Briella demam, jadi kesadarannya pun samar. Dia berpegangan pada tubuh Valerio seperti anak kucing. Tangan kecilnya menggenggam tangan Valerio yang sedang menyeka tubuhnya, lalu meletakkan telapak tangan Valerio di pipinya yang panas. Tatapan mata Briella seperti orang mabuk, setengah terbuka dan setengah tertutup. Mana ada pria yang bisa menahan godaan seperti itu."Gimana aku mau menyeka tubuhmu kalau kamu memegang tanganku terus?"Wajah Valerio menegang. Pengendalian diri yang dia lakukan sudah mencapai titik kritis."Nggak. Jangan lepaskan tanganku."Seperti anak kucing yang sedang mabuk, Briella mencengkeram tangan Valerio dan tidak mau melepaskannya. Valerio menjatuhkan handuk di tangannya yang lain dan memasukkannya ke dalam baskom.Kobaran hasrat di dalam dirinya terlalu besar untuk bisa ditahan.Lengan pria itu dipeluk erat oleh Briella. Pada saat ini, Briella membuka matanya dan menatap mata Valerio yang membara. Saat itulah dia sedikit sadar, mengedipkan matanya yang lebar s
Valerio menggigit daun telinga Briella seolah-olah sebagai hukuman. Suaranya yang rendah menyalurkan kelembutan yang tidak ada habisnya. "Masih berani nggak nurut lagi?"Briella menggelengkan kepalanya dan meraih tangan Valerio dengan manja. "Rasanya sangat nggak nyaman."Valerio menghentikan semua gerakannya. Melihat pipi Briella yang memerah, sepertinya wanita ini memang benar-benar sangat menderita. Entah apa yang sedang dilakukan Adrian sampai belum datang. Kalau menunggu lagi, Briella akan makin tersiksa."Ayo pakai baju. Aku bawa kamu ke rumah sakit." Valerio memakaikan Briella baju dan mengancingkannya, lalu menggendongnya dengan satu tangan dan langsung berjalan keluar.Zayden melihat Mamanya berada di pelukan Valerio dan melihat cengkeraman tidak berdaya tangan Mamanya di kemeja Valerio. Sikap Mamanya ini seperti anak kecil yang sedang sakit, yang meminta permen kepada orang tuanya dengan sikap manja.Wajah Valerio terlihat serius dan langkah kakinya sangat terburu-buru."Zayd
"Om Nathan, kamu terlambat. Om Valerio datang lebih awal darimu, bahkan menyeka tubuh Mama dan menggendongnya ke rumah sakit."Zayden memakan semangka yang dibeli Nathan, sambil menjelaskan situasi saingan cinta Nathan.Ekspresi Nathan berubah serius. Zayden memakan apa yang dia belikan untuk Briella, tetapi malah menceritakan tentang pria lain. Bukankah sikap bocah ini sangat tidak etis?Nathan tidak akan marah pada anak-anak, dia hanya marah pada dirinya sendiri. Dia membiarkan wanita yang dia cintai direnggut berkali-kali darinya. Nathan tidak pernah semarah ini selama ini."Apa semangkanya enak?" Nathan mengambil dua biji semangka yang menempel di sudut mulut Zayden."Enak, sangat manis." Zayden mengambil sepotong semangka dari nampan buah dan memberikannya kepada Nathan. "Om, nih makan juga."Nathan mengambil semangka yang diberikan oleh Zayden dan menggigitnya. Lalu, dia berkata dengan pelan kepada Zayden, "Setelah kamu selesai makan, ayo kita ke rumah sakit.""Ke rumah sakit?" Z
"Tunggu sebentar."Valerio memotong apel yang sudah dikupas menjadi beberapa bagian dan meletakkannya di atas piring buah, tidak lupa menusukkan tusuk gigi ke dalam masing-masing bagian. Pandangan Briella fokus pada gerakan pria itu yang memotong buah, karena terlihat seperti sedang mengutak-atik sebuah karya seni.Setelah selesai memotong apel, Valerio menyentuh suhu segelas air di salah satu sisinya, yang ternyata masih sedikit panas.Pria itu mengambil gelas itu dan meniup air di dalamnya, mencoba mendinginkan air di dalam gelas.Sudut bibir Briella terangkat, tiba-tiba merasa ingin tertawa."Kenapa tertawa?" Pria itu bertanya dengan nada serius, "Air ini panas, kalau nggak ditiup dulu, mana bisa diminum?"Briella hanya tersenyum karena tenggorokannya kering dan membuatnya tidak bisa bicara. Ketika dia tertawa, matanya dipenuhi oleh binar cahaya yang hanya menatap mata Valerio. Saat ini, Briella merasa tersentuh.Melalui tatapan ini, Valerio bisa mengetahui isi hati Briella. Ini ada
"Hah apa?" Valerio menggendong Briella masuk ke kamar mandi, tidak lupa menutup pintu.Pria itu meletakkan Briella di atas wastafel dan Briella duduk di atasnya. Posisi Briella hampir sejajar dengan Valerio. Dia menatap Valerio dengan raut wajah bingung. Dia akan mengatakan sesuatu, tetapi Valerio menutup mulutnya dengan tangan pria itu.Mata Briella membelalak, sedikit bingung dengan apa yang dilakukan pria ini.Valerio mengeluarkan ponselnya dari saku jasnya dan membuka halaman kosong dari memonya. Dia mulai mengetikkan sesuatu di dalamnya. Setelah selesai, dia mendekatkan layar ponselnya ke depan wajah Briella."Davira yang mendatangkan media dan wartawan ke mari."Briella tidak terlalu terkejut saat membaca kalimat itu di ponsel Valerio. Sesuai dengan apa yang dia duga sebelumnya, ternyata ini hanyalah sandiwara yang diatur oleh Davira.Briella mengambil ponsel pria itu dan mengetikkan beberapa kata lain. "Apa yang harus kita lakukan?"Valerio mengerucutkan bibirnya dan ekspresi si
Mata Valerio tiba-tiba berubah muram dan dia melepaskan pelukannya pada tubuh Briella."Apa yang kamu mau?" Valerio sedikit bingung dengan Briella. Valerio bersedia memberikan semua yang dia miliki asalkan Briella tetap berada di sisinya dengan tenang, lalu melahirkan bayinya dengan selamat dan sehat.Bukankah wanita ini sangat menyukai uang? Valerio memberikannya, tetapi sepertinya sekarang uang juga tidak mampu menggerakkan hati wanita itu."Aku nggak mau apa pun." Briella menjawab dengan nada dingin, "Kita memiliki jalan hidup sendiri dan harus kembali ke dunia kita masing-masing dan hidup dengan baik."Wajah tampan Valerio terlihat muram. Dulu, wanita ini pernah mengatakan kalau Valerio adalah dunianya.Sandiwara wanita ini benar-benar sangat luar biasa."Kalau kamu ingin aku menikahi Davira, baiklah." Valerio menatap Briella dengan tatapan dingin, lalu melanjutkan dengan sikap angkuh, "Yang penting kamu menjaga dirimu dan anakmu, biar dia lahir dengan sehat dan selamat.""Pak Vale
"Rio, aku tahu kamu nggak akan meninggalkanku sendirian."Dari bahu Valerio, tatapan mata Davira melirik ke arah pintu kamar mandi yang tertutup.Briella, bukankah kamu sangat hebat? Sekarang kelihatannya kamu nggak ada apa-apanya. Kalau bukan karena mengandung anak Rio, Rio pasti sudah membuangmu.Raut wajah Davira menunjukkan senyum puas, tetapi dia menyembunyikannya dengan rapi sebelum Valerio menatapnya. Wajahnya terlihat pasrah dan polos."Rio, wartawan itu nanti akan tanya kenapa aku dirawat di rumah sakit." Davira terlihat lemah dan detik berikutnya seperti akan menangis, "Lalu, kenapa kamu bisa ada di bangsal wanita lain? Gimana kalau nanti aku panik dan salah bicara?"Valerio menunduk dan menyapu pandangannya ke arah Davira dengan tatapan dingin. "Jadi bisu. Bisa, 'kan?"Davira terdiam sejenak, setelah beberapa saat baru menyadari apa yang dimaksud Valerio. Jadi, pria ini keberatan karena dia terlalu banyak bicara?"Rio, aku ...." Awalnya Davira memang takut. Sekarang, dengan
Davira terlihat terganggu dan meringkuk dalam pelukan Valerio."Rio, aku takut."Valerio tidak mendorong Davira menjauh kali ini. Wajahnya tetap dingin dan tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia mencengkeram pergelangan tangan Davira, sebagai sebuah isyarat kepada pers.Itu menunjukkan kalau dia berada di pihak yang sama dengan Davira.Ini adalah hal terakhir yang ingin dilihat oleh para wartawan. Mereka sudah diberi tugas. Kalau tidak bisa mendapatkan berita besar, jangan harap mereka masih bisa bekerja sebagai wartawan."Permisi, Pak Valerio. Ke mana wanita lain yang ada di ruangan ini?"Pertanyaan itu mengena di hati Valerio. Pria itu terlihat seperti balok es yang memancarkan aura mencekam di sekelilingnya."Wanita yang mana?" Valerio mengangkat tangannya yang menggandeng tangan Davira tanpa ekspresi. "Di sini cuma ada aku dan tunanganku.""Sepertinya nggak begitu. Bukankah Nona Davira ada di bangsal lain?""Tahu dari mana?" Valerio menanyai wartawan sok tahu itu."Ini ...." Repor