"Tunggu sebentar."Valerio memotong apel yang sudah dikupas menjadi beberapa bagian dan meletakkannya di atas piring buah, tidak lupa menusukkan tusuk gigi ke dalam masing-masing bagian. Pandangan Briella fokus pada gerakan pria itu yang memotong buah, karena terlihat seperti sedang mengutak-atik sebuah karya seni.Setelah selesai memotong apel, Valerio menyentuh suhu segelas air di salah satu sisinya, yang ternyata masih sedikit panas.Pria itu mengambil gelas itu dan meniup air di dalamnya, mencoba mendinginkan air di dalam gelas.Sudut bibir Briella terangkat, tiba-tiba merasa ingin tertawa."Kenapa tertawa?" Pria itu bertanya dengan nada serius, "Air ini panas, kalau nggak ditiup dulu, mana bisa diminum?"Briella hanya tersenyum karena tenggorokannya kering dan membuatnya tidak bisa bicara. Ketika dia tertawa, matanya dipenuhi oleh binar cahaya yang hanya menatap mata Valerio. Saat ini, Briella merasa tersentuh.Melalui tatapan ini, Valerio bisa mengetahui isi hati Briella. Ini ada
"Hah apa?" Valerio menggendong Briella masuk ke kamar mandi, tidak lupa menutup pintu.Pria itu meletakkan Briella di atas wastafel dan Briella duduk di atasnya. Posisi Briella hampir sejajar dengan Valerio. Dia menatap Valerio dengan raut wajah bingung. Dia akan mengatakan sesuatu, tetapi Valerio menutup mulutnya dengan tangan pria itu.Mata Briella membelalak, sedikit bingung dengan apa yang dilakukan pria ini.Valerio mengeluarkan ponselnya dari saku jasnya dan membuka halaman kosong dari memonya. Dia mulai mengetikkan sesuatu di dalamnya. Setelah selesai, dia mendekatkan layar ponselnya ke depan wajah Briella."Davira yang mendatangkan media dan wartawan ke mari."Briella tidak terlalu terkejut saat membaca kalimat itu di ponsel Valerio. Sesuai dengan apa yang dia duga sebelumnya, ternyata ini hanyalah sandiwara yang diatur oleh Davira.Briella mengambil ponsel pria itu dan mengetikkan beberapa kata lain. "Apa yang harus kita lakukan?"Valerio mengerucutkan bibirnya dan ekspresi si
Mata Valerio tiba-tiba berubah muram dan dia melepaskan pelukannya pada tubuh Briella."Apa yang kamu mau?" Valerio sedikit bingung dengan Briella. Valerio bersedia memberikan semua yang dia miliki asalkan Briella tetap berada di sisinya dengan tenang, lalu melahirkan bayinya dengan selamat dan sehat.Bukankah wanita ini sangat menyukai uang? Valerio memberikannya, tetapi sepertinya sekarang uang juga tidak mampu menggerakkan hati wanita itu."Aku nggak mau apa pun." Briella menjawab dengan nada dingin, "Kita memiliki jalan hidup sendiri dan harus kembali ke dunia kita masing-masing dan hidup dengan baik."Wajah tampan Valerio terlihat muram. Dulu, wanita ini pernah mengatakan kalau Valerio adalah dunianya.Sandiwara wanita ini benar-benar sangat luar biasa."Kalau kamu ingin aku menikahi Davira, baiklah." Valerio menatap Briella dengan tatapan dingin, lalu melanjutkan dengan sikap angkuh, "Yang penting kamu menjaga dirimu dan anakmu, biar dia lahir dengan sehat dan selamat.""Pak Vale
"Rio, aku tahu kamu nggak akan meninggalkanku sendirian."Dari bahu Valerio, tatapan mata Davira melirik ke arah pintu kamar mandi yang tertutup.Briella, bukankah kamu sangat hebat? Sekarang kelihatannya kamu nggak ada apa-apanya. Kalau bukan karena mengandung anak Rio, Rio pasti sudah membuangmu.Raut wajah Davira menunjukkan senyum puas, tetapi dia menyembunyikannya dengan rapi sebelum Valerio menatapnya. Wajahnya terlihat pasrah dan polos."Rio, wartawan itu nanti akan tanya kenapa aku dirawat di rumah sakit." Davira terlihat lemah dan detik berikutnya seperti akan menangis, "Lalu, kenapa kamu bisa ada di bangsal wanita lain? Gimana kalau nanti aku panik dan salah bicara?"Valerio menunduk dan menyapu pandangannya ke arah Davira dengan tatapan dingin. "Jadi bisu. Bisa, 'kan?"Davira terdiam sejenak, setelah beberapa saat baru menyadari apa yang dimaksud Valerio. Jadi, pria ini keberatan karena dia terlalu banyak bicara?"Rio, aku ...." Awalnya Davira memang takut. Sekarang, dengan
Davira terlihat terganggu dan meringkuk dalam pelukan Valerio."Rio, aku takut."Valerio tidak mendorong Davira menjauh kali ini. Wajahnya tetap dingin dan tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia mencengkeram pergelangan tangan Davira, sebagai sebuah isyarat kepada pers.Itu menunjukkan kalau dia berada di pihak yang sama dengan Davira.Ini adalah hal terakhir yang ingin dilihat oleh para wartawan. Mereka sudah diberi tugas. Kalau tidak bisa mendapatkan berita besar, jangan harap mereka masih bisa bekerja sebagai wartawan."Permisi, Pak Valerio. Ke mana wanita lain yang ada di ruangan ini?"Pertanyaan itu mengena di hati Valerio. Pria itu terlihat seperti balok es yang memancarkan aura mencekam di sekelilingnya."Wanita yang mana?" Valerio mengangkat tangannya yang menggandeng tangan Davira tanpa ekspresi. "Di sini cuma ada aku dan tunanganku.""Sepertinya nggak begitu. Bukankah Nona Davira ada di bangsal lain?""Tahu dari mana?" Valerio menanyai wartawan sok tahu itu."Ini ...." Repor
Kericuhan di luar bangsal memudar. Briella yang bersembunyi di dalam kamar mandi pun keluar. Dia kembali ke ranjangnya dan mengeluarkan ponselnya karena merasa bosan. Tiba-tiba, dia melihat sorotan berita yang muncul di layar, yang semuanya tentang pesta pertunangan Valerio dan Davira.Briella menatap layar ponselnya cukup lama. Mungkin ini adalah rencana terbaik. Dia dan Valerio tidak ditakdirkan untuk bersama.Hanya saja, kenapa saat melihat berita ini hatinya terasa hampa.Mungkin karena belum terbiasa. Suka atau tidak suka bukanlah yang terpenting. Hatinya sudah tergerus habis karena penantian akan Papa Zayden selama lima tahun.Briella tidak percaya pada cinta. Kalau Valerio mencintainya, dia tidak mungkin bersama dengan Davira. Kalau Valerio tidak mencintainya, lalu apa artinya hubungan mereka dalam beberapa hari ini?Briella merasakan sakit kepala yang luar biasa, jadi memutuskan untuk tidak memikirkan masalah ini lagi.Baru akan berbaring, dia mendengar ketukan di pintu bangsal
Briella menunduk dan menoleh ke arah Zayden. "Sayang, mau es krim?"Zayden memandang Nathan, kemudian tatapannya beralih pada Briella. Dia memahami situasi dan akhirnya mengangguk. "Mau! Mama, kalau begitu aku ke supermarket di rumah sakit dulu buat beli es krim. Setengah jam lagi aku pasti sudah di sini."Briella menatap putranya dengan perasaan lega dan menggenggam tangan kecil Zayden. Memang hanya putranya yang memahaminya. Tidak sia-sia Briella menyayanginya selama ini.Zayden turun dari pangkuan Nathan dan melambaikan tangan pada dua orang di bangsal. "Aku pergi dulu, ya. Telepon saja kalau terjadi sesuatu."Di dalam bangsal hanya menyisakan Briella dan Nathan. Jadi, Briella tidak bertele-tele dan langsung berkata pada intinya, "Nathan, apa maksudmu?""Apanya yang maksudku?""Jangan main-main denganku." Briella menunjuk ke ponsel Nathan. "Kenapa kamu menunjukkan berita itu kepada Zayden?""Nggak ada alasan." Nathan melipat kakinya dan dengan malas bersandar pada kursi. "Kalian har
"Jangan lupa. Selama lima tahun kebersamaanmu dengan Valerio, aku juga nggak memperlakukanmu dengan buruk!"Dada Nathan naik turun karena marah."Briella, apa kamu bodoh atau cuma pura-pura bodoh? Valerio sudah mau menikah sama wanita lain, apa kamu masih berkhayal kalau dia akan menikahimu hanya karena anak dalam kandunganmu?"Briella menunduk, lalu menjawab pelan, "Aku nggak pernah berkhayal kalau Valerio akan menikahiku. Aku sudah punya Zayden dan nggak butuh yang namanya pernikahan.""Terus apa maksudmu?" Kemarahan Nathan mereda ketika mendengar Briella sendiri yang mengatakan kalau wanita itu tidak akan menikah dengan Valerio."Aku cuma berharap aku dan Zayden bisa aman dan sehat.""Jadi, keputusanmu adalah mendorongku menjauh, lalu kamu menghadapi Valerio sendirian?""Ya." Briella menunduk. "Untuk sekarang, aku nggak bisa meninggalkannya.""Kamu nggak bisa atau kamu nggak mau?"Briella terdiam sejenak dan sedikit bingung. Dia bahkan tidak memahami pemikirannya sendiri."Valerio j