"Pak Rinto, kenapa berdiri saja? Ayo ikut makan."Briella mengatakan itu sambil menunjuk kursi di sampingnya, memberi isyarat agar Pak Rinto duduk.Pak Rinto terdiam dan menatap Valerio.Dia bekerja di kediaman Keluarga Regulus, di mana dia harus mengikuti peraturan yang ada, tidak peduli di mana pun dia berada. Mana ada aturan yang memperbolehkan pelayan makan di meja yang sama dengan majikan?Valerio menatap Pak Rinto dengan tatapan yang mengisyaratkan kalau dia boleh duduk, lalu tatapan Valerio melirik Briella dengan ringan. Wanita ini selalu melanggar aturan yang dia buat, tetapi tidak bisa membantahnya.Lalu bagaimana? Itu karena Valerio terlalu memanjakannya."Lebih ramai kalau ada lebih banyak orang di meja makan." Briella memberi isyarat kepada dua pelayan lainnya untuk duduk. "Apa kalian nggak sarapan? Tegang sekali kalau kalian terus memperhatikan kami makan."Briella memberi isyarat kepada semua orang untuk duduk. Dia melihat ke arah orang-orang yang duduk di sekeliling meja
Para guru saling menatap dengan bingung saat melihat Valerio tidak menjawab.Briella bisa mengerti apa yang tengah mereka pikirkan, mungkin menganggap Zayden sebagai anak haram Valerio.Dia melirik ke arah Valerio, tetapi pria itu bersikap sangat tenang dan dingin, seakan tidak peduli dengan tatapan terkejut yang ditujukan kepadanya."Pak Valerio, kami sudah mendaftarkan Zayden terlebih dahulu. Kelas yang dia tempati adalah yang terbaik di sekolah ini. Nggak hanya itu, sesuai dengan permintaan Anda, sekolah sudah menyiapkan sebuah basis penelitian ilmiah hanya untuknya, supaya kami bisa membiarkan Zayden melakukan apa yang dia minati."Mata Zayden berbinar dan dia menarik ujung pakaian Briella. Keceriaannya terpancar dari wajah kecilnya. Zayden adalah anak yang selalu bersikap serius dan Briella sangat mengetahui akan hal itu. Melihat seberapa bahagia Zayden saat ini, itu menandakan kalau dia sangat menantikan hal itu.Briella melirik ke arah Valerio dan dalam hati dia sangat berterima
Briella melirik ke arah Bu Irma yang duduk tidak jauh darinya, yang juga mendengar percakapan di luar. Dia melirik sombong ke arah Briella dengan menggoyangkan kakinya santai. Sikapnya ini menunjukkan kalau dia tidak menempatkan Briella di matanya sedikit pun.Briella terdiam, menyadari bahwa permohonan Bu Irma barusan hanyalah pura-pura. Hebat sekali aktingnya sampai membuat Briella ragu-ragu, yang awalnya berniat untuk memberikan kesempatan kepada Bu Irma."Sudah kuduga, mana mungkin kamu yang nggak pakai tas bermerek, berpenampilan lusuh dan miskin bisa membuatku mendapatkan tindakan disiplin? Ternyata kamu punya pelindung."Bu Irma melirik Briella dengan jijik. "Di dunia ini memang ada orang yang nggak tahu aturan. Jadi wanita simpanan saja sok jadi istri sah. Aku paling benci sama wanita simpanan. Tapi lihatlah sikapmu. Kamu masih berani muncul dengan penuh percaya diri di sekolah ini. Kamu benar-benar nggak memedulikan posisi istri sah di matamu. Ckck, dunia macam apa ini?"Briel
Informasi yang dikirimkan Marco menjelaskan segalanya.Rendra didukung oleh Keluarga Buana, keluarga dari teman baik Valerio.Keluarga Buana adalah keluarga medis yang juga menjalankan bisnis medis. Keluarga Pangalih memiliki hubungan dengan Keluarga Buana. Keluarga Buana adalah keluarga terkuat kedua setelah Keluarga Regulus, jadi Rendra mengandalkan payung perlindungan Keluarga Buana. Karena itulah Bu Irma bisa bersikap sombong dan seenaknya."Masuk ke dalam dulu." Valerio menggandeng tangan Briella dan berjalan menuju ruang kepala sekolah.Melihat kedua orang itu masuk, Bu Irma berdiri dengan sedikit rasa sombong yang bercampur dengan ekspresi bangga."Pak, Pak Rendra bilang sebentar lagi dia akan datang."Pak Rendra adalah suami Bu Irma. Tanpa berpikir pun bisa diketahui kenapa sikap Bu Irma bisa begitu tenang bahkan terlihat seperti layaknya pemenang. Itu semua karena dia memiliki seseorang yang diandalkan, yaitu suaminya."Ah?" Kepala sekolah menatap Valerio dengan panik. "Bukank
Tangisan Bu Irma menjadi lebih keras dan Rendra pun menjadi kesal. "Kenapa kamu menangis! Nggak ada yang memukulmu. Cepat pergi dan tunggu aku di mobil.""Kalau begitu lampiaskan kemarahanku pada mereka.""Melampiaskan kemarahanmu? Akulah yang dibuat marah setengah mati karena sikapmu! Keluar!"Briella menyaksikan pertengkaran keduanya seperti sedang menonton drama. Dia rasanya ingin tertawa geli.Valerio berbisik di telinganya dan bertanya, "Bagaimana? Apa kamu puas?""Sudah kubilang, kalau ada dia, Zayden nggak akan sekolah di sini."Valerio terlihat senang. "Orang cantik yang nggak banyak omong memang cukup kejam."Briella menatap Valerio dan berpikir dalam hati. Dia hanya mengutarakan pemikiran Valerio. Jadi, orang yang kejam itu Valerio. Setelah bergelut dengan dunia bisnis selama beberapa tahun ini, pria ini benar-benar sangat kejam.Valerio dan Briella saling menatap. Saat keduanya bersitatap, mereka memahami pemikiran masing-masing bahkan tanpa mengucapkannya.Sikap Briella yan
"Apa kamu nggak takut?"Setelah menyelesaikan masalah di sekolah Zayden, Briella masuk ke dalam mobil Valerio. Dia kembali teringat kejadian di mana pria itu membela Zayden. Jadi, Briella bertanya dengan bingung."Takut kenapa?" Valerio menoleh ke samping dan melihat Briella yang duduk sangat dekat dengan pintu, sengaja menjauhkan diri dari Valerio.Telapak tangan pria itu bertumpu pada pinggang Briella dan menariknya untuk mendekat.Briella menatap Marco yang menyetir di depan, lalu kembali menjauh. "Apa kamu nggak takut kalau apa yang kita lakukan ini akan ketahuan dan muncul di media? Dampaknya pasti nggak baik buat perusahaan.""Di mana nggak baiknya?" Valerio memasang raut wajah tidak peduli. "Atau menurutmu caraku melindungi kalian membuatmu malu? Baiklah, kalau Nathan yang membantu, apa yang akan dia lakukan untuk menyelesaikan masalah ini?"Briella menimpali tidak berdaya, "Apa hubungannya sama Nathan?"Ekspresi Valerio tiba-tiba menjadi serius. "Ini jelas-jelas antara kita ber
Tiara dengan antusias mengajak Briella untuk bergabung dengan tim kecil mereka dan Briella pun menimpali sambil tersenyum tipis, "Ya."Sebenarnya Briella adalah seorang yang dingin dan tidak suka bergaul. Sangat menyenangkan kalau bisa punya teman di perusahaan.Namun, dibandingkan dengan kehangatan rekan-rekan kerjanya, dia lebih menyukai cara dia berteman dengan Gita. Persahabatan mereka sangat ringan seperti air, tetapi sangat dalam.Namun, Tiara dan Kinan mengartikannya dengan cara berbeda.Mereka merasa kalau Briella hanya berpura-pura dengan bersikap sok akrab dan tidak menganggap serius ajakan mereka.Keduanya saling bertukar pandang dengan tatapan tidak senang. Kinan menggandeng tangan Tiara. "Tiara, sudah terlambat, ayo kita ke departemen kita dulu."Briella berjalan pelan dan mengikuti keduanya menuju departemen desain dan perencanaan.Ada seorang karyawan lama yang berdiri di pintu masuk departemen desain dan perencanaan. Melihat ketiganya berjalan mendekat, dia langsung men
Tiara dan Kinan juga melihat layar monitor itu dan raut wajah mereka menjadi panik.Barusan mereka membicarakan tentang gosip direktur departemen dan presdir perusahaan. Dua orang yang mereka bicarakan itu sedang duduk di dalam ruang kantor ini.Ternyata mereka berdua adalah dua orang laki-laki.Direktur menunjuk ke arah Tiara dan menanyakan, "Siapa namamu?""Tiara Anjani.""Perusahaan membatalkan kontrak kerja denganmu. Jadi, kamu bisa pergi."Tiara terdiam di tempat dan merasa canggung. Dia tahu kalau dia salah karena sudah bicara sembarangan. Namun, Kinan juga melakukan kesalahan, jadi kenapa hanya dia yang kontraknya dibatalkan?"Kenapa mereka bisa tetap bekerja di sini sedangkan saya harus pergi?"Kinan melirik sekilas ke arah Tiara, tatapannya menunjukkan kesan meremehkan."Aku sangat kesal saat kamu bicara denganku barusan. Kamu terus bicara dan aku juga mengingatkanmu buat nggak berantem sama Briella. Aku dan Briella nggak salah, jadi kenapa kita berdua harus pergi?"Tiara terk
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu