Zayden terdiam sejenak, tiba-tiba memahami maksud Klinton. Dia pun menyingkirkan senyum di wajahnya dan berucap ketus, "Siapa yang berharap kalau dia akan jadi suami Mama. Mama ku dipaksa dan kalian nggak boleh bersikap nggak hormat sama Mama."Nathan tidak tahan lagi dan memarahi Klinton, "Kenapa bicara begitu sama anak-anak? Anak ini punya harga diri yang tinggi dan sangat memanjakan Mamanya. Kamu nggak takut kalau suatu hari nanti dia akan membalasmu? Aku saja nggak mampu mengusik anak ini."Klinton mengangkat alis dan berpikir dalam hati kalau kemampuan apa yang dimiliki anak sekecil ini? Jadi, dia tidak benar-benar peduli dengan apa yang diperingatkan Nathan kepadanya.Sambil melihat jam tangannya, Klinton pun pamit, "Ada yang harus aku lakukan di kantor. Aku akan pergi dan sampai ketemu lagi."Zayden menjulurkan lidahnya dan menunjukkan wajah kesal ke punggung Klinton. "Wellkkk."Nathan mencubit wajah Zayden dan berkata dengan sayang, "Kamu membela Mamamu seperti ini dan nggak ta
Briella keluar dari gedung rumah sakit. Terlihat kalau Marco sudah menunggu di depan sejak lama. Dia berada di depan pintu mobil seperti seorang sopir yang sudah siap dengan tugasnya.Marco turun dari mobil lalu berjalan ke arah Briella. Dia membungkuk ke arahnya dan mengatakan, "Nona Briella, silakan masuk ke dalam mobil."Briella agak terkejut. "Marco, apa kamu harus bersikap sopan begini kepadaku?""Nona Briella, bagaimanapun juga, kondisi sekarang sudah berubah dan Pak Valerio akan menghukumku kalau aku masih memperlakukanmu layaknya sekretaris.""Jadi?" Briella masih belum terbiasa dengan perubahan itu. "Valerio yang mengatur semua ini?""Ya. Mulai sekarang, aku adalah sopir khusus Nona Briella. Tugas utamaku adalah melindungi Nona Briella dan bayi yang di dalam kandunganmu."Heh! Briella mencibir dalam hati. Penjelasan halusnya mungkin begitu. Ini bukan melindungi, tetapi memenjarakan Briella, bukan?"Keadaanku sangat baik dan nggak membutuhkan perlindungan dari siapa pun. Tolong
"Baiklah, Marco. Aku mengerti.""Kalau begitu aku akan pergi dulu. Nona Briella, langsung hubungi aku saja kalau mau keluar dan butuh mobil."Briella menghela napas dalam dan menjawab lirih, "Ya. Kalau begitu mohon bantuannya."Sepertinya Valerio berencana untuk terus memantaunya. Tatapan Briella menyapu vila besar tempat dia tinggal dan merasa terikat.Ketika Marco pergi, Briella pergi ke loteng. Di sana ada sebuah ruangan kosong dengan peralatan melukis dan jendela atap dengan pemandangan terbuka. Saat duduk di sana, dia disuguhkan dengan pemandangan langit berbintang yang sangat luas.Briella mengagumi sebuah lukisan di depannya. Pria yang tergambar di lukisan itu adalah Valerio. Dalam lukisan itu, pria itu terlihat sedang membaca buku, bahkan alisnya pun terlihat sangat santai. Latar belakang lukisan itu adalah sebuah kampus. Mungkin usia Valerio dalam lukisan itu sekitar dua puluhan.Dalam lukisan itu terdapat satu nama pena, yang menuliskan kata Moon.Lukisan itu mungkin dilukis
"Terserah kamu mau jawab apa. Aku nggak masalah."Valerio menanggapinya dengan ringan."Begini, Pak Valerio nggak perlu sampai ikut dengan kami ke sana. Katakan saja sama pihak sekolah, lalu aku yang akan mengantar Zayden dan mendaftarkannya di sana.""Kamu nggak mau balas kelakuan mereka?" Valerio menangkup dagu Briella dan melanjutkan, "Ini nggak seperti Briella yang aku kenal. Di mana kekuatan yang kamu punya selalu kamu gunakan untuk melawanku?"Briella menghindari tatapan pria itu. "Aku nggak mau murid dan orang tua mereka menjelek-jelekkan Zayden. Kalau kamu ikut, mereka pasti akan membicarakan hubunganmu dengan Zayden.""Kalau begitu, kamu malu kalau aku ikut?""Bukan! Akulah yang bikin malu!" Briella sedikit bingung dengan pertanyaan Valerio.Mungkin secara tidak sadar itulah yang dipikirkan Briella.Dia mendongak dan menatap mata pria itu yang menunjukkan ekspresi kecewa dan rasa bersalah. Seketika, hati Briella dilanda kepanikan."Briella, kamu mau aku gimana sebenarnya?"Dad
"Ugh ...."Briella tidak menyadari tindakan cepat Valerio. Dia menjulurkan lidahnya dan menjilat bibirnya yang barusan digigit oleh Valerio. Tubuhnya kaku dan bingung harus bereaksi seperti apa.Valerio dalam suasana hati yang cukup baik. Dia menggelitik batang hidung Briella dan terlihat sangat menikmatinya."Pak Valerio, kamu ....""Apa?""Keterlaluan."Alis Valerio yang dalam diwarnai dengan gurat menyenangkan. Jari-jarinya bertumpu pada kancing kemejanya lalu membuka kancing itu satu per satu.Briella mencengkeram sudut selimut dan memperhatikan gerakan pria itu yang tengah membuka baju. Dia menarik selimut ke atas, mencoba menutupi tubuhnya. Dia berkata dengan hanya menunjukkan kedua matanya saja, "Kamu mau ngapain?"Pria itu melemparkan kemejanya ke samping dan memperlihatkan tubuh bagian atasnya yang telanjang. Tatapannya tertuju pada Briella dan menjawab pelan, "Kamu ...."Pipi Briella tiba-tiba memerah. Dia menyembunyikan dirinya di dalam selimut dan berteriak, "Valerio, apa k
Cinta?Briella tersenyum, tetapi tidak menjawab. Kata itu terlalu berat untuk bisa menggambarkan mereka."Jawaban seperti apa yang ingin Pak Valerio dengar?"Cahaya di mata Valerio perlahan-lahan menghilang, begitu pun dengan kelembutan di wajahnya. Kesan dingin pun langsung terasa."Kamu asal-asalan."Briella membuka matanya dan menatap Valerio dengan senyum main-main, "Tentu saja cinta. Siapa yang nggak mencintai pria sehebat Pak Valerio?"Valerio, yang mendengar rayuan dalam nada bicara Briella, bahkan tidak melibatkan perasaannya dalam menjawab pertanyaannya. Dia tahu kalau wanita ini menggunakan topeng di wajahnya dan terus bertingkah di depannya.Briella bisa merasakan kekesalan dalam diri Valerio. Dia langsung menutup mata dan bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi.Dalam hati, pria itu menyimpan kemarahan yang kuat. Dia menatap Briella dan memiliki keinginan untuk melahap wanita ini.Tangan Valerio mengusap perut Briella. Kalau bukan karena wanita ini sedang mengandung ana
"Pak Rinto, kenapa berdiri saja? Ayo ikut makan."Briella mengatakan itu sambil menunjuk kursi di sampingnya, memberi isyarat agar Pak Rinto duduk.Pak Rinto terdiam dan menatap Valerio.Dia bekerja di kediaman Keluarga Regulus, di mana dia harus mengikuti peraturan yang ada, tidak peduli di mana pun dia berada. Mana ada aturan yang memperbolehkan pelayan makan di meja yang sama dengan majikan?Valerio menatap Pak Rinto dengan tatapan yang mengisyaratkan kalau dia boleh duduk, lalu tatapan Valerio melirik Briella dengan ringan. Wanita ini selalu melanggar aturan yang dia buat, tetapi tidak bisa membantahnya.Lalu bagaimana? Itu karena Valerio terlalu memanjakannya."Lebih ramai kalau ada lebih banyak orang di meja makan." Briella memberi isyarat kepada dua pelayan lainnya untuk duduk. "Apa kalian nggak sarapan? Tegang sekali kalau kalian terus memperhatikan kami makan."Briella memberi isyarat kepada semua orang untuk duduk. Dia melihat ke arah orang-orang yang duduk di sekeliling meja
Para guru saling menatap dengan bingung saat melihat Valerio tidak menjawab.Briella bisa mengerti apa yang tengah mereka pikirkan, mungkin menganggap Zayden sebagai anak haram Valerio.Dia melirik ke arah Valerio, tetapi pria itu bersikap sangat tenang dan dingin, seakan tidak peduli dengan tatapan terkejut yang ditujukan kepadanya."Pak Valerio, kami sudah mendaftarkan Zayden terlebih dahulu. Kelas yang dia tempati adalah yang terbaik di sekolah ini. Nggak hanya itu, sesuai dengan permintaan Anda, sekolah sudah menyiapkan sebuah basis penelitian ilmiah hanya untuknya, supaya kami bisa membiarkan Zayden melakukan apa yang dia minati."Mata Zayden berbinar dan dia menarik ujung pakaian Briella. Keceriaannya terpancar dari wajah kecilnya. Zayden adalah anak yang selalu bersikap serius dan Briella sangat mengetahui akan hal itu. Melihat seberapa bahagia Zayden saat ini, itu menandakan kalau dia sangat menantikan hal itu.Briella melirik ke arah Valerio dan dalam hati dia sangat berterima