sih, Tin?" Tanya Anton.

"Bang, aku..."

"Eh, nanti aja kita sambung lagi, ya. Bosku mengajak aku ke proyek yang di Desa A itu. Jangan hubungi aku karena nanti aku yang menyetir." Tiba-tiba Anton sudah menutup pembicaraan dengan mematikan sambungan telepon sepihak.

Aku memandangi ponsel itu lama sebelum melemparkannya ke atas kasur. Saat aku memandang susu yang sudah kuseduh tadi tiba-tiba perutku bergolak. Rasa mual itu kembali datang. Aku segera berlari ke kamar mandi. Aku muntah-muntah di sana.

"Ada apa, Tin? Kamu sakit?" Tiba- tiba saja Bu Sari sudah berdiri di belakangku. Aku lupa mengunci pintu.

"Iya, Bu. Mungkin masuk angin." Jawabku.

"Makanya kalau pacaran itu cukup malam minggu aja," omelnya. "Ini tiap malam datang, pulang sampai larut. Kalian ngomongin apa sih? Harga cabe? Bawang?"

Aku tidak menjawab. Tenggorokanku terasa sakit. Ibu kosku benar. Hampir setiap hari Anton datang ke kosku. Anton memang nggak masuk ke rumah, kami hanya duduk di teras remang-remang itu. Tapi ternyata ibu kosku sangat memperhatikan sampai ke sana.

"Nih, gosokkan minyak angin ini," Bu Sari menyerahkan botol kecil berisi minyak kayu putih. Aku merasa lega menghirup aromanya.

"Makasih, Bu."

"Kalau sakit, nggak usah kerja. Tiduran aja di rumah."

Walaupun cerewet tapi sebenarnya ibu kosku sangat baik dan perhatian. Dia sudah seperti ibu kandung bagi kami anak kosnya.

"Nggak apa-apa kok, Bu. Ntar juga baikan," kataku.

"Sarah kapan balik?" Tanya Bu Sari.

"Entahlah, Bu. Dia kan mengambil cuti sakit sekitar 2 mingguan."

Setelah keluar dari rumah sakit, Sarah dibawa orang tuanya ke kampungnya untuk pemulihan.

"Rumah ini sepi tanpa si tukang cerita itu," Bu Sari terkekeh.

Aku juga ikut tersenyum.

Setelah memastikan aku akan baik-baik saja, akhirnya aku berangkat ke kantor.

"Cepat benar datangnya, Bu," sindir Bu Amalia, kepala seksi, atasanku, sambil melihat jam di pergelangan tangannya. "Baru jam 9."

"Maaf, Bu. Saya tadi kurang enak badan," jawabku.

"Jadi sekarang sudah enak?"

"Sudah mendingan, Bu."

"Ya, udah. Lanjutkan pekerjaan kamu yang kemarin. Kalau bisa hari ini sudah diteken bos."

"Saya usahakan, Bu," jawabku.

"Jangan bilang usahakan. Harus bisa selesai," lanjutnya.

Aku tidak menyahut lagi. Segera kuhidupkan komputer. Aku menyandarkan badanku menunggu proses loading komputer yang lama karena perangkatnya sudah tua. Biasanya aku senewen dengan keadaan itu tapi kali ini aku bersyukur karena aku bisa tenang sejenak.

Kuletakkan tanganku di atas perutku yang masih rata. Aku mengusapnya perlahan,menyadari bahwa ada nyawa yang sedang mulai berkembang di sana.

" Kenapa? Kamu sakit perut?"

Suara Bu Amalia benar-benar mengejutkan aku. Kupandangi beliau yang ternyata juga sedang memandangiku. Jantungku berdetak lebih keras.

"Iya, Bu. Mungkin masuk angin."

"Sudah sarapan?"

Aku menggeleng. Beberapa hari ini aku tidak pernah bisa menyentuh makanan di pagi hari, bahkan sekadar minum susu pun aku tidak sanggup.

"Kamu pesan sarapanmu dulu. Nanti kamu pingsan saya juga yang disalahin," kata Bu Amalia.

"Nggak apa-apa, Bu. Nanti saja, saya belum lapar."

"Terserah kamu deh," katanya. "Yang pasti laporan yang saya minta harus selesai hari ini juga."

"Baik, Bu."

Tapi aku tidak bisa konsentrasi sedikit pun. Pikiranku kacau dan aku mendadak sedih. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku.

"Kamu ngeprint apa sih, Tin?" Wina tiba-tiba sudah berdiri di depanku, di dekat printer sambil mengangkat sebuah kertas yang baru keluar dari mesin printer. Sementara printer terus berdenyit mengeluarkan hasil pekerjaanku.

"Astaga..." Segera kutekan 'cancel' dari komputer dan tombol off printer sampai berhenti bekerja. Ternyata aku sudah mencetak banyak file yang tidak penting dan tidak kusadari. Cepat-cepat aku mengambil kertas rusak itu sebelum Bu Amalia melihat dan mengomeliku.

"Kamu kenapa sih kayak orang linglung begitu?" Tegur Wina. "Perutmu masih sakit?"

Aku hanya bisa mengangguk. Tiba-tiba air mataku meluncur begitu saja di pipiku.

"Kenapa?" Wina makin penasaran. "Kamu lagi dapat? PMS?"

Kuanggukkan kepalaku berkali-kali menghindari pertanyaan lain yang bakalan menyusul kalau aku menjawab tidak.

"Kirain apa. Kamu bikin takut aja," kata Wina. "Ah, itu biasa kok. Kamu kayak nggak tahu aku aja kalau lagi dapat."

Wina kalau lagi datang bulan memang sakit parah di hari pertama. Dia bisa seperti orang sekarat makanya dia sering izin. Tapi di hari berikutnya dia akan kembali seperti biasa seolah tidak ada yang terjadi.

"Minum air hangat banyak-banyak," kata Wina. "Oh, ya, tadi aku ke sini untuk minta surat yang kemarin datang dari kantor pacarmu."

Jantungku berdebar agak keras saat Wina menyebut kata pacar. "Surat apa?"

"Tentang permintaan data apa gitu?" Wina mengerutkan keningnya. "Aku lupa. Pokoknya dari kantornya si Antonlah."

Aku segera mencarinya di file surat dalam lemari dan menemukan surat itu. Segera kuserahkan kepada Wina berharap dia segera pergi dari ruangan kami. Tapi dia malah membuka kepala printer dan memotocopy surat di tangannya.

"Supaya aku nggak bolak-balik ke sini," katanya.

Kami memang bekerja di bidang yang berbeda. Aku dan Sarah di bagian tata usaha sedangkan Wina di bidang lain. Setelah selesai dia permisi ke luar.

"Nanti kita makan siang bareng, ya."

Aku mengangguk.

"Sudah selesai?" Bu Amalia muncul di hadapanku.

"Belum, Bu," untung semua kertas yang salah cetak tadi sudah kusingkirkan.

"Kok lama amat ngetik segitu aja?" Omel Bu Amalia. "Sudah dikonsep juga, tinggal ngetik doang."

"Iya, Bu. Ini tinggal sedikit lagi sebelum saya cetak."

"Buruan!"

Bu Amalia adalah pegawai pindahan dari Jakarta. Logat dan aksennya masih kental walaupun dia sudah bergabung di kabupaten ini kurang lebih 2 tahun.

Sepanjang hari itu aku lalui dengan penuh kebingungan. Wina mengataiku linglung. Yah, benar. Aku tidak tahu apa yang kukerjakan hari ini. Pikiranku sepenuhnya tertuju kepada hasil test pack itu.

Dan sampai malam tiba aku tidak bisa menghubungi Anton. Kalaupun tersambung dia dengan segera mematikannya. Aku semakin bingung. Apa dia menghindariku? Pikirku. Aku tahu rumahnya. Kalau dia menghindar, hal tercepat yang harus kulakukan adalah mendatangi rumahnya. Mual yang menyerang tadi pagi kembali datang.

Aku membenamkan wajahku ke bantal untuk meredam suaraku yang tercekik menahan muntah. Aku takut ke kamar mandi. Seisi rumah bisa heboh kalau aku muntah-muntah di sana selarut ini. Aku menangis sedih. Terbayang wajah kedua orang tuaku membuatku semakin terguguk. Apa yang harus kulakukan?

Ponselku berdering. Anton menelepon. Segera kuangkat.

"Kamu... Tadi pagi udah kubilang jangan menghubungi aku!" Sebelum aku menyapa dia sudah menyerocos duluan. "Aku lagi jalan sama bosku. Apa katanya kalau aku bicara di telepon? Bisa dikira aku nggak profesional."

Aku mendengus kesal. Profesional? Omong kosong. Sok sekali bicara profesional sedangkan ke kantor saja masih sering terlambat bahkan bolos.

"Aku mau bicara sama Abang!" Aku menguatkan hati.

"Ya, udah, cepat ngomong. Aku capek, pengen tidur." Kudengar suara menguap yang aku yakin sengaja dilakukannya tepat di depan ponselnya supaya aku mendengarnya.

"Aku mau kita jumpa."

"Aduh, kamu ribet amat sih?" Dia mulai marah. "Ini udah larut malam. Mau ketemu gimana maksudmu?"

"Yah, nggak malam ini juga. Besok?"

"Besok nggak bisa," jawabnya cepat. "Kami masih jalan ke proyek itu. Bisa jadi pulang malam juga kayak tadi."

"Masa sampai malam?" Aku masih berusaha sabar.

"Aku kan nggak bisa menolak kalau bosku minta disupirin ke tempat lain. Lumayan dapat uang rokok," katanya dengan nada bangga. "Udah, ngomong di sini aja. Ribet amat sih!"

"Aku HAMIL!!!"

bersambung...

Bab terkait

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 3 Gugurkan

    "Aku HAMIL!" Kataku tanpa berpikir panjang karena aku sudah dikuasai amarah.Mendadak hening. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Anton di sana. Terkejut? Shock? Kenapa dia diam?"Bang..." Aku mengecek ponselku. Masih menyala. Aku pikir dia sudah mematikannya seperti biasa kalau dia marah."Apa kamu bilang?" Akhirnya aku mendengar suaranya lagi. "Ha... Hamil?""Iya, Bang. Aku hamil," jawabku."Kok bisa?""Maksudnya apa kok bisa?" Aku mulai marah lagi tapi aku tetap menjaga suaraku tetap stabil. Bisa saja Wina mendengar dari kamar sebelah."Maksudku... Eh..." Dia tergagap. "Kamu tahu dari mana?""Ya, aku pake test pack lah," seruku tertahan. "Jadi bagaimana ini?""Bagaimana apa?" Tanya Anton balik."Hamilku ini, Bang," aku menahan marah."Gugurkan aja," katanya enteng."APA?" Kali ini suaraku menggelegar."Kenapa, Tin?" Wina menegur dari kamarnya. Aku kaget. Ternyata dia masih bangun padahal sudah hampir jam 12 malam."Eh, nggak, Win, biasa lagi nelpon sama Anton," jawabku."Apa maksud Aba

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-25
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 4 Marah

    Kantor kami akan pindah ke gedung baru karena gedung yang kami pakai sekarang adalah sebuah ruko yang akan habis kontraknya. Lokasi gedung baru itu jauh dari rumah kosku sekarang. Nantinya semua kantor akan berpusat di sana. Gedung kami adalah yang pertama kali selesai dibangun dan gedung yang lainnya masih dalam tahap pembangunan. Jaraknya 28 kilometer dari ibukota kabupaten walaupun masih dalam kecamatan yang sama tapi di desa yang berbeda dan bisa dijangkau kendaraan kira-kira 20-30 menit perjalanan. Kami sudah mulai berbenah. Para pegawai laki-laki hampir tiap hari ke sana melakukan pembenahan sedangkan kami para perempuan mulai mengepak barang-barang di kantor yang akan kami tinggalkan."Ada yang bisa ikut ke sana hari ini?" tanya Pak John, Kepala Tata Usaha, bosku, sambil memandangi kami satu per satu."Perempuan ikut, Pak?" tanya Bu Amalia."Iya, untuk memasang gorden," kata Pak John. "Perempuan kan lebih mahir hal-hal begituan.""Saya, Pak," tanpa pikir panjang aku langsung me

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-29
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 5 Ibunya Sakit

    "Ada apa, Kak?" tanya Anton. Ia mematikan pengeras suara ponselnya dan memandangku biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Padahal perkataan kakaknya sangat menohok perasaanku."...........""Apa?" Anton berseru dengan kaget. Ia bangkit dari kursinya. "Mama sakit?""..........""Iya, aku akan segera pulang."Anton mematikan ponselnya dan segera menyambar jaket dan kunci motornya."Ada apa, Bang?" tanyaku ikut berdiri."Mama sakit." jawabnya sambil naik ke motornya. Dan tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia bergegas melarikan motornya keluar dari pekarangan rumah kosku.Aku kembali duduk termangu. Perkataan Kak Ana kembali terngiang di telingaku."Lho, Anton udah pergi?" Wina muncul dari dalam. "Barusan kudengar suara motor.""Udah, Win," kataku merasa bersyukur lampu teras tadi kumatikan sehingga suasana teras remang-remang hanya diterangi lampu jalan yang jaraknya kira-kira 30 meter dari rumah sehingga Wina tidak melihat mataku yang sembab."Capek, ya," kata Wina. "Aduh, aku nggak bisa

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-31
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 6 Tidak Boleh

    Satu bulan sudah berlalu sejak aku tahu kehamilanku dari test pack itu. Aku merasa tubuhku sudah mulai berubah. Aku mulai gemuk. Perutku memang masih rata tapi ada perubahan di bagian-bagian tertentu. Aku memang merasa mual di pagi hari dan terkadang di malam hari juga. Tapi nafsu makanku meningkat di siang hari. Aku tidak tahu bagaimana kondisi kandunganku karena aku belum pernah memeriksakan diri ke dokter spesial kandungan. Aku harap janinku baik-baik saja. Sebisa mungkin kujaga pola asupan makananku dan diam-diam aku minum susu ibu hamil.Aku harus menahan keinginanku untuk bertanya kepada Anton tentang tanggung jawabnya karena kondisi ibunya yang masih dirawat di rumah sakit. Dia terlihat tertekan. Anton memang sangat dekat dengan ibunya dan sepanjang yang kutahu dan juga cerita orang-orang, ibunya juga sangat menanjakan Anton. Dia anak kesayangan Bu Ria. Padahal Anton hanya anak ketiga dari 5 bersaudara.Aku berusaha memenuhi keinginannya. Setiap hari dia menyuruhku ke rumah sak

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-03
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 7 Sedih

    Aku segera berlari ke taman. Aku muntah-muntah di dekat tong sampah sambil memegangi perutku. Aku sedih. Bahkan Anton sama sekali tidak menyusulku. Aku menatap nanar ke belakang. Berharap dia muncul tapi halaman rumah sakit sepi. Hanya ada beberapa mobil dan motor terparkir di sana.Setelah perutku lega, aku berdiri. Aku memutuskan berjalan kaki ke rumah karena jaraknya yang memang dekat. Hanya butuh 10 menit berjalan kaki. Aku sengaja berjalan lambat-lambat sambil menghirup udara malam yang berdebu.Tiba-tiba sebuah motor berhenti mendadak di depanku sampai bannya berdecit nyaring. Ternyata Anton. Dia membuka helmnya dan menatapku marah."Apa maksudmu tadi, hah?" bentaknya garang. "Kamu mau bikin mama sakit lagi?""Aku hanya ingin membantu Abang mengatakan yang sebenarnya," kataku."Sama aja kamu membunuh mama." serunya marah."Abang berlebihan." kataku. "Tak ada sedikit pun niatku untuk membunuh mama Abang dan Abang pasti tahu itu.""Kenapa kamu nggak bisa sabar sedikit? Aku tadi ud

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-06
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 8 Curhat

    Hari-hari sepertinya berlalu dengan sangat cepat. Perubahan tubuhku juga berkembang sangat pesat. Aku sudah mulai merasakan desas-desus orang sekitarku. Di kantor aku sepertinya sudah menjadi bahan gosip dan gunjingan. Wina dan Sarah juga sering mencuri pandang kepadaku saat kami berada di rumah kos. Aku serba salah. Sedangkan Anton belum memberikan keputusan apa pun. Dia selalu berkilah bahwa ibunya belum sehat benar. Dia takut ibunya shock dan masuk rumah sakit lagi kalau mendengar kabar kehamilanku.Aku mulai stress. Tapi itu malah membuatku semakin bernafsu makan. Tubuhku semakin gemuk. Apalagi pipi dan pinggangku. Padahal hampir setiap malam aku menangis sedih. Kupegangi perutku setiap kali itu terjadi. Berharap janinku tidak ikut merasakan kepedihan hatiku. Pernah di satu titik aku mengharapkan dia jatuh gugur akibat frustrasi yang kurasakan. Aku juga pernah ingin memakan obat keras yang katanya bisa merontokkan janin muda. Tapi aku cepat-cepat tersadar dan mohon ampun kepada Tu

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-12
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 9 Tanggung Sendiri

    Aku melepaskan korset dari perutku. Sejenak aku menghirup udara lepas karena perutku yang terasa longgar. Aku mengelus perutku dengan sayang."Maaf, ya, Nak. Mama terpaksa melakukan ini karena mama nggak mau kamu jadi bahan gunjingan orang-orang."Ada perasaan aneh saat aku menyebut diriku 'mama'. Sesuatu bergerak dari dalam sana. Aku terperangah. Kuraba perutku lagi tapi gerakan itu sudah berhenti. Kuulangi lagi tapi dia benar-benar berhenti. "Mungkinkah kamu mendengar mama, Nak?" air mataku menetes, aku terharu. "Kamu yang sabar, ya. Kamu bertahan, ya, Nak. Doakan saja ayah kamu segera menemukan jalan keluarnya supaya kamu bisa bebas."Aku berbaring dan membuka kaosku. Kubiarkan perutku yang sudah membuncit bebas lepas. Aku membelai-belainya dengan penuh kasih sayang."Maafkan mama, ya, Sayang. Seharusnya mama udah bisa lihat kamu di layar USG tapi mama belum bisa, Nak. Mama malu," air mataku bergulir lagi."Tin... Tina...." Wina memanggilku dari luar. "Kamu di kamar?"Darahku tersi

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-19
  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 10 Pernikahan

    Aku menatap sendu wajah kedua orang tuaku yang duduk di deretan undangan pihak perempuan. Tidak ada kebahagiaan terpancar di wajah kedua orang tercintaku itu, juga dari wajah keluarga dekat kami. Pun dengan keluarga pihak lelaki. Semua menunjukkan wajah datar tanpa senyum yang tidak perlu repot-repot disembunyikan di depan segelintir tamu undangan. Bahkan Kak Ana yang hanya memakai baju kemeja dan rok biasa, seolah-olah bukan saudara kandungnya yang menikah, terang-terangan menunjukkan kebenciannya kepadaku. Sejatinya sebuah pernikahan akan memancarkan keceriaan dan kegembiraan. Tapi tidak dengan pernikahanku ini. Suasananya malah seperti acara berkabung. Ditambah dengan hujan gerimis yang tidak henti-hentinya turun sejak pagi. Pernikahan yang akhirnya terlaksana tiga minggu setelah kami menghadap Bu Ria, yang kini sah menjadi mertuaku. Tiga hari setelah Bu Ria mengetahui kehamilanku, beliau, Pak Joko, dan beberapa keluarga inti Anton mendatangi rumah orang tuaku. Mereka hendak membi

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-22

Bab terbaru

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 63 Keluargalah Tempatmu Pulang

    Sehari sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah kembali ke rumah kontrakanku ditemani oleh Wina. Kemarin saat aku keluar dari rumah mertuaku, aku mendatangi Wina ke kosnya. Di sana, dalam pelukan sahabatku itu, tanpa dapat kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Kalau di rumah mertuaku, aku tidak bisa menangis dan aku pun tidak tahu kenapa. Rasa marah, dongkol, kesal, kecewa dan entah rasa apa lagi yang menumpuk di rongga dadaku, seakan tersalurkan lewat tangisanku."Menangislah, keluarkan semua bebanmu," kata Wina sambil memeluk aku sangat erat. Dia pun ikut menangis sesenggukan. "Ada apa?" tanya Bu Sari heran mendapati kami berdua berpelukan sambil menangis di kamar Wina. Suara tangisku yang keras membuat beliau mendatangi kamar Wina."Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga ibu akan tahu," jawab Wina.Bu Sari keluar dan menutup kembali pintu kamar. Aku yakin hatinya sekarang penuh tanda tanya dan kebingungan. Tapi seperti kata Wina, beliau juga bakalan segera tahu penyebabnya.Wina me

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 62

    Setelah selesai merekam perbuatan bejat suamiku dengan Lola memakai ponsel Anton, aku segera mengirimnya ke ponselku juga ke grup keluarga kami. Tidak main-main, aku tidak mengirimnya ke grup keluarga kecil kami tapi aku mengirimnya ke 2 grup besar atas nama nenek Anton dari pihak ayah mertuaku yang anggotanya ada 30 orang lebih dan atas nama kakek dari pihak ibu mertuaku, mulai dari anak SD sampai orang tua ada di sana sebagai anggota."Silakan dinikmati pertunjukan gratis ini!" Itu caption yang kutulis sebagai pengantar pesan itu."Aku nggak menyangka kalau kamu bersikap kasar kepadaku dan selalu membela Lola, itu karena ternyata kalian menjalin hubungan?" kataku pelan seolah kepada diriku sendiri. "Betapa bodohnya aku.""Aku memang tidak mencintaimu lagi, Ton. Aku sudah mati rasa sejak menjadi istrimu. Aku bertahan demi anak ini tapi semua sia-sia. Aku memang menuntut cerai dari kamu. Tapi aku tak menyangka akan menyertakan bukti perselingkuhanmu ini juga ke pengadilan. Tadinya ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 61 Zinah

    Terdengar suara kentongan 3 kali dari pos siskamling yang tak jauh dari rumah pertanda sekarang sudah pukul 3 dini hari. Aku menutup mulutku menahan isak tangisku sambil merekam perbuatan bejat lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Perbuatan mereka terekam dengan jelas walaupun kamar itu temaram yang hanya diterangi lampu tidur. Setelah durasinya hampir mencapai 1 menit aku berhenti dan segera mengirimnya ke ponselku. Itu sudah cukup menjadi bukti. Pesanku sudah terkirim dan kulemparkan ponsel Anton begitu saja ke lantai.Dengan sinis kupandangi aktivitas kedua manusia laknat itu dan mundur. Kuhapus air mata di pipiku dengan kasar. Tak sudi rasanya menangisi pria bejat itu. Dengan sengaja kuraih daun pintu dan kuhempaskan dengan keras. Suaranya berdentam keras di malam sunyi itu. Segera kunyalakan lampu Kedua makhluk yang sedang berbagi peluh itu terkejut dan menoleh ke belakang. Aku tak dapat menggambarkan betapa terkejutnya mereka melihatku berdiri di ambang pintu dan menatap mer

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 60 Tertangkap Basah

    "Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 59 POV Lola

    Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 58 POV Anton (2)

    POV Anton"Ton, kamu di mana?"Terdengar suara manja mendayu dari arah depan. Kulirik jam. Sudah jam 6 sore. Wajah ceria Lola muncul dari balik gorden pembatas ruang depan dan ruang tamu."Kok lama amat pulangnya?" tegurku kesal."Kangen, ya?" dengan manja Lola bergelayut di lenganku tapi segera kutepis. Dia cemberut. "Kok gitu sih?""Kamu jangan macam-macam. Ini di rumah, ada Tina juga," kataku sambil melihat ke depan, siapa tahu mereka sudah kembali dari jalan-jalan."Mereka masih di luar. Tadi aku lewati di ujung jalan mereka ngobrol dengan Pak Johan," kata Lola. "Ana belum pulang kan?""Dia kan lagi dinas luar," jawabku."Berarti kita bebas dong," Lola mengedipkan sebelah mata kepadaku dan memelukku erat."Jaga sikapmu!" kataku setengah membentak."Apaan sih, Ton?" Lola duduk menjauh dengan muka ditekuk. "Toh kita akan bersama juga kan? Biar aja mereka tahu!""Iya, tapi nggak sekarang juga. Mama masih sakit," bentakku."Awas kalau kamu ingkar. Habis kamu!" ancam Lola sebelum beran

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 57 POV Anton (1)

    POV AntonAku berdiri di ambang pintu kamar mama dan melihat semua yang dikerjakan oleh Tina, istriku, di sana. Dia dengan telaten dan sabar menyuapi mama makan. Dia sabar menunggu sampai mama benar-benar menelan buburnya. Sisa-sisa makanan yang belepotan di mulut mama, dibersihkannya dengan tisu. Mama begitu sumringah menerima perlakuan Tina. Wajahnya berbinar dan matanya selalu menatap wajah Tina seolah-olah dia baru pertama kali mengenal Tina.Aku heran. Mama hanya mau dirawat oleh Tina. Sudah seminggu ini memang ada perawat untuk mama. Dia bekerja mulai dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Tugasnya adalah memandikan, menyuapi, pokoknya mengurus segala keperluan mama selama rentang waktu tersebut. Tapi kalau sore sudah tiba, saat Ratih, perawat itu, pulang, mama hanya mau dirawat oleh Tina. Terkadang aku kasihan melihat dia bergerak dengan lamban karena perutnya yang semakin besar.Aku berusaha membantu tapi mama selalu menolakku. Seperti tadi, Tina terlambat datang. Aku tidak tahu d

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 56 Di Rumah Sakit

    "Lebih baik jadi janda daripada hidup dengan orang jahat. Untuk apa punya suami kalau aku harus hidup sendiri dan berjuang sendiri," kataku sambil menatap Anton telak.Anton menatapku tidak suka sementara Lola juga mendelik dari belakangnya. Pak Joko menghela nafas berat. Sesekali beliau menatap ke arah tempat tidur di mana istrinya terbaring."Tin, bapak tahu ini sangat berat dan perbuatan Anton memang tidak bisa ditolerir," kata Pak Joko. "Tapi maukah kamu mempertimbangkannya setidaknya biarlah sampai cucu bapak lahir."Aku tersentak mendengar permintaan mertuaku itu. Aku memandangi Anton. Sejak pertengkaran itu bahkan sejak aku tinggal lagi di rumah mertuaku, dia sama sekali tak ada usaha untuk berdamai denganku. Dia malah semakin hari semakin kompak dengan Lola. Terlebih dalam hal menghina aku. Lihatlah, harusnya dia yang mengatakan apa yang dikatakan mertuaku tapi dia malah sikut-sikutan dengan Lola. Mungkin mereka ingin aku segera mengurus perceraian itu sehingga mereka keberata

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 55 Apa Gunanya Punya Suami Tapi...

    "Maaf, ya, Tin, aku tak pernah tahu keadaan kamu selama ini."Aku menatap Kak Reni. Selama aku menikah, baru kali ini aku berbicara sedekat ini dengan dia. Walaupun aku sempat tinggal di rumah ini di awal pernikahan dulu, tapi aku sangat jarang bertemu dengan Kak Reni. Dia tinggal di rumah kontrakan yang dekat ke sekolah tempat dia mengajar. Paling banyak kami bertemu 3 kali, itu pun hanya sekadar bertegur sapa."Aku nggak menyangka kalau Anton ternyata mengabaikan kamu," lanjut Kak Reni. "Jadi persiapan perlengkapan bayi dan kamu melahirkan udah beres?""Belum, Kak," aku menggeleng. "Aku baru membeli sebagian.""Kamu nggak usah beli banyak-banyak. Toh anak bayi sangat cepat pertumbuhannya. Kayak kain bedong dan popok, paling lama dipakai sebulan. Kamu mau nggak pakai yang bekas?" tanya Kak. Reni."Bekas?" aku mengernyitkan kening tanda tak mengerti."Maksudku, aku masih menyimpan punya anak-anak. Kamu masih bisa pakai itu," jelas Kak Reni."Boleh, Kak?" mataku berbinar. "Aku maulah,

DMCA.com Protection Status