"Rio, aku tahu kamu nggak akan meninggalkanku sendirian."Dari bahu Valerio, tatapan mata Davira melirik ke arah pintu kamar mandi yang tertutup.Briella, bukankah kamu sangat hebat? Sekarang kelihatannya kamu nggak ada apa-apanya. Kalau bukan karena mengandung anak Rio, Rio pasti sudah membuangmu.Raut wajah Davira menunjukkan senyum puas, tetapi dia menyembunyikannya dengan rapi sebelum Valerio menatapnya. Wajahnya terlihat pasrah dan polos."Rio, wartawan itu nanti akan tanya kenapa aku dirawat di rumah sakit." Davira terlihat lemah dan detik berikutnya seperti akan menangis, "Lalu, kenapa kamu bisa ada di bangsal wanita lain? Gimana kalau nanti aku panik dan salah bicara?"Valerio menunduk dan menyapu pandangannya ke arah Davira dengan tatapan dingin. "Jadi bisu. Bisa, 'kan?"Davira terdiam sejenak, setelah beberapa saat baru menyadari apa yang dimaksud Valerio. Jadi, pria ini keberatan karena dia terlalu banyak bicara?"Rio, aku ...." Awalnya Davira memang takut. Sekarang, dengan
Davira terlihat terganggu dan meringkuk dalam pelukan Valerio."Rio, aku takut."Valerio tidak mendorong Davira menjauh kali ini. Wajahnya tetap dingin dan tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia mencengkeram pergelangan tangan Davira, sebagai sebuah isyarat kepada pers.Itu menunjukkan kalau dia berada di pihak yang sama dengan Davira.Ini adalah hal terakhir yang ingin dilihat oleh para wartawan. Mereka sudah diberi tugas. Kalau tidak bisa mendapatkan berita besar, jangan harap mereka masih bisa bekerja sebagai wartawan."Permisi, Pak Valerio. Ke mana wanita lain yang ada di ruangan ini?"Pertanyaan itu mengena di hati Valerio. Pria itu terlihat seperti balok es yang memancarkan aura mencekam di sekelilingnya."Wanita yang mana?" Valerio mengangkat tangannya yang menggandeng tangan Davira tanpa ekspresi. "Di sini cuma ada aku dan tunanganku.""Sepertinya nggak begitu. Bukankah Nona Davira ada di bangsal lain?""Tahu dari mana?" Valerio menanyai wartawan sok tahu itu."Ini ...." Repor
Kericuhan di luar bangsal memudar. Briella yang bersembunyi di dalam kamar mandi pun keluar. Dia kembali ke ranjangnya dan mengeluarkan ponselnya karena merasa bosan. Tiba-tiba, dia melihat sorotan berita yang muncul di layar, yang semuanya tentang pesta pertunangan Valerio dan Davira.Briella menatap layar ponselnya cukup lama. Mungkin ini adalah rencana terbaik. Dia dan Valerio tidak ditakdirkan untuk bersama.Hanya saja, kenapa saat melihat berita ini hatinya terasa hampa.Mungkin karena belum terbiasa. Suka atau tidak suka bukanlah yang terpenting. Hatinya sudah tergerus habis karena penantian akan Papa Zayden selama lima tahun.Briella tidak percaya pada cinta. Kalau Valerio mencintainya, dia tidak mungkin bersama dengan Davira. Kalau Valerio tidak mencintainya, lalu apa artinya hubungan mereka dalam beberapa hari ini?Briella merasakan sakit kepala yang luar biasa, jadi memutuskan untuk tidak memikirkan masalah ini lagi.Baru akan berbaring, dia mendengar ketukan di pintu bangsal
Briella menunduk dan menoleh ke arah Zayden. "Sayang, mau es krim?"Zayden memandang Nathan, kemudian tatapannya beralih pada Briella. Dia memahami situasi dan akhirnya mengangguk. "Mau! Mama, kalau begitu aku ke supermarket di rumah sakit dulu buat beli es krim. Setengah jam lagi aku pasti sudah di sini."Briella menatap putranya dengan perasaan lega dan menggenggam tangan kecil Zayden. Memang hanya putranya yang memahaminya. Tidak sia-sia Briella menyayanginya selama ini.Zayden turun dari pangkuan Nathan dan melambaikan tangan pada dua orang di bangsal. "Aku pergi dulu, ya. Telepon saja kalau terjadi sesuatu."Di dalam bangsal hanya menyisakan Briella dan Nathan. Jadi, Briella tidak bertele-tele dan langsung berkata pada intinya, "Nathan, apa maksudmu?""Apanya yang maksudku?""Jangan main-main denganku." Briella menunjuk ke ponsel Nathan. "Kenapa kamu menunjukkan berita itu kepada Zayden?""Nggak ada alasan." Nathan melipat kakinya dan dengan malas bersandar pada kursi. "Kalian har
"Jangan lupa. Selama lima tahun kebersamaanmu dengan Valerio, aku juga nggak memperlakukanmu dengan buruk!"Dada Nathan naik turun karena marah."Briella, apa kamu bodoh atau cuma pura-pura bodoh? Valerio sudah mau menikah sama wanita lain, apa kamu masih berkhayal kalau dia akan menikahimu hanya karena anak dalam kandunganmu?"Briella menunduk, lalu menjawab pelan, "Aku nggak pernah berkhayal kalau Valerio akan menikahiku. Aku sudah punya Zayden dan nggak butuh yang namanya pernikahan.""Terus apa maksudmu?" Kemarahan Nathan mereda ketika mendengar Briella sendiri yang mengatakan kalau wanita itu tidak akan menikah dengan Valerio."Aku cuma berharap aku dan Zayden bisa aman dan sehat.""Jadi, keputusanmu adalah mendorongku menjauh, lalu kamu menghadapi Valerio sendirian?""Ya." Briella menunduk. "Untuk sekarang, aku nggak bisa meninggalkannya.""Kamu nggak bisa atau kamu nggak mau?"Briella terdiam sejenak dan sedikit bingung. Dia bahkan tidak memahami pemikirannya sendiri."Valerio j
Zayden agak kesal dan menutup halaman berita itu, terus menikmati es krimnya dengan tatapan kosong. Tidak jauh dari situ, ada seorang wanita yang membawa anak laki-laki bersamanya. Zayden tidak asing dengan anak laki-laki itu yaitu merupakan mantan teman sekelasnya ketika di taman kanak-kanak. Orang tuanya seorang pejabat, jadi keberadaan anak itu tidak jauh-jauh dari kata perundung.Dia sering mencari masalah dengan Zayden. Karena Zayden sangat pintar, tampan dan disukai oleh guru dan teman-teman yang lainnya, anak laki-laki itu merasa iri. Ibu dari anak laki-laki itu pun sama. Briella cantik, jadi dia selalu membuat cerita kalau Briella adalah seorang wanita simpanan dan menambahkan hal yang berlebihan dalam ceritanya kepada wali murid.Jadi, Zayden sangat membenci mereka berdua sampai-sampai dia tidak mau melihat mereka walau hanya satu detik pun."Zayden, kenapa kamu bisa di sini?" Nama panggilan anak laki-laki itu adalah Kiki. Dia memiliki tubuh dua kali lebih besar dari Zayden."
"Pak ... Pak Valerio?"Sandra mengenal Valerio, tetapi hanya sekadar dari gosip yang dia dengar di tempat bermain kartu. Beberapa teman mainnya membahas mengani pengusaha legendaris yang berdiri di puncak piramida bahkan sebelum usianya genap tiga puluh tahun. Tidak ada satu pun orang dari kalangan kelas atas yang tidak mengenal nama Valerio, yang melambangkan kekayaan dan status."Anakmu?" Valerio bertanya pada wanita itu sambil melirik Kiki yang ada dalam cengkeramannya."Ya ... dia anak saya." Tubuh wanita itu gemetar saat berbicara, takut membuat Valerio marah karena mengatakan jawaban yang salah."Kamu saja nggak bisa mendidik anakmu sendiri, punya hak apa mendidik anak orang lain?"Valerio seperti raja yang bertengger di puncak kekuasaan. Tatapannya yang tertuju pada Sandra beralih pada Zayden. "Apa ada yang terluka?"Zayden menggeleng dengan wajah polos. "Cuma es krimku hilang. Harganya cukup mahal, dua puluh ribu."Mendengar jawaban Zayden, wajah Valerio yang terlihat serius ti
Valerio menatap wanita itu dengan mata tertunduk, tanpa sedikit pun rasa simpati atau kelembutan dalam tatapannya.Dia mengaitkan jarinya ke arah Zayden dan memberi isyarat agar Zayden berdiri di depan wanita itu. "Karena ini masalah anak-anak, biarkan Zayden yang memutuskan."Zayden menoleh dan memiringkan kepalanya untuk melihat Valerio. Dia tiba-tiba merasa tenang, rasanya seperti ada pelindung yang bisa melindunginya dari masalah apa pun dan menjadi sandarannya.Ternyata Zayden juga punya orang yang bisa diandalkan.Zayden menatap wanita yang berlutut di depannya, lalu kembali teringat tentang makian dan fitnah yang dilontarkan wanita itu padanya dan Mama barusan. Dia tidak ingin memberikan kesempatan kepadanya."Aku ingin dia berlutut juga." Zayden menunjuk ke arah Kiki. "Dialah yang selalu mengatakan hal-hal buruk tentang Mama di depan anak-anak lain. Aku nggak pernah merasa senang saat sekolah. Mereka semua mengatakan hal buruk tentang Mama. Jadi nggak ada yang mau berteman deng