Mana mungkin Klinton mau mengakui kekalahan dengan mudah. Dia adalah kakak laki-laki Davira. Adik kandung yang sejak kecil dia sayangi dicekik oleh Valerio, mana mungkin dia hanya diam saja dan tidak melakukan apa-apa?Klinton mengepalkan tinjunya dan memukul Valerio dengan keras. "Lepaskan!"Tidak ingin membuat keadaan menjadi lebih buruk, Valerio melepaskan cengkeramannya pada leher Davira dan berjalan melewati keduanya dengan arogan dan acuh."Kalian, Keluarga Atmaja, lebih baik jaga sikap kalian atau aku akan membatalkan pernikahan kedua keluarga kita kapan saja."Davira ketakutan dan bersembunyi di belakang Klinton. Jantungnya berdebar kencang karena merasa tercekik dan mendapat peringatan menakutkan dari Valerio."Kak, Rio sudah kehilangan akal sehatnya karena wanita itu." Davira menangis. "Rio ingin aku mati, dia ingin aku mati."Melihat Davira kehilangan akal sehatnya dan ketakutan seperti itu, hati Klinton terasa sakit. Dia memeluk Davira, menepuk punggungnya dengan lembut dan
Senyum Briella masih tersungging di wajahnya. Namun, begitu melihat Valerio, senyum itu berangsur-angsur membeku.Nathan menoleh ke belakang dan melihat Valerio datang. Dia berdiri dan berjalan ke arah Valerio."Kamu sepertinya nggak diterima di sini."Valerio menunjuk ke arah Briella, tetapi perkataannya ditujukan pada Nathan, "Aku perlu bicara dengannya. Bawa anak itu keluar.""Heh." Nathan tersenyum menggoda. "Presdir Valerio yang terhormat benar-benar kaya dan berkuasa. Siapa pun yang dia usir harus pergi, bukan?"Valerio melirik Nathan dengan tatapan dingin dan tatapannya kembali tertuju pada wajah Briella. "Rumah sakit ini milik Perusahaan Regulus."Briella merasakan tatapan Valerio yang terjatuh kepadanya, tetapi dia tidak mendongak dan menatap mata pria itu. Dia hanya berkata dengan suara yang dalam, "Nathan, bawa Zayden keluar dulu. Aku ingin bicara dengannya."Nathan mengepalkan tinjunya, tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain membawa Zayden keluar bersamanya.Saat mer
Pria itu mengangkat alisnya dan bertanya asal, "Apa yang kamu pikirkan?""Nggak ada." Briella menggoda, "Aku akan tinggal di mana saja selama kamu nggak menjebloskanku ke penjara."Valerio mengerutkan keningnya. "Penjara? Kenapa kamu punya pemikiran seperti itu?"Briella tersenyum dan menggelengkan kepalanya.Memang benar kalau orang penting sering melupakan sesuatu. Namun, apa pria itu benar-benar lupa atau hanya berpura-pura bodoh?Briella tidak benar-benar ingin mencari tahu lebih lanjut."Bukan apa-apa. Pak Valerio, aku nggak mau bahas kejadian itu. Jadi, aku nggak akan pernah membicarakannya lagi.""Kejadian apa?" Valerio mencoba mencari tahu, "Briella, jangan main-main denganku. Kamu tahu, aku paling benci wanita sepertimu."Briella benar-benar sangat sedih. Dia hanya berusaha melindungi dirinya sendiri, tetapi di mata Valerio, dia hanyalah wanita yang suka memainkan tipu muslihat. Briella benar-benar tidak ingin mengatakan apa pun lagi.Briella memejamkan mata dan memijit kening
"Nona Briella, aku akan tanya lagi, apa kamu penduduk asli Kota Tamar?"Klinton menatap Briella, ingin tahu lebih banyak tentang Briella. Namun, Briella tidak memberinya kesempatan."Bukan. Maaf, Pak Klinton, aku lelah dan ingin istirahat."Sejak demam sampai sekarang, Briella belum tidur karena banyak sekali orang yang keluar masuk bangsal ini. Briella benar-benar sudah lelah menghadapi mereka. Sekarang, dia ingin beristirahat dengan tenang."Baiklah, aku nggak akan mengganggumu lagi."Klinton pamit dengan sadar diri, membuat Briella menghela napas lega dan berbaring dengan tenang.Di luar pintu, perhatian Klinton terfokus pada Zayden dan Nathan karena mereka berjaga di luar.Kalau sebelumnya dia tidak menyelidiki Briella, dia hampir mengira kalau anak laki-laki yang bernama Zayden adalah anak haram Valerio. Anak itu benar-benar versi kecil dari Valerio.Nathan langsung waspada saat melihat Klinton mendekat."Ada apa mencari Briella sampai ke mari?""Cuma mau jenguk.""Aku peringatkan
Zayden terdiam sejenak, tiba-tiba memahami maksud Klinton. Dia pun menyingkirkan senyum di wajahnya dan berucap ketus, "Siapa yang berharap kalau dia akan jadi suami Mama. Mama ku dipaksa dan kalian nggak boleh bersikap nggak hormat sama Mama."Nathan tidak tahan lagi dan memarahi Klinton, "Kenapa bicara begitu sama anak-anak? Anak ini punya harga diri yang tinggi dan sangat memanjakan Mamanya. Kamu nggak takut kalau suatu hari nanti dia akan membalasmu? Aku saja nggak mampu mengusik anak ini."Klinton mengangkat alis dan berpikir dalam hati kalau kemampuan apa yang dimiliki anak sekecil ini? Jadi, dia tidak benar-benar peduli dengan apa yang diperingatkan Nathan kepadanya.Sambil melihat jam tangannya, Klinton pun pamit, "Ada yang harus aku lakukan di kantor. Aku akan pergi dan sampai ketemu lagi."Zayden menjulurkan lidahnya dan menunjukkan wajah kesal ke punggung Klinton. "Wellkkk."Nathan mencubit wajah Zayden dan berkata dengan sayang, "Kamu membela Mamamu seperti ini dan nggak ta
Briella keluar dari gedung rumah sakit. Terlihat kalau Marco sudah menunggu di depan sejak lama. Dia berada di depan pintu mobil seperti seorang sopir yang sudah siap dengan tugasnya.Marco turun dari mobil lalu berjalan ke arah Briella. Dia membungkuk ke arahnya dan mengatakan, "Nona Briella, silakan masuk ke dalam mobil."Briella agak terkejut. "Marco, apa kamu harus bersikap sopan begini kepadaku?""Nona Briella, bagaimanapun juga, kondisi sekarang sudah berubah dan Pak Valerio akan menghukumku kalau aku masih memperlakukanmu layaknya sekretaris.""Jadi?" Briella masih belum terbiasa dengan perubahan itu. "Valerio yang mengatur semua ini?""Ya. Mulai sekarang, aku adalah sopir khusus Nona Briella. Tugas utamaku adalah melindungi Nona Briella dan bayi yang di dalam kandunganmu."Heh! Briella mencibir dalam hati. Penjelasan halusnya mungkin begitu. Ini bukan melindungi, tetapi memenjarakan Briella, bukan?"Keadaanku sangat baik dan nggak membutuhkan perlindungan dari siapa pun. Tolong
"Baiklah, Marco. Aku mengerti.""Kalau begitu aku akan pergi dulu. Nona Briella, langsung hubungi aku saja kalau mau keluar dan butuh mobil."Briella menghela napas dalam dan menjawab lirih, "Ya. Kalau begitu mohon bantuannya."Sepertinya Valerio berencana untuk terus memantaunya. Tatapan Briella menyapu vila besar tempat dia tinggal dan merasa terikat.Ketika Marco pergi, Briella pergi ke loteng. Di sana ada sebuah ruangan kosong dengan peralatan melukis dan jendela atap dengan pemandangan terbuka. Saat duduk di sana, dia disuguhkan dengan pemandangan langit berbintang yang sangat luas.Briella mengagumi sebuah lukisan di depannya. Pria yang tergambar di lukisan itu adalah Valerio. Dalam lukisan itu, pria itu terlihat sedang membaca buku, bahkan alisnya pun terlihat sangat santai. Latar belakang lukisan itu adalah sebuah kampus. Mungkin usia Valerio dalam lukisan itu sekitar dua puluhan.Dalam lukisan itu terdapat satu nama pena, yang menuliskan kata Moon.Lukisan itu mungkin dilukis
"Terserah kamu mau jawab apa. Aku nggak masalah."Valerio menanggapinya dengan ringan."Begini, Pak Valerio nggak perlu sampai ikut dengan kami ke sana. Katakan saja sama pihak sekolah, lalu aku yang akan mengantar Zayden dan mendaftarkannya di sana.""Kamu nggak mau balas kelakuan mereka?" Valerio menangkup dagu Briella dan melanjutkan, "Ini nggak seperti Briella yang aku kenal. Di mana kekuatan yang kamu punya selalu kamu gunakan untuk melawanku?"Briella menghindari tatapan pria itu. "Aku nggak mau murid dan orang tua mereka menjelek-jelekkan Zayden. Kalau kamu ikut, mereka pasti akan membicarakan hubunganmu dengan Zayden.""Kalau begitu, kamu malu kalau aku ikut?""Bukan! Akulah yang bikin malu!" Briella sedikit bingung dengan pertanyaan Valerio.Mungkin secara tidak sadar itulah yang dipikirkan Briella.Dia mendongak dan menatap mata pria itu yang menunjukkan ekspresi kecewa dan rasa bersalah. Seketika, hati Briella dilanda kepanikan."Briella, kamu mau aku gimana sebenarnya?"Dad