"Pak ... Pak Valerio?"Sandra mengenal Valerio, tetapi hanya sekadar dari gosip yang dia dengar di tempat bermain kartu. Beberapa teman mainnya membahas mengani pengusaha legendaris yang berdiri di puncak piramida bahkan sebelum usianya genap tiga puluh tahun. Tidak ada satu pun orang dari kalangan kelas atas yang tidak mengenal nama Valerio, yang melambangkan kekayaan dan status."Anakmu?" Valerio bertanya pada wanita itu sambil melirik Kiki yang ada dalam cengkeramannya."Ya ... dia anak saya." Tubuh wanita itu gemetar saat berbicara, takut membuat Valerio marah karena mengatakan jawaban yang salah."Kamu saja nggak bisa mendidik anakmu sendiri, punya hak apa mendidik anak orang lain?"Valerio seperti raja yang bertengger di puncak kekuasaan. Tatapannya yang tertuju pada Sandra beralih pada Zayden. "Apa ada yang terluka?"Zayden menggeleng dengan wajah polos. "Cuma es krimku hilang. Harganya cukup mahal, dua puluh ribu."Mendengar jawaban Zayden, wajah Valerio yang terlihat serius ti
Valerio menatap wanita itu dengan mata tertunduk, tanpa sedikit pun rasa simpati atau kelembutan dalam tatapannya.Dia mengaitkan jarinya ke arah Zayden dan memberi isyarat agar Zayden berdiri di depan wanita itu. "Karena ini masalah anak-anak, biarkan Zayden yang memutuskan."Zayden menoleh dan memiringkan kepalanya untuk melihat Valerio. Dia tiba-tiba merasa tenang, rasanya seperti ada pelindung yang bisa melindunginya dari masalah apa pun dan menjadi sandarannya.Ternyata Zayden juga punya orang yang bisa diandalkan.Zayden menatap wanita yang berlutut di depannya, lalu kembali teringat tentang makian dan fitnah yang dilontarkan wanita itu padanya dan Mama barusan. Dia tidak ingin memberikan kesempatan kepadanya."Aku ingin dia berlutut juga." Zayden menunjuk ke arah Kiki. "Dialah yang selalu mengatakan hal-hal buruk tentang Mama di depan anak-anak lain. Aku nggak pernah merasa senang saat sekolah. Mereka semua mengatakan hal buruk tentang Mama. Jadi nggak ada yang mau berteman deng
Zayden mengangkat kedua jarinya dan berbicara dengan suara yang lebih rendah, "Pak Valerio, aku cuma ingin memberimu pelajaran.""Heh, kamu lancang sekali!" Valerio mencubit wajah Zayden. "Nggak pernah ada yang berani bicara begitu kepadaku. Nak, kamu ingin memberiku pelajaran?"Zayden menciut dan memeluk leher Valerio untuk memohon, "Om, aku salah. Jangan pukul aku lagi, aku takut."Pria itu tertawa pelan. Tawanya itu terdengar sangat menarik."Kamu bisa merasa takut juga rupanya! Aku pikir kamu sama seperti Mamamu, keras kepala dan nggak bisa diatur.""Mama nggak seperti itu, kok. Saat diganggu saja Mama akan menjadi tegas. Dia sebenarnya sangat penakut. Kalau hujan dan ada guntur saja dia ketakutan dan nggak bisa tidur. Mama pasti akan memintaku menemaninya."Zayden menatap Valerio dengan sungguh-sungguh. "Jadi Om, Mamaku sangat penakut. Om Nggak boleh menakut-nakutinya."Valerio mengangkat alisnya. "Kapan aku pernah menggertaknya?"Pikiran pria itu kembali teringat akan wajah Briel
"Apa untungnya bagiku kalau kamu bertemu dengan Papa mu?"Kalau dipikir-pikir lagi, Zayden merasa permintaannya sangat kekanak-kanakan. Meminta Om Valerio untuk membantunya menemukan Papa? Bukankah itu sama saja dengan meminta Om Valerio menemukan saingan cintanya?"Om Valerio, aku punya pertanyaan." Zayden melingkarkan tangannya di leher Valerio dan mendekatkan telinganya ke telinga Valerio. Dia berkata dengan lembut, "Om, apa Om suka sama Mama?"Valerio terdiam sejenak dan balik bertanya kepada Zayden, "Apa Mamamu suka Om Valerio?"Zayden memiringkan kepalanya dan memikirkan pertanyaan itu sejenak, baru menjawab, "Entahlah. Tapi ada satu hal yang aku tahu, banyak yang suka Mama. Walaupun sudah punya aku, tapi yang ngejar Mama banyak. Mama sangat cantik dan punya anak pengertian dan pintar sepertiku. Banyak sekali pria yang ingin menikahi Mama."Begitu Valerio mendengar ini, wajahnya berubah dingin dan tidak mengenakan."Jadi, kalau Om Valerio kamu menyukai Mama, Om harus menunjukkan
Davira kehilangan harga irinya karena perkataan Zayden. Dia tersenyum dan menutup mulutnya, lalu menarik lengan baju Valerio dan bertanya dengan sengaja, "Rio, perkataan anak ini ketus sekali, apa Briella nggak pernah mendidik anaknya? Kenapa sikapnya nggak sopan sekali."Sebelum Valerio sempat mengatakan sesuatu, Zayden sudah menyela lebih dulu, "Aku bersikap sopan sama orang yang pantas dihormati. Kata Mama, jadi orang jangan terlalu lembut dan baik hati. Kalau nggak, nanti akan dirundung.""Maksudmu, aku merundungmu?" Davira terkekeh, "Ya Tuhan, Rio, lihatlah cara bicara anak ini. Dia seperti anak urakan yang nggak dididik dengan baik.""Cukup!" Valerio berteriak dengan marah. Tatapan dinginnya jatuh pada wajah sombong Davira. "Kamu merasa hebat, berdebat sama anak kecil begini?""Aku ...." Davira sangat marah sampai hampir menangis, bahkan kata-katanya tercekat oleh isak tangis, "Rio, anak Briella menggertakku, tapi kamu nggak mau menolongku?"Tatapan Valerio yang menatap Davira be
Mana mungkin Klinton mau mengakui kekalahan dengan mudah. Dia adalah kakak laki-laki Davira. Adik kandung yang sejak kecil dia sayangi dicekik oleh Valerio, mana mungkin dia hanya diam saja dan tidak melakukan apa-apa?Klinton mengepalkan tinjunya dan memukul Valerio dengan keras. "Lepaskan!"Tidak ingin membuat keadaan menjadi lebih buruk, Valerio melepaskan cengkeramannya pada leher Davira dan berjalan melewati keduanya dengan arogan dan acuh."Kalian, Keluarga Atmaja, lebih baik jaga sikap kalian atau aku akan membatalkan pernikahan kedua keluarga kita kapan saja."Davira ketakutan dan bersembunyi di belakang Klinton. Jantungnya berdebar kencang karena merasa tercekik dan mendapat peringatan menakutkan dari Valerio."Kak, Rio sudah kehilangan akal sehatnya karena wanita itu." Davira menangis. "Rio ingin aku mati, dia ingin aku mati."Melihat Davira kehilangan akal sehatnya dan ketakutan seperti itu, hati Klinton terasa sakit. Dia memeluk Davira, menepuk punggungnya dengan lembut dan
Senyum Briella masih tersungging di wajahnya. Namun, begitu melihat Valerio, senyum itu berangsur-angsur membeku.Nathan menoleh ke belakang dan melihat Valerio datang. Dia berdiri dan berjalan ke arah Valerio."Kamu sepertinya nggak diterima di sini."Valerio menunjuk ke arah Briella, tetapi perkataannya ditujukan pada Nathan, "Aku perlu bicara dengannya. Bawa anak itu keluar.""Heh." Nathan tersenyum menggoda. "Presdir Valerio yang terhormat benar-benar kaya dan berkuasa. Siapa pun yang dia usir harus pergi, bukan?"Valerio melirik Nathan dengan tatapan dingin dan tatapannya kembali tertuju pada wajah Briella. "Rumah sakit ini milik Perusahaan Regulus."Briella merasakan tatapan Valerio yang terjatuh kepadanya, tetapi dia tidak mendongak dan menatap mata pria itu. Dia hanya berkata dengan suara yang dalam, "Nathan, bawa Zayden keluar dulu. Aku ingin bicara dengannya."Nathan mengepalkan tinjunya, tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain membawa Zayden keluar bersamanya.Saat mer
Pria itu mengangkat alisnya dan bertanya asal, "Apa yang kamu pikirkan?""Nggak ada." Briella menggoda, "Aku akan tinggal di mana saja selama kamu nggak menjebloskanku ke penjara."Valerio mengerutkan keningnya. "Penjara? Kenapa kamu punya pemikiran seperti itu?"Briella tersenyum dan menggelengkan kepalanya.Memang benar kalau orang penting sering melupakan sesuatu. Namun, apa pria itu benar-benar lupa atau hanya berpura-pura bodoh?Briella tidak benar-benar ingin mencari tahu lebih lanjut."Bukan apa-apa. Pak Valerio, aku nggak mau bahas kejadian itu. Jadi, aku nggak akan pernah membicarakannya lagi.""Kejadian apa?" Valerio mencoba mencari tahu, "Briella, jangan main-main denganku. Kamu tahu, aku paling benci wanita sepertimu."Briella benar-benar sangat sedih. Dia hanya berusaha melindungi dirinya sendiri, tetapi di mata Valerio, dia hanyalah wanita yang suka memainkan tipu muslihat. Briella benar-benar tidak ingin mengatakan apa pun lagi.Briella memejamkan mata dan memijit kening