"Selama ini kamu dan Zayden tinggal di sini?"Briella memegang gelas airnya dan melihat sekeliling ruangan. Ruangan ini memang cukup sederhana, tetapi nyaman dan bersih. Dia tidak merasa rendah diri karena tinggal di sini."Ya. Ini sudah termasuk lumayan. Aku bahkan pernah tinggal di kontrakan yang harus berbagi dengan orang lain, yang ada belasan orang di ranjang susun. Kalau ke kamar mandi pun harus antre. Yang ini masih lumayan dibandingkan rumah sewa waktu itu."Valerio tidak tahan lagi mendengar penuturan Briella. Dia memang tidak berguna karena tidak bisa melindungi wanitanya sendiri."Kamu pakai buat apa uang yang aku kasih selama ini?""Untuk sekolah Zayden dan biaya pengobatan ibuku.""Kenapa nggak bilang padaku?" Valerio menunjukkan wajah cemberut. "Seharusnya kamu bilang padaku."Tampaknya Briella menyembunyikan terlalu banyak hal dari Valerio, yang menunjukkan kalau dia tidak percaya kepada Valerio."Kalau aku bilang sama Pak Valerio, pasti Pak Valerio hanya akan membenciku
"Gimana mau sembuh kalau nggak mau minum obat?" Valerio menatap wanita yang terbaring lembut di pelukannya. Pada saat ini, Briella adalah wanita kecilnya yang lemah lembut dan cantik."Nggak mau pokoknya ...." Briella mencengkeram kerah kemeja Valerio dengan kedua tangannya dan tanpa sadar menggambar lingkaran-lingkaran di dada pria itu. "Aku nggak mau minum obat."Sikap manja Briella membuat Valerio tergelitik. Walaupun Briella punya permintaan yang berlebihan, Valerio akan tetap melakukannya untuknya."Nanti kalau Adrian datang, aku akan minta dia memberikan obat yang bisa dikonsumsi ibu hamil. Yang paling penting sekarang adalah kesehatanmu."Jarang sekali Valerio bisa membujuk seorang wanita dengan begitu sabar. Dia sendiri tidak tahu apakah Briella yang sedikit tidak sadar ini akan mendengarnya atau tidak.Telinga Briella sayup-sayup mendengar suara Valerio, tetapi dia merasa kalau semua itu hanya ilusi. Kapan Valerio pernah bersikap lembut kepadanya? Namun, pelukan pria ini sanga
Valerio memperhatikan serangkaian tindakan Zayden dan bertanya dengan penuh minat, "Di rumah kamu sering kerja?""Mama itu wanita dan tulang punggung keluarga kami. Sudah sepantasnya aku melakukan pekerjaan yang kiranya bisa membantu beban kerja Mama."Zayden memegang pinggiran baskom dengan kedua tangannya, turun dari bangku kecil dan menuju kamar tidur Briella.Pikiran Valerio menjadi campur aduk saat melihat gerakan Zayden yang terampil."Mamamu nggak melakukan pekerjaan rumah?""Mana mungkin. Mama paling hebat dalam melakukan apa pun." Zayden membawa baskom, berbalik dan menatap Valerio dengan wajah serius. "Mama bukan hanya bekerja mencari uang, tapi juga mengurus makan dan semua keperluanku. Selain itu, bosnya selalu memintanya kerja lembur sampai Mama sering nggak pulang ke rumah. Orang-orang memfitnah Mama sebagai wanita simpanan, tapi aku tahu kalau Mama cuma mau cari uang biar kehidupan kita jadi lebih baik."Valerio hanya diam saat mendengarkan ucapan Zayden dan hatinya tera
Briella demam, jadi kesadarannya pun samar. Dia berpegangan pada tubuh Valerio seperti anak kucing. Tangan kecilnya menggenggam tangan Valerio yang sedang menyeka tubuhnya, lalu meletakkan telapak tangan Valerio di pipinya yang panas. Tatapan mata Briella seperti orang mabuk, setengah terbuka dan setengah tertutup. Mana ada pria yang bisa menahan godaan seperti itu."Gimana aku mau menyeka tubuhmu kalau kamu memegang tanganku terus?"Wajah Valerio menegang. Pengendalian diri yang dia lakukan sudah mencapai titik kritis."Nggak. Jangan lepaskan tanganku."Seperti anak kucing yang sedang mabuk, Briella mencengkeram tangan Valerio dan tidak mau melepaskannya. Valerio menjatuhkan handuk di tangannya yang lain dan memasukkannya ke dalam baskom.Kobaran hasrat di dalam dirinya terlalu besar untuk bisa ditahan.Lengan pria itu dipeluk erat oleh Briella. Pada saat ini, Briella membuka matanya dan menatap mata Valerio yang membara. Saat itulah dia sedikit sadar, mengedipkan matanya yang lebar s
Valerio menggigit daun telinga Briella seolah-olah sebagai hukuman. Suaranya yang rendah menyalurkan kelembutan yang tidak ada habisnya. "Masih berani nggak nurut lagi?"Briella menggelengkan kepalanya dan meraih tangan Valerio dengan manja. "Rasanya sangat nggak nyaman."Valerio menghentikan semua gerakannya. Melihat pipi Briella yang memerah, sepertinya wanita ini memang benar-benar sangat menderita. Entah apa yang sedang dilakukan Adrian sampai belum datang. Kalau menunggu lagi, Briella akan makin tersiksa."Ayo pakai baju. Aku bawa kamu ke rumah sakit." Valerio memakaikan Briella baju dan mengancingkannya, lalu menggendongnya dengan satu tangan dan langsung berjalan keluar.Zayden melihat Mamanya berada di pelukan Valerio dan melihat cengkeraman tidak berdaya tangan Mamanya di kemeja Valerio. Sikap Mamanya ini seperti anak kecil yang sedang sakit, yang meminta permen kepada orang tuanya dengan sikap manja.Wajah Valerio terlihat serius dan langkah kakinya sangat terburu-buru."Zayd
"Om Nathan, kamu terlambat. Om Valerio datang lebih awal darimu, bahkan menyeka tubuh Mama dan menggendongnya ke rumah sakit."Zayden memakan semangka yang dibeli Nathan, sambil menjelaskan situasi saingan cinta Nathan.Ekspresi Nathan berubah serius. Zayden memakan apa yang dia belikan untuk Briella, tetapi malah menceritakan tentang pria lain. Bukankah sikap bocah ini sangat tidak etis?Nathan tidak akan marah pada anak-anak, dia hanya marah pada dirinya sendiri. Dia membiarkan wanita yang dia cintai direnggut berkali-kali darinya. Nathan tidak pernah semarah ini selama ini."Apa semangkanya enak?" Nathan mengambil dua biji semangka yang menempel di sudut mulut Zayden."Enak, sangat manis." Zayden mengambil sepotong semangka dari nampan buah dan memberikannya kepada Nathan. "Om, nih makan juga."Nathan mengambil semangka yang diberikan oleh Zayden dan menggigitnya. Lalu, dia berkata dengan pelan kepada Zayden, "Setelah kamu selesai makan, ayo kita ke rumah sakit.""Ke rumah sakit?" Z
"Tunggu sebentar."Valerio memotong apel yang sudah dikupas menjadi beberapa bagian dan meletakkannya di atas piring buah, tidak lupa menusukkan tusuk gigi ke dalam masing-masing bagian. Pandangan Briella fokus pada gerakan pria itu yang memotong buah, karena terlihat seperti sedang mengutak-atik sebuah karya seni.Setelah selesai memotong apel, Valerio menyentuh suhu segelas air di salah satu sisinya, yang ternyata masih sedikit panas.Pria itu mengambil gelas itu dan meniup air di dalamnya, mencoba mendinginkan air di dalam gelas.Sudut bibir Briella terangkat, tiba-tiba merasa ingin tertawa."Kenapa tertawa?" Pria itu bertanya dengan nada serius, "Air ini panas, kalau nggak ditiup dulu, mana bisa diminum?"Briella hanya tersenyum karena tenggorokannya kering dan membuatnya tidak bisa bicara. Ketika dia tertawa, matanya dipenuhi oleh binar cahaya yang hanya menatap mata Valerio. Saat ini, Briella merasa tersentuh.Melalui tatapan ini, Valerio bisa mengetahui isi hati Briella. Ini ada
"Hah apa?" Valerio menggendong Briella masuk ke kamar mandi, tidak lupa menutup pintu.Pria itu meletakkan Briella di atas wastafel dan Briella duduk di atasnya. Posisi Briella hampir sejajar dengan Valerio. Dia menatap Valerio dengan raut wajah bingung. Dia akan mengatakan sesuatu, tetapi Valerio menutup mulutnya dengan tangan pria itu.Mata Briella membelalak, sedikit bingung dengan apa yang dilakukan pria ini.Valerio mengeluarkan ponselnya dari saku jasnya dan membuka halaman kosong dari memonya. Dia mulai mengetikkan sesuatu di dalamnya. Setelah selesai, dia mendekatkan layar ponselnya ke depan wajah Briella."Davira yang mendatangkan media dan wartawan ke mari."Briella tidak terlalu terkejut saat membaca kalimat itu di ponsel Valerio. Sesuai dengan apa yang dia duga sebelumnya, ternyata ini hanyalah sandiwara yang diatur oleh Davira.Briella mengambil ponsel pria itu dan mengetikkan beberapa kata lain. "Apa yang harus kita lakukan?"Valerio mengerucutkan bibirnya dan ekspresi si