Briella menunduk dan menoleh ke arah Zayden. "Sayang, mau es krim?"Zayden memandang Nathan, kemudian tatapannya beralih pada Briella. Dia memahami situasi dan akhirnya mengangguk. "Mau! Mama, kalau begitu aku ke supermarket di rumah sakit dulu buat beli es krim. Setengah jam lagi aku pasti sudah di sini."Briella menatap putranya dengan perasaan lega dan menggenggam tangan kecil Zayden. Memang hanya putranya yang memahaminya. Tidak sia-sia Briella menyayanginya selama ini.Zayden turun dari pangkuan Nathan dan melambaikan tangan pada dua orang di bangsal. "Aku pergi dulu, ya. Telepon saja kalau terjadi sesuatu."Di dalam bangsal hanya menyisakan Briella dan Nathan. Jadi, Briella tidak bertele-tele dan langsung berkata pada intinya, "Nathan, apa maksudmu?""Apanya yang maksudku?""Jangan main-main denganku." Briella menunjuk ke ponsel Nathan. "Kenapa kamu menunjukkan berita itu kepada Zayden?""Nggak ada alasan." Nathan melipat kakinya dan dengan malas bersandar pada kursi. "Kalian har
"Jangan lupa. Selama lima tahun kebersamaanmu dengan Valerio, aku juga nggak memperlakukanmu dengan buruk!"Dada Nathan naik turun karena marah."Briella, apa kamu bodoh atau cuma pura-pura bodoh? Valerio sudah mau menikah sama wanita lain, apa kamu masih berkhayal kalau dia akan menikahimu hanya karena anak dalam kandunganmu?"Briella menunduk, lalu menjawab pelan, "Aku nggak pernah berkhayal kalau Valerio akan menikahiku. Aku sudah punya Zayden dan nggak butuh yang namanya pernikahan.""Terus apa maksudmu?" Kemarahan Nathan mereda ketika mendengar Briella sendiri yang mengatakan kalau wanita itu tidak akan menikah dengan Valerio."Aku cuma berharap aku dan Zayden bisa aman dan sehat.""Jadi, keputusanmu adalah mendorongku menjauh, lalu kamu menghadapi Valerio sendirian?""Ya." Briella menunduk. "Untuk sekarang, aku nggak bisa meninggalkannya.""Kamu nggak bisa atau kamu nggak mau?"Briella terdiam sejenak dan sedikit bingung. Dia bahkan tidak memahami pemikirannya sendiri."Valerio j
Zayden agak kesal dan menutup halaman berita itu, terus menikmati es krimnya dengan tatapan kosong. Tidak jauh dari situ, ada seorang wanita yang membawa anak laki-laki bersamanya. Zayden tidak asing dengan anak laki-laki itu yaitu merupakan mantan teman sekelasnya ketika di taman kanak-kanak. Orang tuanya seorang pejabat, jadi keberadaan anak itu tidak jauh-jauh dari kata perundung.Dia sering mencari masalah dengan Zayden. Karena Zayden sangat pintar, tampan dan disukai oleh guru dan teman-teman yang lainnya, anak laki-laki itu merasa iri. Ibu dari anak laki-laki itu pun sama. Briella cantik, jadi dia selalu membuat cerita kalau Briella adalah seorang wanita simpanan dan menambahkan hal yang berlebihan dalam ceritanya kepada wali murid.Jadi, Zayden sangat membenci mereka berdua sampai-sampai dia tidak mau melihat mereka walau hanya satu detik pun."Zayden, kenapa kamu bisa di sini?" Nama panggilan anak laki-laki itu adalah Kiki. Dia memiliki tubuh dua kali lebih besar dari Zayden."
"Pak ... Pak Valerio?"Sandra mengenal Valerio, tetapi hanya sekadar dari gosip yang dia dengar di tempat bermain kartu. Beberapa teman mainnya membahas mengani pengusaha legendaris yang berdiri di puncak piramida bahkan sebelum usianya genap tiga puluh tahun. Tidak ada satu pun orang dari kalangan kelas atas yang tidak mengenal nama Valerio, yang melambangkan kekayaan dan status."Anakmu?" Valerio bertanya pada wanita itu sambil melirik Kiki yang ada dalam cengkeramannya."Ya ... dia anak saya." Tubuh wanita itu gemetar saat berbicara, takut membuat Valerio marah karena mengatakan jawaban yang salah."Kamu saja nggak bisa mendidik anakmu sendiri, punya hak apa mendidik anak orang lain?"Valerio seperti raja yang bertengger di puncak kekuasaan. Tatapannya yang tertuju pada Sandra beralih pada Zayden. "Apa ada yang terluka?"Zayden menggeleng dengan wajah polos. "Cuma es krimku hilang. Harganya cukup mahal, dua puluh ribu."Mendengar jawaban Zayden, wajah Valerio yang terlihat serius ti
Valerio menatap wanita itu dengan mata tertunduk, tanpa sedikit pun rasa simpati atau kelembutan dalam tatapannya.Dia mengaitkan jarinya ke arah Zayden dan memberi isyarat agar Zayden berdiri di depan wanita itu. "Karena ini masalah anak-anak, biarkan Zayden yang memutuskan."Zayden menoleh dan memiringkan kepalanya untuk melihat Valerio. Dia tiba-tiba merasa tenang, rasanya seperti ada pelindung yang bisa melindunginya dari masalah apa pun dan menjadi sandarannya.Ternyata Zayden juga punya orang yang bisa diandalkan.Zayden menatap wanita yang berlutut di depannya, lalu kembali teringat tentang makian dan fitnah yang dilontarkan wanita itu padanya dan Mama barusan. Dia tidak ingin memberikan kesempatan kepadanya."Aku ingin dia berlutut juga." Zayden menunjuk ke arah Kiki. "Dialah yang selalu mengatakan hal-hal buruk tentang Mama di depan anak-anak lain. Aku nggak pernah merasa senang saat sekolah. Mereka semua mengatakan hal buruk tentang Mama. Jadi nggak ada yang mau berteman deng
Zayden mengangkat kedua jarinya dan berbicara dengan suara yang lebih rendah, "Pak Valerio, aku cuma ingin memberimu pelajaran.""Heh, kamu lancang sekali!" Valerio mencubit wajah Zayden. "Nggak pernah ada yang berani bicara begitu kepadaku. Nak, kamu ingin memberiku pelajaran?"Zayden menciut dan memeluk leher Valerio untuk memohon, "Om, aku salah. Jangan pukul aku lagi, aku takut."Pria itu tertawa pelan. Tawanya itu terdengar sangat menarik."Kamu bisa merasa takut juga rupanya! Aku pikir kamu sama seperti Mamamu, keras kepala dan nggak bisa diatur.""Mama nggak seperti itu, kok. Saat diganggu saja Mama akan menjadi tegas. Dia sebenarnya sangat penakut. Kalau hujan dan ada guntur saja dia ketakutan dan nggak bisa tidur. Mama pasti akan memintaku menemaninya."Zayden menatap Valerio dengan sungguh-sungguh. "Jadi Om, Mamaku sangat penakut. Om Nggak boleh menakut-nakutinya."Valerio mengangkat alisnya. "Kapan aku pernah menggertaknya?"Pikiran pria itu kembali teringat akan wajah Briel
"Apa untungnya bagiku kalau kamu bertemu dengan Papa mu?"Kalau dipikir-pikir lagi, Zayden merasa permintaannya sangat kekanak-kanakan. Meminta Om Valerio untuk membantunya menemukan Papa? Bukankah itu sama saja dengan meminta Om Valerio menemukan saingan cintanya?"Om Valerio, aku punya pertanyaan." Zayden melingkarkan tangannya di leher Valerio dan mendekatkan telinganya ke telinga Valerio. Dia berkata dengan lembut, "Om, apa Om suka sama Mama?"Valerio terdiam sejenak dan balik bertanya kepada Zayden, "Apa Mamamu suka Om Valerio?"Zayden memiringkan kepalanya dan memikirkan pertanyaan itu sejenak, baru menjawab, "Entahlah. Tapi ada satu hal yang aku tahu, banyak yang suka Mama. Walaupun sudah punya aku, tapi yang ngejar Mama banyak. Mama sangat cantik dan punya anak pengertian dan pintar sepertiku. Banyak sekali pria yang ingin menikahi Mama."Begitu Valerio mendengar ini, wajahnya berubah dingin dan tidak mengenakan."Jadi, kalau Om Valerio kamu menyukai Mama, Om harus menunjukkan
Davira kehilangan harga irinya karena perkataan Zayden. Dia tersenyum dan menutup mulutnya, lalu menarik lengan baju Valerio dan bertanya dengan sengaja, "Rio, perkataan anak ini ketus sekali, apa Briella nggak pernah mendidik anaknya? Kenapa sikapnya nggak sopan sekali."Sebelum Valerio sempat mengatakan sesuatu, Zayden sudah menyela lebih dulu, "Aku bersikap sopan sama orang yang pantas dihormati. Kata Mama, jadi orang jangan terlalu lembut dan baik hati. Kalau nggak, nanti akan dirundung.""Maksudmu, aku merundungmu?" Davira terkekeh, "Ya Tuhan, Rio, lihatlah cara bicara anak ini. Dia seperti anak urakan yang nggak dididik dengan baik.""Cukup!" Valerio berteriak dengan marah. Tatapan dinginnya jatuh pada wajah sombong Davira. "Kamu merasa hebat, berdebat sama anak kecil begini?""Aku ...." Davira sangat marah sampai hampir menangis, bahkan kata-katanya tercekat oleh isak tangis, "Rio, anak Briella menggertakku, tapi kamu nggak mau menolongku?"Tatapan Valerio yang menatap Davira be
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu