"Apa untungnya bagiku kalau kamu bertemu dengan Papa mu?"Kalau dipikir-pikir lagi, Zayden merasa permintaannya sangat kekanak-kanakan. Meminta Om Valerio untuk membantunya menemukan Papa? Bukankah itu sama saja dengan meminta Om Valerio menemukan saingan cintanya?"Om Valerio, aku punya pertanyaan." Zayden melingkarkan tangannya di leher Valerio dan mendekatkan telinganya ke telinga Valerio. Dia berkata dengan lembut, "Om, apa Om suka sama Mama?"Valerio terdiam sejenak dan balik bertanya kepada Zayden, "Apa Mamamu suka Om Valerio?"Zayden memiringkan kepalanya dan memikirkan pertanyaan itu sejenak, baru menjawab, "Entahlah. Tapi ada satu hal yang aku tahu, banyak yang suka Mama. Walaupun sudah punya aku, tapi yang ngejar Mama banyak. Mama sangat cantik dan punya anak pengertian dan pintar sepertiku. Banyak sekali pria yang ingin menikahi Mama."Begitu Valerio mendengar ini, wajahnya berubah dingin dan tidak mengenakan."Jadi, kalau Om Valerio kamu menyukai Mama, Om harus menunjukkan
Davira kehilangan harga irinya karena perkataan Zayden. Dia tersenyum dan menutup mulutnya, lalu menarik lengan baju Valerio dan bertanya dengan sengaja, "Rio, perkataan anak ini ketus sekali, apa Briella nggak pernah mendidik anaknya? Kenapa sikapnya nggak sopan sekali."Sebelum Valerio sempat mengatakan sesuatu, Zayden sudah menyela lebih dulu, "Aku bersikap sopan sama orang yang pantas dihormati. Kata Mama, jadi orang jangan terlalu lembut dan baik hati. Kalau nggak, nanti akan dirundung.""Maksudmu, aku merundungmu?" Davira terkekeh, "Ya Tuhan, Rio, lihatlah cara bicara anak ini. Dia seperti anak urakan yang nggak dididik dengan baik.""Cukup!" Valerio berteriak dengan marah. Tatapan dinginnya jatuh pada wajah sombong Davira. "Kamu merasa hebat, berdebat sama anak kecil begini?""Aku ...." Davira sangat marah sampai hampir menangis, bahkan kata-katanya tercekat oleh isak tangis, "Rio, anak Briella menggertakku, tapi kamu nggak mau menolongku?"Tatapan Valerio yang menatap Davira be
Mana mungkin Klinton mau mengakui kekalahan dengan mudah. Dia adalah kakak laki-laki Davira. Adik kandung yang sejak kecil dia sayangi dicekik oleh Valerio, mana mungkin dia hanya diam saja dan tidak melakukan apa-apa?Klinton mengepalkan tinjunya dan memukul Valerio dengan keras. "Lepaskan!"Tidak ingin membuat keadaan menjadi lebih buruk, Valerio melepaskan cengkeramannya pada leher Davira dan berjalan melewati keduanya dengan arogan dan acuh."Kalian, Keluarga Atmaja, lebih baik jaga sikap kalian atau aku akan membatalkan pernikahan kedua keluarga kita kapan saja."Davira ketakutan dan bersembunyi di belakang Klinton. Jantungnya berdebar kencang karena merasa tercekik dan mendapat peringatan menakutkan dari Valerio."Kak, Rio sudah kehilangan akal sehatnya karena wanita itu." Davira menangis. "Rio ingin aku mati, dia ingin aku mati."Melihat Davira kehilangan akal sehatnya dan ketakutan seperti itu, hati Klinton terasa sakit. Dia memeluk Davira, menepuk punggungnya dengan lembut dan
Senyum Briella masih tersungging di wajahnya. Namun, begitu melihat Valerio, senyum itu berangsur-angsur membeku.Nathan menoleh ke belakang dan melihat Valerio datang. Dia berdiri dan berjalan ke arah Valerio."Kamu sepertinya nggak diterima di sini."Valerio menunjuk ke arah Briella, tetapi perkataannya ditujukan pada Nathan, "Aku perlu bicara dengannya. Bawa anak itu keluar.""Heh." Nathan tersenyum menggoda. "Presdir Valerio yang terhormat benar-benar kaya dan berkuasa. Siapa pun yang dia usir harus pergi, bukan?"Valerio melirik Nathan dengan tatapan dingin dan tatapannya kembali tertuju pada wajah Briella. "Rumah sakit ini milik Perusahaan Regulus."Briella merasakan tatapan Valerio yang terjatuh kepadanya, tetapi dia tidak mendongak dan menatap mata pria itu. Dia hanya berkata dengan suara yang dalam, "Nathan, bawa Zayden keluar dulu. Aku ingin bicara dengannya."Nathan mengepalkan tinjunya, tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain membawa Zayden keluar bersamanya.Saat mer
Pria itu mengangkat alisnya dan bertanya asal, "Apa yang kamu pikirkan?""Nggak ada." Briella menggoda, "Aku akan tinggal di mana saja selama kamu nggak menjebloskanku ke penjara."Valerio mengerutkan keningnya. "Penjara? Kenapa kamu punya pemikiran seperti itu?"Briella tersenyum dan menggelengkan kepalanya.Memang benar kalau orang penting sering melupakan sesuatu. Namun, apa pria itu benar-benar lupa atau hanya berpura-pura bodoh?Briella tidak benar-benar ingin mencari tahu lebih lanjut."Bukan apa-apa. Pak Valerio, aku nggak mau bahas kejadian itu. Jadi, aku nggak akan pernah membicarakannya lagi.""Kejadian apa?" Valerio mencoba mencari tahu, "Briella, jangan main-main denganku. Kamu tahu, aku paling benci wanita sepertimu."Briella benar-benar sangat sedih. Dia hanya berusaha melindungi dirinya sendiri, tetapi di mata Valerio, dia hanyalah wanita yang suka memainkan tipu muslihat. Briella benar-benar tidak ingin mengatakan apa pun lagi.Briella memejamkan mata dan memijit kening
"Nona Briella, aku akan tanya lagi, apa kamu penduduk asli Kota Tamar?"Klinton menatap Briella, ingin tahu lebih banyak tentang Briella. Namun, Briella tidak memberinya kesempatan."Bukan. Maaf, Pak Klinton, aku lelah dan ingin istirahat."Sejak demam sampai sekarang, Briella belum tidur karena banyak sekali orang yang keluar masuk bangsal ini. Briella benar-benar sudah lelah menghadapi mereka. Sekarang, dia ingin beristirahat dengan tenang."Baiklah, aku nggak akan mengganggumu lagi."Klinton pamit dengan sadar diri, membuat Briella menghela napas lega dan berbaring dengan tenang.Di luar pintu, perhatian Klinton terfokus pada Zayden dan Nathan karena mereka berjaga di luar.Kalau sebelumnya dia tidak menyelidiki Briella, dia hampir mengira kalau anak laki-laki yang bernama Zayden adalah anak haram Valerio. Anak itu benar-benar versi kecil dari Valerio.Nathan langsung waspada saat melihat Klinton mendekat."Ada apa mencari Briella sampai ke mari?""Cuma mau jenguk.""Aku peringatkan
Zayden terdiam sejenak, tiba-tiba memahami maksud Klinton. Dia pun menyingkirkan senyum di wajahnya dan berucap ketus, "Siapa yang berharap kalau dia akan jadi suami Mama. Mama ku dipaksa dan kalian nggak boleh bersikap nggak hormat sama Mama."Nathan tidak tahan lagi dan memarahi Klinton, "Kenapa bicara begitu sama anak-anak? Anak ini punya harga diri yang tinggi dan sangat memanjakan Mamanya. Kamu nggak takut kalau suatu hari nanti dia akan membalasmu? Aku saja nggak mampu mengusik anak ini."Klinton mengangkat alis dan berpikir dalam hati kalau kemampuan apa yang dimiliki anak sekecil ini? Jadi, dia tidak benar-benar peduli dengan apa yang diperingatkan Nathan kepadanya.Sambil melihat jam tangannya, Klinton pun pamit, "Ada yang harus aku lakukan di kantor. Aku akan pergi dan sampai ketemu lagi."Zayden menjulurkan lidahnya dan menunjukkan wajah kesal ke punggung Klinton. "Wellkkk."Nathan mencubit wajah Zayden dan berkata dengan sayang, "Kamu membela Mamamu seperti ini dan nggak ta
Briella keluar dari gedung rumah sakit. Terlihat kalau Marco sudah menunggu di depan sejak lama. Dia berada di depan pintu mobil seperti seorang sopir yang sudah siap dengan tugasnya.Marco turun dari mobil lalu berjalan ke arah Briella. Dia membungkuk ke arahnya dan mengatakan, "Nona Briella, silakan masuk ke dalam mobil."Briella agak terkejut. "Marco, apa kamu harus bersikap sopan begini kepadaku?""Nona Briella, bagaimanapun juga, kondisi sekarang sudah berubah dan Pak Valerio akan menghukumku kalau aku masih memperlakukanmu layaknya sekretaris.""Jadi?" Briella masih belum terbiasa dengan perubahan itu. "Valerio yang mengatur semua ini?""Ya. Mulai sekarang, aku adalah sopir khusus Nona Briella. Tugas utamaku adalah melindungi Nona Briella dan bayi yang di dalam kandunganmu."Heh! Briella mencibir dalam hati. Penjelasan halusnya mungkin begitu. Ini bukan melindungi, tetapi memenjarakan Briella, bukan?"Keadaanku sangat baik dan nggak membutuhkan perlindungan dari siapa pun. Tolong
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu